Menurut Jaksa Agung A.S. William Bar, "perusahaan pemasok yang tidak bisa dipercaya bisa memfasilitasi adanya spionase (termasuk spionase ekonomi) serta gangguan terhadap infrastruktur penting kita karena tingkah kekuatan asing. Ringkasnya, rekam jejak mereka sendiri, termasuk praktek Pemerintah Cina memperlihatkan bahwa Huawei dan ZTE tidak bisa dipercaya." (Foto oleh Ed Zurga/Getty Images). |
Dunia kini tengah menantikan informasi rinci "fase pertama" perjanjian dagang Cina – AS dari Pemerintahan Trump dilaporkan. Para pejabat AS berharap perjanjian dijalankan Januari 2020. Namun di tengah penantian itu, muncul pertanyaan yang jauh lebih mendasar: Haruskah Amerika berbisnis dengan Cina dalam bidang-bidang yang secara strategis penting atau bahkan di luar bidang-bidang itu?
Dalam wawancaranya 15 Desember 2019 lalu dengan Direktur Dewan Ekonomi Nasional Amerika Serikat, Larry Kudlow, wartawan Bisnis Fox Maria Bartiromo secara tidak langsung menyinggung pertanyaan ini. Bartiromo bertanya apakah kesepakatan usulan itu dianggap khusus bagi regulasi Cina yang tampaknya mengancam kekayaan intelektual (IP) perusahaan Amerika yang bertransaksi dengan Cina. Dia agaknya menyinggung Undang-Undang Enkripsi Cina yang baru, yang ditetapkan mulai berlaku 1 Januari 2020. Beberapa pihak memperlihatkan bahwa undang-undang itu memungkinkan Partai Komunis Cina (CCP) untuk mengumpulkan semua informasi yang berseliweran di jaringan Cina. Sejauh kesepakatan perdagangan tidak dianggap khusus untuk undang-undang ini, implikasinya adalah bahwa ketentuannya yang terkait dengan perlindungan IP dapat diperdebatkan. Berikut ini bagian yang relevan dari pertukaran ini:
MARIA BARTIROMO: Yang benar-benar ingin saya ketahui adalah soal kekayaan intelektual [Intelectual Property --IP] yang menjadi bagian perjanjian ini. Anda mengatakan bahwa Cina sudah memberikan beberapa janjinya kepada Anda untuk benar-benar melindungi janji-janji intelektual (intellectual promises) sebagai property. Tetapi sebaliknya, bukankah benar bahwa mereka baru melembagakan aturan keamanan cyber baru sendiri yang sudah siap bekerja sehingga katakan saja tidak ada perusahaan asing dapat mengenkripsi data. Dengan demikian, data tidak dapat dibaca pemerintah pusat dan Partai Komunis Cina? Dengan kata lain, dunia usaha diharuskan menyerahkan kunci enkripsi. Apakah aturan baru yang Cina berlakukan itu pada dasarnya meniadakan peluang apapun bagi AS untuk melindungi IP-nya?
LARRY KUDLOW: Baiklah, lihat. Akan kita lihat. Ada bab soal IP yang besar dalam kesepakatan ini. Juga ada bab besar soal transfer teknologi secara paksa dalam kesepakatan ini. Saya tidak berpikir bahwa kita cukup tahu tentang aturan-aturan Cina yang baru ini. Jadi kita harus pelajari. Dan omong-omong, jika mereka melanggar tentu kita ambil tindakan.
Kekhawatiran Bartiromo beralasan. Tidak hanya melihat penipuan Partai Komunis Cina (CCP) yang historis atas kesepakatan sejenis, tetapi karena sifat aturannya. Pertimbangkan, misalnya, Undang-Undang (UU) Keamanan Nasional Cina 2015. UU itu mengatakan bahwa semua warga negara, perusahaan dan organisasi "bertanggung jawab dan berkewajiban menjaga keamanan negara." UU Intelijen Nasional Cina 2017 juga mewajibkan orang dan lembaga tersebut untuk "mendukung, membantu dan bekerja sama dalam pekerjaan intelijen nasional..." Tidaklah sulit untuk melihat bagaimana Cina menerapkan aturan bahkan sampai jauh melebih UU Enkripsi untuk membenarkan pelanggaran atas perjanjiannya dengan AS dengan kedok "prihatin terhadap keamanan nasional" (national security concerns) dan "aturan hukum" (rule of law).
