Banyak kelemahan yang kita identifikasi dalam begitu banyak negara Eropa modern, ironisnya, banyak muncul dari kekuatan kita sendiri. Kita punya banyak hal yang pantas dibanggakan. Meski kerap tidak sempurna, kita bagaimanapun, telah menggantikan tirani dengan demokrasi, menjamin kebebasan berbicara dan pers, menjamin hak asasi semua warga negara, memberikan dasar hukum dan politik bagi bertumbuhnya usaha pemberdayaan wanita, perjuangan melawan sikap rasis dan fanatisme relijius, membawa laki-laki dan perempuan homoseksual keluar dari masalah, memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup dan binatang liar, memperluas ketentuan perawatan kesehatan bagi sebagian besar orang, menghapus hukuman mati di semua negara Eropa (dan Israel) serta menetapkan berbagai peraturan yang membatasi sekaligus menghukum kejahatan seperti perdagangan manusia, perbudakan serta penyelundupan narkotika.
Contoh terbaik dari apa artinya ini bisa ditemukan di Negara Israel. Itulah tepatnya karena Israel serta mayoritas Bangsa Israel, sejak awal, memadukan nilai- nilai etis Yahudi dengan keyakinan Abad Pencerahan Barat yang membuatnya sangat menonjol dibandingkan dengan semua negara tetangganya. Pelecehan hak asasi manusia di Iran, negara-negara Arab, Turki dan di sekitarnya justru memberikan jaminan bahwa Israel, bagaimanapun banyak diperlakukan dengan kasar oleh lembaga dan media internasional dan betapapun cacatnya, nyata-nyata jadi benteng pertahanan demokrasi, hak asasi manusia, persamaan derajat di depan hukum dan nilai-nilai positif yang diatur bersamanya.
Ironisnya, tentu saja, adalah bahwa begitu banyak orang mengadopsi cara menafsirkan hak asasi manusia dan nilai liberal sedemikian rupa sehingga kerapkali justru melemahkan artinya. Sikap benar secara politik (political correctness) sebagaimana dikembangkan sepanjang era 1980-an dan 1990-an memang dimulai dengan niat yang baik. Kata-kata,kebijakan politik serta tindakan dimaksudkan atau secara tidak hati-hati dibangun untuk menyerang orang karena ras, ketidakmampuan, seksualitas dan seterusnya harus digantikan dengan istilah-istilah "yang benar" yang tidak menyerang perasaan orang lain. Banyak hal memang tercapai dengan cara itu. Akibatnya, kini ada ungkapan yang tidak bakal orang temukan dalam publikasi-publikasi kenamaan atau dengarkan pada siaran-siaran publik. Semuanya sudah dirancangkan secara tepat pada satu sisi dalam semua wacana yang sopan.
Bagaimanapun banyak praktisi bersikap benar secara politis, sehingga ceramah atau perilaku yang benar-benar rasional, yang diperdebatkan dengan sangat bagus dan cerdas pun dikecam. Ini bisa saja, dan jelas, dilakukan guna menghambat lahirnya perdebatan ---suatu bentuk baru sensor yang dibuat secara terang dan jelas oleh dosen dan mahasiswa di sebagian besar universitas Barat sehingga para pembicara yang menawarkan sudut pandang alternatif (seperti para akademisi pro-Israel) dilarang datang ke kampus. Sementara itu mahasiswa takut bingung dengan ceramah yang menghadirkan sudut pandangan yang berbeda yang menciptakan "tempat-tempat aman" yang tidak bakal terjadi pada hari graduasi mereka sehingga bisa menentramkan perasaan mereka. Sikap ini sangat merusak tujuan universitas yang sebenarnya. Karena itu, pada Desember 2017 lalu, Jo Johnson, Menteri Pendidikan Tinggi Inggris meminta universitas-universitas supaya menghentikan praktek untuk "tidak memberikan panggung" kepada para pembicara (no platforming). Tidak terelakan lagi, para pemimpin mahasiswa pun lalu menyerang dia karena mengatakan demikian.
