|
Pembantaian Umat Kristen
Suriah: Para pejihad Islam beramai-ramai memperkosa seorang wanita Kristen berusia 60 tahun sebelum merajamnya dengan batu sampai mati. Korbannya, Susan Grigor (atau "Gregory"). Insiden menyedihkan itu terjadi di Taqoubiya, sebuah desa Kristen kecil di Propinsi Idlib. Jenazahnya ditemukan 19 Juli lalu setelah pastor gereja setempat yang cemas mengirim umatnya menyelidiki keberadaannya setelah tidak seorang jemaat pun melihatnya dalam waktu lama. Jemaat akhirnya menemukan jenazahnya tergeletak terkoyak-koyak bersimbah darah di lahan sebuah ladang dekat rumahnya.
Otopsi memperlihatkan bahwa Susan sudah diperkosa dan disiksa berulangkali selama lebih dari 9 jam sebelum dia akhirnya dibunuh dengan rajaman batu. Para laki-laki yang bertanggung jawab atas kematiannya diyakini adalah anggota kelompok pejihad yang bertautan dengan al-Qaeda yaitu Kelompok al-Nusra. Dilukiskan sebagai wanita saleh, Susana tidak pernah menikah. Sepanjang hidupnya dijalaninya sebagai seorang perawan. Walau tidak punya anak, Susan dilaporkan mencintai anak anak. Saat pensiun, dia mencurahkan banyak waktunya mendidik anak-anak muda dari gerejanya setempat.
Sebelumnya, Susana adalah guru Bahasa Arab selama lebih dari 30 tahun. Menurut sebuah berita berbahasa Arab, beberapa pembunuhnya "berasal dari kawasan itu. Dengan kata lain, orang-orang yang memperkosa kemudian merajamnya mungkin saja dari antara bekas murid yang diajarkannya Bahasa Arab di sekolah selama masa 30 tahun...Tentu saja, tidak pernah dia impikan untuk melihat kekejaman yang menghancurkannya itu di mata bekas siswanya...Meski demikian, mereka memangsanya seperti binatang buas---meski binatang buas tidak memperkosa ibu mereka sendiri."
Burkina Faso: Februari 2019 lalu serangan teroris Islam yang mematikan menyasar umat Kristen negeri itu. Aksi biadab itu terus berlanjut selama Bulan Juli. Dalam satu contoh kasus, orang-orang yang dibantai teridentifikasi dan terbunuh karena mengenakan salib. Menurut berita,
"Orang-orang bersenjata yang belum teridentifikasi memasuki Desa Bani (sekitar 10 Km dari Kota Bourzanga) mencari-cari umat Kristen...Para penjahat itu memaksa semua orang tengkurap diam di tanah. Mereka terus mencari umat Kristen dengan menanyakan nama pertama mereka. Atau mencari siapa saja yang memaki perhiasan berlambangkan benda-benda suci Kristen (seperti Salib). Pencarian mematikan itu berhasil menemukan empat laki-laki...Mereka semua mengenakan kalung salib...Ketika melihat salib, para penyerang lalu menarik mereka keluar. Keempat laki-laki itu ditarik keluar barisan kemudian ditembak mati."
Sebelum meninggalkan desa, para teroris membakar tokoh milik salah satu korban yang dibunuh. Mereka kemudian bergerak ke desa lain, Pougrenoma. Di sana, mereka memaksa umat Kristen masuk Islam atau berisiko dibunuh." Selama Februari dan Juli 2019, sebanyak 27 umat Kristen dibunuh dalam suasana yang sama. Termasuk berbagai contoh kasus ketika "para teroris bersenjata memaksa umat Kristen pindah agama atau mati."
Nigeria: Jihad atas umat Kristen di negeri ini secara luas dilukiskan sebagai pembantaian massal (genosida), terus memakan korban jiwa. Seorang ibu hamil, ibu dua anak, termasuk di antara orang-orang yang dibantai tatkala para penggembala Muslim Fulani merazia desa Kristen, pagi buta 15 Juli lalu dan membakar 75 rumah dan dua gereja Kristen. Pada hari yang sama, para penjahat itu merazia desa Kristen lainnya. Di antara orang-orang yang dibantai dalam serangan itu adalah seorang ayah (46) dan anaknya yang masih muda (7) yang baru pulang ke rumah dari gereja. Kepala sang ayah dipenggal. "Kami alami serangan sehari-hari dari para penggembala Fulani itu di komunitas-komunitas kami. Terlebih-lebih Hari Minggu, selama jam-jam ibadat atau Hari Kamis, ketika aktivitas gereja diselenggarakan," urai seorang warga Kristen setempat.