Pemerintahan Trump sudah menekankan mekanisme penegakan kesepakatan perdagangan, Juga menekankan bahwa "fase pertama" merupakan langkah kecil dalam proses panjang yang bertahun-tahun. Dengan demikian, Pemerintahan Trump meletakkan beban pada PKC untuk mematuhinya. Pendekatan ini menunjukkan bahwa AS mengaku paksa semacam itu berbahaya. Termasuk berbahaya pula bertransaksi dengan hal-hal yang mengkhawatirkan terkait dengan Partai Komunis Cina dalam industri yang peka.
Pertimbangkan, misalnya, keputusan Komisi Komunikasi Federal (Federal Communications Commission ---FCC) baru-baru ini yang menetapkan perusahaan telekomunikasi terkemuka Cina, Huawei dan ZTE sebagai "ancaman keamanan nasional."
Menurut Ketua FCC Ajit Pai, kebijakan itu akan "melarang dolar Dana Layanan Universal [USF] dipergunakan untuk membeli peralatan atau layanan dari perusahaan mana pun. Seperti dari Huawei, yang menjadi ancaman keamanan nasional." FCC juga "tengah memulai proses untuk membongkar dan menggantikan peralatan tersebut dari jaringan komunikasi yang didanai USF." Operator jarak jauh memanfaatkan $ 8,5 miliar dana USF (sekitar Rp 119 Triliun) untuk mensubsidi layanan komunikasi mereka di daerah berpenghasilan rendah dan berbiaya tinggi, seperti daerah pedesaan terpencil.
Jaksa Agung Amerika Serikat William Barr menyuarakan dukungannya untuk melarang perusahaan semacam itu terlibat. Departemen Kehakiman pernah menggugat Huawei dan ZTE dan memperlihatkan bahwa kedua perusahaan itu secara kumulatif terlibat berupaya menghindari sanksi AS atas Iran, mencuri kekayaan intelektual dan sejumlah kejahatan terkait lainnya. Termasuk di dalamnya, menghalangi upaya keadilan – serta lebih banyak lagi masalah keamanan nasional yang mendasar. Barr berpendapat bahwa "kesediaan untuk melanggar hukum AS disertai tekad untuk menghindari berbagai dampaknya dengan berupaya menghalangi upaya mencapai keadilan bertentangan dengan keandalan perusahaan pemasok." Dia, karena itu menambahkan:
"... perusahaan pemasok yang tidak terpercaya dapat memfasilitasi spionase (termasuk spionase ekonomi) dan gangguan infrastruktur penting kita karena tingkah-pola kekuatan asing. Singkatnya, rekam jejak mereka sendiri, termasuk praktik-praktik pemerintah Cina, menunjukkan bahwa Huawei dan ZTE tidak bisa dipercaya. "
Sebagaiman Ketua Pai ungkapkan:
Kekhawatirannya adalah bahwa aktor asing yang bermusuhan dapat menggunakan 'pintu belakang' tersembunyi ke jaringan kita untuk memata-matai kita, mencuri dari kita, membahayakan kita dengan program yang bertujuan merusak (malware) dan virus, atau mengeksploitasi jaringan kita. Seperti dilaporkan dalam sebuah laporan terbaru tentang keamanan 5G, 'ancaman paling parah terjadi akibat kerahasiaan, ketersediaan, dan integritas yang terkait dengan negara atau aktor yang didukung negara.' Dan ada banyak alasan untuk percaya bahwa perusahaan Cina, Huawei dan ZTE menimbulkan risiko yang tidak dapat diterima untuk keamanan nasional AS. "
Ketua Pai dan Jaksa Agung Barr sama-sama prihatin dengan hal-hal ini seperti yang terungkap luas di seluruh penjuru komunitas intelijen.
Jack Keane misalnya, pernah menuding Cina sebagai "pencuri data nomor satu di dunia." Ia sendiri pensiunan jenderal bintang empat dan ketua Institut Kajian Perang (Institute for the Study of War),
Mantan Penasihat Keamanan Nasional John R. Bolton pernah menyatakan Juni 2019 lalu, bahwa "Cina terus melakukan serangan cyber terhadap jaringan pemerintah dan sektor swasta supaya bisa memperoleh kekayaan intelektual untuk mendukung peningkatan militer dan modernisasi ekonomi Cina."