Belas kasihan para mahasiswa terhadap masyarakat yang menderita di Dunia Ketiga benar-benar merosot. Itu terjadi karena mereka punya satu keyakinan; bahwa semua kejahatan masa kini lahir dari imperialisme dan kolonialisme. Berbagai kelompok mapan pun bergeser perjuangannya. Dari upaya untuk memberikan dukungan kepada kelas pekerja, mereka beralih menekankan solidaritas dengan orang-orang yang diistilah oleh Frantz Fanon, sebagai "orang dunia yang mengenaskan." Sampai era-1970-an, keyakinan yang sama diungkapkan sebagai sebentuk dukungan terhadap negara-negara komunis tanpa mempedulikan kemungkinan betapa menindasnya negara-negara itu.
Beriring jalan dengan keyakinan bahwa penderitaan dunia bersumberkan pada negara-negara imperialis dan kolonialis di Eropa dan Amerika, penghinaan pun makin meningkat terhadap bangsa kulit putih warga negara-negara tersebut. Mereka masih saja dicemari dengan penjelasan itu, meski Inggris, Prancis dan Portugal sudah meninggalkan kekaisaran mereka di Afrika dan di tempat lainnya. Israel pun, meski tidak pernah menjadi negara (enterprise) penjajah dan benar-benar berperan sebagai tempat perlindungan bagi sejumlah orang yang paling dianiaya di dunia, masih diserang dengan cercaan yang sama.
Penghinaan terhadap Barat itu timbul karena dalam banyak sebab, berkaitan dengan semakin menguatnya kekuatan Islam radikal. Setelah Revolusi Islam di Iran pada 1979 berkembang luas persepsi bahwa kaum Muslim kini seharunya dianggap sebagai korban terbesar hegemoni Barat. Makin banyak masyarakat Barat pun kemudian mengikuti intepretasi sejarah Islam kemudian mengharapkan ada wahyu (apocalypse) supaya bisa memperbaiki ketidakadilan masa lampau.
Ada lebih dari satu orang radikal pernah menjadi duri dalam daging negara-negara demokrasi Barat kemudian bergerak jauh sampai menganut Islam kemudian membuang undi dengan menggunakan percikan api Iran dan dunia Arab yang anti-Barat. Pertama, Roger Garaudy, tokoh kenamaan Partai Komunis Prancis yang diduga menyangkali adanya Holocaust. Ia menjadi pahlawan di dunia Muslim karena penolakannya itu kemudian memeluk Islam pada tahun 1982. Selain dia, ada Carlos the Jackal (Illich Ramirez Sanchez). Carlos melukiskan dirinya sebagai "revolusioner professional" Marxis-Leninis kemudian menjadikan dirinya seorang teroris melakukan hal yang sama sekitar tahun 2000.
Banyak orang lainnya menjadi pendukung penuh semangat terhadap berbagai kelompok teroris Islam seperti Hamas. Pada tahun 2010, putri tertua Che Guevara, Aleida, bepergian ke Libanon untuk menyampaikan kekagumannya kepada keompok radikal Shiah, Hizbullah. Judith Butler, seorang professor Amerika yang revolusioner mengatakan bahwa "memahami Hamas/Hizbullah sebagai gerakan sosial progresif, yang berada di kelompok kiri dan menjadi bagian kalangan kiri global, benar-benar sangat penting." Pernyataan berikut ini berasal dari seorang wanita yang menyebut dirinya feminis serta pendukung hak gay. Mengatakan Hamas dan Hizbullah itu progresif "seharusnya menyatu satu dalam kerongkongan siapa pun yang mengetahui bahwa mereka mengabaikan hak asasi manusia, menindas perempuan serta membantai para homoseksual.
Ada satu orang lagi; Edward Said; ia membuat kerusakan luar biasa besar atas persepsi publik terhadap nilai Barat, termasuk demokrasi. Bukunya yang diterbitkan pada 1978, Orientalism, diyakini---yang menakjubkannya---dengan penghargaan yang tinggi oleh banyak ilmuwan yang seharusnya tahu lebih baik, dilihatnya dari banyaknya penipuan yang disajikannya. Contoh berbagai tipuannya bisa dibaca di sini, sini, sini, sini, sini, sini, sini, sini, sini dan di sini. [1]
Tentu banyak orang yang juga seharusnya tahu lebih baik, meyakini khayalan-khayalan kosong seperti Komunisme. Dan, masih banyak pihak juga percaya kepada sosialisme ---terlepas dari contoh-contoh seperti adanya bencana Venezuela.
