Apakah yang Rezim Islam Iran harus takuti dari umat Kristen, Bahai, Zoroaster, Muslim Sufi dan Muslim Sunni atau Yahudi negeri itu? Namun, perlakukannya terhadap kaum minoritas ini begitu menindas sehingga tampaknya tidak masuk akal untuk bertanya jika para ulama itu mungkin takut terhadap apa yang anggap tantangan terhadap fantasi mereka tentang identitas Islam murni. Foto: Perusakan sebuah Pemakaman Bahai yang bersejarah di Shiraz, Iran, oleh Korps Garda Revolusioner Islam. (Sumber foto: Baha'i World News Service). |
Rezim yang kini memerintah Iran didirikan pasca-revolusi pada awal 1979. Dan setelah empat puluh tahun, ia tetap berkuasa. Tidak ada yang luput dari perhatiannya sehingga hubungan antara Iran dan Barat, terutama dengan Amerika Serikat, tidak pernah sehat. Dan dalam beberapa bulan terakhir ini, hubungan ini semakin memburuk.
Amerika Serikat pun karena itu, semakin keras menjatuhkan sanksi atas ulama musuhnya. Termasuk beberapa sanksi atas Pemimpin Tertinggi Iran garis keras (Rahbar-e A'zam), Ayatollah Ali Khamenei yang tua namun masih kuat. Sanksi-sanksi ini dibenarkan karena beberapa alasan.
Iran terlibat secara besar-besaran dalam konflik Timur Tengah di luar perbatasannya (misalnya, di Suriah, Yaman, Irak, Libanon, Venezuela dan Jalur Gaza). Dukungan finansial, moral, dan fisiknya bagi organisasi-organisasi teroris besar seperti Hizbullah, Hamas dan Jihad Islam Palestina. Pemberian dana dan senjata bagi Korps Garda Revolusioner Islami (IRGC) miliknya sendiri, yang kini ditetapkan sebagai sebuah organisasi teroris oleh AS. Melaksanakan eksekusi mati terhadap para pembangkang, homoseksual, penganut agama minoritas, antara lain. Dan ini membuatnya bertanggung jawab atas lebih dari separah semua eksekusi mati yang tercatat di seluruh dunia. Pemberlakuan aturan ketat soal sopan-santun atas perempuan, yang dapat ditangkap hanya karena kurang tepat mengenakan jilbab atau tidak mengenakannya sama sekali, sebuah kebijakan yang diperkuat pada tahun 2016 dan 2019 melalui perekrutan ribuan polisi moralitas. Penangkapan massal, penjeblosan orang dalam penjara serta pembunuhan para pembangkang, aktivis hak-hak asasi manusia, agama minoritas, dan lainnya, dengan sedikit atau tanpa bukti dan tanpa akses untuk membela diri. Sekaligus juga penolakannya terhadap upaya diplomatik untuk mengamankan pembebasan wanita Inggris-Iran yang tidak bersalah Nazanin Zaghari -Ratcliffe karena pemerintahnya menolak untuk mengakui standar internasional kewarganegaraan gandanya.
Ada juga masalah kebencian Iran yang tak henti-hentinya terhadap Israel, sebuah negara yang bahkan tidak berbatasan dengannya. Kebencian ini diekspresikan dalam nyanyian marg bar Isra'il, "Matilah Israel" selama demonstrasi. Atau dinyanyikan usai khotbah masjid. Juga dalam aspirasi supaya "menghapuskan nama Israel dari peta." Bersamaan dengan itu semua ada sikap antisemitisme-nya yang dalam, penyelundupan senjata illegal bagi para teroris serta berbagai serangannya atas kapal di Teluk akhir-akhir ini
Ada banyak sekali pelanggaran di dalam dan di luar negeri. Beberapa pelanggaran pun, sudah lebih dari cukup untuk mengecam negara mana pun sebagai negara paria. Namun, para penguasa ulama Iran dan banyak pembantunya, sebenarnya bangga karena mereka sudah lama menolak bergabung dengan negara-negara demokratis sekuler Barat. Lagi pula, itulah tujuan revolusi mereka. Ayatollah Ruhollah Khomeini dan revolusioner terkemuka lainnya sangat dipengaruhi oleh penulis, ahli etnografi sekaligus komentator budaya, Jalal Al-e Ahmad (wafat 1969).
