Mona Walter berusia 45 tahun. Dia aktivis Swedia yang berasal dari Mogadishu, Somalia. Pada awal era 1990-an, dia melarikan diri sebagai pengungsi ke Swedia. Di sana, dia meninggalkan Islam lalu beralih menganut Kristen. Tindakan itu menyebabkan dia banyak mendapat kritik sekaligus ancaman mati. Media arus utama menganggap dia orang yang bekerja demi kebebasan beragama. Organisasi-organisasi lain justru menuduhnya mengobarkan gerakan-gerakan anti- Islam.
Natalia Osten-Sacken: Saya dengar pernyataan anda memberikan stigma kepada Islam sebagai sebuah budaya yang tidak toleran yang penuh dengan kebencian. Jika memang demikian, mengapa anda tidak memperhatikannya di Somalia?
Mona Walter: Di negara saya, kami punya budaya Afrika. Orang tidak banyak mengurusi persoalan agama. Tidak ada Hukum Shariah di sana. Kami punya hukum sekular sendiri. Kami datang ke sini sebagai orang muda yang sekular. Pantas dikatakan bahwa kami termasuk dalam faksi Sufi Suni.
Tatkala saya datang dari Somalia menuju Swedia, saya mengalami benturan budaya yang mahadahsyat karena Islam di sini jauh lebih ekstrim dan fanatik dibandingkan dengan yang ada di negara saya. Yang sangat penting---kami mengalami proses islamisasi masyarakat (Islamized) setelah tahun 1991, di sini, di Swedia. Dalam kawasan-kawasan tertutup ini, kampong miskin para imigran terlucuti dari demokrasi.
Di-Islamisasi? Oleh siapa?
Oleh para imam. Beberapa imam berasal dari Somalia, tetapi ada beberapa orang lain yang melakukan hal yang sama dalam komunitas-komunitas imigran mereka sendiri. Mereka bepergian ke Arab Saudi, belajar di sana dan setelah pulang, mereka menjadi pemimpin (heads) dari berbagai kawasan ini. Mereka mengendalikan semuanya. Dan di atas semuanya, mereka mengendalikan para wanita.
Mereka mengkotbahkan Shariah di masjid-masjid. Mereka katakan kepada semua orang bahwa mereka harus percaya dalam sistem dan nilai Islam ini. Jika anda tidak melakukannya, jika anda mencoba berintegrasi atau bergabung dalam masyarakat Barat, maka dalam mata mereka, anda sudah menjadi orang kafir.
Mereka memaksa para wanita untuk menutupi tubuh mereka. Jika tidak melakukannya, anda dianggap pelacur. Tatkala saya pertama datang di Swedia tahun 1994, kami dilarang mengenakan pakaian-pakaian Afrika kami, pakaian tradisional Somalia. Mereka paksa kami. Mereka katakan bahwa kita bukan Muslim sejati, bahwa kita berada di negara kafir karena kita memberlakukan hukum sekular.
Lalu mengapa, para imam itu tidak meradikalisasi Somalia?
Di Somalia, para imam ekstrim dijebloskan dalam penjara. Tetapi di sini, mereka bisa lakukan apa yang mereka inginkan. Tidak ada orang mengendalikan mereka, tidak ada orang memeriksa apa yang tengah mereka lakukan. Mereka membangun masjid, mereka mengambil uang masyarakat Swedia. Jika anda hidup dalam komunitas seperti ini, anda tidak bebas. Ini pertama-tama berlaku atas orang-orang yang menolak Islam. Mereka bahkan dibunuh untuk itu --- hal seperti ini sudah terjadi di sini. Saya pun, setelah menolak Islam, menutup diri dengan syal, karena saya begitu takut. Semua ini tengah terjadi di Swedia, di sebuah negara demokratis, di mana mereka memberi tahu anda bahwa anda berhak atas tubuh anda sendiri, berhak menyampaikan pendapat, bebas memilih agama.