Penggantinya, Robert O'Brien baru-baru ini menegaskan adanya ancaman lain atas Amerika Serikat: "Bagaimana jika, demi tujuan demokrasi, Cina tahu setiap informasi pribadi, informasi pribadi tentang siapa pun kita ...?"
Hingga baru-baru ini, paling tidak, Pemerintahan Trump meski kurang dihargai, turut berupaya melarang berbagai produk buatan perusahaan Cina supaya tidak masuk ke dalam pemerintah federal serta infrastruktur vital negara-negara sekutu. Aksi itu mendapat dukungan Kongres.
Di bidang domestik, cabang eksekutif dan legislatif juga terlibat dalam aksi saling menguatkan. Termasuk di dalamnya: menambahkan Huawei dan puluhan perusahaan afiliasinya dalam Daftar Entitas Departemen Perdagangan (Commerce Department's Entity List). Daftar itu diperkuat lagi dengan UU Otorisasi Pertahanan Nasional yang akan datang yang membatasi ekspor barang yang memprihatinkan AS sampai kepada perusahaan itu. Mengancam akan mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang peralatan telekomunikasi Cina masuk dalam jaringan nirkabel. Melakukan tinjauan administratif yang akhirnya berdampak pada runtuhnya penggabungan perusahaan Broadcom – Qualcomm. Kongres mengesahkan legislasi yang membatasi pembelian yang terkait dengan Huawei oleh badan-badan eksekutifnya berikut banyaknya rancangan tambahan legislasi atau permintaan Pemerintahan Trump untuk melindung Amerika Serikat dari perusahaan-perusahaan telekomunikasi Cina. Termasuk melarang Huawei memasuki jaringan listrik AS.
Di pihak asing, Amerika terlibat dalam kampanye global untuk mencegah negara-negara mengijinkan Huawei membangun infrastruktur generasi kelima (5G). Yang menyedihkan, hasil kampanye ini jelas campur aduk. Ia memperlihatkan jangkauan perusahaan telekomunikasi Cina yang berbahaya tetapi sekaligus strategi raksasa Cina bagi hegemoni global.
Huawei bukanlah satu-satunya mikrokosmos tetapi pasak penjaga roda dalam seluruh strategi Cina untuk mencapai "dominasi internasional," seperti yang baru-baru ini Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo rumuskan. Selain itu, ada satu hal sangat mendasar dalam strategi Cina. Yaitu upayanya untuk secara strategis mendominasi industri penting dan memanfaatkannya supaya bisa mendapatkan tumpuan global melalui perdagangan yang akhirnya melayani tujuan Partai Komunis Cina (CCP), entah dalam keamanan nasionalnya sendiri atau dalam kemampuannya untuk lebih jauh memproyeksikan kekuatannya.
Seperti banyak perusahaan Cina, Huawei mungkin sangat tepat diperhitungkan sebagai "lembaga yang bisa digunakan secara ganda" (dual-use entity). Sebagai perusahaan penjual produk kepada masyarakat sipil tetapi yang dapat juga punya aplikasi militer demi tujuan-tujuan pemerintah.
Huawei, adalah pabrik peralatan telekomuniasi terbesar dunia. Dia pesaing utama Barat dalam perlombanan untuk bidang penting teknologi 5G. Peruahaan-perusahaan Barat akhir-akhir ini sudah kalah dalam perlombaan ini. Akibatnya, ia berpotensi memberikan perubahan yang sangat besar (cataclysmic) seperti yang baru-baru ini ditulis oleh Gordon Chang untuk Gatestone Institute:
Dengan kecepatan 2.000 kali lebih cepat daripada jaringan 4G yang ada sekarang, 5G memungkinkan terjadinya sambungan yang nyaris universal sampai ke rumah, kendaraan, mesin, robot, atau apa saja yang disambungkan dengan Internet of Things (IoT). (IoT adalah konsep bahwa piranti tertentu punya kemampuan untuk memindahkan data lewat jaringan tanpa membutuhkan interaksi dari manusia kepada manusia atau dari manusia dengan perangkat komputer, pent. J.E.L)
Lebih jauh lagi, cukup dengan semuanya tersambung dengan apa saja, Cina bakal mencuri informasi dunia. [Tekanan dari pengarang].
Huawei oleh defenisi Barat apapun, bukanlah sebuah perusahaan swasta pasar bebas.
