SEJAK 2011, Turki menginvestasikan miliaran dolar uangnya dalam teknologi kelautannya, dalam upaya yang jelas untuk membangun perangkat keras yang bakal suatu hari dibutuhkannya. Gambar: Fregat Angkatan Laut Turki, TGG Fatih. (Departemen Pertahanan Amerika Serikat). |
Sejak 2011, Turki, melancarkan perang proksi pro-Sunni di Suriah dengan harapan suatu saat, Turki bisa membangun rezim Islam radikal yang pro-Turki di Damaskus. Ambisi ini gagal. Ia malah menyebabkan Presiden Recep Tayyip Erdogan mengalami kerugian karena kedua sisi perbatasan Turki-Suriah sepanjang 911 km bergolak. Selain itu, miliaran dolar uang dihabiskan untuk lebih dari 4 juta pengungsi Suriah yang tersebar di seluruh tanah Turki.
Di Mesir, selama 2011-2012, Erdogan agresif mendukung Pemerintahan Ikhwanul Muslim yang gagal di Mesir pada 2011-2012. Akibatnya, dia pun sangat memusuhi jenderal yang berkuasa yang kini presiden, Abdel Fattah al-Sisi. Sejak upayanya gagal di Suriah dan Mesir, ambisi Islam Sunni Erdogan menemukan teater perang proksi baru: Libya.
Pada 10 Desember, Erdoğan mengatakan dia bisa mengerahkan pasukan di Libya jika Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) dukungan PBB di Tripoli (yang didukung Turki) memintanya. Pembicaraan Erdoğan dengan Kepala GNA, Fayez al-Sarraj, yang berperang melawan Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Khalifa Haftar, menghasilkan dua perjanjian strategis semu. Yaitu, satu nota kesepahaman tentang penyediaan senjata, pelatihan militer dan personil GNA. Juga kesepakatan maritim yang menggambarkan zona ekonomi eksklusif di perairan Mediterania.
Yunani dan Mesir langsung memprotes perjanjian itu. Sementara itu, Dewan Eropa mengutuk keras. Kesepakatan itu tampaknya meningkatkan persaingan antek antara rival lama Turki (Yunani) dan rivalnya yang baru (Mesir dan Uni Emirat Arab).
Dari jabatan tangan dengan al-Sarraj, Erdogan tampaknya hendak;
- Meminimalisasi isolasi Turki di kawasan Mediterania yang pelahan memburuk sejak 2010, menyusul krisis diplomatis berturut-turut dengan Israel.
- Menentang kerja sama strategis antarSiprus, Yunani, Mesir dan Israel, termasuk berbagai inisiatif diplomatik gabungan, energi dan militer.
- Menyela blok maritime Siprus-Yunani, Mesir dan Israel yang sedang berkembang mekar.
- Melawan tekanan Arab (dalam hal ini Mesir dan Uni Emirat Arab) atas al-Sarraj.
- Mengisi kekosongan di Libya akibat tidak adanya kekuatan Eropa.
- Dan terakhir, menampilkan diri sebagai perusak perjanjian di Kawasan Mediterania, bukan sebagai pembuat perjanjian.
Semua ambisi itu memerlukan perangkat keras militer serta perangkat lunak diplomatik. Sejak 2011, setahun setelah insiden Mavi Marmara yang membuatnya memutuskan hubungan dengan Israel, Turki menginvestasikan miliaran dolarnya dalam teknologi kelautan. Upaya itu jelas hendak membangun perangkat keras yang diperlukannya suatu ketika.
Sejak itu, dalam kurun waktu selama 8 tahun, Turki telah membangun membangun empat kapal korvet kelas Ada; dua kapal Landing Ship Tank (LST); delapan kapal Landing Craft Tank (LCT) cepat; 16 kapal patroli militer; dua kapal penyelamat laut dalam; satu kapal penyelamat bawah laut; dan empat kapal serbu.
Permata dalam kotak perbendaraan kelautannya adalah Dock Platform Landing (LPD) senilai $ 1 miliar (sekitar Rp 14 Triliun) yang dibangunnya dengan lisensi Galangan Kapal Navantia Spanyol dan mulai beroperasi pada 2021. TCG Anadolu, menjadi kapal serbu amfibi pertama Turki yang mampu membawa pasukan sebesar satu batalyon terdiri dari 1.200 tentara dan personel, 8 helikopter pengangkut dan 3 kendaraan udara tak berawak. Ia juga bisa mengangkut 150 kendaraan, termasuk tank tempur. Mungkin juga ia bisa menampung (deploy) pesawat STOVL F-35 yang bisa mendarat di lintas pendaratan pendek dan vertikal. Turki dengan demikian menjadi operator ketiga dunia untuk jenis kapal ini, setelah Spanyol dan Australia.
Namun, ambisi kelautan Erdoğan tidak terbatas hanya pada armada kapal konvensional yang sedang muncul mengemuka. Pada 2016, ia mengatakan bahwa program LPD diharapkan menjadi langkah pertama untuk menghasilkan kapal induk "paling elit". Juga dikatakannya dia "melihatnya sebagai kekurangan besar bahwa kita masih belum memiliki kapal nuklir."