Said menyebarluaskan kesombongan bahwa Barat, dengan sejarah imperialisme serta kolonialismenya, menyebabkan bangsa-bangsa Timur Tengah dan Muslim (khususnya bangsa Palestina) menjadi korban dunia. Negara-negara demokrasi Barat, menurut dia, adalah penjahat sejarah terbesar dengan Israel sebagai sumber semua kejahatan di Timur Tengah dan jauh di luar kawasan tersebut.
Said berupaya membangun perilaku dan kebijakan anti-Barat pada satu pihak namun pro-Islam pada pihak lain yang sangat dihormati oleh orang-orang yang mudah tertipu. Dia melakukan upaya ini dengan mengabaikan prestasi Barat yang luar biasa sambil menutupi banyak kesalahan kalangan Muslim sendiri selama berabad-abad, tanpa menyebutkan tradisionalisme yang justru sebenarnya menyebabkan semua negara Islam merosot dalam bentuk sebagian besar kebijakan yang menindas yang biasanya dikecam oleh kaum liberal. Satu-satunya reaksi terhadap upaya memanjakan Islam ini masih punya penerapan lain yang menyedihkan. Yaitu untuk "menembak sang utusan" yang berasal dari orang-orang yang kini dituduh ---kerapkali secara tidak adil---sebagai "rasis" atau "fobia terhadap Islam" (Islamophobic).
Fithanan "yang dilakukan secara luas" (broad brush) ini menciptakan persoalan, ketika orang-orang yang menawarkan kritik yang seimbang terhadap Islam, justru kerapkali dihina dengan cara yang sama.
Penolakan yang menyeluruh untuk mendengarkan keprihatinan yang serius terhadap Islam sebagai sebuah ideologi dan lembaga politik muncul dari apa yang dalam banyak cara sangat berbahaya, namun tidak disadari. Posisi ini diambil oleh orang-orang yang memilih jalan tengah (middle ground). Akibatnya, orang pun lantas kehilangan jejak terhadap sejumlah politisi dan pemimpin gereja Barat yang dengan penuh gembira mempertahankan pendapat bahwa "Islam adalah agama damai" atau yang ketika berhadapan dengan terorisme jihadi mempertahankan pendapat bahwa itu "tak ada hubungannya sama sekali dengan Islam." Itulah semacam paralisis yang lahir karena orang takut dianggap "Islamofobia" sehingga membuatnya sulit, jika bisa dikatakan tidak mungkin bagi orang di hadapan publik untuk mengakui bahwa ada kebenaran lain, yang sayangnya sudah dikenal selama berabad-abad.
Contoh paling gamblang dari satu versi Islam yang berbenturan dengan pihak lain adalah surat yang diterbitkan secara daring pada Hari Natal tahun silam. Surat tersebut ditujukan kepada Paus Fransiskus, yang pendapatnya terekam, mengatakan bahwa "Islam adalah agama damai, yang cocok dengan penghargaan terhadap hak asasi manusia serta hidup bersama secara damai." Surat yang sangat cerdas dan keras pula diperdebatkan itu ditulis demi kepentingan lebih dari seribuan mantan Muslim yang beralih menganut agama Katolik yang berniat menjelaskan bahwa mereka pertama-tama mengenal Islam, dan sebaliknya tepatnya mengapa mereka beralih menganut Kristen. Berbagai kutipan Alkitab Kristen serta Islam benar-benar menjelaskan persisnya apakah perbedaan antara kedua agama.
Inilah waktunya untuk menyingkapkan sejumlah fakta yang tidak menyenangkan. Islam sudah terlibat konflik dengan Barat sekitar 1,384 tahun, dengan sedikit masa jedanya. Pada 634, tentara Muslim Arab menyerang Suriah, kemudian melanjutkannya dengan menghancurkan semua wilayah kecuali sebagian kecil Kekaisaran Kristen Bizantium (yang akhirnya dikalahkan ketika Kekaisaran Turki Ottoman menaklukan Konstantinopel pada tahun 1453). Dari sana mereka lalu menguasasi Spanyol, Portugal, Sisilia serta kawasan lain di pesisir pantau Mediterania utama. Sejak itulah perang jihad yang tak pernah habis-habisnya berawal. Berbagai perang ini tidak berakhir selama berabad-abad perdagangan budak Suku Barbary berlangsung. Pada masa itu, para bajak laut Muslim rutin menangkap kaum Kristen untuk dijual di pasar budak di Aljazair dan tempat lain di pantai Utara Afrika. Serangan tidak berhenti ketika negara-negara Eropa menjajah atau menciptakan protektorat atas negara-negara Muslim seperti Kekairasan Mughal di India utara, Aljazair, Tunisia, Maroko serta Mesir. Sesudah era 1920-an, Inggris menguasai sekitar separuh Muslim dan dunia serta mengalahkan kekaisaran Muslim terbesar dalam sejarah, yaitu Kekaisaran Ottoman. Tapi perluasan kekuasaan Eropa ini justru membantu mengembangkan sikap tidak puas sekaligus mendorong aksi kejam untuk melawan kekuasaan kekaisaran. Serangan Islam terhadap kekuasaan Barat membuka jalan bagi berbagai kelompok besar bahkan berskala internasional seperti Taliban, al-Qadea, Negara Islam, Hamas, Hizbullah serta ratusan militan atau pasukan terror Islam.
