Sekitar pertengahan September 2019. Polisi Inggris di Preston, Lancashire, mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengambil tinfakan atas seorang laki-laki yang sebelumnya mengancam hendak mensodomi siapa saja yang berani beralih masuk Kristen. Gambar: Pusat Kota Preston. (Sumber gambar: Andrew Gritt/geograph.ork.uk/Wikimedia Commons) |
Pembantaian Umat Krisen
Nigeria: Pada tanggal 22 September 2019, kelompok pejihad, Boko Haram, merilis sebuah video. Isinya mengisahkan eksekusi mati atas dua pekerja pemberi bantuan beragama Kristen; Lawrence Duna Dacighir dan Godfrey Ali Shikagham. Keduanya anggota Gereja Kristus di Antara Bangsa-Bangsa (Church of Christ in Nations). Tampak dalam video, kedua pria malang itu berlutut di depan tiga orang bersenjata yang maju menembak mereka. Kedua warga Kristen itu sebelumnya pergi menuju Maiduguri, dekat tempat mereka ditangkap. Hendak membantu membangun tempat perlindungan bagi orang-orang yang kehilangan tempat tinggal akibat kekerasan kaum ekstremis Islam. Dalam video yang sama, dan "ketika berbicara dalam bahasa Hausa, teroris yang berada di tengah yang diapit oleh dua teroris lainnya mengatakan ... bahwa mereka telah bersumpah untuk membunuh setiap orang Kristen yang mereka tangkap ..." Menanggapi eksekusi mati itu, Pastor Pofi, sepupu dari dua orang Kristen yang dieksekusi ITU, mengatakan:
"Lawrence dan Godfrey meninggalkan Abuja menuju Maiduguri. Mau cari kesempatan untuk memanfaatkan keterampilan mereka demi kemajuan umat manusia. Namun dibayar dengan nyawa mereka. Kita tak pernah dapatkan jenazah mereka supaya bisa dikuburkan. Masyarakat harus puas dengan membuat tugu peringatan darurat dengan sarana-sarana terbatas yang ada bagi anak-anak muda ini yang hidupnya dicabut secara begitu mengerikan. "
Secara terpisah, seorang pendeta Kristen dan istri seorang pendeta lainnya tewas terbunuh dalam dua penggerebekan berbeda oleh para gembala Muslim Fulani. "Setelah membunuhnya [Esther Ishaku Katung], mereka masih menuntut uang tebusan tanpa memberi tahu keluarganya bahwa mereka sudah membunuhnya," kata seorang warga Kristen setempat. "Baru setelah uang tebusan dibayar, keluarganya baru tahu bahwa dia sudah dibunuh oleh para penculiknya." Tubuhnya yang terotong-potong ditemukan dibuang di semak-semak.
Pakistan: Polisi di Lahore menyiksa sampai mati seorang pria Kristen berusia 28 tahun. Amir Masih, namanya. Setelah majikan Masih, tempat dia bekerja sebagai tukang kebun - melaporkan insiden pencurian, polisi menginstruksikan Masih dan para karyawan lainnya datang ke kantor polisi untuk diinterogasi. "Adik saya pergi ke kantor polisi atas kemauannya sendiri," Sunny Masih, saudara Amir, menjelaskan. "Ketika dia sampai di sana [pada 28 Agustus] polisi menyita teleponnya, mengikatnya lalu memasukkannya ke dalam kendaraan dan membawanya menuju suatu tempat yang tidak diketahui." Empat hari kemudian, polisi menghubungi keluarganya yang kebingungan mengatakan bahwa Amir sakit dan mereka harus membawanya ke rumah sakit. "Kami pun bergegas ke kantor polisi. Di sana, Amir diserahkan kepada kami dalam keadaan setengah sadar," saudaranya melanjutkan, "Tanpa ampun dia dihajar. Tubuhnya penuh memar." Dalam perjalanan ke rumah sakit, Amir mengatakan kepada Sunny bahwa enam petugas, dua inspektur dan empat polisi menyiksanya selama empat hari. "Dia memberi tahu kami bahwa polisi mengencingi dia sambil memaki-makinya karena dia menjadi orang Kristen lalu berusaha memaksanya supaya mengakui kejahatan itu." Sunny juga perhatikan bahwa semua karyawan lain yang ditanya soal pencurian itu dibebaskan "tanpa goresan apapun." Juga bahwa saudaranya, "mengalami penyiksaan yang mengerikan karena dia orang Kristen miskin yang polisi yakini bisa dipaksa untuk mengaku bersalah..."