Dan apakah situasi para wanita di negara anda? Dalam salah satu wawancara, anda menyebutkan bahwa para wanita tidak sholat di masjid di Somalia.
Wanita tidak diajarkan agama. Mereka tidak harus melakukannya. Memang ini tidak dilarang, hanya tidak perlu. Pada tahun 1990, untuk pertama kalinya saya saksikan orang-orang dari Arab Saudi atau Mesir, seluruh tubuh mereka tertutup. Orang-orang Somalia berlarian mengikuti mereka, sambil berteriak, "Lihat itu? Apakah mereka sudah gila dalam panas terik ini?!" Kami tahu bahwa wanita di Arab Saudi tidak boleh pergi keluar ke jalan-jalan sendirian tanpa laki-laki karena Hukum Shariah.
Somalia nyaris merupakan negara "sosialis"---para wanitanya bekerja di kepolisian, angkatan bersenjata, mereka menjadi guru dan bekerja di tempat-tempat publik. Juga, tidak benar bahwa anda bisa saja diperkosa tanpa dihukum. Keluarga bakal membunuh pemerkosa. Perang bahkan bisa saja meledak pecah antara dua klan. Ini sesuatu yang memalukan bagi seluruh keluarga. Tidak ada orang mau menikahi sepupu pemerkosa sekalipun. Saya pikir posisi wanita di sana jauh lebih baik daripada di semua negara Muslim, di mana para korbannya dirajam dengan batu.
Apakah itu berbeda di Eropa?
Mereka tidak merasa malu di sini. Memang tidak bakal mereka lakukan itu dalam komunitas mereka sendiri, tetapi mereka lakukan di sini kepada orang-orang kafir karena merasa tidak ada orang mendukung para korban ini. Di sini, pemerkosa tidak perlu menyembunyikan wajah mereka; tidak ada orang merasa malu karena tindakan mereka. Tidak bakal dia mendapatkan hukuman mati untuk tindakan seperti itu. Di sini, mereka merasa bebas dari tradisi klan mereka.
Maksud anda bahwa dengan melepaskan diri dari budaya tradisional Somalia mereka lalu menjadi rawan bertindak kejam, seperti terlibat dari contoh-contoh di Denmark atau Jerman?
Budaya saya punya unsur baik dan jelek. Buruknya, itu budaya yang sangat brutal. Sangat bangga dan penuh dendam, bahkan tanpa ada pengaruh Islam sekalipun. Ketika saya telusuri catatan kriminal, saya saksikan bahwa sebagian besar kejahatan bukan soal pencurian atau narkoba, tetapi kekerasan. Dalam budaya kami, anak-anak itu milik orangtua sama seperti hewan piaraan sehingga boleh dipukul, sebagai contoh, jika mereka tidak mau sholat atau tidak mendengarkan orangtua mereka
Dalam komunitas kami, seringkali terjadi bahwa gadis dan anak-anak laki menjadi korban perkosaan dari para anggota keluarga atau guru agama. Itu juga terjadi di sini, di Swedia. Dan keluarga dan masyarakatnya menyembunyikannya. Ini kasus umum tetapi saya tidak katakan bahwa semua orang melakukannya. Saya berupaya melaporkannya kepada (bidang) kesejaheraan sosial, tetapi tidak seorang pun bereaksi --- semua orang takut dicap rasis.
Hal kedua adalah ajaran-ajaran yang mereka peroleh di masjid. Di sana mereka diberitahu bahwa mereka harus membenci orang tidak beriman (unbelievers). Karena itu, mereka juga melakukan kejahatan karena benci. Orangtua mereka tidak ingin berintegrasi dan tidak mengijinkan mereka berintegrasi dengan orang-orang kafir. Karena nyaris semua kelompok itu dipengaruhi oleh Islam dan oleh budaya mereka sendiri, maka bersama-sama, keduanya menjadi dua racun,
Tetapi mungkin mereka lakukan itu karena putus asa atau karena tidak tahu? Mereka tidak punya pendidikan dan tidak punya pilihan?