Sayangnya, kesimpulan bahwa terorisme modern "tidak ada hubungannya dengan Islam" atau bahwa "Islam adalah agama damai" jelas-jelas bertentangan dengan rekor historisnya. Pemikiran ini menggembosi negara-negara demokrasi modern. Yang paling penting adalah bahwa kita tidak mampu memahami bahwa Islam, di atas semuanya, sebuah proyek totaliter yang mencakup semua aspek kehidupan manusia; mulai dari yang spiritual hingga material, mulai dari hukum hingga pemerintahan hingga pakaian, makanan, seks, pajak dan masih banyak lagi. Totalitarianisme ini menolak demokrasi dalam bentuknya yang paling mendasar, karena berasal dari manusia belaka, bukannya dari sesuatu yang ilahi, dari Allah.
Orang-orang Muslim radikal modern mulai dari Hasan al-Banna', Sayyid Qutb, Abu A'la Mawdudi hingga Muslim Inggris radikal yang baru-baru ini dipenjara, Anjem Choudary, semuanya ngotot mengatakan bahwa karena hanya Allah yang bisa membuat undang-undang, maka ide bahwa manusia bisa membuat legislasi lewat demokrasi parlementer itu menjijikan, karena dia adalah ide tentang kemerdekaan bagi semua warga negara. Choudary, misalnya, menyampaikan penolakannya lewat istilah-istilah yang tidak jelas dalam pidatonya di depan publik:
"Tidak ada demokrasi. Tidak ada kemerdekaan," teriak Anjem Choudary melalui mikrofon kala itu. Tidak ada liberalisme, tidak ada sekularisme. Tidak ada Kristen. Tidak ada Yudaisme. Tidak ada Sikh. Tidak ada Budhisme. Tidak ada Sosialisme. Tidak ada Komunisme. Tidak ada Liberalisme. Tidak ada Demokrasi. Demokrasi, pergilah ke neraka! Demokrasi, pergilah ke neraka!"
Foto: Anjem Choudary (kanan), seorang Islam radikal Inggris yang baru-baru ini dijebloskan dalam penjara, berbicara dalam sebuah rptes di London, 21 Maret 2011 lalu. (Foto oleh Oli Scarff/Getty Images). |
Mungkin Anda tidak pahami lebih banyak hal radikal daripada ini. Yaitu, tatkala para akademisi Barat seperti John Esposito dan Juan Cole membela para ekstremis berpura-pura bahwa mereka sebetulnya mengartikan sebaliknya dari apa yang mereka katakan, maka kelemahan mereka para akademisi itu tersebar luas dalam masyarakat lainnya.
Sebagai contoh, berikut ini pernyataan Esposito seputar Sami Al-Arian, yang terbukti bersalah pada tahun 2006 karena memberikan barang dan jasa kepada kelompok teroris Palestina, Jihad Islam (Islamic Jihad ):
Sami adalah laki-laki rumah yang sangat berdedikasi...Sami Al-Arian adalah warga Amerika yang bangga, penuh dedikasi dan berkomitmen termasuk juga seorang warga Palestina yang bangga dan berkomitmen. Dia cendekiawan yang sangat cerdas, yang mampu mengungkapkan pemikirannya secara jelas sekaligus juga seorang aktivis intelektual, seorang pria yang punya suara hati dengan komitmen yang kuat terhadap perdamaian dan keadilan sosial.