Karya kenamaan Al-e Ahmad dalam Bahasa Persia adalah Gharbazadegi. Banyak sekali terjemahan. Misalnya "West-struckness" (Hantaman terhadap Barat), "Westoxification" (Meracuni Barat) atau "Occidentosis." Dalam bukunya, sang penulis berpendapat masuknya pemikiran serta hasil perjuangan budaya yang menyenangkan (cultural pursuit) seperti pakaian, musik, film, pendidikan dan banyak lagi ke dalam negeri Iran justru merusak nilai-nilai peradabannya yang sudah sangat tinggi. Karena itu, perlu pertimbangan. Budaya Iran sudah punya sejarah panjang. Mulai dari filsafat Ishrak sampai puisi-puisi yang dipengaruhi oleh Sufi (dengan penyair-penyair berstandar internasionalnya seperti Hafez, Saadi dan Rumi) hingga kaligrafinya yang menggetarkan jiwa. Musiknya yang sangat indah mempesona dan spiritual Syiah. Taman-taman (yang merupakan taman pertama di negara mana pun sehingga memberi kita kata "surga", yang diucapkan dalam Bahasa Yunani sebagai ferdows), sampai arsitekturnya di berbagai istana dan masjid. Al-e Ahmad tampaknya yakin bahwa cara-cara Barat mengancam budaya itu. Perusakan terjadi secara mengerikan karena ambisi Westernisasi Raja Pahlevi pertama, yaitu Reza Shah beserta puteranya. Putranya ini, adalah penguasa penghuni (terakhir) Singgasana Merak (Peacock Throne). Namanya Mohammad Reza Shah (yang digulingkan pada 1979).
Al-e Ahmad, adalah putra seorang ulama. Banyak budaya asing berhasil dia baca. Dia sendiri pun menjalani hidup sebagai seorang Marxis. Meski demikian ia sampai pada kesimpulan untuk melihat Syiahisme sebagai jalan untuk menolak Barat yang mengganggu. Karena itu, ketika Ayatollah Khomeini berkuasa pada Januari 1979, dia juga yakin bahwa semua orang Iran harus dibujuk atau dipaksa masuk dalam alternatif berbasis agama dengan cara-cara Barat.
Ada keyakinan mendalam bahwa ada jarak yang harus dilestarikan antara Kaum Shiah Iran dan Dunia Barat. Barat bagaimanapun dilihat Iran sebagai musuh pada tingkat pribadi dan nasional. Keyakinan ini membuat rezim yang berkuasa secara tidak tergoyahkan mengkotbahkan sikap anti-Barat berikut aktivitas mereka.
Dari banyak hal yang ada dalam daftar di atas, kaum minoritas juga disebutkan. Dan Republik Islam Iran mendapatkan nilai negatif (negative distinction). Ketika pada Juni 2019, Departemen Luar Negeri AS menerbitkan laporan besar-besaran tentang kebebasan beragama internasional pada tahun 2018, kenyataan itu terungkap. Seperti laporan-laporan terdahulu, ringkasan yang diteliti dengan baik ini mencakup semua negara. Bagian Laporan tentang Iran menjadi salah satu yang terpanjang. Paling tidak karena Republik Islam memperlihatkan hampir tidak ada kebebasan beragama. Pengamatan atas aspek praktik Iran ini sangat mengguncang. Ia bukan saja menunjukkan bahwa ada tingkat intoleransi yang tinggi tetapi juga kepicikan yang luar biasa. Yang harus orang pertanyakan, adalah apakah Rezim Islam harus takut terhadap umat Kristen Baha'i, Zoroaster, Sufi dan Muslim Sunni atau Yahudi negeri itu? Lalu mengapa perlakuan terhadap kaum minoritas ini sangat represif. Karena itu, tampaknya tidak masuk akal untuk bertanya apakah para ulama mungkin takut dengan apa yang mereka anggap sebagai tantangan terhadap fantasi mereka tentang identitas Islam murni.
Laporan "Kebebasan Beragama" tentang Iran terlalu panjang untuk diringkas secara rinci. Namun, akan sangat berharga untuk mengutip dan meringkaskannya di sini. Ringkasan eksekutifnya dimulai dengan penjelasan tentang posisi pemerintah dan hukum secara keseluruhan tentang hak-hak keagamaan (dan banyaknya kekurangan mereka):
Konstusi mendefenisikan negara sebagai Republik Islam dan menetapkan Islam Shiah dari Dua Belas Imam Ja'afari sebagai agama resmi negara. Dikatakan bahwa semua hukum dan peraturan harus didasarkan pada "kriteria Islam" yang merupakan interpretasi resmi syariah. Konstitusi menyatakan warga negara akan menikmati hak asasi manusia, politik, ekonomi, dan lainnya, "sesuai dengan kriteria Islam." KUHP menjatuhkan hukuman mati karena berupaya mengajak orang beralih agama (proselitytizing) serta upaya kaum non-Muslim untuk memurtadkan Muslim. Termasuk juga atas moharebeh ("permusuhan terhadap Tuhan") dan sabb al-nabi ("menghina Nabi"). Menurut KUHP, penerapan hukuman mati sangat beragam. Tergantung pada agama pelaku dan korban. Undang-undang melarang umat Muslim mengubah atau melepaskan keyakinan agama mereka. Konstitusi juga menetapkan lima aliran Islam non-Ja'afari [empat aliran Sunni dan aliran Syiah Zaydi] harus "diberikan penghormatan penuh" dan status resmi dalam hal pendidikan agama dan urusan pribadi tertentu. Konstitusi menyatakan Zoroaster, Yahudi, dan Kristen (tidak termasuk yang pindah agama dari Islam) adalah satu-satunya minoritas agama yang diakui yang diizinkan untuk beribadah dan membentuk masyarakat agama "dalam batas-batas hukum."
