Salah satu sandera Barat yang Iran tahan adalah seorang ibu Inggris yang lugu, Nazanin Zaghari-Ratcliffe. Putrinya yang berusia lima tahun, Gabriella, juga disandera di Iran sampai rezim membebaskannya bulan lalu. Gambar: Nazanin Zaghari-Ratcliffe dan suaminya Richard Ratcliffe pada 2011. (Sumber foto: Wikimedia Commons). |
Tanggal 10 Oktober tahun ini. Ketika sebuah pesawat terbang dari Teheran dan tiba larut malam di London. Kala itu, di antara para penumpangnya, ada seorang gadis kecil berusia lima tahun. Namanya Gabriella. Terlepas dari namanya yang mirip, Gabriela bukan orang Spanyol, Portugis atau Italia. Ayahnya, Richard, orang Inggris. Ibunya Nazanin, orang Inggris berkewarganegaraan Inggris.
Nazanin Zaghari-Ratcliffe termasuk di antara orang-orang paling terkenal di antara lautan orang yang terkurung dalam penjara-penjara Iran. Statusnya dwi-kewarganegaraan. Dia dipenjara lima tahun karena tuduhan spionase tanpa sepotong bukti pun. Berkat kampanye pembebasannya oleh suaminya dan Kantor Urusan Luar Negeri Inggris, kasusnya berkali-kali terungkap ke publik dalam pers dan media Inggris lainnya.
Iran belum menanggapi berbagai permintaan resmi dan tidak resmi pembebasannya. Juga tidak menanggapi permintaan supaya diadakan pengadilan terbuka dan adil. Tampaknya, alasannya mungkin saja soal kebuntuan antara Inggris dan Iran mengenai pembayaran utang Inggris sebesar £450 juta (sekitar Rp 6,3 Triliun). Utang itu terjadi karena Inggris menolak mengirim tank yang semula dipesan almarhum Rezim Shah dan tidak dikirim selama lebih dari 40 tahun. Berbagai sumber senior pemerintah mengaku yakin Zaghari-Ratcliffe mungkin ditahan sebagai "jaminan" untuk mengamankan pembayaran utang.
Satu sumber mengatakan pada Nopember 2017:
Para pejabat Departemen Keuangan dan Luar Negeri Iran merencanakan bagaimana situasinya dapat diselesaikan tanpa melanggar sanksi PBB soal peralatan militer, yang diawasi oleh UE, sehingga bisa menghentikan pembayaran sekarang ini.
Mereka menambahkan bahwa uang itu dipegang oleh Pengadilan Tinggi atas nama Pemerintah, setelah Pengadilan Arbitrase Eropa memutuskan mendukung Iran pada tahun 2001.
Hingga akhir 2019, utang masih belum dibayar. Satu-satunya harapan Richard Ratcliffe saat ini adalah keputusan untuk mengizinkan putrinya kembali ke Inggris untuk memulai sekolah di sana mungkin menandakan ada kesediaan Iran untuk membiarkan ibunya juga kembali ke sana.
Nazanin memang perlu bertahun-tahun untuk memulihkan sebagian kesehatannya akibat siksaan. Laporan tentang kesehatannya yang tidak diobati, termasuk kesehatan mentalnya menunjukkan bahwa hukuman kurungan atasnya yang tidak adil telah menandai dirinya seumur hidup.
Penderitaan Nazanin terus menarik perhatian para pegiat dan sejumlah politisi. Tetapi fokus yang sebenarnya cenderung untuk mengaburkan banyak kasus pelecehan lain yang dilakukan oleh rezim teokratis yang kejam pada rakyatnya sendiri dan beberapa orang asing. Kasus Nazanin bukan satu-satunya hal yang mengalihkan perhatian publik dari ketidakadilan domestik lain di Iran.