Serangan atas Gereja
Suriah: Tanggal 11 Juli 2019. Para teroris Negara Islam meledakkan sebuah bom mobil tepat di luar Gereja Santa Perawan Maria di Kota Qamishli. Lebih dari 10 orang termasuk seorang bocah 8 tahun terluka dalam ledakan itu. Komunikasi yang berhasil disadap memperlihatkan bahwa para teroris memang menyasar pertemuan "umat Kristen di negeri yang sedang berperang itu." Berbagai foto dan video ledakan serta masa usai insiden memperlihatkan kerusakan yang cukup parah. Termasuk akibat api, yang menyala merambat sepanjang jalan. Serangan teror lain pada hari yang sama juga terjadi di sebuah desa kota tetangga Afrin. Dalam insiden itu, 13 orang tewas.
Pakistan: Segerombolan oknum Muslim menyerang Gereja Keselamatan Internal (Internal Salvation Church) di Desa Bhiki, Distrik Punjab, 23 Juli lalu. Gerombolan yang marah menyerobot masuk gereja ketika ibadat sedang berlangsung lalu menghajar jemaat. Sebuah organisasi hak asasi manusia setempat melukiskan insiden itu sebagai berikut;
"Ada lebih dari seratus orang sedang berdoa di gereja ketika Muhamad Azam, Muhamad Ijaz, Muhamad Amjad dan Muhamad Zafar, bersama laki-laki Muslim bersenjata lainnya, menerobos mauk gereja. Dengan paksa mereka mengganggu suasana doa kemudian dilaporkan memukul para pria dan wanita. "
Sambil memukul jemaat pria, orang-orang Muslim itu memaki-memaki, menghina umat Kristen dan Agama Kristen, Mereka memaksa supaya gereja "menghentikan sirkus ini." Pihak gereja melaporkan insiden kepada polisi setempat; namun ditolak. Kelompok hak asasi manusia menjelaskan lebih lanjut:
"Jumlah insiden pelanggaran hak untuk bebas beragama umat Kristen di Pakistan sangat meningkat tajam. Gereja-gereja mereka diserang, properti gereja diambil. Gereja dipaksa menghentikan ibadah dan kegiatan gereja lain. Juga dipaksa masuk Islam. Ini mengkhawatirkan bagi orang Kristen di negara ini. "
Indonesia: Menyusul protes umat Muslim setempat Pemerintah Kabupaten Bantul mencabut dan membatalkan ijin pembangunan sebuah Gereja Kristen Protestan di Sedayu, 26 Juli lalu. Jemaat dilarang bertemu untuk kebaktian di gedung itu. Meski pihak berwenang mengatakan gereja tidak memenuhi aturan pembangunan gereja, "pemerintah tampaknya membuat alasan yang dibuat-buat untuk menghentikan kegiatan gereja," demikian dikatakan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Dalam situasi terpisah, protes dari umat Muslim menyebabkan sebuah Gereja Protestan tidak bisa beribadat di gerejanya. Padahal, gereja sudah punya izin pembangunan yang dipersyaratkan pemerintah. Para pengunjukrasa mengklaim bahwa gereja berada di tengah wilayah mayoritas Muslim. Letaknya juga dekat madrasah dan masjid. Para pengurus Gereja menolak klaim itu dan mengatakan tidak ada masjid atau sekolah di dekatnya. Pendeta Timotheus Halim, Kepala Gereja Keluarga Allah, mengatakan para pengunjukrasa Muslim yang sama, terutama dari Front Pembela Islam (FPI) telah mengusir mereka keluar dari gedung gereja terakhir mereka di Jakarta Barat: "Kami pindah ke sini, dan mengalami penolakan yang sama ...Saya akan berjuang. Kami tidak akan menyerah karena kami punya izin resmi dan telah memenuhi semua persyaratan dari pemerintah. "
Hukum Indonesia mengatakan bahwa, untuk membangun tempat ibadah, sebuah komunitas agama harus memiliki setidaknya 90 anggota jemaat, serta memperoleh persetujuan setidaknya 60 orang dari komunitas agama lain (yaitu Muslim) yang berdiam di sekitarnya. Halim mengatakan bahwa ia dan 150 jemaatnya bersemangat menanti pertemuan doa pertama mereka di gereja 7 Juli lalu, ketika kaum Muslim mulai mengancam. "Seberapa siapkah pemerintah melawan kelompok-kelompok tertentu yang mencoba memaksakan kehendak mereka pada orang lain," tanyanya.
