Newcastle upon Tyne adalah kota kecil di kawasan Timur Laut (North East) Inggris. Pada tahun 1917, kota itu dinyatakan sebagai kota terbaik di Kerajaan Inggris untuk membesarkan anak (London kota paling parah). Bayangkan, betapa terkejutnya orang ketika kota itu lagi-lagi menjadi berita nasional pada 9 Agustus lalu. Yaitu, ketika sebuah pengadilan di Crown berakhir dengan menjatuhkan hukuman terhadap 18 orang karena memanipulasi potensi seksual anak (sexual grooming of children). Para juri "menemukan para laki-laki itu bersalah dengan daftar hampir 100 kasus serangan seksual--- termasuk perkosaan, penjualan manusia, konspirasi untuk menghasut terjadinya pelacuran serta pasokan narkoba---antara tahun 2011 dan 2014"
Dari 18 orang, ada satu orang wanita Inggris. Sisanya, laki-laki berlatar belakang Pakistan, Bangladesh, India, Irak, Turki dan Iran. Semuanya dengan nama-nama Muslim.
Newscastle punya populasi Muslim yang agak sedikit, sangat berbeda dari kota-kota di utara dan kawasan Midland lainnya seperti Bradford, Blackburn atau Dewsbury. Berdasarkan sensus 2011, populasi Muslim Bradford mencapai 24,7%, Blackburn 27,4% dan Dewsbury 34,4%. Yang terbanyak di negeri itu hanya beberapa angka pecahan lebih besar---seperti di kawasan Tower Hamlet di London Borough yang mencapai 34,5%. Yang terendah dari 20 pemerintah lokal di Inggris dan Wales adalah kawasan Hackney di London Borough dengan 14,1%. Populasi Muslim Newcastle lebih kecil lagi, sebesar 6.3%. Kota itu membanggakan kita karena memiliki sekitar 15 masjid, yang sebagian besar berlokasi di sektor barat daya yang tidak terlalu berkembang. Masjid Utama (Masjid-at-Tawheed) dikelola oleh Jamiat Ahle Hadith, sebuah gerakan dan partai politik keagamaan Pakistan yang radikal.[1] Pusat Kebhinekaan Islam juga berhubungan dengan sebuah organisasi fundamentalis yang berpusat di London. Akhirnya, hanya dua teroris penyerang pernah datang dari Newcastle (lihat hal. 932 dalam tautan).
Dibanding banyak tempat lain, Newcastle tidak menonjol dalam daftar aktivitas Islam radikal manapun, walau jika punya orang-orang fundamentalis yang cukup besar (moderate) sekalipun. Menyusul terungkapnya geng-geng pelaku manipulasi seksual (grooming gang) Agustus lalu, seorang wakil komunitas Muslim lokal dan anggota dewan kota, Dipu Ahad [2] mengatakan kepada pers nasional bahwa kaum Muslim lokal "benar-benar muak" oleh kejahatan mereka serta takut terhadap kemungkinan lahirnya aksi balasan.
Memang tidak benar dan tidak tepat mengandaikan bahwa seluruh komunitas Muslim Newcastle atau bahkan sebuah minoritas menilai berbagai kegiatan jahat itu sebagai dapat diterima. Hukum dan etika Islam bakal mengecam aksi-aksi para pria ini sebagai tidak bermoral dan anti-Islam. Pada saat bersamaan, upaya Ahad dan pihak lain memisahkan geng-geng Muslim pelaku manipulasi seksual (grooming) dari agama Islam itu sendiri justru memunculkan persoalan yang lebih mendalam. Seperti dalam kasus grooming sebelumnya, penting untuk bertanya betapa kejahatan yang terjadi itu tidak disebutkan oleh anggota komunitas Muslim yang paling dekat dengan laki-laki yang terlibat. Ahad mengatakan bahwa "sesama Muslim tidak harus merasa perlu untuk "meminta maaf" bagi geng-geng grooming. Kemudian ditambahkannya, "Apakah komunitas kulit putih tampil mengecam kejahatan yang dilakukan oleh Jimmy Savile?"