"Tetapi saudara lelaki saya tidak bersalah. Dia menolak mengakui sesuatu yang tidak dia lakukan. Itu membuat para interogatornya semakin marah. Mereka semakin keras menyiksanya. Mereka juga menyengatkannya dengan listrik. "
Dua jam setelah tiba di rumah sakit, Amir menyerah pada luka-lukanya. Dia meninggal. Laporan post-mortem menunjukkan tulang-tulang rusuknya patah. Bekas siksaan terlihat di tangan, lengan, punggung, dan kaki korban. Orang Kristen yang terbunuh itu meninggalkan seorang istri dan dua anak laki-laki, berusia 7 tahun dan 2 minggu.
Dalam insiden terpisah, juga di Pakistan, tiga pria Muslim - Muhammad Naveed, Muhammad Amjad, dan Abdul Majeed - berpartisipasi dalam pembunuhan dua bersaudara Kristen, Javaid dan Suleman Masih [Tidak ada hubungan dengan Amir dan Sunny Masih. Masih itu nama Kristen yang umum di Pakistan]. Menurut janda Javaid:
"Selama lebih dari setahun, kami mengalami dan mencium kebencian terhadap kami oleh tetangga-tetangga Muslim kami. Seringkali wanita mereka bergosip (discussed) lalu memaki-maki orang-orang Kristen. Namun, karena menjaga keamanan, kami selalu diam (sic). Tidak pernah kami jawab. ... Tetangga-tetangga Muslim tidak suka mobil kami, yang membawa salib suci di dalam, diparkir di sebelah pintu mereka. Mereka sering mengkritiknya. "
Putra Javaid yang berusia 17 tahun melanjutkan:
"Naveed, salah satu anggota keluarga Muslim, mencoba menggores kaca mobil van paman saya pada hari kejadian. Ketika saya mencoba menghentikannya, dia bereaksi marah. Dia katakan 'setiap kali saya keluar dari rumah saya, saya melihat barang ini tergantung (salib suci) dalam mobil. Saya tidak ingin lihat itu. ' Dia menunjuk salib dengan cara menghina. "Karena itu, kamu harus membuangnya," perintahnya. "
Segera setelah itu, kedua bersaudara itu "meninggalkan rumah mereka untuk mengunjungi kerabat di lingkungan itu," janda Jawaid melanjutkan; "Tiba-tiba, mereka diserang di depan rumah mereka oleh dua Muslim dengan pisau. Masing-masing mengalami 5 - 8 serangan sehingga mereka meninggal dunia. Ayah dari dua Muslim itu memprovokasi anak-anaknya dan sambil melantunkan nyanyian dengan keras, 'jangan biarkan, bunuh semua Choora ini!'" (Chooras adalah kata yang merendahkan yang digunakan untuk orang-orang Kristen di Pakistan.) Javaid meninggalkan istri dan empat anaknya (usia 10 hingga 17). Sementara Suleman baru saja menikah. Dia dan istrinya sedang mengharapkan anak pertama mereka hanya beberapa minggu setelah dia dibunuh.