Mesir: Pada 17 Juli 2019, sebuah komunitas Kristen di Mesir kembali terpaksa melaksanakan upacara pemakaman keempat di jalan umum. Alasannya, karena polisi telah menutup gereja komunitas itu, Desember 2018 lalu. Upacara pemakaman diselenggarakan tergesa-gesa karena panas musim panas yang terik menyengat (110 derajar Fahrenheit). Walau desa itu punya 2.500 umat Kristen, permohonan berulang-ulang untuk membangun sebuah gereja ditolak. Ketika umat Kristen mulai menggunakan rumah mereka, kaum Muslim pun rusuh, mendorong petugas untuk menutup bangunan yang tidak terdaftar.
Serangan atas Orang yang Pindah Agama
Iran: Pada 1 Juli 2019 lalu, "Delapan orang yang beralih menganut Agama Kristen, termasuk lima anggota sebuah keluarga, ditangkap di Bushehr, sebuah kota di baratdaya Iran. Menurut sebuah berita:
"Para petugas penangkap memperkenalkan diri sebagai agen dari Kementerian Intelijen (MOIS). Mereka menyerang rumah-rumah umat Kristen dalam sebuah operasi yang terkoordinasi sekitar pukul 9 malam. Kitab suci, kepustakaan Kristen, salib kayu dan gambar-gambar berisi simbol Kristen berikut laptop, telepon, semua bentuk kartu identitas, kartu bank dan barang milik pribadi lainnya mereka sita. Petugas dilaporkan memperlakukan umat Kristen secara keras, meskipun anak-anak kecil juga ada di tempat kejadian ketika penangkapan terjadi."
Belakangan pada hari yang sama, salah seorang wanita yang tertangkap, "yang penangkapannya terjadi setelah enam mobil pembawa petugas keamanan muncul di luar rumah dibebaskan. Karena faktor usia. Umat Kristen lain tetap ditahan. Selain tidak ada akses terhadap pengacara mereka dijebloskan dalam penjara terpisah..." Sejak awal 2019 sampai Juli lalu, jumlah seluruh umat Kristen yang tertangkap dalam situasi yang sama meningkat menjadi sedikitnya 34 orang. "Berita memperlihatkan bahwa Agama Kristen sedang bangkit di Iran, bersamaan dengan agama-agama bukan Islam lainnya," sebuah organisasi hak asasi manusia menjelaskan.
"Ini ancaman bagi Republik Islam, sebuah rezim yang berbasiskan pandangan tentang Islam yang sempit dan totaliter. Ketika rezim menghadapi semakin banyak kerusuhan dalam negeri, semakin banyak pula dia menindas kaum minoritas agama yang dianggapnya membahayakan pegangannya yang kuat atas agama."
Sebulan sebelum insiden terakhir meledak, Menteri Intelijen Iran, Mahmoud Alavi, secara terbuka mengaku hendak berusaha memahami dan menanyakan orang-orang yang berpindah agama. Langkah itu ditempuhnya peralihan massal masuk Agama Kristen "sedang terjadi tepat di depan mata kita."
Terpisah, ada insiden pada 27 Juli lalu. Seorang wanita Kristen lain, Mahrock (Roksare) Kanbari (65) dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun oleh Pengadilan Revolusioner Islam Karaj. Dia dituduh melakukan "propaganda melawan sistem." Sahabat- sahabatnya yang hadir ketika dia dijatuhi hukuman mengatakan bahwa "hakimnya sangat kasar sehingga berusaha menjatuhkan martabat" sang wanita, yang jelas-jelas pindah agama. Dia awalnya ditangkap tepat sebelum Natal 2018. Kala itu, tiga agen merazia rumahnya kemudian membawanya selama sepuluh hari. Banyak interogasi dia jalani sebelum dilepaskan dengan membayar uang jaminan.