Tahun ini saja, Iran menjadi berita internasional karena perilaku agresifnya di Timur Tengah terkait sikapnya terhadap Amerika Serikat dan Inggris. Menangkap kapal tanker minyak di Selat Hormuz, melakukan serangan drone yang diklaim dilakukan oleh Suku Houthi yang didanai Iran di Yaman terhadap instalasi minyak Saudi, semakin besarnya tingkat pengayaan uranium yang membuat percecokan antara AS dan Eropa mengalami jalan buntu. Persoalan semakin meningkatnya pembangunan pasukan Hizbullah di Libanon dan Suriah sepanjang perbatasan dengan Israel. Pasukan itulah yang mengeluarkan ancaman teror yang mematikan untuk membunuh semua orang Yahudi di dunia dan menghancurkan negara Israel. Termasuk ancaman baru untuk menghapus Israel dari peta terlepas dari soal apakah Kedua Belas Imam kembali ke bumi atau tidak. Sebagian besar aksi agresif, tentu saja menciptakan ancaman perang antara Iran dan Israel yang mungkin semakin jauh mengobarkan Timur Tengah:
"Secara keseluruhan, serangan Israel atas Libanon dan Suriah bulan lalu dan mungkin juga atas Irak, terlihat bahwa serangan di Arab Saudi dan pernyataan pejabat Iran dan Hizbullah menjadi bagian dari pola yang lebih besar. Untuk menjebak, Israel dan Iran dalam konflik yang semakin meningkat di seluruh penjuru kawasan. Dalam jangka panjang, strategi "jembatan darat" Iran yang menghubungkan Teheran sampai pantai Mediterania melalui rantai negara-negara klien yang berdekatan di Irak, Suriah, dan Lebanon, menunjuk langsung kepada Israel. "
Ancaman dan aksi macam itu menarik perhatian dunia. Dengan demikian, ia memungkinkan Teheran melanjutkan aksi-aksi kejahatannya yang berlebihan di dalam negeri namun tetap membisu menghadapi teguran keras dari luar negeri.
Aksi kejam berlebihan seharusnya tidak mengejutkan kita. Selama 40 tahun, Iran terkenal reputasinya sebagai negara yang lebih banyak mengeksekusi orang per kapita dibanding Cina sekalipun. Ia mengeksekusi lebih banyak wanita daripada negara lain. Selama perdana menterinya yang "reformis" Perdana Menteri Rouhani berkuasa saja, sebanyak 97 wanita sudah dieksekusi mati. Yang paling baru eksekusi mati atas wanita dilakukan September tahun ini.
Secara umum, Iran memperlakukan perempuan secara kasar. Hukum paksa untuk mengenakan jilbab mendorong terjadinya banyak protes. Agustus tahun ini, seorang wanita berusia 20 tahun, Saba Kord-Afshari, dijatuhi hukuman 24 tahun penjara karena menolak mengenakannya. Menurut Tarek Fatah dalam sebuah artikelnya di Toronto Sun, persidangannya dimulai 19 Agustus. Sang gadis didakwa "menyebarluaskan korupsi dan pelacuran dengan melepaskan jilbabnya dan berjalan-jalan tanpa mengenakan jilbab." Setelah satu abad, ketika berbagai pretasi hak asasi perempuan tercapai di Barat, kerasnya hukuman ini menjadi sangat menonjol kekejamannya. Dan tentang itu, Fatah memperlihatkan:
"Seperti Iran, para wanita Arab Saudi dan wanita Muslim lain di seluruh dunia berjuang supaya bebas dari jilbab. Soalnya, mereka menganggapnya sebagai simbol politik yang tidak ada hubungannya dengan kesalehan. Reaksi kaum liberal di Barat pun membingungkan. Namun, di sini terlihat semakin banyak feminis, kalangan kiri dan media liberal yang memuja jilbab sebagai simbol eksotis pembebasan perempuan yang harus dipeluk. "