Kekerasan dan Pelecehan terhadap Umat Kristen
Filipina: Pada pagi buta 6 September 2019, sebuah ledakan terjadi di pasar di daerah mayoritas Kristen di selatan negara itu. Beberapa orang terluka. Pihak Negara Islam (baca: ISIS) mengaku bertanggung jawab. Menurut sebuah berita:
"Kelompok itu mengeluarkan pernyataan Sabtu malam yang mengatakan bahwa aksi pemboman dengan sepeda motor sudah melukai tujuh orang Kristen Filipina di pasar umum. Itu adalah ledakan keempat di daerah itu dalam 13 bulan, menurut militer Filipina. Pihak militer juga mengatakan bahwa satu kelompok gerilyawan yang beroperasi di sebagian besar Kota Kristen Isulan di Provinsi Sultan Kudarat termasuk di antara para tersangka .... Tiga insiden dalam satu tahun terakhir yang dikatakan pihak berwenang adalah pemboman bunuh diri oleh gerilyawan yang memiliki hubungan dengan Negara Islam."
Burkina Faso: "Orang Kristen ... saat ini sedang dimusnahkan atau diusir dari desa mereka oleh para ekstremis Muslim," sebuah cerita 18 September 2019 mencatat. Setelah mempersyaratkan supaya tidak menyebutkan namanya, sebuah sumber setempat mengatakan bahwa kaum militan kadang-kadang memberi orang Kristen kesempatan untuk masuk Islam. Dia menyebutnya sebagai "bagian dari program para pejihat yang dengan sengaja menabur teror, membunuh anggota komunitas Kristen dan memaksa orang Kristen yang tersisa melarikan diri setelah memperingatkan mereka bahwa mereka akan kembali dalam waktu tiga hari. Juga bahwa mereka tidak ingin melihat orang Kristen atau katekumen masih di sana. " Dia kemudian menjelaskan pengalaman baru ini tentang Desa Hitté:
"Awal September, ada 16 laki-laki datang di desa itu. Mereka mencegat penduduk desa yang kembali dari ladang. Beberapa pria memaksa orang untuk memasuki gereja di mana mereka mengancam orang-orang Kristen dan memerintahkan mereka untuk tinggalkan rumah mereka dalam tiga hari. Sementara yang lain membakar apa pun yang mereka temukan di jalan. Sekarang tidak ada orang Kristen atau katakumen di Desa Hitté. "
Dia juga mengamati apa yang sudah dilakukan para militan di Nigeria:
"Senjata seperti ini [yang digunakan oleh penyerang Muslim itu] tidak dibuat di Burkina Faso. Kami tahu bahwa senjata dipasok oleh organisasi internasional. Kami menyerukan senjata ini untuk diambil sehingga perdamaian dapat kembali terjadi di Burkina Faso .. .. Situasinya sangat kritis. "
Mesir: Orang tidak dikenal melemparkan batubata kepada Marina Sami Rageb, seorang wanita Kristen, ketika dia keluar dari gerejanya. Akibatnya, tengkorak mahasiswa kedokteran berusia 21 tahun itu pun retak akibat serangan itu. Dia menderita pendarahan. Tidak banyak yang diketahui tentang insiden itu atau tentang (para) penyerangnya. Menurut berita:
"Bentuk insiden ini, sayangnya, sudah menjadi hal biasa (sic) di Mesir. Para wanita Kristen tidak secara relijius dipaksa menutup rambut, tetapi terus-menerus ditekan untuk melakukannya oleh sesama Muslim mereka. Para wanita tidak berjilbab kerapkali disasar sebagai sasaran pelecehan. Bahkan serangan. Ancaman yang melatarbelakangi kasus ini sangat menyebabkan mereka tidak bisa bebas berjalan-jalan di Mesir dan memilih pakaian kesukaan mereka."
Seorang wanita berkomentar bahwa "Di Mesir, ada begitu banyak ancaman keamanan di jalan-jalan. Tetapi saya senantiasa menghindari diri untuk berjalan-jalan di distrik atau kawasan-kawasan kaum Muslim radikal. Hanya memilih berjalan-jalan di jalan-jalan utama." Saya senantiasa memakai baju panjang," urai seorang wanita Kristen lainnya. "Di jalanan, saya senantiasa menghindari diri berurusan dengan kaum ekstremis atau kaum Muslim radikal."