Akhirnya Fatemeh Azad, seorang wanita Muslim berusia 58 tahun yang beralih masuk Kristen menentang keinginan suaminya yang Muslim dideportasi kembali ke Iran. Sebelumnya, dia melarikan diri ke Jerman. Namun, permohonan suakanya ditolak. Setibanya di Iran dia langsung ditahan oleh pihak berwenang yang memang menunggu pesawatnya mendarat. Sejak itu dia dibebaskan dengan uang jaminan sambil menunggu proses pengadilan. Menurut berita, "Ketika Fatemeh mengajukan permohonan suaka, pengacaranya mengatakan bahwa perpindahan agama bisa dihukum dengan hukuman mati di Iran." Pernyataan itu, bagaimanapun, tidak memadai bagi Jerman untuk memberikannya suaka. Selama ini, Jerman menerima masuk jutaan umat Muslim yang tidak sedang dianiaya di tanah air mereka.
Uganda: Sejumlah oknum Muslim melecehkan, mengancam, dan menggusur seorang wanita mantan Muslim yang memeluk agama Kristen keluar dari rumahnya supaya kembali masuk Islam atau menghadapi konsekwensinya. Sharifa Nakamate mulai menerima pesan ancaman setelah dia meminta seorang pendeta Kristen menguburkan suaminya, yang berusia 65, yang meninggal 15 Juni lalu. "Sekarang jelas bagi klan bahwa kau dan suamimu sudah meninggalkan Islam. Soalnya, Haji dikuburkan oleh orang Kristen," bunyi satu pesan. "Kami memberi kau beberapa hari untuk menyangkal iman Kristen atau menghadapi murka karena murtad." Putranya yang berusia 29 tahun termasuk di antara orang-orang yang mengancamnya. Akhirnya, pada 11 Juli lalu, dia tinggalkan rumahnya. "Saya sadari, hidup saya sekarang dalam bahaya. Jadi saya mencari perlindungan di gereja," kata Sharifa. Meskipun sejak itu dia pindah ke lokasi lain yang dirahasiakan. Terakhir dia dilaporkan bersiap diri hendak melarikan diri lagi. "Dua hari lalu seorang Muslim dari desa asal saya datang membeli barang-barang saya," urainya.
"Saya takut dia kembali dan menyebarkan berita tentang tempat tinggal baru saya. Tempat baru ini tidak aman bagi saya .... Tidak pernah saya harapkan hal seperti itu terjadi pada saya. Saya telah kehilangan semua yang saya lakukan ketika membangun rumah selama lebih dari 30 tahun kehidupan pernikahan kami, hanya untuk kehilangan segalanya begitu saja karena mengikuti Yesus. "
Gereja yang membantunya sejak itu juga menjadi sasaran. Seorang jemaat gereja pernah menerima pesan dari orang yang tidak dikenal. Isinya, "Tolong biarkan Nakamate kembali ke agamanya untuk menghindari dampak negatif dari gereja Anda."
Seorang Muslim murtad lainnya di Uganda, seorang pemuda 20 tahun, dipukul dan dianggap tidak lagi sebagai anggota keluarga oleh keluarga setelah mereka tahu bahwa ia menjadi Kristen. Ayah tiri Asuman Kaire, mengatakan dia "itu hal yang memalukan keluarga." Sang ayah tiri lalu memukulnya nyaris sampai mati. Ketika orang Kristen setempat bergegas berlarian mendengar teriakan minta tolong pemuda itu, ayah tirinya dan orang Muslim lain melarikan diri. Dia sendiri tidak sadarkan diri. "Setelah pulih, saya takut kembali ke rumah. Karena saya tahu mereka akan membunuh saya," kata Kaire. Dia kemudian mulai hidup di jalanan. Ketika sebuah gereja menampungnya, dan orang-orang Muslim setempat mengetahui hal itu. Akibatnya, pertengahan Juni, ketika Kaire ada dalam gereja, sekelompok orang berusaha menyerbunya. Sambil meneriakkan, "Allahu Akbar," mereka mengatakan bahwa orang murtad harus mati. Kaire sejak itu pindah lagi, hidup dalam persembunyian. Sekolah tahun terakhir di sekolah menengah pun tidak dapat dia selesaikan: "Saya takut dengan teman sekelas saya yang Muslim. Mereka mungkin saja merencanakan sesuatu yang buruk atas hidup saya," katanya.