Pendirinya, Ren Zhengfei. Dia anggota Korps Insinyiur Pasukan Pembebasan Rakyat (PLA), sayap militer Partai Komunis Cina. Dia bekerja di sana sejak 1974 sampai 1983. Dalam bidang penelitian telekomunikasi. Dia sudah lama menjadi anggota Partai Komunis Cina yang berkuasa yang berbicara blak-blakan.
Selain itu, menurut sebuah laporan tahun 2009 yang dipesan oleh Komisi Peninjauan Ekonomi dan Keamanan Kongres AS – Cina (USCC), Huawei termasuk di antara beberapa perusahaan teknologi Cina yang "berasal dari lembaga penelitian negara." Karena itu diduga ada dana awal besar dari bank yang didukung negara. .
Akibatnya, pada setiap kesempatan, Huawei dihujani dengan dukungan negara yang berasal dari Partai Komunis Cina lewat Pasukan Tentara Pembebasan Rakyat serta "berbagai kesepakatan yang manis". Dia pun dijuluki "juara nasional" oleh Pemerintah Cina. Berdasarkan julukannya itu, negara memberikan sejumlah langkah proteksionisme dan keistimewaan lain yang dirancang untuk memastikan ia tetap mendominasi dan bertumbuh. Atau dia menerima miliaran dolar dalam bentuk pinjaman bank Pemerintah Cina yang membuatnya mampu melemahkan pesaing global dan mendominasi pangsa pasar.
Ren Zhengfei karena itu pernah mengatakan, "Jika tidak ada kebijakan pemerintah untuk melindungi [Huawei], Huawei tidak akan ada lagi."
Yang paling penting lagi, Huawei bertumbuh-kembang menjadi perusahaan raksasa dengan pendapatan $100 miliar (sekitar 1.400 Triliun) per tahun. Ia punya 180.000 karyawan di 170 negara yang melayani tiga miliar pengguna akhir. Semua itu dilakukannya sambil memperkuat ikatan yang mendalam dengan aparat keamanan Cina.
Sebuah kajian dari RAND (Lembaga Kajian Research And Development yang berpusat di Amerika Serikat) pada 2005 menegaskan bahwa Huawei "mempertahankan hubungan yang dalam dengan pihak militer Cina. Ia berfungsi ... sebagai pelanggan penting ... pelindung politik dan mitra penelitian dan pengembangan." Yang paling mengkhawatirkan, ada bukti bahwa Huawei menyediakan apa yang disebut "layanan jaringan khusus" untuk "unit perang cyber elit" Pasukan Pembebasan Rakyat (PLA).
Huawei juga terkait dengan Menter Keamanan Negara Cina (MSS). Lembaga ini setara dengan Badan Intelijen Pusat (Central Intelligence Agency ---CIA)-nya Beijing.
Akhirnya, menurut hukum Cina, satu sel Partai Komunis harus beroperasi di dalam Huawei. Ketika ditanya oleh penyelidik AS apakah peran Komite Partai, Huawei menghindari menjawab. Selanjutnya, persoalan itu dicatat oleh Komite Seleksi Permanen DPR urusan Intelijen pada tahun 2012 dalam sebuah klaim. Ternyata klaim itu didukung oleh Undang-Undang Anti-Spionase Cina 2014 yang sebelumnya merujuk pada Undang-Undang Intelijen Nasional 2017 yang berbunyi:
Cina bisa menjalin kerja sama dengan kepemimpinan perusahaan seperti Huawei... Bahkan jika kepemimpinan perusahaan itu menolak permintan itu sekalipun, Dinas Intelijen Cina hanya perlu merekrut pekerja tingkat teknisi dan manejer yang sedang bekerja di sana...Lebih jauh lagi, tampaknya berdasarkan hukum Cina...Huawei berkewajiban untuk bekerja sama dengan permintaan apapun dari Pemerintah Cina untuk menggunakan sistem mereka atau mengakses sistemnya untuk tujuan-tujuan jahat dengan kedok keamanan negara.
Faktanya, tidak ada perusahaan Cina yang dapat diasumsikan beroperasi tanpa restu tersirat dari Partai Komunis Cina. Terutama perusahaan yang sangat penting untuk tujuan yang lebih luas. Memang, Huawei diidentifikasi sebagai juara nasional yang mungkin tetap sebagai perusahaan paling penting dari semua usaha global Cina.
