Seorang gadis Yahudi, Susanna Feldman, 14 tahun, diperkosa lalu dibunuh, 14 Mei 2018 lalu di Jerman. Pelakunya adalah seorang pencari suaka yang gagal mendapatkan status suaka. Kasus tragis itu menjadi sorotan terbaru atas krisis perkosaan oleh para migran yang terus saja tidak mereda selama bertahun-tahun di tengah sikap publik yang patuh secara resmi dan apatis.
Ribuan wanita dan anak-anak diperkosa dan diserang secara seksual di Jerman semenjak Kanselir Angela Merkel menyambut lebih dari satu juta migran ke negeri itu. Sebagian besar migran adalah laki-laki dari Afrika, Asia dan Timur Tengah.
Kejahatan terakhir, sebenarnya bisa dicegah. Ia pun menjadi sangat patut dicela karena menyoroti banyak sekali akibat yang sangat berbahaya atas kebijakan migrasi pintu terbuka Jerman (Germany's open-door migration policy). Termasuk di dalamnya, adalah gagalnya upaya untuk memeriksa (vet) orang-orang yang diijinkan masuk dan praktek untuk membebaskan para migran penjahat kembali ke jalanan Jerman, bukannya menjebloskan mereka ke dalam penjara atau mendeportasi mereka.
Kejahatan itu mengungkapkan betapa sangat sembrononya sikap kelas politik Jerman. Kelas sosial itu tampaknya lebih prihatin dengan upaya untuk menjaga multikulturalisme serta hak para migran perusak dibandingkan dengan berupaya melindungi wanita dan anak Jerman dari mereka.
Polisi mengatakan bahwa Ali Bashar, memperkosa Susanna Maria Feldman. Pemuda berusia 20 tahun itu berasal dari Kurdi Irak. Dia menjerat leher korban kemudian melemparkan jenazahnya ke kawasan pinggir hutan dekat jalur rel kereta di daerah pinggiran Wiesbaden. Dia kemudian melarikan diri ke Iran dengan menggunakan dokumen identitas palsu.
Feldman menghilang dari rumahnya di Mainz sejak 22 Mei 2018. Ibunya menyampaikan laporan orang hilang, 23 Mei. Bagaimanapun, polisi bahkan tidak mulai meneliti keberadaan sang gadis. Baru sepekan kemudian, polisi bertindak. Itupun setelah seorang remaja 13 tahun yang tidak disebutkan namanya, menghubungi polisi. Remaja itu juga migran yang hidup di tempat penampungan pengungsi yang sama dengan pelaku kejahatan, Bashar. Jenazah Feldman akhirnya ditemukan kembali pada 6 Juni.
Bashar tiba di Jerman Oktober 2015, pada puncak aliran masuk migran ke negeri itu. Bersama dia, turut pula orangtua serta lima saudaranya. Mereka mengklaim sebagai pengungsi, namun ternyata berubah menjadi migran karena alasan ekonomi (economic migrant). Permohonan suaka Bashar ditolak Desember 2016. Dia, karena itu seharusnya dideportasi. Tetapi setelah dia ajukan banding, pihak berwenang Jerman pun mengijinkannya menetap.
Selama tiga tahun di Jerman, Bashar mencatat rekor kejahatan yang sangat luas. Termasuk di dalamnya kasus penyerangan petugas penegakan hukum, perampokan dengan kekerasan dengan menodongkan pisau serta memiliki senjata illegal.
Polisi mengatakan Bashar juga dituduh sebagai pelaku pemerkosaan atas seorang gadis sebelas tahun, Maret 2018 silam. Sang gadis malang itu berdiam dalam tempat penampungan pengungsi yang sama dengan dia dan keluarganya berdiam.
Bashar berhasil melarikan diri meninggalkan Jerman dengan menggunakan identitas palsu. Itu terjadi karena birokrasi yang tidak becus. Kala itu, polisi perbatasan federal tidak berhasil memeriksa jika nama dalam tiket pesawat Bashar memang tidak cocok dengan nama pada kartu identitasnya.
Bashar belakangan tertangkap di Irak utara, 8 Juni lalu kemudian diekstradisi ke Jerman sehari kemudian. Baru saja dia ditahan di lembaga pemasyarakatan (correctional facility) di Wiesbaden.