Ada soal pilihan di sini. Sistem Swedia begitu mendukung masyarakatnya. Anda bisa belajar, pergi ke sekolah, belajar, pergi ke universitas dan beberapa dari kita berhasil. Orang-orang yang memilih pendidikan otomatis memilih kehidupan yang normal, kehidupan yang baik. Kita tidak bisa sekedar bertanya-tanya mengapa para penjahat Somalia itu seperti itu; kita harus bertanya diri: mengapa mereka tidak seperti kita?
Mengapa anda pikir kaum radikal Islam di Eropa menjadi semakin populer dan aktif?
Tidak saya pikirkan mereka lebih aktif dan populer dibanding sebelumnya. Hanya saja sekarang mereka punya media sosial. Dan anda bisa melihat mereka. Mereka senantiasa seperti itu---di masjid-masjid.
Dan kita tidak bakal tahu soal itu?
Anda tidak tahu---anda, kafir. Orang Muslim selalu tahu. Meskipun demikian, ada isu lain di sini--- sudah semakin banyak kaum Muslim di Eropa. Selain itu, anak-anak yang lahir era 1990-an kini sudah dewasa. Mereka masuk sekolah-sekolah Islam, menjadi sasaran untuk dicuci otaknya, diradikalisasi dan belajar membenci masyarakat Barat. Ajaran-ajaran ini berawal, ketika mereka berusia tiga –empat tahun. Selama bertahun-tahun sekarang ini, saya kerapkali berbicara tentang itu kepada media Swedia, tetapi tidak ada orang tertarik menangani persoalan itu, karena takut disebut rasis. Saya pergi kepada (bagian) kesejahteraan sosial memberi tahu mereka. Mereka malah katakan kepada saya: "Mereka akan belajar demokrasi dalam sekolah-sekolah kita." Dan, mereka tidak pernah memeriksa masjid-masjid. Jadi sekarang mereka mengumpulkan buah perilaku mereka sendiri. Hasil dari 30 tahun itu sudah matang.
Apakah solusi yang anda lihat untuk Swedia dan Eropa. Kita tidak bisa melarang praktek agama apapun, bahkan yang paling radikal sekalipun. Kita punya kebebasan beragama.
Tidak, kita tidak bisa melarang, tetapi kita harus memahami bahwa Islam itu bukan agama, itu sebuah sistem yang totaliter. Kita tidak bisa memperlakukannya seperti iman relijius lainnya. Ia melarang semua agama lain, kebebasan berbicara, kebebasan individu untuk memilih. Ia lawan dari demokrasi. Kita harus secara terbuka dan jujur menganalisa ideology ini, kita harus memahaminya.
Kita tidak harus mendengar media: bahwa Islam itu agama damai. Anda tahu artinya? Artinya bahwa perdamaian terjadi sampai orang menerima Islam sebagai agama mereka. Perdamaian terjadi kala tidak ada penolakan terhadap Islam dan Sharia mendominasi. Islam membagi-bagi manusia dalam dua "rumah": sebuah rumah damai dan sebuah rumah perang. Kita semua, orang kafir bahkan Muslim liberal yang tidak menerima Sharia, berada dalam rumah perang.
Apakah ada Muslim yang berintegrasi tidak ingin perkenalkan Shariah dan seterusnya?
Ingat---harus kita pisahkan Islam dan Hukum Shariah dari kaum Muslim, karena banyak dari mereka yang suka damai. Kita tidak bisa mencampuradukan keduanya sama-sama. Ini yang senantiasa dikatakan media arus utama: jika saya bicara Islam, mereka menterjemahkannya sebagai membenci umat Muslim. Tetapi saya tidak benci umat Muslim. Saya yakin ideologi ini berbahaya bagi semua umat manusia. Komunitas Muslim juga akan menderita di bawah Shariah.