Pada Maret 2015, misalnya, Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional Cina (NDRC) mengeluarkan laporan tentang apa yang disebutnya sebagai Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative ---BRI). Niatnya yang terungkap adalah untuk;
... mempromosikan kemakmuran ekonomi negara-negara sepanjang Sabuk dan Jalan serta kerja sama ekonomi regional ... sekaligus mempromosikan perdamaian dan pembangunan dunia ... [melalui] kerja sama [yang] menampilkan rasa saling menghormati dan saling percaya, saling menguntungkan dan kerja sama yang sama-sama menang (win-win cooperation)...
Termasuk dalam visi ini adalah ajakan bagi adanya "Jalur Sutera Informasi" atau "Jalur Sutera Digital." Berikut adalah bagaimana Komisi Tinjauan Ekonomi dan Keamanan AS-Cina menggambarkannya dalam Laporan Tahunan USCC tahun 2018:
"Jalur Sutera Digital " merupakan rencana Cina untuk mengintegrasikan berbagai sektor digital seperti telekomunikasi, Internet of Things dan perdagangan elektronik dalam visinya supaya saling tersambung sama lain di seluruh kawasan. Ia menjadi... komponen penting BRI. Menurut...Wakil Menteri Industri dan Teknologi Informasi Cina, Jalur Sutera Digital akan membantu "membangun komunitas yang mempunya nasib bersama di dunia maya" - sebuah frase yang mencerminkan bahasa yang Cina pergunakan untuk menggambarkan visi pilihannya untuk tatanan global yang selaras dengan keinginan Beijing. .. Ketika perusahaan-perusahaan Cina memasang kabel serat optik, memasok proyek kota cerdas, dan memperluas penawaran perdagangan elektronik, mereka tengah memperluas pengaruh Cina atas ekonomi digital global untuk menyelaraskannya lebih dekat dengan visi Beijing tentang tatakelola internet. [Penekanan dari pengarang.]
Meskipun Cina menganggap BRI itu sebuah inisiatif yang ramah, namun "Buku Biru Keamanan Non-Tradisional" seharusnya harus menjadi perhatian. Menurut analis John Lee,
... buku tahunan karya para akademisi dan peneliti yang mendapatkan dukungan negara, menyatakan bahwa dua tujuan BRI [Belt dan Road Initiative] adalah untuk mengurangi akal-bulus dan ide-ide geopolitik pimpinan Amerika. Sekaligus untuk... mempromosikan wacana dan tata-dunia internasional baru yang meningkatkan kekuatan nasional dan kekuatan lunak (soft power) Cina.
Lee menambahkan bahwa BRI bermaksud mengembangkan "negara-negara pendukung strategis." Negara-negara seperti itu, per satu analisis, bermaksud memastikan "Cina punya kemampuan dan sumberdaya yang memandu tindakan negara-negara itu sehingga sesuai dengan kebutuhan strategis [Cina]."
Pemerintahan Trump sudah mempelopori upaya bipartisan di Kongres. Inisiatif ini harus dipuji karena mengakui adanya ancaman agresi Cina. Termasuk mengakui adanya ancaman dari perusahaan telekomunikasi. Dengan demikian, ia membereskan masalah yang lama tertunda yang dihadapi pihak keamanan nasional A.S. Pemerintahan Trump, setelah puluhan tahun Amerika Serikat sengaja buta, terlibat dalam upaya yang sangat keras untuk menjalankannya pada seluruh strategi pemerintah untuk mulai melawan ekspansi Cina Komunis.
Bagaimanapun, perusahaan seperti Huawei bisa menjadi persoalan besar. Ia membutuhkan tanggapan yang luas. Dan ini menggambarkan masalah yang lebih dalam yang baru mulai mau diakui oleh Amerika: Yaitu persoalan, bagaimana bisa AS bertransaksi dengan Cina dalam bidang strategis apa pun mengingat tujuan rezim komunis serta kekuatannya atas setiap lembaga di Cina? Mungkinkah jawaban terbaik adalah dengan membatalkannya (decouple)? Apakah AS akhirnya memperjual-belikan kebebasannya?
Ben Weingarten adalah seorang mitra pada Claremont Institute dan Kontributor Senior untuk The Federalist. Dia terpilih sebagai Mitra Jurnalisme Robert Novak 2019 dari The Fund for American Studies. Kini dia sedang mengerjakan sebuah buku tentang kebijakan AS-Tiongkok.