Pembunuhan Susanna merupakan remaja keempat Jerman yang dibunuh oleh migran illegal dalam kurun waktu selama 18 bulan terakhir.
16 Oktober 2016. Maria Ladenburger, seorang mahasiswi kedokteran berusia 19 tahun dari Freiburg diperkosa kemudian dibunuh. Peristiwa tragis itu terjadi kala korban sedang berjalan pulang ke rumah dari pesta yang diselenggarakan oleh fakultas kedokteran tempatnya kuliah. Penyerangnya adalah Hussein Khavari. Pelakunya masuk Jerman, Nopember 2015 tanpa membawa kartu identitas. Menurut pengakuannya, dia lahir di Afghanistan, Nopember 1999. Karena diduga berusia (16 tahun), dia pun diberikan suaka sebagai migran di bawa umur yang tidak didampingi sehingga ditempatkan bersama dengan keluarga angkat.
Setelah Khavari tertangkap sebagai terduga dalam kasus Ladenburger, Majalah Berita Stern melaporkan bahwa, Khavari sebetulnya sudah dijatuhi hukuman 10 tahun penjara, Februari 2014 lalu. Hukuman itu dijatuhkan karena dia mencoba membunuh seorang wanita berusia 20 tahun dengan mendorong korban ke dalam jurang di Pulau Corfu, Yunani. Sang wanita ternyata berhasil selamat dari serangan. Ia pun dibebaskan setelah menjalani hukuman penjara selama 18 bulan. Pengampunan atas hukuman diberikan karena dipertimbangkan penyerangnya adalah remaja. Belakangan dia bermigrasi ke Jerman.
Selama diadili di Yunani, Khavari memberi tahu pengadilan bahwa dia lahir di Iran, Januari 1996 dan tiba di Eropa, Januari 2013.
Selama diadili di Jerman, dia mengaku telah memperkosa sekaligus membunuh Ladenburger. Terungkap juga bahwa dia lahir di Iran, 29 Januari 1984. Dengan demikian, saat membunuh Ladenburger, dia sebetulnya berusia 32 tahun. Karena itu, pada 22 Maret 2018 lalu, dia pun dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena memperkosa dan membunuh. Tetapi menurut Hukum Jerman, dia boleh mengajukan keringanan hukuman setelah menjalani hukuman selama 15 tahun.
27 Desember 2017. Mia Valentin, seorang gadis berusia 15 tahun dari Kandel, sebuah kota kecil di Negara Federal Rhineland-Palatinate, dekat perbatasan Jerman dengan Prancis, ditikam sampai mati di sebuah apotik setempat. Penyerangnya adalah Abdul Mobin, warga Afghanistan pencari suaka yang gagal yang mengaku baru mau berusia 15 tahun.
Valentin dan penyerangnya sudah beberapa bulan berhubungan. Tetapi setelah dia akhiri hubungan itu, awal Desember 2017, Mobin pun mulai mengancamnya. Pada 15 Desember, orangtua sang gadis mengajukan keluhan resmi kepada polisi. Petugas polisi lalu mengunjungi Mobin pada 17 Desember dan sekali lagi pada 27 Desember pagi. Belakangan pada hari yang sama, Mobin mengikuti Valentin bepergian ke apotik, lalu menikamnya di sana dengan pisau dapur yang dibelinya di toko yang sama. Sang gadis pun tewas beberapa saat kemudian.
Mobin tiba di Jerman, April 2016. Awalnya, dia berdiam di sebuah tempat penampungan pengungsi di Frankfurt. Belakangan, dia dipindahkan ke sebuah penampungan pengungsi di Germersheim, sebuah kota kecil di Negara Federal Rhineland-Palatinate, kemudian ke sebuah penjara khusus remaja di dekat Neustadt. Klaim suakanya ditolak Februari 2017 silam, tetapi dia sendiri tidak dideportasi. Polisi mengenal Mobin setelah dia menghajar seorang siswa di sekolah tempat Valentin belajar. Kasus itu menyebabkan ia pun ditahan seraya pihak berwenang Jerman berupaya menentukan usianya yang sebenarnya.