Pada 10 September tahun ini, Amnesty International (AI) mengatakan bahwa Iran menjadi satu-satunya negara di dunia yang melarang wanita menonton pertandingan sepakbola. Lembaga itu melakukan demikian sebagai bagian dari pengumuman lebih luas yang mengecam kematian seorang wanita Iran berusia 29 tahun, Saha Khodayari. Khodayari penggemar sepakbola (seperti banyak wanita Iran lain yang dipaksa menonton permainan itu di televisi atau komputer mereka) yang mengenakan pakaian pria, wig dan kumis lalu menyamar pergi ke pertandingan itu. Maret lalu, dia menonton pertandingan antara tim kesukaannya Esteqlal melawan saingannya dari Uni Emirat Arab (UAE), al-'Ayn. Penjaga melarangnya masuk ketika mengidentifikasinya sebagai wanita. Dia pun ditahan selama dua hari di Shar- e Rey atau Penjara Qarchak, penjara wanita terbesar negara itu. Qarchak dilukiskan oleh Lembaga Aktivis Berita Hak Asasi Manusia (Human Rights Activists News Agency) sebagai berikut;
"Bagi para tahanan, kondisi penjara itu tidak tertahankan... kondisi-kondisi itu tercakup "meledaknya penyakit-penyakit yang berbahaya". Kondisi-kondisi itu disebabkan oleh kondisi geografis, kecilnya tempat dan padatnya penghuni, kekurangan air dan fasilitas sanitasi, kekerasan serta tidak adanya pemisahan para narapidana."
Menurut Amnesty International (AI):
"Khodayari pun dibebaskan dengan uang jaminan. Kemudian dia dipanggil ke Pengadilan Revolusioner di Teheran dua pekan silam (pada 2 September). Dia menghadapi dakwaan terkait dengan insiden stadiun sepakbola (baca: menyamar sebagai laki-laki). Dia didakwa "secara terbuka melakukan perbuatan dosa karena ... tampil di publik tanpa jilbab' dan "menghina petugas.' Kasus ini pun ditunda. Dan, ketika meninggalkan ruang pengadilan, dia maah menyirami seluruh tubuhnya dengan bensin lalu membakar diri di luar pengadilan. Menurut petugas rumah sakit, 90% tubuhnya terbakar sehingga dia meninggal dunia kemarin [9 September 2019\."
Khodayari tampaknya menderita sakit bipolar. Tampaknya pikiran bahwa dia dikembalikan ke penjara yang sama selama enam bulan menakutkannya sehingga mendorong dia mencabut nyawanya dengan cara mengerikan. Dalam sistem yang lebih manusiawi, sakitnya itu bakal ditangani.
Dalam skema masalahnya, nasib wanita itu tampaknya mungkin tidak banyak diperhitungkan. Tetapi, sampai sebegitu jauh nasibnya bukan kecelakaan atau kasus nasib buruk, ketika persoalan ketidakadilan dan keputusan pengadilan yang tidak proporsional jauh dari luar biasa. Bukan wanita saja yang mengalami perlakuan buruk yang mengerikan. Para penulis, artis, pembuat film adalah kalangan lain yang kerapkali ditangkap dengan alasan karya mereka menantang kesucian rezim.
Pada tanggal 13 October 13 lalu, seorang produsen film, penulis dan satiris Kiumars Marzban menjalani hukuman penjara selama 23 tahun 9 bulan. Dan hukumannya itu diperkuat oleh pengadilan banding.
"Dia dijatuhi selama 11 tahun penjara karena 'bekerja sama dengan sebuah negara yang bermusuhan', tujuh tahun dan enam bulan penjara karena penodaan agama, satu setengah tahun penjara karena 'propaganda melawan negara,' tiga tahun dipenjara karena 'menghina Pemimpin Tertinggi serta Pendiri Revolusi,' dan sembilan penjara karena 'menghina pihak berwenang.'"