Pada 22 Desember, kapal selam Tipe 214 pertama Turki, TCG Piri Reis membelah lautan dengan upacara yang dihadiri Erdogan. "Hari ini," katanya, "kita berkumpul di sini untuk menaikkan kapal Piri Reis ke galangan. Sejak 2020, satu kapal selam akan keluar dari galangan untuk bekerja setiap tahun. Pada 2027, semuanya enam kapal selam kita sudah berada di luat untuk bekerja."
Tidaklah mengherankan bahwa upacara docking itu mengingatkan Erdogan tentang langkah permainannya di Libya. "Kita akan mengevaluasi setiap peluang di darat, laut dan udara. Jika diperlukan kita bakal meningkatkan dukungan militer di Libya."
Erdoğan tampaknya berpikir bahwa pertahanan terbaiknya dalam permainan kekuasaan di Kawasan Mediterania itu dengan menyerang. Karena itu, pada 15 Desember, Angkatan Laut (AL) Turki mencegat kapal penelitian Israel, Bat Galim, di perairan Siprus dan memandunya keluar kawasan itu, ketika ketegangan atas eksplorasi sumberdaya alam terus meningkat di wilayah tersebut.
Pada 16 Desember, Turki mengerahkan drone pengawas dan pengintai menuju Pulau Siprus utara yang terpisah yang dikuasainya. Seminggu sebelum pengiriman drone itu, Menteri Luar Negeri Turki Mevlüt Çavuşoğlu mengatakan bahwa Ankara dapat menggunakan pasukan militer untuk menghentikan pengeboran gas di perairan Siprus yang diklaimnya sebagai miliknya.
Libya menjadi teater perang proksi berisiko bagi Turki. Perjanjiannya dengan Pemerintah al-Sarraj terkait dengan soal penempatan pasukan dan perbatasan laut bisa batal sehingga tidak berlaku jika perang saudara Libya yang dimulai pada 2014, berakhir dengan kemenangan Jenderal Haftar. Kepala Staf LNA, Farag Al-Mahdawi pernah mengumumkan bahwa pasukannya akan menenggelamkan kapal Turki manapun yang mendekati pantai Libya. "Saya sudah berikan perintah. Segera setelah kapal-kapal penelitian Turki tiba, saya bakal punya solusi. Saya sendiri akan tenggelamkan mereka." Al-Mahdawi memperingatkan, mengingat bahwa perintah itu datang dari Haftar. Pada 21 Desember, pasukan Haftar menyita sebuah kapal berbendera Grenada yang berawak Turki karena curiga kapal itu membawa senjata. Belakangan, kapal itu dilepaskan.
Uni Eropa menjadi faktor lain mengapa Erdogan, sekali lagi, mungkin salah bertaruh. Berbicara secara teknis, Turki adalah kandidat untuk menjadi anggota penuh UE tetapi sudah jadi rahasia umum bahwa perundingan untuk masuknya mandeg sama sekali selama beberapa tahun lalu. Dan tidak ada prospeknya sama sekali yang bisa dilihat. Prospeknya semakin suram, ketika para menteri luar negeri Uni Eropa pada November lalu menyetujui sanksi ekonomi untuk Ankara karena melanggar zona ekonomi kelautan Siprus dengan melakukan pengeboran lepas pantai pulau itu.
Permainan catur Mediterania membuat Turki bersekutu dengan Siprus Turki yang memisahkan diri dan salah satu faksi yang bertikai di Libya. Tetapi pada saat yang sama, ia bertentangan dengan kelompok strategis Yunani, Siprus, Mesir (dan UEA), Israel beserta kelompok Libya yang bertikai lainnya.
Namun, kekuatan yang sedang muncul mengemuka di Libya bukanlah aktor negara Barat. Tetapi Rusia. Setelah mengendalikan Suriah demi Presiden Bashar al-Assad kemudian membangun pangkalan militer di dalam negeri dan di lepas pantainya, Rusia berpotensi untuk memasuki teater Libya dengan proxy lebih besar dan kekuatan langsung, untuk membangun kehadiran militernya secara permanen kedua kalinya di Mediterania. Seperti di Suriah, di mana kepentingan yang berbeda tidak menghentikan Turki menjadi pemain Rusia yang dikendalikan dari jarak jarak, Moskow sekali lagi dapat menggunakan kartu Turki untuk melemahkan kepentingan Barat di Libya.
Juga seperti di Suriah, agenda kaum Islam radikal Turki mungkin gagal di Libya. Tetapi pada saat memahaminya, Erdogan mungkin sudah terlambat untuk keluar dari orbit Moskow.
Burak Bekdil, adalah salah satu wartawan kenamaan Turki. Baru saja dia diberhentikan dari suratkabar paling kenamaan negeri itu setelah 29 tahun bekerja di sana. Alasannya, karena dia menulis di Gatestone Institute tentang apa yang terjadi di Turki. Dia adalah Mitra Lembaga Kajian Middle East Forum (Forum Timur Tengah)