12 Maret 2018. Mireille Bold, seorang gadis berusia 17 tahun di Flensburg, ditikam sampai mati oleh Ahmad Gulbhar, pencari suaka berusia 18 tahun dari Afghanistan. Pelaku diduga marah-marah lalu membunuhnya setelah dia menolak memakai jilbab dan beralih masuk Islam. Gulbhar tiba di Jerman tahun 2015 silam sebagai migran di bawah umur yang tidak didampingi. Permohonan suakanya ditolak, namun, dia tidak dideportasi.
Bold, berdiam dalam gedung yang sama dengan penyerangnya. Sedikitnya satu kali dia menelepon polisi sebelum dia akhirnya dibunuh. Seorang sahabat baik keluarga Bold memberi tahu Suratkabar Bild sebagai berikut;
"Ahmad adalah lelaki jagoan yang suka cemburu yang senantiasa ingin mengendalikan dia (baca: Bold). Mereka berpacaran sejak Januari 2016, tetapi selalu saja bertengkar. Dia mendesak Bold untuk masuk Islam dan senantiasa memakai jilbab.
"Dia (Bold) tidak yakin. Kapanpun dia pergi tanpa memakai jilbab, dia alami masalah. Mireille Bold mengatakan kepada saya bahwa Gulbhar melarikan diri sendirian dari Afghanistan dan sangat merindukan keluarganya. Dia agaknya akan mendapat kerja di sebuah perusahaan teknik sipil. Setelah bertemu dengan sang gadis, setiap dua menit dia meneleponnya di teleponnya. Dia menuntut untuk tahu apa yang sedang terjadi pada gadis itu..."
Penyerangnya kini sedang ditahan di tempat tahanan sementara sebelum diadili.
Seperti meninggalnya remaja putri lainnya, pembunuhan atas Susana menyebabkan para politisi dan media Jerman berpura-pura memberondongkan sikap politik sekaligus kemarahan pura-pura mereka seperti biasanya.
Tingkat kemarahan publik atas kasus Susanna, bagaimanapun memperlihatkan bahwa Jerman mungkin saja tengah mencapai titik puncaknya: Pemerintah Jerman akhirnya diminta bertanggung jawab atas perannya dalam krisis perkosaan yang dilakukan oleh migrant.
"Pemerintah seharusnya meminta maaf dari orangtua Susanna," tulis sebuah suratkabar bersirkulasi besar, Bild. "Satu-satunya hal yang jauh lebih parah daripada pembunuhan atas seorang anak adalah pembunuhan atas anak oleh seorang penjahat yang tidak berdiam di dalam negeri kita."
Pemimpin Partai Free Demokrats (Demokrat Bebas—FDP) Christian Lindner mengatakan bahwa kejahatan memunculkan banyak sekali persoalan: "Mengapa pencari suaka yang ditolak bukannya semakin konsisten untuk dideportasi? Mengapa pelaku dan keluarganya bisa melarikan diri dengan menggunakan identitas palsu?"
"Ini ciri khas lembaga keamanan Jerman kita," ujar politisi FDP Alexander Graf Lambsdorff. "Sedeharhananya, ada banyak kesenjangan dalam sistem ini. Bertahun-tahun, hal ini benar-benar sangat mengecewakan."
Manajer SPD Carsten Schneider mengatakan yang harus segera diklarifikasi adalah, "bagaimana cara terduga pelaku bisa melarikan diri dan bagaimana dia bisa dibawa ke pengadilan di Jerman secepat mungkin."
"Menteri Dalam Negeri Federal harus memastikan bahwa mekanisme pengontrolan yang ada juga diterapkan selama migrant masuk dan keluar," pinta Burkhard Lischka, Jurubicara Partai SPD. "Dengan dokumen yang bisa dipertanyakan seperti ini dan berkaitan dengan tujuan perjalanan, Polisi Federal bisa saja menetapkan bahwa seorang penjahat sedang melarikan diri dengan membuat perbandingan sidik jari yang sederhana."
"Pembunuhan yang kejam atas Susanna membuat saya sangat sedih dan marah," urai Eckhardt Rehberg dari Partai CDU. "Sebagai politisi yang bertanggung jawab terhadap anggaran, saya katakan...seluruh proses suaka perlu ditata ulang secara mendasar. Akan kami siapkan uang untuk itu."