Penculikan, Perkosaan dan Pembunuhan di Pakistan
Pada 10 Juli lalu, seorang laki-laki Muslim menembak hingga tewas seorang wanita Kristen. Alasannya, karena sang wanita menolak masuk Islam kemudian menikahnya. Persoalan muncul beberapa bulan sebelumnya. Kata itu Muhamad Waseem mulai bertegur-sapa dengan Saima Sardas, 30 tahun. Kerapkali, dalam perjalanannya menuju dan dari rumah sakit di Faisalabad, tempat dia bekerja sebagai perawat. Pelecehan yang dialaminya begitu mengerikan sehingga dia meminta saudara laki-lakinya mengantarkannya untuk bekerja. Menurut anggota keluarga lain:
"Hubungan Saima dengan Waseem itu sehat dan penuh persahabatan. Namun, ketika dia terus mendesak Saima untuk masuk Islam, Saima memutuskan untuk menjaga jarak darinya. Penolakan membuktikan kesetiaannya kepada iman Kristen. Karena itu, Saima sangat lantang menolak lamarannya, walau dia diancam berikut konsekwensinya."
Ketika tahu Saima sudah dijodohkan dan mau menikahi seorang laki-laki Kristen, Nopember nanti, Muhamad semakin agresif. Dia mengancam. "Jika kau tidak masuk Islam dan nikahi saya, kau akan mati." Akhirnya, pada 10 Juli, Muhamad berusaha pergi ke rumah sakit. Saima sudah memperingatkan penjaga rumah sakit tentang dia. Muhamad berhasil menembaknya hingga tewas, sebelum dia sendiri bunuh diri. "Pindah agama atau menikahi seseorang merupakan pilihan pribadi," urai sebuah organisasi hak asasi setempat terkait insiden ini. "Sayangnya, dalam masyarakat Pakistan, pria Muslim yang menyukai gadis minoritas berpikir bahwa yang belakangan itu harus mematuhi mereka. Juga bahwa tawaran mereka untuk menikah itu tidak bisa ditolak."
Pada sebuah kesempatan terpisah, seorang anggota parlemen Muslim beserta istri dan dua anaknya, berulangkali memukul dan memperkosa pembantu rumah tangga mereka, seorang gadis Kristen berusia 15 tahun. Menurut Riaz Masih, ayah sang gadis,
"Saya orang miskin. Saya tinggal di rumah sewaan bersama anak-anak. Putri saya Saima yang berusia 14-15 tahun, bekerja di rumah [Anggota Wakil Rakyat Propinsi] selama enam bulan terakhir. Beberapa hari lalu, dia katakan kepada saya bahwa wakil rakyat itu memperkosanya dua kali. Anak-anaknya juga melecehkannya. Sementara istrinya memukuli dia karena masalah kecil. Belum lagi dia disuruh bekerja siang malam. Mereka peringatkan anak perempuan saya bahwa akan memukulnya lebih keras jika dia berani memberi tahu saya apa saja .... Mereka menekan saya untuk tidak pergi ke polisi. Tetapi saya butuh keadilan karena putri saya yang masih di bawah umur disiksa dan diperkosa beberapa kali."