Pakistan: Pada tanggal 16 September, Muhammad Ramiz dan empat pria Muslim lain menculik seorang gadis Kristen berusia 14 tahun, Samra Bibi, dari rumahnya ketika keluarganya sedang pergi. "Dalam apa yang disebut sebagai serangkaian panjang penculikan dan pemaksaan untuk pindah agama terhadap gadis-gadis dari kalangan minoritas di bawah umur akhir-akhir ini yang seringkali dilakukan dengan ancaman dan setelah kekerasan seksual, " tambah sebuah berita. Samra kemudian dipaksa masuk Islam dan menikahi penculiknya. Setelah mengetahui apa yang terjadi, keluarganya segera melaporkan kepada polisi setempat. Polisi menolak membuka kasus ini. Malah mengejek dan menghina keluarga yang putus asa itu. Setelah dua hari para pemimpin Kristen lokal dan keluarganya terus menerus meminta, polisi pun menangkap Muhammad. Tetapi hanya untuk membebaskannya satu jam kemudian. Sebagian karena tekanan dari ulama Islam. Menurut ayah Samra:
"Muhammad Ramiz sudah lama memperhatikan para gadis Kristen dan menggoda mereka. Ketika mereka memintanya berhenti, dia pun menjawab dengan bahasa kasar terhadap mereka. Ketika kami tidak di rumah, dia menculik gadis kami yang masih di bawah umur. Sekitar sepuluh hari sudah berlalu dan tidak ada seorang pun ditangkap. "
Ketika membahas hal ini dan insiden serupa lainnya, seorang aktivis hak asasi manusia mengatakan, "Menurut undang-undang, tidak ada gadis di bawah umur boleh dipaksa pindah untuk berpindah kepada agama lain. Tetapi di sini tidak ada orang berani menantang kaum radikal yang melakukan kejahatan semacam itu." Perwakilan keluarga lainnya mengatakan:
"Kadang-kadang pengadilan tampaknya lebih mendukung para pelaku ... Misalnya, dalam kasus Samra, gadis itu berusia 14 tahun, seorang remaja yang tidak bisa menikah. Namun polisi dengan sengaja menulis dalam laporan mereka bahwa dia berusia antara 15 dan 16 tahun. Kami juga akan menantang aspek ini selama persidangan. "
Serangan dan Permusuhan atas Kaum Muslim yang Beralih Masuk Kristen
Kerajaan Inggris: Sekitar pertengahan September, polisi negeri itu mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengambil tindakan terhadap seorang pria Muslim di Preston, Lancashire. Namanya, Zaheer Hussain, 41 tahun. Sebelumnya, ia mengancam akan menyodomi setiap Muslim yang berani menjadi Kristen. Ia membuat video, yang kemudian menjadi viral. Dalam video itu ia terlihat sedang mengobrol dengan seorang temannya yang tertawa-tawa. Ketika berbicara di depan kamera, Hussain berkata:
"Saudara, dengar ... jika ada orang ingin jadi Kristen, kita berdua akan sodomi mereka. Kau paham? Kita akan sodomi mereka [sambill menggerakkan pinggulnya beraksi mengolok-olok secara seksual] .... Mengapa kau pindah agama? Hah? Mengapa kau?. Mengapa kau mau jadi Kristen. Kau dibaptis ya? Ah [bernada mengolok-olok], 'dalam nama Tuhan Yesus
Kalimat-kalimat tidak senonoh di atas diucapkannya dalam Bahasa Inggris. Seperti itu. Meskipun, sebagian omelannya menggunakan bahasa asing (mungkin saja bahasa Pakistan). Wanita Kristen dari Preston yang melaporkan Hussain kepada polisi mengatakan:
"Setelah menonton video itu, ia membuat saya sekarang takut untuk mengidentifikasi diri sebagai seorang Kristen kepada orang yang tidak saya kenal.