Partai Alternative for Germany (AfD), sebuah partai anti-imigrasi, meminta pemerintah federal supaya semuanya mengundurkan diri. Dalam sebuah video yang dipostingkan di Twitter, mitra pemimpin AfD, Alice Weidel berucap:
"Susanna sudah mati. Maria berasal dari Freiburg; Mia dari Kandel; Mireille dari Flensburg; dan sekarang, Susanna dari Mainz...
"Kematian Susanna bukanlah pukulan buta atas nasib. Kematiannya adalah akibat sikap tidak bertanggung jawab yang terorganisir serta kebijakan suaka dan imigrasi kita yang gagal dan penuh skandal yang berlangsung bertahun-tahun lamanya. Dialah korban ideologi multikultural kaum sayap kiri yang tidak terkendali yang berjuang mati-matian supaya bisa menerapkan keunggulan kesadaran moralnya. Dia juga korban lain dari kebijakan selamat datang Kanselir Angela Merkel yang munafik yang suka mementingkan diri.
"Secara hukum, Ali Bashar seharunsya tidak boleh pernah diijinkan masuk Jerman. Permohonan suakanya sudah ditolak dua tahun silam. Dia seharusnya dideportasi. Bashar diketahui polisi karena melakukan serangan fisik, menyerang petugas kepolisian serta memiliki senjata illegal. Maret 2018, dia diduga memperkosa seorang gadis berusia 11 tahun di sebuah penampungan pengungsi. Menurut hukum, Bashar seharusnya sudah lama tinggalkan Jerman atau ditangkap.
"Undang-undang suaka yang tidak jelas serta kebijakan suaka yang aneh...lemah terhadap para penipu suaka serta penjahat namun mengabaikan keprihatinan warga Jerman yang sebenarnya.
"Ali Bashar, orangtua serta kelima saudaranya hidup di sini dengan uang para pembayar pajar, mereka tidak bisa dideportasi, tetapi setelah Ali melakukan kejahatan, mereka bagaimanapun mendapatkan uang untuk melarikan diri dari Jerman dengan menggunakan dokumen palsu. Tidak ada masalah di sebuah Jerman dengan perbatasan negara yang terbuka.
"Pada hari Susanna dibunuh, anda [Merkel] memberikan kesaksian di parlemen bahwa anda sudah menangani krisis migran secara bertanggung jawab. Beranikah anda mengulangi klaim tersebut kepada orangtua Susanna? Baiklah, tidak. Sikap anda yang keras kepala dan mau benar sendiri berarti anda berada di atas angin dan tengah menawarkan kata penghiburan (personal word) kepada para korban kebijakan anda. Kami warga negara tidak bisa menerima ini. Akankah anda akhirnya bertanggung jawab, Ny. Merkel? Anda dan seluruh kabinet anda seharusnya mengundurkan diri supaya kebijakan suaka yang lain bisa ada sehingga para orangtua di negeri ini tidak lagi perlu untuk takut dengan keamanan anak-anak mereka."
Majalah Berita Stern menyimpulkan:
"Berbagai reaksi emosional terhadap kasus Susanna menggambarkan betapa Jerman sudah berubah. Sudah sejak dalam musim panas krisis pengungsi, ketika ratusan ribu orang berdatangan ke dalam negeri, ada peringatan bahwa suasana perasaan di tengah penduduk bisa saja menyinggung...
"Kasus Susanna menyadarkan citra tentang hilangnya kendali, suatu keadaan yang terlampau menuntut sehingga justru malah menyebabkan tidak ada pegangan pada kebijakan suaka --- khususnya dalam suatu masyarakat yang mencintai hukum dan tatatertib. Kini berulang-ulang muncul tuntutan agar hukum diterapkan lebih ketat. Skandal maladministrasi Kantor Federal Urusan Migrasi dan Pengungsi [para pejabat imigrasi menerima csogokan uang kontan (cash bribes) supaya bersedia memberi suaka atas lebih dari 1.200 migran] baru-baru ini tampaknya menegaskan kesan gagalnya negara."
Soeren Kern adalah Mitra Senior Gatestone Institute yang berbasis di New York.