(Sumber gambar: iStock) |
Tanggal 12 Oktober 2019. Pertemuan Dewan Regional Bourgogne-Franche-Comté diselenggarakan di Dijon, sebuah kota yang tenang di Prancis tengah. Seorang wanita berkerudung hitam panjang berada di antara hadirin. Tampaknya tengah menemani sekelompok siswa. Tiba-tiba, Ketua Kelompok Partai National Rally di Dewan Regional, Julien Odoul, bangkit. Dia lalu mengatakan bahwa kehadiran seorang wanita berkerudung di gedung publik tidak sesuai dengan nilai-nilai Republik Prancis:
"Kita sedang berada dalam gedung publik. Kita berada di kandang demokratis. Setiap waktu, nyonya itu bisa berkerudung di rumah, di jalanan. Tapi tidak di sini. Tidak hari ini. Ini Republik. Ini sekularisme. Ini hukum negara Republik. Tidak ada tanda-tanda yang mencolok. "
Dia tidak mengancam atau melakukan kekerasan. Namun kata-katanya langsung membuat orang lain di ruangan itu pun marah. Seorang anak lelaki, tampaknya putra wanita berkerudung itu, mendadak menangis dalam pelukannya. Dia kemudian pelahan meninggalkan ruangan. Diikuti anak-anak lain.
Peristiwa ini langsung disorot suratkabar dan televisi di seluruh Prancis. Odoul digambarkan sebagai provokator. Juga "orang rasis yang fobia terhadap Islam yang tercela". Para pemimpin partai politik Prancis malah meminta Marine Le Pen, Presiden Partai Parade Rally untuk meminta maaf dan mengeluarkan Odoul dari partai. Dia menjawab bahwa Odoul itu "kikuk" dan "seharusnya tetap diam." Meskipun demikian, dia tidak mengeluarkan Odoul dari partainya.
Belakangan, sebuah, petisi muncul dalam Harian Le Monde. Judulnya, "How far will we let hatred towards Muslims go?" (Seberapa jauh kita biarkan kebencian terhadap umat Islam terjadi?). Petisi itu melukiskan Prancis sebagai " negara di mana umat Muslim distigmatisasi" sebagai "korban rasisme", "dipisahkan" dan "dikucilkan". Tanpa menyebut-nyebut soal serangan terroris baru-baru ini di Markas Besar Kepolisian Paris di mana empat pegawai polisi dibunuh seorang kolega mereka, Mickael Harpon, seorang mualaf. Petisi tersebut mengecam keputusan beberapa lembaga publik untuk "memantau tanda-tanda radikalisasi di antara karyawan Muslim mereka".
Petisi itu juga tidak menyebutkan bahwa serangan ini mendorong lembaga publik untuk membuat langkah pencegahan. Petisi ditandatangani oleh 90 penulis Muslim, aktor dan profesor universitas, termasuk beberapa intelektual non-Muslim. Sejak itu, lebih dari 230.000 orang menandatanganinya.
Beberapa hari kemudian, petisi lain diterbitkan dalam Mingguan Marianne. Ditandatangani oleh seratus Muslim. Entrinya berjudul, "Kerudung itu seksis dan obskurantis". Seluruh teks tentang jilbab Islam:
"Mengenakan jilbab menjadi tanda mencolok dari pemahaman tentang Al-Qur'an yang surut, tidak jelas dan seksis. Wanita berjilbab ada untuk memberi stigma atas kehadiran mereka di ruang publik".
Sejak itu, perdebatan tentang kerudung di Prancis berlangsung tanpa henti.
Dari (sudut pandang) AS atau Inggris, diskusi seperti itu mungkin terlihat aneh. Tetapi Prancis adalah negara tempat menganut sebuah agama sudah lama dianggap sebagai urusan pribadi yang sama sekali tidak boleh masuk ruang publik.
Selain itu, relatif baru-baru ini saja jilbab ditampilkan luas di Prancis. Dengan cepat ia menjadi lebih daripada sekedar tanda agama. Banyak orang sekarang menganggap kerudung sebagai panji Islam radikal. Sekaligus simbol upaya terorganisasi untuk mengubah masyarakat Prancis.