Sebagai orang yang beralih menganut Kristen, bagaimana anda menilai perilaku Gereja Katolik yang merekomendasikan supaya lebih membuka diri kepada imigrasi?
Pernah saya dengar Paus mengkotbahkan ini. Saya sangat kecewa---karena Islam dan Kristen itu tidak bisa diperbandingkan. Umat Kristen harus meniru Yesus yang mengkotbahkan cinta dan belas kasih bahkan kepada musuhnya; memperlakukan orang lain sebagaimana anda ingin diperlakukan. Sementara Islam, khususnya ISIS melakukan persis seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhamad. Dan dia biarkan pengikutnya membunuh kemudian mengambil istri musuhnya sebagai budak seks. Kita tidak bisa membandingkan dua dunia ini. Sekali lagi, saya tidak maksudkan Kristen dan Muslim, tetapi ideologi-ideologi mereka yang tidak sebanding.
Pencipta ideologi ini adalah penjahat, seorang pemimpin perang yang mengatakan bahwa membunuh orang itu akan membawa orang kepada kemuliaan. Bagaimana kita bisa membuka perbatasan untuk ideologi seperti ini? Ketika kita tidak tahu siapa yang mendatangi kita, kita harus benar-benar berhati-hati, khususnya, karena kita melihat apa yang terjadi pada umat Kristen di negara-negara Muslim. Tidak saya pahami perilaku Paus dan Gereja Katolik yang seharusnya pertama-tama peduli dengan para anggota mereka.
Paus bukan lagi pemimpin Kristen, tetapi politisi sekaligus aktivis hak asasi manusia, Beliau bukan lagi pimpinan Gereja yang bekerja demi kebaikan Kristen. Saya tidak melihat beliau sebagai pembimbing saya. Yang saya lihat tatkala melihat dia adalah seorang politisi berhaluan kiri. Jesus pernah katakan, kita harus mencintai musuh kita, tetapi bukan bahwa harus jadi orang bodoh.
Apakah ada yang salah dalam dialog dengan Islam yang sama-sama gereja dan politisi miliki?
Politisi, gereja dan Islam saling membutuhkan. Namun, mereka juga jarang berbicara---para pemimpin dan Paus ---tentang pembantaian umat Kristen di Afrika dan Suriah. Mereka tidak mengkritik Islam karena tidak ingin kehilangan suara Pemilu. Gereja pun tidak ingin kehilangan dukungan politisi. Saya punya kesan bahwa beberapa kalangan terlampau sibuk membangun jembatan menuju Islam, tetapi tidak melihat bahwa Islam membakarnya, bahwa tidak mungkin membangun jembatan hanya dari satu sisi. Mengapa Islam tidak membangun jembatan dalam hubungan antara umat Kristen dan Muslim di Timur Tengah? Karena di sana mereka mayoritas dan berkuasa. Selalu saya katakan kepada teman-teman Kristen, "Apakah yang anda pikirkan terjadi pada anda jika Islam menjadi dominan di sini?
Mengapa anda pikir para politisi lakukan itu?
Ini soal uang dan suara. Beberapa imigran bisa dimanfaatkan sebagai tenaga kerja murah, di mana orang-orang lokal tidak ingin bekerja untuk mendapatkan gaji yang sama. Bagaimanapun, kita harus memperhatikan bahwa banyak imigran tidak bekerja. Tidak ada pekerjaan bagi mereka. Tidak ada pekerjaan untuk orang-orang tidak terpelajar dan banyak imigran tidak punya pendidikan tinggi.