"Marzban termasuk di antara korban tindakan keras negara di Iran baru-baru ini yang mengakibatkan terjadinya hukuman penjara yang luar biasa keras bagi jurnalis, pengacara hak asasi manusia, para wanita yang memprotes aturan jilbab wajib, para aktivis hak-hak buruh, dan lain-lain. "
Sumber yang sama mengatakan:
"Hanya dalam satu bulan terakhir, Human Rights Watch (HRW) telah mendaftarkan berbagai kasus dari 13 aktivis yang dijatuhi hukuman total lebih dari 100 tahun karena aksi damai mereka. Termasuk di dalamnya kasus wartawan dan aktivis buruh Sepideh Gholian, yang menghadapi hukuman penjara 19 tahun dan aktivis hak buruh terkemuka Esmail Bakhshi, yang menerima hukuman 14 tahun.
"Para analis yakin bahwa tindakan yang keras dan meningkatnya intoleransi terhadap segala bentuk perbedaan pendapat adalah tanggapan Iran terhadap ancaman internal dan eksternal yang dirasakan. Termasuk di dalamnya potensi kerusuhan terkait memburuknya ekonomi dan kampanye 'tekanan maksimum' yang dilancarkan oleh Pemerintahan Presiden AS Donald Trump."
Radio Free Europe, pada kenyataannya, bersikap lunak. Bahkan sampai pada titik yang bisa dikatakan tidak berani. Sejak Revolusi para pengikut Khomeini tahun 1979, ketidakadilan dalam negeri jauh lebih luas dari itu; sehingga mengklaim bahwa kekejaman dilakukan sebagai respons terhadap "ancaman yang dirasakan", paling tidak, jelas-jelas omong kosong. Pada bulan Januari tahun ini, Amnesty International mengeluarkan laporan tentang persoalan yang berkembang di Iran pada tahun 2018, yang digambarkannya sebagai "tahun yang memalukan" (a year of shame):
Sepanjang tahun ini, lebih dari 7.000 pengunjukrasa, mahasiswa, wartawan, aktivis lingkungan, pekerja dan pembela hak asasi manusia, termasuk pengacara, aktivis hak-hak perempuan, aktivis hak-hak minoritas dan aktivis serikat pekerja, ditangkap. Banyak yang dilakukan dengan sewenang-wenang. Ratusan orang dijatuhi hukuman penjara atau cambuk. Setidaknya 26 pengunjukrasa tewas. Sembilan orang yang ditangkap sehubungan dengan protes tewas dalam tahanan dalam kondisi yang mencurigakan.
"2018 akan dicatat dalam sejarah sebagai 'tahun yang memalukan' bagi Iran. Sepanjang tahun ini, otoritas Iran berusaha melumpuhkan tanda-tanda perbedaan pendapat dengan meningkatkan tindakan keras mereka terhadap hak kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul secara damai sehingga melakukan penangkapan massa pengunjukrasa, "kata Philip Luther, Direktur Amnesty International Timur Tengah dan Afrika Utara dan Direktur Advokasi."
Aksi kejam keji Iran tampaknya sudah dianggap "hal yang biasa."
Ketika menulis artikel dalam Harian Financial Times, 13 Oktober lalu, wartawan Iran Najmeh Bozorgmehr menjelaskan panjang lebar bahwa di negeri itu ada aksi tindakan keras terhadap elit politik dan bisnis Iran. Pendorong utama artikelnya adalah bahwa, setelah perubahan yang seharusnya menuju "reformasi" di bawah Perdana Menteri Rouhani, kelompok garis keras mendapatkan kembali kekuatan dan bahwa upaya anti-korupsi mereka hanya menutupi "tujuan yang lebih luas". Tujuan utama mereka dijelaskan oleh Bozormehr dalam istilah berikut:
... bagi mereka yang menggerakkan kampanye, manfaatnya lebih besar daripada kerugiannya. "Berbagai sanksi telah menciptakan kesempatan bagi para Pengawal [Revolusioner] untuk mempersiapkan landasan bagi metamorfosis internal dengan cara bekerja sama dengan pihak pengadilan," kata salah satu orang dalam rezim yang dekat dengan garis keras. "Para pengawal sedang berkumpul hendak menyingkirkan reformis dari kekuasaan."