Upaya untuk membawa jilbab ke sekolah-sekolah Prancis dan sekolah menengah dalam skala besar dimulai pada tahun 1989. Segera setelah itu, organisasi Muslim yang meminta siswa untuk memiliki hak mengenakan jilbab di sekolah juga meminta kurikulum sekolah diubah. Dalam hal ini, kurikulum sejarah, sehingga peradaban Muslim disajikan dengan cara yang lebih "tepat" dan "positif".
Beberapa tahun belakangan, para guru mulai melaporkan kepada Departemen Pendidikan Nasional bahwa sekarang tidak mungkin untuk berbicara tentang Holocaust di kelas tanpa terganggu oleh pernyataan siswa Muslim yang negatif dan anti-Semit. Departemen Pendidikan Nasional wajib memodifikasi program pelajaran sejarah. Peradaban Muslim kini dilukiskan dalam buku-buku teks Prancis sebagai membawa banyak hal bagi dunia dan Eropa. Referensi apa pun yang berbicara tentang praktik perbudakan yang berkelanjutan di dunia Muslim, atau pembantaian yang dilakukan oleh pejuang Muslim pun dihapuskan.
Pada saat yang sama, karena pihak Departemen Pendidikan Nasional tetap tidak menanggapi apa yang dilaporkan oleh para profesor, beberapa dari mereka memutuskan menulis sebuah buku. Judulnya, Les Territoires perdus de la République ("Wilayah Republik yang Hilang"). Buku itu diterbitkan pada tahun 2002 di bawah arahan sejarawan Georges Bensoussan.
Buku itu mungkin mendorong Luc Ferry, Menteri Pendidikan Nasional masa itu, untuk meminta seorang akademisi, Jean-Pierre Obin untuk melakukan penyelidikan dan menulis laporan yang disampaikan September 2004. Laporan itu menekankan bahwa situasinya memang sudah sangat serius. Bahwa guru sejarah tidak bisa lagi berbicara tentang Holocaust di hadapan siswa Muslim. Mereka juga tidak bisa lagi berbicara tentang Israel atau Perang Salib. Lebih jauh lagi, guru biologi tidak bisa berbicara tentang evolusi karena teori evolusi tidak sesuai dengan Al-Quran. Di mana pun siswa Yahudi berhubungan dengan siswa Muslim, lanjut laporan itu, mereka dilecehkan. Dan ketika insiden serius terjadi antaranak-anak, pejabat sekolah tidak menghukum penyerangnya tetapi sebaliknya menyarankan orangtua Yahudi untuk mendaftarkan anak-anak mereka di tempat lain. Gadis-gadis Muslim, laporan itu memperlihatkankan memang tidak berjilbab dalam sekolah, tetapi semakin banyak mengenakannya begitu berada di luar halaman sekolah. Selain itu, mereka juga melecehkan gadis-gadis Muslim yang tidak berjilbab. Namun, media mainstream segera mengatakan bahwa laporan itu "fobia terhadap Islam" (Islamophobic). Laporan itu, karena itu, tidak berdampak
Sementara itu, pinggiran kota-kota besar tempat komunitas Muslim bertumbuhkembang menjadi lingkungan tempat para gadis dan wanita tidak berjilbab dihina, diserang. Kadangkala diperkosa. Bahkan diperkosa beramai-ramai di ruang bawah tanah. Di Vitry, dekat Paris, pada Oktober 2002, seorang wanita muda Muslim tak berjilbab, Sohane Benziane, 17, dibakar hidup-hidup. Di Marseille, wanita Muslim lain yang tidak bejilbab, Ghofrane Haddaoui, 23, dirajam dengan batu hingga tewas. Ketika keluarga-keluarga non-Muslim yang tidak mau tunduk pada hukum geng dan orang-orang Islam radikal, berangsur-angsur pergi dari sana, lingkungan pun menjadi tempat di mana setiap wanita sadar bahwa pergi keluar rumah tanpa mengenakan jilbab itu berbahaya.