Savile adalah salah satu tokoh paling terkenal di Kerajaan Inggris sekarang ini. Dia pernah diberi penghargan OBE dan gelar bangsawan oleh Ratu karena karya pelayanan, hiburan serta karya amalnya. Status selebritinya yang rawan beserta gambaran dirinya sebagai orang baik dan penuh perhatian berhasil menutupi karir panjangnya sebagai predator seksual Inggris terbesar. Sedikitnya 500 wanita dan gadis, beberapa dari mereka malah ada yang baru berusia dua tahun, dia jadikan mangsanya. Tetapi dia selebriti nasional, bukan anggota sebuah "komunitas kulit putih" kecil yang mungkin menyadari perbuatan jahatnya serta kemampuannya untuk membuat polisi waspada.
Jawaban Ahad adalah cara tangkas untuk mengalihkan persoalan seputar apakah kaum Muslim menutup-nutupi kejahatan karena gagal menceritakan bahkan curiga apakah aksi itu sah atau tidak karena solidaritas dengan anggota dari apa yang mungkin mereka nilai sebagai sebuah komunitas yang terkepung. Pertanyaan yang sama kerap melingkupi berbagai kasus terorisme oleh kalangan Muslim---kasus-kasus yang tidak dilaporkan oleh komunitas yang kerap terjalin sangat kuat.
Seperti Ahad, Chi Onwurah, anggota Parlemen dari Partai Buruh untuk Newcastle Central berupaya menyebarluaskan keprihatinan ini dengan mengurangi tanggung jawab komunitas Muslim. Dia mengatakan:
"pihak-pihak yang berusaha memanfaatkan para pelaku kejam berlatar belakang Asia atau Muslim berniat membangun pemisahan (masyarakat) sehingga justru menempatkan para gadis lain berisiko. Mengandaikan bahwa grooming dan perlakuan kejam terhadap anak [sic] terus ada dalam suatu kelompok bisa membantu pelaku penyalahgunaan seksual yang potensial untuk bersembunyi di siang bolong jika mereka bukan bagian dari kelompok itu.
"Kejahatan eksploitasi seks bisa terjadi dan dilakukan oleh anggota semua komunitas dan memang tetap disayangkan bahwa penyalahgunaan seksual itu paling mungkin muncul dari dalam lingkaran keluarga."
Bagaimanapun, anggota dewan kota lain, Greg Stone dari Partai Demokrasi Liberal, menempuh pendekatan yang lebih tegas. Dia melihat persoalan itu persis di tempat-tempat yang dipilih oleh kalangan kiri seperti Ahad dan Onwura untuk mengalihkan perhatian masyarakat:
"Tidak seorang pun ingin menganggap komunitas tertentu itu jahat, tetapi fakta bahwa ini sedang terjadi lagi dan lagi dalam lingkungan dan komunitas yang sama merupakan fakta yang tidak bisa kita abaikan."
"Saya pikir perlu pendekatan nasional --- ini sedang terjadi di banyak tempat sehingga bisa terjadi di lingkungan lokal."
Dikatakannya, eksploitasi seksual tidak bakal "hilang hingga kita mengajukan pertanyaan sulit" kemudian menambahkan:
"Tidak saya pikirkan bahwa kita mampu membasmi skala penyalahgunaan yang memang berdampak nasional, kecuali jika kita mengajukan sejumlah pertanyaan keras seputar komunitas Pakistan dan Bangladesh khususnya."