Tujuan terakhir dari orang-orang yang terlihat dalam perjuangan kekuasaan adalah untuk mempengaruhi perlombaan suksesi untuk menggantikan Khamanei, pemimpin tertinggi Iran yang kini berusia 80 tahun.
Kampanye anti-korupsi dipimpin tidak lain oleh ulama garis keras Ebrahim Raisi. Ia calon presiden yang kalah pada 2017 lalu pada presiden yang sedang berkuasa Rouhani. Dia kemudian diangkat sebagai Kepala Pengadilan, Maret 2019 dan sebagai Wakil Kepala Dewan Pakar, sebuah badan yang bertanggung jawab terhadap penunjukan Pemimpin Tertinggi selanjutnya. Raisi sendiri luas dianggap sebagai ulama yang paling mungkin untuk menggantikan peran Pemimpin Tertinggi ketika Khamanei pensiun atau meninggal dunia.
Tetapi Raisi juga punya reputasi yang mengganggu kekerasan kekerasan peradilan. Pada awal usia tigapuluhan, ia diangkat menjadi jaksa penuntut umum dari tiga kota provinsi. Tetapi pada tahun 1985 dia diangkat sebagai wakil jaksa penuntut untuk ibukota, Teheran. Tiga tahun setelah itu, ia menjadi anggota "Komisi Kematian" yang beranggotakan empat orang. Komisi ini bertanggung jawab atas serangkaian eksekusi massal, ketika kaum kiri, pembangkang, dan anggota oposisi Mojahedin-e Khalq dibantai dalam kurun waktu beberapa minggu. Amnesty International sudah menerbitkan laporan 201 halaman tentang eksekusi tahun lalu. Sekitar 30.000 orang ditembak atau digantung selama periode singkat itu. Tragisnya, sekian lama, rezim itu berhasil memaksakan orang sepenuhnya bungkam atas persoalan ini.
Dengan begitu banyak darah di tangannya, tidak mengherankan bahwa Raisi, segera setelah diangkat menjadi Kepala Jaksa Penuntut Umum, mengangkat tidak lain dari Ali Al-Qasi Mehr sebagai Jaksa Penuntut Teheran yang baru. Al-Qasi Mehr sendiri punya reputasi sebagai orang yang berhaluan keras yang telah lama mendukung eksekusi publik dan amputasi sebagai cara mempertahankan kendali baik dalam kasus-kasus besar maupun kasus kecil.
Ketika tekanan tumbuh atas publik Iran yang seringkali putus asa itu berasal dari para tirannya sendiri, para pendukung penindasan internal yang paling sulit menyamai ekspansi internasional dan persiapan militer mengklaim kembali hak mereka untuk memerintah tanpa belas kasihan. Ini sama pentingnya dengan mengawasi perkembangan internal ini ketika dia memantau datang dan perginya Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC), atau Hizbullah atau kekacauan yang meluas di Suriah.
"Juni lalu", menurut Kantor Berita Reuters, "Raisi mengaku 'ancaman internal terhadap Republik Islam itu jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan ancaman eksternal.' Dan itu menjadi sinyal yang jelas bahwa dia tidak bakal bertoleransi terhadap perbedaan pendapat."
Tekanan yang tinggi memang bisa menyebabkan ledakan. Kejahatan terhadap kemanusiaan berikut kepicikan rezim, entah berkaitan dengan hak wanita, hak artis, hak gay atau hak kaum minoritas agama seperti Bahai pasti berdampak terhadap jatuhnya despotisme totaliter yang paling keras ini.
Dr. Denis MacEoin (meraih gelar PhD dari Universitas Cambridge) mengkhususkan diri dalam kajian tentang Iran selama lebih dari 50 tahun. Ia juga tahu banyak tentang Islam Shiah yang dipraktekkan di Iran.