Bagi banyak orang, jilbab menjadi tanda penindasan terhadap perempuan sekaligus terkait dengan zona larangan bepergian - zones urbaines sensibles ("zona perkotaan yang sensitif"). Pada tahun 2006, ada 751 zona seperti itu di negeri ini. Di sana, kaum non-Muslim umumnya disisihkan, terlepas dari keadaan luar biasa.
Di zona larangan bepergian ini, pada musim gugur 2005, berbagai kerusuhan meletus. Pemerintah Prancis dihadapkan pada situasi yang di luar kendali. Harus mengandalkan organisasi Muslim dan para imam untuk memulihkan ketenangan. Zona Larangan Bepergian pun dengan demikian menjadi daerah Muslim otonom di wilayah Prancis.
Pada tahun-tahun berikutnya, populasi Muslim bertumbuh semakin lebih besar. Organisasi-organisasi Muslim pun semakin penting. Terutama Ikhwanul Muslimin Cabang Perancis - yang saat itu disebut Union of Islamic Organizations of France (Persatuan Organisasi Islam Prancis ---UOIF). Kini organisasi ini bernama Muslim Prancis. Para khatib populer, seperti Hassan Iquioussen atau Tariq Ramadan (yang terakhir sejak 2018 didakwa atas beberapa pemerkosaan), mengatakan di masjid-masjid bahwa jilbab itu "wajib dalam Islam." Ia lahir dari kebutuhan perempuan untuk menjadi ""sederhana." Para khatib ini menambahkan bahwa memaksa wanita Muslim untuk tidak berjilbab di ruang publik adalah cara untuk "memaksa mereka tinggal di rumah". Mereka juga menuduh siapa pun yang menentang pemakaian jilbab ingin "mengeluarkan" wanita Muslim dari masyarakat. Wanita Muslim yang tergabung dalam organisasi-organisasi itu kemudian mulai mengulang-ulang pandangan ini.
Kini Islamisasi Perancis sudah semakin kuat berakar. Wanita berjilbab bisa dilihat di mana-mana. Wanita lain sadar bahwa jika mereka mengenakan gaun atau rok yang mungkin terlihat tidak sopan, mereka bisa berisiko. Zineb El Razhoui, seorang jurnalis yang biasa menulis untuk majalah satir Perancis Charlie Hebdo, mengatakan bahwa semua wanita Prancis, termasuk para wanita non-Muslim, kini terancam. Dia karena itu melanjutkannya dengan mendokumentasikan ledakan jumlah serangan seksual di Perancis: Ada 235.000 pengaduan perkosaan atau percobaan perkosaan diajukan pada tahun 2018. Jumlah itu sama dengan 62.000 kasus lebih banyak daripada tahun 2016. Pada 2005, ada 9.993 pengaduan perkosaan atau percobaan perkosaan diajukan, sebuah angka pada saat itu dianggap mengkhawatirkan.
Akibatnya, El Razhoui pun mendapat ribuan ancaman mati. Baik dalam Bahasa Arab dan Prancis.
Georges Bensoussan, dalam bukunya bertajuk Une France soumise ("Prancis yang Takluk) yang terbit 15 tahun setelah The Lost Territories of the Republic (Kawasan Republik yang Hilang), mencatatkan apa yang terjadi pada semua wanita Prancis: Adanya rasa takut keluar rumah yang tersebar luar. Khususnya pada petang hari.
Dalam berbagai perdebatan di televisi, para wanita Muslim berjilbab yang diundang berbicara mengatakan bahwa memakai jilbab "adalah pilihan mereka". Juga bahwa Prancis harus "menyesuaikan diri dengan Islam."
Pada 27 Oktober 2019 ada demonstrasi menentang "Islamofobia" di Prancis. Diikuti oleh ratusan wanita berjilbab. Mereka membawa plakat yang mengatakan, "Jika cara saya berpakaian menganggumu, tinggalkan negeriku" dan "Berhentilah menganiaya kaum Muslim." Salah satu dari penyelenggara demo ketika diwawancara di televisi mengatakan:
"Kaum Muslim Prancis menderita semakin banyak penganiayaan. Mereka ingin melarang kami menjadi Muslim. Prancis itu negara kami. Orang yang tidak suka dengannya, harus pergi ke tempat lain."