Dan berikut ini, dia katakan lagi. Kali ini seputar serangan tragis 11 September 2001 (atas Menara Kembar Kantor Organisasi Perdagangan Dunia di New York): "11 September," katanya, "menyebabkan semua orang sadari fakta bahwa bukanlah upaya untuk menyelesaikan berbagai macam isu yang terlibat di sini, yang berkaitan dengan soal toleransi dan pluralisme, tetapi soal reaksi yang berubah menjadi bencana."
Dan di sini bagaimana dia berbicara tentang pelaku bom bunuh diri Palestina:
Jangan menyebut mereka pelaku bom bunuh diri, sebut mereka syuhadah (martir) karena mereka tidak melarikan diri dari sengsara kehidupan yang mereka alami. Mereka justru mempersembahkan hidup mereka. Hidup itu suci, tetapi beberapa hal seperti kebenaran dan keadilan itu jauh lebih suci daripada hidup itu sendiri. Mereka bukanlah orang-orang yang putus asa, mereka orang-orang yang penuh harapan...[Orang Israel] punya senjata, kita punya bom manusia. Kita mencintai maut, mereka mencintai hidup.
Cole juga berjuang keras membantu untuk tidak mengatakan hal itu apa adanya:
Itu karena dalam Bahasa Arab dan bahasa-bahasa lain, "Islam" merujuk kepada cita-cita agama kaum Muslim sehingga umat Muslim dan masyarakat dengan diksi Bahasa Inggris yang bagus sangat berkeberatan pada frasa seperti "terorisme Islam" atau "fasisme Islam."
Sebagai salah seorang apologet kenamaan bagi Islam yang paling lama bertahan, Cola adalah equivocator yang hebat. Artinya orang berkhianat atas nama Allah namun pada pihak lain tidak berbicara yang sebenarnya tentang Islam. Dia senantiasa siap dengan analogi yang meremehkan perilaku salah masyarakat Barat namun pada pihak lain menyembunyikan perilaku salah Islam. Tanggapannya yang senantiasa siap membantu cenderung mengecam Orientalisme demi semua kegagalan dunia Islam.
Wartawan Inggris, Allison Pearson pada tahun pernah 2016 menerbitkan tulisannya bertajuk, "It was Britain's hopeless tolerance which allowed Anjem Choudary's hate to thrive" (Toleransi Inggris yang sia-sia yang memungkinkan kebencian Anjem Choudary bertumbuh subur). Dalam artikelnya, Pearson dengan keras mengecam ketidakmampuan kita untuk menangkap salah satu laki-laki paling berbahaya negara selama dua dekade.
Banyak orang yang dipilih atau dipekerjakan untuk melindung warga negara Eropa tidak mau mengakui (failure) adanya radikalisme Islam (failure). Sikap ini menyebabkan kita dihadapkan kepada berbagai serangan teroris yang membunuh dan menyebabkan ratusan orang menderita cacat. Dalam kurun waktu sekitar dua puluh tahun, kita semua lantas menemukan diri hidup di kota kecil dan besar yang memusatkan perhatian pada persoalan keamanan. Kita takut untuk pergi ke jalan-jalan kota kita. Kita takut untuk berbelanja di toko-toko kita. Kita takut untuk menghadiri konser music rock atau untuk melihat-lihat gedung-gedung pemerintah. Sementara itu, ribuan masyarakat Yahudi meninggalkan Eropa terdorong oleh rasa takut yang dipicu oleh gelombang baru anti-semitisme yang diarahkan di banyak tempat oleh kaum fundamentalis Muslim. Prancis, dengan 750 zona larang bepergiannya (no-go zones) berikut populaasi Islam radikalnya yang mendapatkan perlakuan istimewa, adalah tempat yang paling parah terkena dampak, walau dia punya komunitas Yahudi Eropa yang paling besar di tengah-tengahnya.