Banyak imigran bahkan tidak punya ketrampilan dasar. Perlu waktu lama untuk mendidik mereka. Pemerintah memberi tahu masyarakat Swedia bahwa imigran bakal bekerja untuk masa pensiun mereka, tetapi sejalan dengan waktu, masyarakat Swedia pun sadar bahwa itu tidak benar. Pertama, para imigran itu punya banyak anak, sehingga seorang wanita tidak bisa pergi kerja --- yang juga sesuai dengan budaya ini. Suaminya mungkin saja tidak mendapat pekerjaan, bahkan jika sudah berusaha mendapatkannya sekalipun. Bahkan jika mereka ingin belajar sekalipun, prosesnya menghabiskan banyak waktu. Bagaimanapun, mengapa mereka harus memulai semuanya itu jika mereka bisa mendapat banyak uang dengan tidak lakukan apa? Masih lagi, mereka akan memberi suara untuk sesorang yang memberikan semua tunjangan kepada mereka.
Jadi, anda pikir, kita tidak boleh menghentikan mereka?
Tentu saja, kita harus, tetapi di tempat agama mereka. Orang-orang terus saja memberi tahu saya, "Bagaimana bisa kau katakan hal-hal seperti itu, jika kau sendiri imigran?" Tetapi saya bukanlah bahaya bagi orang-orang yang hidup di sini. Banyak pendatang baru bisa saja memenggal leher saya. Saya lari dari rejim Shariah di pinggiran-pinggiran kota Swedia dan tidak ingin mengalaminya di mana pun di negeri ini. Saya tidak menentang orang-orangnya tetapi ideologi yang bawa bersama mereka. Dan selain itu, kita bisa membantu mereka untuk lebih efisien dengan jumlah uang yang sama.
Atau mungkin saja mereka hanya sekedar beralih menjadi Kristen seperti yang ada lakukan? Ada kecenderungan banyak imigran di Eropa, Austria, Jerman dan Inggris Raya beralih menjadi Kristen.
Saya pikir ini mengecoh (scam). Kita bicara masalah itu dalam komunitas gereja kita. Kita saksikan bahwa para imam itu sangat naïf. Jika imigran mendapatkan respon negatif dari kantor pencari suaka, beberapa dari mereka langsung lari ke gereja lalu katakan, "Saya Kristen, jika kembali ke negara saya, saya akan dibunuh." Beberapa orang bahkan dibaptis. Tetapi setelah mendapat dokumen yang perlu, mereka kembali kepada komunitas Muslim dan masjid mereka.
Saya bicara soal itu dalam gereja, tetapi saya diberitahu bahwa ini persoalan besar karena mereka tidak bisa menolak orang-orang yang tidak mereka kenal (know)---mungkin saja mereka mengatakan hal yang benar. Tetapi, apa yang mereka lakukan setelah mendapatkan dokumen seperti itu? Akhir-akhir ini, gereja kita penuh dengan anak-anak Afghanistan. Secara jelas saya katakan di gereja saya: dalam Islam anda boleh berbohong untuk menyelamatkan diri.
Apakah anda pikir, anda peluang untuk mereformasi Islam?
Tidak, saya tidak percaya. Saya tahu beberapa orang, misalnya Ayaan Hirsi Ali, percaya ini. Tetapi bagaimana bisa anda mereformasi Allah? Al-Qur'an itu Firman Allah. Reformasi yang kaum Muslim liberal yakini hanya mungkin terlaksana jika para pemimpin Islam ingin untuk reformasi mengubah Islam. Tidak bisa datang dari pribadi-pribadi. Juga penting untuk tidak melakukan kesalahan. Reformasi dalam Kristen berarti kembali kepada sumber, mengandalkan Kitab Suci. Dengan menerapkan kriteria ini, maka Islam senantiasa "direformasi" oleh Wahabisme dan Salafisme. Itu artinya kembali kepada sumber-sumber asli serta tradisi para leluhur ---tetapi ini mungkin apa yang tidak kita inginkan?
Natalia Osten-Sacken, seorang doctor ilmu pasti, adalah wartawan freelance pada euroislam.pl. Wawancara-wawancaranya diterbitkan pada Wirtualna Polska