Pada 30 Oktober, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengaku ingin bereaksi dengan memberikan wawancara kepada Mingguan Valeurs Actuelles. "Dengan sekuat tenaga, saya berjuang melawan sektarianisme," urainya. Tetapi segera dia menambahkan, "Saya tidak ingin terjebak. Dan saya tidak akan pernah mengatakan sektarianisme itu sama dengan Islam."
Seorang kolumnis, Ivan Rioufol lantas menanggapinya dengan menulis dalam harian Le Figaro. Dikatakannya bahwa semua orang tahu satu-satunya sektarianisme di Perancis sekarang ini adalah sektarianisme Islam. Karena itu, menurut penulisnya, pernyataan presiden itu menggelikan. Dia juga menulis, "Mekanisme intimidasi terpicu .... dan setiap kritik terhadap Islam sekarang dianggap penistaan agama."
Macron bukan satu-satunya orang yang menghindari menggunakan kata "Islam". Semua perdebatan tentang topik itu pun menghilang dari suratkabar dan stasiun televisi. Hampir semua wartawan, ketika berbicara tentang zona larangan bepergian, hanya menggunakan istilah resmi; "daerah perkotaan yang sensitif".
Para wartawan memang mencatat tanda-tanda adanya "radikalisasi" di kalangan muda pinggiran kota, tetapi tidak berani mengatakan "radikalisasi" seperti apa. Ketika serangan dengan pisau dilakukan seorang Muslim (serangan pisau terhadap orang yang lewat sekarang sering terjadi), penyerang digambarkan sebagai melakukan tindakan "yang tak dapat dijelaskan" atau menderita gangguan mental. Meski mualaf pembunuh empat pegawai polisi di Markas Besar Kepolisian Paris awalnya digambarkan melakukan "aksi teroris", namun, beberapa hari lalu, Kementerian Kehakiman Prancis justru mengatakan bahwa pemeriksaan menyeluruh atas fakta menyebabkan hakim menyimpulkan bahwa apa yang terjadi hanyalah "sengketa professional." Tidak ada motif teroris.
Pada tanggal 31 Oktober, Kementerian Dalam Negeri Perancis mengatakan bahwa 33 polisi dilaporkan kepada atasan mereka sebagai "diradikalisasi." Namun mereka tidak dipindahkan dari kepolisian. Ketika Alexandre Langlois, Sekretaris Jenderal Serikat Polisi Vigi, Juni 2019 lalu menyatakan bahwa jumlah polisi "radikal" di Prancis sebenarnya jauh lebih besar, ia malah diganjari dengan penangguhan kenaikan pangkat selama satu tahun.
Menyesatkan mengatakan bahwa Muslim dianiaya di Prancis. Sebuah laporan resmi tentang angka-angka aksi anti-agama di Perancis pada 2018 mencatat bahwa lebih dari seribu aksi anti-Kristen telah dilakukan. Sebanyak 541 aksi anti-Semit (64% lebih banyak dari tahun 2017), dan 100 tindakan anti-Muslim. Rincian berbagai aksi itu membuat orang melihat bahwa aksi anti-Kristen sebagian besar adalah tindakan vandalisme atas gereja. Aksi anti-Semit seringkali terdiri dari penodaan kuburan dan serangan kekerasan terhadap masyarakat Yahudi. Juga bahwa aksi anti-Muslim nyaris hanya melibatkan grafiti anti-Muslim atau menaruh irisan daging babi di pintu masuk masjid atau di kotak surat organisasi Muslim. Tidak ada Muslim yang diserang secara fisik.
Jumlah serangan terhadap masyarakat Yahudi itu mengkhawatirkan, karena masyarakat Yahudi merepresentasikan kurang dari satu persen populasi Prancis. Sammy Ghozlan, Presiden Kantor Siaga Nasional Melawan Anti-Semitisme (BNVCA), mengatakan di televisi bahwa nyaris semua serangan terhadap orang Yahudi dilakukan oleh kaum Muslim.