Selama tiga dekade silam, masyarakat Barat tidak berdaya di hadapan ideologi-ideologi yang menantang nilai-nilai mereka yang paling mendasar. Setelah menolak banyak ungkapan ekstremis, fanatisme dan aksi kejam politik dan relijius; setelah meninggalkan imperialisme dan kolonialisme; dan setelah menjalankan undang-undang kejahatan berdasarkan kebencian (hate crimes), masyarakat Eropa dan Amerika masih dikecam oleh para aktivis pendukung prinsip-prinsip kebenaran politik yang radikal. Banyak kalangan di berbagai universitas AS dan Eropa pun senang dengan sikap fanatik yang keras. Dengan penuh semangat mereka berjuang mematikan kebebasan berbicara sehingga siapa saja yang menentang pandangan mereka, yang menghantam kritik kritik terhadap etnis, gender and minoritas agama akan langsung dikecam saat itu juga. Terlampau sering terjadi bahwa satu-satunya tanggapan terhadap sensitititas yang berlebihan ini muncul dari orang-orang fanatik berpendirian keras, yang semakin populer di berbagai negara seperti Honggaria. [2]
Dalam bukunya, The Rape of the Masters: How Political Correctness Sabotages Art (Pemerkosaan Para Suhu: Bagaimana Kebenaran Politik Mensabotase Seni), Roger Kimball menyelidiki kerusakan yang terjadi pada seluruh penjuru disiplin seni oleh para pemikir post –modern yang berpikir benar secara politik. Dalam kata pengantar bukunya (halaman xix), dia menulis:
Alasan kedua yang menyerang tradisi ...menjadi persoalan karena mereka merepresentasikan sebuah garis depan dalam perang yang lebih luas, yaitu perang terhadap tujuan dan bentuk budaya kita, terhadap pemahaman bersama kita atas apa yang biasa disebutkan oleh Bangsa Yunana, "kehidupan manusia yang baik." "Pemerkosaan terhadap para suhu"...menjadi bagian dari...suatu proses de-sivilisasi (atau penghancuran peradaban). Dengan kata lain, apa yang tengah kita saksikan bukanlah sekedar pengkhianatan terhadap suatu disiplin akademis; ia justru sebuah serangan terhadap sebuah peradaban, terhadap sebentuk cara untuk melihat dan menilai dunia dan tempat kita di dalamnya.
"De-siviliasasi." Namun, di sinilah kita bergerak, dibawa pimpinan sekelompok cendekiawan, gereja serta partai politik yang bersikap benar secara politik yang efektif menyerahkan peradaban kita kepada orang-orang yang justru membencinya.
Belakangan, Kimball menulis:
Kerapkali diketahui bahwa ideologi totaliter mengeksploitasi kebebasan demokratis persisnya supaya bisa menghancurkan kebebasan sekaligus menghapus demokrasi. Masyarakat demokratis mengkotbahkan toleransi, sangat bagus, sehingga orang totaliter yang cerfas dengan menuntut toleransi demi aktivitasnya sendiri sambil dengan teliti menghapuskan persyaratan-persyaratan yang memungkinkan adanya toleransi. (hal.79)
Itulah persisnya apa yang kita ijinkan terjadi di berbagai negara demokrasi Barat. Paduan dari kecenderungan ini mendambakan totalitarianisme sementara kaum Muslim menganggap salah satu negara paling demokratis di dunia, Israel sebagai penjahat. Mereka pun mengambil alih Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (SU-PBB), UNESCO, Dewan Hak Asasi Manusia, UNRWA serta lembaga-lembaga lain supaya bisa melakukan hal yang sama. Dewan Hak Asasi Manusia tidak pernah berhenti mengecam Israel meski selama ini jika pernah, ia jarang mengecam banyak tirani Muslim. Jika kita pernah berniat untuk menyelamatkan peradaban dan demokrasi Barat, kita harus cepat-cepat mengerahkan kekuatan untuk menentang semua pihak yang berupaya menghancurkannya menjadi barang rongsokan.
Dr. Denis MacEoin mengajar Bahasa Arab dan Kajian Islam serta menulis buku-buku serta banyak artikel seputar Islam, termasuk sebuah buku besar berjudul Obstacles to Integration yang belum diterbitkan. Dia adalah Distinguished Senior Fellow pada Gatestone Institute yang berbasis di New York.
[1] Beberapa penulis menerbitkan kritik mereka terhadap Said beserta karyanya dengan menekankan sikap bermuka duanya sekaligus ketidaktepatan pemikirannya. Di antara kritik yang terbaik adalah ulasan singkat Joshua Muravchik bertajuk "Edward Said Conquers Academia for Palestine", bab ketiga dari kajiannya yang lebih luas berjudul, Making David into Goliath: How the World Turned against Israel (Encounter Books, New York/London, 2014.)
[2] Tentang Honggaria, lihat Kirchik, The End of Europe, bab 2.