Memang, jika kita baca daftar 265 keputusan atas geng dan pelaku grooming di Kerajaan Inggris antara Nopember 1997 dan Januari 2017 (dan jika kita tambahkan 18 kasus lain dari geng yang beraksi Newcastle baru-baru ini), maka kita mencatat bahwa lebih dari 99% adalah laki-laki Muslim, terutama anak-anak muda berusia 20-an hingga 30-an tahun. Pada 2 Juni 2017, dilaporkan ada 165 tersangka lain berhasil diidentifikasi di Rochdale, di West Yorkshire. Semua tersangka dilukiskan sebagai "orang-orang Asia," sebuah kata sandi bagi Muslim Pakistan. Beberapa hari kemudian, pada 9 Juni, empat belas laki-laki Pakistan diajukan di Pengadilan Oxford Crown didakwa dengan kekerasan seksual terhadap anak-anak. .[3]
Seperti Rochdale dan Oxford, beberapa kota tampaknya lebih dari sekali dalam kurun waktu yang beragam pernah menjadi pusat geng Muslim pelaku manipulasi seks. Rochdale sendiri menyaksikan hukuman terhadap seluruhnya 41 orang laki-laki sejak 2010 (dua kali), 2012, 2013 dan 2016 (dua kali). Sulit untuk melepaskan diri dari kesimpulan bahwa ada persoalan endemik berkaitan dengan pria Muslim serta komunitas-komunitas tempat mereka berasal. Polisi, pekerja sosial, pengadilan dan pihak berwenang lain yang bertahun-tahun berupaya sebaik-baiknya untuk menutupi identitas para penjahat, memungkinkan mereka untuk menjalankan aksi kekerasan seksual sekian lama, dan akhirnya dipaksa oleh sejumlah penyidik yang tekun berupaya untuk mengungkapkan asal muasal Islamiah dari mayoritas penyerang itu. Tetapi seperti diperlihatkan oleh sejumlah pernyataan tentang Newcastle, masih ada sikap enggan yang sangat besar untuk secara tepat menunjukkan gambaran seputar doktrin Islam atau budaya Pakistan, Bangladesh serta budaya-budaya lainnya sebagai pemicu perilaku ini.
Pengaruh itu barangkali sangat tepat dirangkum dalam pernyataan berikut yang dibuat oleh Badrul Hussain, seorang anggota geng pemanipulasi seksual yang berdiam di Newcastle ketika berbicara kepada seorang inspektur polisi wanita di pelayanan kereta api bawah tanah (Metro) yang meminta supaya bisa melihat tiketnya:
"Semua wanita kulit putih hanya baik untuk satu hal, bagi laki-laki seperti saya. Untuk dise..hi dan sebagai sampah. Itu saja wanita seperi kau itu pantasnya."
Bagaimanapun, itu tidak sekedar soal wanita kulit putih (itu kaum non-Mulim) yang pria muslim yakini begitu hina dina. Perlakuan kejam dimulai di rumah dalam negara-negara Islam, dalam perlakuan terhadap wanita Muslim. Akarnya terletak dalam aspek hukum dan doktrin Islam yang bertahan dalam abad ke-21, meski dirumuskan pada abad ketujuh dan abad-abad sesudahnya. Termasuk di dalamnya poligami bagi laki-laki, ijin bagi laki-laki untuk membeli dan menjual wanita sebagai budak seks /selir, hukum perceraian yang menerapkan diskriminasi atas wanita, desakan agar wanita harus menutupi badan bahkan wajah, aturan-aturan diskriminatif atas warisan seorang wanita ("Seorang laki-laki mendapat jatah sama dengan jatah dua wanita"), tinggi serta semakin meningkanya praktek pembunuhan karena kehormatan dalam masyarakat Muslim, termasuk berbagai komunitas di Barat (dengan 58% dijalankan karena wanita muda itu menjadi "terlampau Barat") insiden sunat wanita yang mengerikan (FGM) di negara-negara Muslim serta dalam komunitas Muslim Barat, tingkat perkawinan anak-anak yang mengerikan (sebagaimana diijinkan oleh hukum shariah), dan legislasi yang mengecam sekaligus menghukum wanita atas "kejahatan" karena diperkosa.
Di luar semua ini, perilaku nyata yang terungkap dalam peristiwa tertentu memperlihatkan dampak yang lebih langsung terhadap kehidupan para wanita.
Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Australia mulai tahun 2014 mendata perlakuan terhadap wanita berdasarkan hukum shariah seperti yang diterapkan di Propinsi Aceh, Indonesia, satu-satunya bagian negara tersebut (yang memiliki populasi Muslim terbanyak di dunia) tempat penegakan hukum Islam diijinkan. Dengan memusatkan perhatian pada perlakuan terhadap seorang wanita, laporan itu menampilkan wawancara dengan seorang komandan patroli penegakan shariah, Kapten Ibrahim Latif. Ketika berbicara tentang seorang wanita muda yang diperkosa oleh sekelompok anggota organisasi massa (vigilante), namun diragukan (allegedly) karena sang wanita ditemukan sendirian bersama seorang laki-laki. Sang kapten mengatakan;
"Dia memang tidak minta mereka melakukannya, tetapi dia mendorongnya. Dia mendorong para laki-laki itu karena dia memakai pakaian yang sangat sangat seksi [dia gunakan kata-kata Inggris]. Saya pikir, setiap laki-laki normal terprovokasi."