Lebih jauh, laporan itu mencatat bahwa;
Sejak 1999, Iran ditetapkan sebagai "Negara dengan Perhatian Khusus" (CPC) berdasarkan UU Kebebasan Agama Internasional tahun 1998. Ketetapan itu dijatuhkan atasnya karena terlibat atau bertoleransi terhadap khususnya pelanggaran kebebasan beragama yang berat. Pada 28 Nopember, Menteri Luar Negeri AS pun kembali menetapkan Iran sebagai sebuah CPC.
Gonabadis adalah penganut Shiah pengikut langkah spiritual Sufisme. Jumlah mereka berkisar antara dua sampai lima juta jiwa. Bisa jadi lebih. Bertahun-tahun mereka dianiaya. Menurut Tara Sepehri Far dari Human Rights Watch: "Sufisme berakar sangat dalam dalam budaya Iran. Mereka tidak berbeda dari cara masyarakat Iran menjalankan Islam pada masa-masa awal." Dan mereka adalah kaum Sufi Shiah, bukan kaum Sufi Sunni. Jadi mengapa ada penganiayaan ini? Karena mereka merepresentasikan tantangan terhadap doktrin hukum Shariah ulama radikal yang menerapkan system politik-relijius. Namanya sistem Velayat-e Faqih dari Ayatollah Khomeini yang berarti diperintahi oleh Pemerintahan Teokratis Islam.
Pada 2006, sebuah tempat suci Sufi di Qom dihancurkan setelah Ayatollah Hossein Noori-Hamedani, Ayatollah Hossein Noori-Hamedani, mengatakan tata tertib keagamaan bisa "berbahaya bagi Islam." Saeid Golkar, seorang mitra senior dalam bidang kebijakan Iran di Lembaga Kajian Chicago Council on Global Affairs yang menjelaskan soal "bahaya" ini:
Biasanya, kaum Darwish itu tidak secara politis terlibat. Satu-satunya aksi politik mereka adalah terlibat dalam Pemilu dan mendukung kaum reformis.
Ada jutaan penganut Sufi di Iran. Dan mereka mengikuti para pemimpin mereka. Jutaan orang ini bisa berdampak terhadap Pemilu apapun.
Terkait dengan umat Kristen, laporan itu mencatat:
Menurut statistik dari Database World Christian, ada sekitar 547.000 umat Kristen [di Iran], meskipun beberapa perkiraan menunjukkan mungkin ada lebih banyak lagi umat Kristen daripada yang dilaporkan. Sementara Pusat Statistik Pemerintah Iran melaporkan ada 117.700 umat Kristen. Sedangkan Elam Ministries, sebuah organisasi Kristen, memperkirakan bahwa mungkin ada antara 300.000 dan satu juta umat Kristen.
Secara teoritis umat Kristen adalah komunitas yang diakui dan dilindungi berdasarkan Hukum Syariah. Meski demikian, banyak masyarakat Iran menderita penganiayaan. Terutama mereka yang berpindah agama dari Islam yang membuat mereka murtad. Berdasarkan Hukum Islam, orang yang beralih agama bisa dieksekusi mati. Meski tidak umum, praktek ini kadangkala terjadi. Faktor utama yang memaksakan hukuman adalah gagasan bahwa meninggalkan Islam itu merupakan pengkhianatan terhadap negara atau masyarakat - sesuatu yang sepenuhnya relevan dengan Islam politik. Sebagai salah satu pemimpin terkemuka Islam Sunni, Sheikh Yusuf al-Qaradawi, dalam sebuah siaran televisi pada 2013 pernah menjelaskan:
"Jika mereka [kaum Muslim] bebas dari hukuman karena beralih agama/murtad, maka Islam tidak bakal ada sekarang ini."
Di Iran, hak umat Kristen itu terbatas:
Pihak berwenang bisa menutup gereja kemudian menangkap para pemimpinnya jika jemaat gereja tidak mendaftarkan diri. Atau jika orang-orang yang tak terdaftar mengikuti upacara. Orang-orang yang beralih agama menjadi Kristen tidak diakui sebagai umat Kristen berdasarkan undang-undang. Mereka mungkin juga tidak didaftarkan sehingga tidak berhak mendapatkan hak-hak yang sama seperti anggota komunitas Kristen yang diakui.