"Menyedihkan karena saya harus menyembunyikan agamaku. Pandangan laki-laki itu yang berbahaya atas sesuatu yang begitu wajar seperti soal orang yang mau mengubah agamanya, tidak dapat diterima.
"Ancamannya yang mau melakukan pelecehan seksual terhadap mereka yang masuk agama Kristen adalah inti dari ujaran kebencian."
Terlepas dari adanya undang-undang anti-ujaran kebencian di Inggris, polisi tidak mengambil tindakan. Padahal, seperti sebuah berita mencatat:
"Perlakuan pihak yang berwenang yang ramah terhadap Hussain sangat berbeda dengan yang dijatuhkan kepada komedian Skotlandia Markus Meechan ... Markuss ditangkap, didakwa, dan dihukum dalam persidangan tanpa juri. Penyebabnya, karena dia menimbulkan pelanggaran berat lewat sebuah video viral ketika melatih anjing pacarnya yang pesek untuk meniru "hal paling tidak lucu yang bisa saya pikirkan, yaitu Nazi."
Uganda: Setelah ibu mertua tahu bahwa menantunya yang Muslim dan janda memeluk agama Kristen, mereka pun lalu menyerang anak-anaknya dan dia. Mereka diusir keluar dari rumah. Masalah Lezia Nakayiza, 54 tahun dimulai ketika anaknya yang berusia delapan tahun "berkisah tentang paduan suara yang hebat di gereja kepada salah seorang kerabatnya. Juga bahwa kami sudah menghadiri kebaktian di gereja sejak Maret." Ini, katanya, "adalah awal dari penganiayaan atas kami." Tidak lama sebelumnya, "seorang tetangga Kristen memberi tahu saya bahwa pihak keluarga berencana menyerang kami." Segera setelah itu, dan "dengan bantuan cahaya rembulan, saya mengintip melalui jendela. Saya lihat banyak orang mendatangi rumah kami dengan tongkat dan senjata lain sambil berteriak keras dari gudang hewan. "Dia mendengar mereka berteriak," Pergilah orang kafir! "Nakayiza dan anak-anaknya berhasil melarikan diri dari pintu belakang. Setelah itu," Kami berjalan kaki selama dua jam dan tiba di halaman gereja sekitar jam 11 malam. Kami diterima oleh pastor." Pada hari berikutnya, pastor tahu tentang "kerusakan besar" yang ditimbulkan (visited) oleh para saudara-saudara lelaki suaminya atas rumahnya. Termasuk "lima sapi dan enam domba terbunuh. Seng atap rumah pun dibongkar dan diturunkan, jendela dan pintu rumah hancur.... Keluarga itu harus dipindahkan ke tempat lain," atambah pastor.
"Hidup mereka sangat sulit. Anak-anak tidak bersekolah. Mereka sangat takut dengan kehidupan mereka. Bahkan gereja berisiko oleh kerabat mereka yang adalah kaum Muslim radikal. Gereja kami masih terlalu kecil untuk bisa menghidupi keluarga itu."
Terakhir dilaporkan, Nakayiza menawarkan diri mencuci pakaian orang-orang dan mengerjakan tanah mereka untuk mendapatkan cukup uang demi kebutuhan dasar anak-anaknya. Keempat anaknya berusia antara 15, 13, 11, dan 8 tahun. "Yang sedang kami alami saat ini hampir tak tertahankan," urainya.
Iran: Republik Islam Iran menolak memberikan ijazah sekolah menengah dua putra (berumur 17 dan 15) seorang pendeta Kristen yang dipenjara sampai mereka menyelesaikan pendidikan Islam terlebih dahulu. Ayah mereka, Yousef Nadarkhani pernah menjadi berita utama media pada 2009, ketika ia ditangkap karena memprotes persyaratan pendidikan Iran bahwa semua siswa mempelajari Al-Quran. Pemerintah merespons dengan menangkapnya. Dia sendiri pun beralih menjadi Kristen, sehingga mendakwanya dengan hukuman mati karena murtad. Akibat tekanan internasional, ia dibebaskan pada 2012 — hanya untuk ditangkap lagi pada 2016. Baru-baru ini menjalani hukuman 10 tahun.