Sejak 2012, serangan teroris kaum Islam radikal di Perancis merenggut 263 nyawa. Sementara satu-satunya serangan terhadap kaum Muslim di Paris terjadi pada 29 Oktober 2019. Tepatnya, ketika seorang veteran berusia 84 tahun, Claude Sinke, menembaki Masjid Bayonne di Prancis barat daya dan melukai dua orang.
Terlepas dari putusan pengadilan dan ancaman yang menghujaninya, satu-satunya wartawan yang berani berbicara terbuka tentang Islam, adalah Éric Zemmour. Dia belum bisa dibungkam. Berbagai kalangan meminta dia dikucilkan dari media namun sejauh ini belum berhasil. Tetapi mereka belum menyerah. Zemmour berpartisipasi dalam talk show harian di Saluran Televisi C News. Beberapa perusahaan yang beriklan di C News berupaya memboikot saluran tersebut supaya ia dikeluarkan dari acara. Sebagian besar pemimpin politik Prancis menyatakan tidak akan menerima undangan Televisi C News sampai Zemmour dipecat. Untuk tujuan itu, beberapa wartawan sayap kiri menulis artikel lalu menandatangani dan menerbitkannya di majalah daring Mediapart. Mereka menuntut supaya Zemmour dikucilkan sepenuhnya dan permanen dari semua media:
"Memberinya akses kepada khalayak itu suatu perbuatan jahat. Rasisme itu seruan supaya membenci dan melakukan kekerasan terhadap minoritas. Itu kejahatan! Zemmour dijatuhi hukuman karena menghasut orang untuk benci. Kebencian! Kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan selama Perang Dunia II dimulai dengan ujaran kebencian."
Organisasi-organisasi Muslim menyerukan supaya demonstrasi dilaksanakan di depan Kantor Stasiun Televisi C News setiap minggu. Juga mengatakan bahwa aksi unjurasa mereka akan berlangsung sampai Zemmour "menghilang". Dalam sebuah demonstrasi pada 2 November, salah satu penyelenggara, Abdelaziz Chaambi yang tercatat dalam database kepolisian karena hubungannya dengan organisasi Islam yang kejam, malah menyebut Zemmour sebagai "monster kotor" dan "bajingan Zionis". Dan Chaambi disambut hangat oleh orang banyak.
Stasiusn Televisi C News sejauh ini belum tunduk pada tekanan. Malah sebaliknya, perusahaan itu mengeluarkan pernyataan bahwa program Zemmour sekarang akan disiarkan setelah pengacara memeriksa isinya dengan saksama untuk melihat apakah ada materi yang kontroversial yang sudah dihapus.
Mereka yang menuduh Zemmour rasis atau menghasut orang untuk membenci dan melakukan kekerasan tidak pernah mengutip ungkapan rasis atau hasutan untuk membenci atau melakukan kekerasan yang pernah diucapkan Zemmour. Dan memang tidak ada ucapan itu. Dia dikecam karena mengatakan bahwa "di pinggiran kota-kota Perancis yang tak terhitung banyaknya itu, banyak gadis memakai jilbab. Juga ada upaya untuk mengislamkan suatu wilayah." Jadi, di Prancis sekarang ini, mengatakan bahwa gadis-gadis pinggiran kota itu berjilbab dan bahwa ada keinginan untuk mengislamkan wilayah itu bisa membuat pengadilan menghukum (condemned) anda.
Zemmour tampaknya pesimistis. Setahun silam, dia pernah mengatakan bahwa ia "sedang berjuang bagi kelangsungan hidup Prancis." Tetapi dia khawatir itu adalah "dia sudah kalah dalam pertempuran itu ". Dia pernah mengatakan bahwa Prancis terancam bukan oleh risiko "pemisahan wilayah", tetapi oleh "kolonisasi" yang terbalik. Dia bisa terbukti benar.