Hidup sebagai umat Kristen di Iran itu sulit. Selama beberapa dekade, penderitaan komunitas pribumi Bahai menjadi salah satu contoh penganiayaan agama paling mengerikan di dunia modern. Padahal, kaum Bahai (yang muncul di Iran pada abad ke-19) adalah kaum beriman yang tidak politis di kancah perdamaianan dunia. Mereka memperjuangkan persaudaraan manusia serta penghapusan prasangka, kesetaraan jenis kelamin dan kesatuan agama-agama. Jadi bukan ancaman. Tetapi tanpa ampun mereka terus diganggu oleh rezim. Sekarang ini, penganiayaan sama banyaknya dengan empat puluh tahun yang lalu.
Pasca-revolusi 1979, satu demi satu semua tempat suci agama itu secara sistematis dihancurkan. Makam-makam mereka (yang dirancang bagai taman-taman) nyaris semuanya dibuldoser. Jenazah-jenazah dibongkar keluar. Salah satu makam berada di Shiraz. Tempat jenazah sembilan wanita serta seorang gadis Bahai berumur 17 tahun dimakamkan setelah menjalani hukuman gantung pada 1983 karena mengajarkan pelajaran moral kepada anak-anak. Dan mereka semua menolak mengingkari agama mereka. Lebih dari 950 jenasah digali dari kubur dan dibuang.
Berbagai usaha ditutup tanpa ada uang ganti-rugi. Kaum muda Bahai dilarang sekolah atau tetap sekolah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Penganut Bahai yang tua tidak memperoleh tunjangan dalam sistem pensiun. Ratusan orang dipenjara murni karena agama mereka. Banyak juga yang dibunuh. Berbagai bangunan milik Bahai dibakar. Dan sejak 2013, penganiayaan semakin meningkat. Tidak berkurang. Menurut sebuah laporan dari Komunitas Internasional Baha'i:
Situasi yang dihadapi "Agama Bahai" tidak berubah sejak Presiden Hassan Rouhani naik ke puncak kekuasaan, Agustus 2013. Meskipun dia berjanji mengakhiri diskriminasi agama. Sejak pelantikannya, sedikitnya 283 penganut Bahai ditangkap, ribuan dilarang memasuki pendidikan tinggi. Sedikitnya 645 insiden penindasan ekonomi. Berkisar dari intimidasi serta ancaman terhadap usaha-usaha milik Bahai yang ditutup oleh pihak berwenang. Lebih dari 26 bahan propaganda Bahai disebarluaskan di media Iran selama Pemerintahan Presiden Rouhani.
Baha'i berpusat (World Center ) di Haifa dan di luar Acco di Israel, negara yang paling dibenci oleh rezim. Kenyataan ini saja sudah bisa digunakan untuk mengecam para penganutnya sebagai agen spionase anti-Iran yang suka campurtangan.
Selama empat puluh tahun, PBB, pemerintah negara-negara, termasuk AS dan Uni Eropa, Parlemen Eropa dan berbagai lembaga swadaya masyaakat (LSM) seperti Human Rights Watch, dan Amnesty International, termasuk komunitas internasional berulangkali mengecam Pemerintah Iran atas penganiayaan penganut Baha'i negara itu. Namun rezim tidak sekali pun bergeser dari tekadnya untuk mencekik komunitas yang damai ini. Malah, kenyataannya, protes kadangkala memicu aksi penganiayaan yang semakin meningkat.
Lembaga-lembaga tertinggi dunia pun memprotes semua diskriminasi agama dan penganiayaan ini. Namun semuanya ditentang. Ini menjadi indikasi kuat dari tekad Iran untuk menolak Barat berikut nilai-nilainya. Dengan demikian, seruan hak asasi manusianya menjadi bukti dari kelemahan dan demokrasi serta korupsi terhadap gharbzadegi (Hantaman Terhadap Barat). Inilah saatnya bias itu diakhiri. Bukan melalui perang. Tetapi melalui dukungan bagi rakyat Iran yang sangat menginginkan kebebasan mereka sendiri. Sebuah rezim yang mampu mengabaikan norma-norma kebebasan beragama dengan begitu kejam tidak layak dihormati. Rakyat Iran yang telah berjuang demi kebebasan mereka selama bertahun-tahun ini layak mendapatkan bantuan langsung dari kita.
Denis MacEoin PhD meraih gelar MA dan Ph.D dari Universitas Edinburg dan Cambridge dalam Bidang Persia dan Kajian Persia/Kajia Iran. Ia pakar internasional soal Agama Bahai serta Mitra Senior Kenamaan Lembaga Kajian Gatestone Institute yang berbasis di New York.