Penghinaan terhadap Gereja dan Salib
Turki: "Sebuah kotamadya setempat di Trabson (Turki utara) memerintahkan bahwa unsur arsitektur rumah yang menyerupai salib tidak akan ditoleransi," tulis sebuah berita:
""Keputusan ini ditetapkan menyusul penyelidikan yang dibuka Desember lalu setelah ada keluhan bahwa balkon vila-vila tertentu di desa menyerupai salib. Foto-foto memang menunjukkan bahwa beberapa rumah bertingkat dua tingkat dan sebuah bangunan yang berbentuk salib membagi rumah menjadi empat bagian. Berbagai keluhan terutama dari keluarga Arab setempat menyebabkan rumah-rumah itu akan dihancurkan atas dasar arsitektur mereka menggabungkan salib .... [T] situasinya tidak wajar.Di lokasi lain, seperti Gaziantep dan Ankara, bangunan telah direnovasi sehingga arsitektur berbentuk salib tidak lagi terlihat."
Secara terpisah, pada tanggal 18 September, seorang pria berkerudung rapat mendekati lalu mengancam Gereja St. Paul di Antalya, Turki. Peristiwa itu terjadi ketika para wakil dari tiga gereja bertemu bersama di sana. Sebagian untuk mempersiapkan perayaan peringatan 20 tahun pendirian pusat budaya mereka. Menurut berita,
"Pria itu menjadi kasar pembicaraannya. Ia mengancam hendak melakukan serangan fisik. Identitas pria itu tidak diketahui. Dia juga berhati-hati menyembunyikan wajahnya dari kamera keamanan. ... Dia berteriak-teriak bahwa dia sangat senang menghancurkan orang Kristen. Soalnya, ia melihat mereka sebagai sejenis parasitisme di Turki. Polisi sedang menyelidiki insiden tersebut. Ujaran kebencian adalah salah satu tantangan utama yang dihadapi umat Kristen Turki, yang sering dipandang sebagai pengkhianat negara karena meninggalkan Islam.
Serangan penganiayaan memang jarang terjadi, tetapi semakin meningkatnya jumlah ujaran kebencian di seluruh Turki menyebabkan ada kekhawatiran akan apa yang mungkin terjadi pada masa depan. "
Sebuah studi terpisah yang diterbitkan dalam Bahasa Armenia bulan September lalu menemukan bahwa total ada 6.517 insiden ujaran kebencian bertebaran dalam media Turki pada 2018. Dua kelompok masyarakat paling banyak menjadi sasaran; kaum Yahudi dan Armenia. Diikuti oleh masyarakat Suriah, Yunani, dan kelompok-kelompok Kristen lainnya.