Pada September 2017, ekonom Charles Gave menerbitkan sebuah article. Judulnya, "Tomorrow, the Demographic Suicide of Europe" (Besok, Bunuh Diri Demografis Eropa). Dalam artikel itu ia menjelaskan bahwa semua data menunjukkan bahwa sebelum akhir abad ke-21, Prancis akan menjadi negara mayoritas Muslim. Kecuali jika ada perubahan yang mendalam dan tidak bisa dipercaya terjadi. Dia menambahkan bahwa minoritas Muslim saat ini akan memiliki bobot itu, sehingga dalam tiga puluh tahun, pada tahun 2050, Prancis akan tunduk kepada Islam. Para pakar demografi yang mempelajari masalah ini, seperti Michèle Tribalat, membenarkan temuan itu. Gave karena itu langsung dikecam dalam pers arus utama sebagai "fobia terhadap Islam" dan menggunakan "penalaran yang bodoh."
Para imam di berbagai masjid Prancis dan dunia Muslim tampaknya tidak berpikir bahwa penalaran Gave itu bodoh dan karena itu mengungkapkannya secara terbuka. Pada 12 Maret lalu, Iman Masjid al-Aqsa di Yerusalem memaklumkan:
"Pada 2050, Prancis bakal menjadi negara Islam. Kami yakin kaum Muslim bakal punya negara yang akan mengantarkan Islam, bimbingannya, cahayanya, pesan dan belas kasihnya kepada masyarakat Barat lewat jihad, demi kepentingan Allah... Pada masa Kekaisaran Utsmaniyah, kaum Muslim menaklukan Polandia dan Austria. Seruan sholat sudah dikumandangkan di sana. Negara Islam mampu menemukan kembali identitasnya yang sebenarnya untuk menyebarkan Islam, Insyaalah. Sarana yang dapat kita pergunakan kapan saja adalah pertobatan untuk masuk Islam, jizya (baca: pajak perlindungan ala Islam kuno). Atau kita meminta Allah membantu memerangi orang-orang kafir.
Perjuangan melawan "orang-orang kafir" dengan demikian sudah berlangsung.
Sejumlah besar warga Prancis menjadi mualaf. Victor Loupan, seorang komentator pada Radio Kristen Notre Dame mengatakan:
"Angkanya kita tidak tahu. Tetapi jika kau jalan-jalan di jalan, kau akan terkejut oleh jumlah orang Eropa berkulit putih yang mengenakan pakaian Islami."
Seorang wartawan Prancis keturunan Libanon, Maya Khadra, dalam sebuah wawancara di Televisi Al-Hurra mengaku bahwa salah seorang temannya pernah mewawancarai kaum Muslim Prancis di kawasan pinggiran Kota Paris. Mereka ditanya mengapa menerima uang dari Negara Prancis, tetapi pada saat yang sama mengatakan membenci Prancis. Mereka lantas menjawab: "Yang mereka bayarkan kepada kami itu adalah jizya (pajak perlindungan ala Islam).
Salah seorang penasehat Macron, Yassine Bellatar, baru-baru ini sebelum mengundurkan diri pada 17 Oktober 2019 lalu mengatakan,
"Kita tidak sedang ada dalam proyek asimilasi. Prancis harus membiasakan diri kepada kenyataan bahwa kami bertahan. Mereka tidak menyadari bahwa kami sudah bersiap diri: itu anak-anak kami."
Belakangan Fatima E., wanita berkerudung yang ditentang oleh Julien Odoul melakukan wawancara dengan sebuah cabang organisasi Muslim Prancis bernama Perkumpulan Menentang Islamofobia (Collective Against Islamophobia). Dalam wawancara itu ia mengatakan, hidupnya "benar-benar hancur". Bahwa anak laki-lakinya mengalami mimpi buruk. Dan bahwa dia berencana menggugat karena "menghasut berdasarkan kebencian rasial di depan publik." Foto dia bersama anaknya pun tersebar luas di koran-koran Prancis. Dia pun mendapatkan ribuan pesan dukungan. Ketika membicarakan gugatannya, seorang pengacara Gilles-William Goldnadel, berbicara tentang "secara memalukan menjadikan orang sebagai korban" (outrageous victimization). Dia mencatat bahwa anak laki-laki wanita itu sudah berhasil menarik perhatian banyak wartawan. Tetapi anak-anak yatim dari empat polisi yang dibunuh oleh Mickaël Harpon tidak menarik perhatian satu orang pun.
Dr. Guy Millière, seorang professor [ada University of Paris. Ia pengarang 27 buku tentang Prancis dan Eropa.