Sebuah fasilitas medis "membenarkan bahwa dia diperkosa berkali-kali." Laporan Informasi Pertama yang diajukan terhadap Mian Tahir Jamil, anggota parlemen, oemperlihatkan lebih banyak wawasan:
"Tahir Jamil secara paksa memperkosa putrinya [Masih] setelah mengancamnya supaya tetap diam atau berisiko kehilangan nyawanya. Samia juga melaporkan bahwa anak-anak Tahir juga melecehkannya secara seksual. Kenyataannya, sepekan sebelum kejadian, Tahir memaksa mau mencumbunya tetapi dia mengunci dirinya di kamar kecil untuk melindungi dirinya. Ketika keluarga itu akhirnya menemukannya, istri Tahir, Bano Bibi, tanpa ampun menghajarya kemudian memotong rambutnya sebagai hukuman karena bersembunyi. Syukurlah, Samia berhasil melarikan diri dari keluarga itu ke rumahnya minggu ini. Dia menceritakan kisah pelecehannya kepada ayahnya. Ia menyoroti bahwa selain insiden pemerkosaan pada 19 Juni 2019, putra-putra Tahir pun terus mencabulinya sementara istrinya, Bano Bibi secara verbal melecehkannya. "
Dalam insiden serupa, sebuah keluarga Muslim menuduh pembantu rumah tangga (PRT) Kristen mereka yang berusia 14 tahun merampok rumah tempat dia bekerja sebagai cara untuk menutupi fakta bahwa dia diperkosa di sana. Menurut ibu korban yang masih remaja itu:
"Razia, seorang wanita Muslim, menyewa kami bekerja selama seminggu. Untuk bersih-bersih rumahnya dan mengurus tamu selama upacara pernikahan putrinya. Suneha [anak perempuannya] tinggal di rumah majikannya itu selama semalam karena pesta berlangsung sampai larut malam dan beban pekerjaan .... Selama pekan acara pernikahan, pada tanggal 6 Juli, salah satu pria dari keluarga itu melakukan pelecehan seksual atas Suneha. Ketika Suneha menolak dan mengancam akan melporkannya kepada para sesepuh keluarga, dia pun dikunci di kamar dan sering dipukuli. "
Pemerkosanya malah belakangan menuduh sang gadis dan ibunya mencuri perhiasan, emas dan barang-barang berharga anggota keluarga Muslim yang sama-sama menganiaya sang gadis. "Penganiyaan itu sangat mengerikan. Situasinya sangat memilukan." urai Suneha.
"Kami diperlakukan secara kejam. Mereka katakan, 'kalian orang Kristen ---[baca: orang Kristen disebut sebagai Choora di Pakistan) Choora, kalian pencuri." Kami lawan. Kami yakin sama sekali tidak lakukan apa-apa. Namun, setelah empat hari diinterogasi dan disiksa di rumah" keluarga Muslim itu melaporkan kami kepada polisi."
Menganggapi insiden itu, seorang aktivis hak asasi manusia mengatakan :
"Wanita Kristen itu mengalami situasi rawan ganda. Sebagai wanita dan sebagai bagian komunitas Kristen. Mereka sasaran perkosaan paling rawan. Para pekerja rumah tangga Kristen kerapkali diancam untuk tutup mulut setelah mengalami persobaan perkosaan. Jika tidak, mereka dituduh mencuri barang-barang berharga atau melakukan penodaan agama melawan Islam."
Akhirnya, seorang gadis Kristen berusia 14 tahun diculik, dipaksa masuk Islam, serta dipaksa menikah seorang laki-laki Muslim. Kemudian dia diantar kepada seorang hakim Muslim untuk menandatangani pernyataan yang menyatakan dia bertindak atas kemauannya sendiri. Menurut berita,
"Sang gadis, Benish Imran hilang dari rumahnya pada 2 Juli lalu. Ia diculik oleh Wahid Ahmad, yang memaksanya menyangkal iman Kristennya dan menikahinya. Keesokan harinya, Imran Masih, ayah sang gadis 14 tahun itu pergi kepada polisi melaporkan orang yang tidak dikenalinya, tanpa menyadari apa yang terjadi atas putinya. Beberapa hari kemudian, polisi menginformasikan kepadanya bahwa mereka sudah mendapat akta Benish yang masuk Islam dan perkawinannya. Juga bahwa yang belakangan, akan pergi ke hadapan magisrat distrik di Lahore, pada 12 Juli untuk mendaftarkan pernyatannya."
Ayahnya lalu menyewa seorang pengacara. Pengacara pun memperlihatkan kepada hakim bahwa apapun yang terjadi, gadis itu, menurut Undang-Undang Pakistan, masih di bawah umur. Dan karena itu, tidak bisa secara hukum menikah. Bahkan jika dia menginginkannya sesuai kemauannya sendiri. Hakim menolak mengalah. Dia malah meminta pernyataan sang gadis dicatat. Menurut pengacara, seluruh kegagalan di pengadilan "merupakan praktek yang wajar." Karena, menurutnya, "para gadis kerapkali memberikan pernyataan itu karena mereka sudah hidup bersama dengan para penculik mereka." Juga, "ancaman mati sudah dilancarkan kepada keluarga mereka. Dan karena itu, korban tidak punya pilihan selain mengatakan apa yang diinginkan penculik mereka ingin mereka katakan di pengadilan...Kami sudah melihat ini pada masa lalu sehingga banyak gadis yang melarikan diri kapan pun mereka mendapat kesempatan."