Iran: Pemerintah mencabut status pengecualian pajak atas semua instituasi non-Muslim. Menurut sebuah berita,
"Dewan Kota Teheran tidak lagi menganggap gereja dan sinagoge memenuhi syarat untuk pembebasan pajak...Sebelumnya, lembaga-lembaga non-Islam ini memenuhi syarat untuk dibebaskan pajaknya selama mereka murni bersifat religius. Keputusan kota ini dikritik keras oleh anggota parlemen [Kristen] Asyuria... Konstitusi Iran mengakui kebebasan praktik beragama hanya bagi mereka yang dapat membuktikan bahwa keluarga mereka memang dari agama non-Muslim tertentu sebelum revolusi 1979. Ini [sic] berarti, secara teknis, umat Kristen Assyria dan Armenia harus punya beberapa kebebasan untuk beragama (walau terbatas). Namun kenyataannya, Iran tidak mengikuti hukumnya sendiri. Semua kelompok Kristen, serta minoritas agama lainnya malah menghadapi penganiayaan berat dari pihak berwenang. "
Aljazair: Pihak berwenang menutup dua gedung gereja lagi. Pada 24 September, delapan polisi tiba di Gereja Boghni lalu menyegel pintu dan jendela gereja Protestan. "Saya terkejut ketika salah satu polisi menghubungi saya supaya menemui mereka di tempat di mana gereja kami berada," Pastor Chergui menjelaskan. "Belum pernah saya terima pemberitahuan apa pun. Mereka langsung melanjutkan penutupan dengan menyegel gereja. Mereka bisa peringatkan kami sebelumnya; mengapa tidak mereka lakukan?" Bangunan itu melayani dua (jemaat) gereja terpisah. Jemaat Pastor Chergui beranggotakan 190 orang dan Gereja Protestan lainnya beranggotakan hampir 200 anggota dari desa tetangga. Polisi meninggalkan nota yang menjelaskan bahwa mereka menutup gedung itu karena "digunakan secara ilegal ... untuk merayakan ibadah non-Muslim." Berita terpisah yang membahas penutupan yang sama ini menguraikan soal aspek hukum dikutip mengatakan:
"Sejak November 2017, pemerintah terlibat dalam kampanye sistematis melawan umat Kristen. Gereja-gereja yang berafiliasi dengan EPA [Gereja Protestan Aljazair] ditantang untuk membuktikan bahwa mereka memiliki lisensi sesuai dengan persyaratan peraturan 2006 yang mengatur peraturan ibadah non-Muslim. Peraturan ini menetapkan bahwa semua tempat ibadah non-Muslim harus mendapatkan ijin. Namun, pemerintah belum mengeluarkan ijin pembangunan gereja [sic] berdasarkan peraturan ini dan mengabaikan permohonan ijin dari gereja untuk mengatur status mereka sesuai dengan peraturan. .
"Penutupan ini menambah jumlah bangunan gereja yang disegel yang berafiliasi dengan EPA, menjadi delapan gereja. Empat kelompok gereja lainnya telah diperintahkan untuk menghentikan semua kegiatan. Dalam setidaknya dua kasus, pihak berwenang menekan tuan tanah yang menyewa ke gereja-gereja untuk menghalangi akses umat Kristen ke tempat gereja berada."
Secara terpisah, pada 26 September - hanya dua hari setelah penutupan Gereja Boghni - pihak berwenang menutup gereja lain yang melayani 70 orang. Kebanyakan orang lanjut usia. Selain itu, gereja itu berfungsi sebagai sekolah Alkitab. "Mereka memberi tahu kami bahwa mereka memberi kami waktu untuk membersihkan barang-barang yang berguna sebelum mereka kembali untuk menyegelnya," kata pemimpin gereja Ali Zerdoud sehari sebelumnya. "Aku hanya bisa katakan satu hal: Ini tidak adil."
Diskriminasi Umum terhadap Umat Kristen
Mesir: Solidaritas Koptik (CS), sebuah kelompok hak asasi manusia (HAM), melakukan beberapa inisiatif September lalu. Khususnya dengan menghubungi Federasi Sepakbola Internasional (Fédération Internationale de Football Association), yang lebih dikenal sebagai "FIFA." Mereka hendak menarik perhatian pada fakta bahwa para pemain sepakbola Kristen di Mesir secara teratur didiskriminasi. Meskipun umat Kristen itu sekitar 10 persen dari populasi Mesir, namun tidak satu pun pemain dalam tim nasional dan cadangan itu Kristen. Solidaritas Koptik mencatat persoalan ini dalam surat 17 September yang dikirim kepada Komite Normalisasi Asosiasi Sepak Bola Mesir. Sebagian isi surat itu di antaranya sebagai berikut:
CS telah menerima lusinan laporan diskriminasi dari para pemain sepakbola Koptik di Mesir yang menunjukkan diskriminasi sistematis atas mereka hanya berdasarkan pada keyakinan, yang mencegah mereka dari mencapai tingkat kompetisi tertinggi. Sebagai tanggapan, CS kemudian menerbitkan laporan berjudul Discrimination Against Copts in Egyptian Sport Clubs (Diskriminasi Terhadap Umat Koptik dalam Klub Olahraga Mesir). Laporan itu juga kami kirimkan kepada FIFA melalui email dan melalui mekanisme pengaduan daring.
Laporan tersebut berisi tinjauan umum tentang luasnya diskriminasi terhadap umat Koptik dalam sepakbola. Termasuk di dalamnya banyak sumber informasi dan kesaksian dari kaum Muslim moderat yang menguatkan realitas diskriminasi yang sedang berlangsung. Ia juga memasukkan sampling 25 kasus yang dilaporkan kepada Solidaritas Koptik oleh pemain sepakbola Koptik.
Misi Olimpiade Mesir ke Brasil tahun 2016 sama sekali tanpa umat Koptik. Hal yang sama berlaku untuk tim nasional Mesir di Piala Dunia 2018 di Rusia. Tidak satu pun umat Koptik yang dapat ditemukan dalam tim utama atau cadangan. Saat ini ada 540 pemain di klub sepakbola papan atas di Mesir. Dan dari jumlah itu hanya ada satu pemain sepakbola Koptik.
Kanada: Dewan Imigrasi dan Pengungsi berusaha mendeportasi keluarga pengungsi. Terdiri dari seorang ibu dan tiga anak. Mereka sudah melarikan diri dari negara asalnya Nigeria setelah diserang dan diancam mati karena meninggalkan Islam dan pindah masuk Kristen. Menurut jurubicara keluarga:
"Mereka melarikan diri karena ibu mereka menyuratinya [putrinya]. Katanya, dia sangat kecewa bahwa dia seorang Kristen, harus melarikan diri karena ayahnya ingin membunuh-[nya] supaya posisinya dia semakin tinggi dalam organisasi."
Menurut Randy Lorenz, dari Organisasi Canadian Aid to Persecuted Christians:
"Mereka menghadapi satu fatwa melawan mereka. Karena berpindah dari Islam dan masuk Islam. Mereka yakin pasti mati jika kembali ke Nigeria. Karena itu, mereka sangat takut."
Menurut LifeSiteNews:
"Ironisnya, Hephzibah dan Rejoice [dua dari anak-anaknya, masing-masing berusia 14 dan 10] ditampilkan dalam sebuah foto Televisi CBC News bersama Perdana Menteri Kanada Trudeau. Judul keterangan foto yang menyertai menjelaskan bahwa mereka itu pendukungnya. Kenyataannya, mereka dan jurubicara keluarga telah menyampaikan permohonan kepada Trudeau secara pribadi ketika dia muncul dalam acara Niagara-on-the-Lake bulan lalu. "
Para pendukung keluarga mengatakan pemerintah tidak meluangkan waktu untuk menetapkan status kemanusiaan keluarga atau melakukan penilaian risiko yang tepat. "Mereka berupaya mengusir [mereka] dari negara ini sebelum itu." Status keluarga saat ini tidak jelas.
Raymond Ibrahim, pengarang buku baru, Sword and Scimitar, Fourteen Centuries of War between Islam and the West (Pedang dan Badik, Empat Belas Abad Perang antara Islam dan Barat), adalah mitra senior Kenamaan pada Gatestone Institute, Mitra Shillman pada David Horowitz Freedom Center dan pada Judith Rosen Friedman Fellow di Middle East Forum (Forum Timur Tengah).
Tentang Seri Ini
Memang tidak semua, atau bahkan tidak bisa dikatakan sebagian besar, kaum Muslim terlibat namun penganiayaan terhadap umat Kristen terus meningkat. Seri "Kaum Muslim Menganiaya Umat Kristen" dikembangkan untuk mengumpukan berbagai contoh aksi penganiayaan yang mengemuka setiap bulan walaupun tentu saja tidak semua.
Ia pun memperlihatkan bahwa penganiayaan tidaklah dilakukan secara acak tetapi sistematis dan terjadi dalam semua bahasa, etnis dan lokasi.