Perlakuan Kejam dan Kebencian Umum atas Umat Kristen
Turki: Sejumlah kebakaran terjadi di delapan desa Kristen. Dekat perbatasan selatan negeri itu. Nyaris membuat desa-desa itu jadi debu. "Para aktivitas setempat" mengatakan sebuah berita, "mengklaim bahwa api secara sengaja mulai dibakar guna membinasakan warisan Kristen di kawasan itu."
Bagian Turki ini berbatasan dengan Irak dan Suriah. Di dua negara itu, kebakaran menjadi taktik kerusuhan yang sudah diakui yang menyasar sumberdaya pertanian desa. Dalam kasus Turki, kobaran api menyasar lahan pertanian. Diperkirakan 7.000 sampai 8.000 pohon zaitun rusak. Situasi ini sama dengan di Irak/Suriah. Kebakaran menjadi keprihatinan karena api memang sengaja dibakar.
Konon, penyelidikan sedang berlangsung atas kasus itu.
Dalam insiden terpisah, dua laki-laki Muslim menghajar seorang remaja Kristen di jalan setelah mereka perhatikan dia mengenakan kalung salib di lehernya. Awalnya, mereka menghentikan dia, kemudian merenggut kalung salibnya sambil bertanya jika dia "tahu apa arti salib itu?" Ketika anak itu menjawab, "Ya, saya tahu. Saya Kristen," mereka pun langsung menghajarnya kemudian meninggalkan tempat itu. Dalam tanggapannya, Persekutuan Gereja-Gereja Protestan mengatakan bahwa "Serangan ini merupakan akibat dari semakin meningkatnya kebencian terhadap umat Kristen di Turki. Kami mengundang pejabat pemerintah untuk beraksi melawan ujaran kebencian."
Sri Lanka: Sebelum pemboman bunuh diri Islam terhadap gereja dan hotel pada Minggu Paska, 21 April 2019, yang merenggut lebih dari 250 nyawa, Sri Lanka, tidak dilihat sebagai negara di mana umat Islam menganiaya orang Kristen. Mayoritas populasi negeri itu Budha. Minoritas Muslim dan Kristen mencapai 9,7% dan 7,4%. Karena disoroti, bagaimanapun, semakin banyak informasi bermunculan. Menurut sebuah berita yang terbit 11 Juli lalu, "Banyak orang Kristen Tamil dan Hindu di Sri Lanka diperintahkan oleh para ekstremis Muslim untuk masuk Islam atau meninggalkan desa-desa tempat keluarga mereka tinggal selama beberapa generasi."
Mesir: Sarah Atef, seorang mahasiswi perguruan tinggi Kristen, diculik ketika dia tengah berdiri di dekat gerejanya. "Ketika tahu bahwa putrinya diculik," kata seorang tetangga keluarga, "ibunya keluar ke balkon rumah lalu berteriak keras-keras. Dia pukuli wajahnya sendiri. Semua tetangganya keluar dari rumah melihat keadaan. " Setelah keluarga itu menghubungi polisi, banyak situs web, termasuk beberapa yang berafiliasi dengan Negara Islam, mengklaim bahwa gadis itu sudah menelepon ibunya. Kepada ibunya dia memberitahu bahwa dia sudah sukarela masuk Islam dan menikah dengan seorang pria Muslim. Uskup Koptik setempat, yang bertemu dengan keluarga itu, menegaskan bahwa tidak ada telepon semacam itu yang pernah terjadi. Tidak seorang pun dari komunitas Kristen yang mendengar informasi dari gadis itu. "Ini jebakan bagi gadis-gadis Kristen," salah seorang gurunya menjelaskan. "Gadis ini sangat religius dan percaya pada Yesus. Sulit baginya untuk masuk Islam."
Tentang Seri Ini
Memang tidak semua, atau bahkan tidak bisa dikatakan sebagian besar, kaum Muslim terlibat namun penganiayaan terhadap umat Kristen terus meningkat. Seri "Kaum Muslim Menganiaya Umat Kristen" dikembangkan untuk mengumpukan berbagai contoh aksi penganiayaan yang mengemuka setiap bulan walaupun tentu saja tidak semua.