Di bawah jurisdiksinya, wanita menutup tubuh dari kepala hingga kaki ditangkap di jalan-jalan (seperti terlihat dalam film) juga dipermalukan atau dicambuk karena pakaian yang dianggap "tidak pantas". Para wanita muda yang diwawancarai semuanya muak dengan perlakuan yang ditimpakan atas mereka karena pelanggaran yang sangat kecil. Tetapi para polisi wanita shariah menghayati prinsip bahwa wanita dikecam atas kejahatan seperti perkosaan. Seseorang dalam film itu mengatakan, "kejahatan terjadi karena kami [para wanita] mengundangnya untuk lakukan." Komentar lain lagi: "jika laki-laki tidak melihat apa-apa, dia tidak bakal dibangkitkan nafsunya. Terserah kita. Wanitalah yang mengundangnya. Lekuk lekak badan mereka bisa membangkitkan nafsu laki-laki" --- walaupun pria Barat yang melihat para gadis yang tertutup rapat itu yang tengah ditarik-tarik dan mencaci maki sulit mendeteksi semua lekukan tubuh itu, apalagi secara seksual dibangkitkan nafsunya oleh mereka.
Pemikiran bahwa laki-laki tidak bertanggung jawab terhadap perkosaan atau serangan seksual lain dan bahwa wanita pantas dikecam atas kejahatan seperti ini bergerak jauh sehingga membantu menjelaskan mengapa laki-laki Muslim di Inggris dan tempat lain mungkin merasa dibenarkan ketika memanipulasi potensi seksual kemudian secara seksual menyalahgunakan para wanita muda dan gadis yang tidak terlalu tertutup rapat pakaiannya secara seksual.
Perilaku orang Pakistan bahkan jauh lebih penting ketika berusaha memahami apa yang terjadi di Kerajaan Inggris yang menampung jumlah terbesar imigran Pakistan di Eropa. Pada 2012 lalu, Majalah Atlantic melaporkan "Enam Cerita Penyalahgunaan, Memalukan yang terus Bertahan" terkait dengan wanita di Pakistan:
"Menurut sebuah polling pada tahun 2011 yang disebarkan di antara para pakar oleh Thomson Reuters Foundation Poll, Pakistan adalah negara paling berbahaya ketiga bagi wanita di dunia. Polling itu mengutip lebih dari 1.000 wanita dan gadis dibunuh 'demi kehormatan' tiap tahun kemudian melaporkan bahwa 90 persen wanita Pakistan menderita kekerasan rumah tangga."
Pengarangnya, Zara Jamal sendiri wanita berlatar belakang Pakistan, mengatakan:
"Ironi yang sulit bagi wanita di Pakistan adalah bahwa andaikan korban berbicara tentang kekerasan fisik atau seksual maka dia dilihat seolah-olah kehilangan martabatnya sendiri serta martabat keluarganya. Banyak perkosaan tidak dilaporkan karena korbannya takut dia menjadi tidak bernilai dalam masyarakat Pakistan."
Di antara kisah-kisah yang ditampilkan Jamal, adalah kisah tentang Ayesha, 18 tahun, seorang wanita muda miskin yang mengalami kekerasan seksual dari ayahnya yang kejam:
"Saya pergi ke rumah paman supaya bisa mendapat lebih banyak roti. Saya tidak tahu ada seorang laki-laki berada di sana. Di dalam rumah kosong itu, dia memanfaatkan saya. Dia lakukan hal yang tidak saya pahami. Dia meraba-raba dada saya. Sebelum saya sadar, dia membungkam mulut saya dengan kain kemudian memperkosa saya. Saya sulit berjalan pulang ke rumah. Mau pingsan rasanya. Kepala saya pusing. Ini banyak terjadi di desa. Gadis-gadis muda diperkosa, dibunuh dan dimakamkan. Tak ada orang mampu melacak setelah mereka hilang. Jika seorang wanita tidak lagi perawan (chaste), dia tidak pantas menikah. Semua yang dilakukannya (baca: laki-laki) adalah meminta maaf dan mereka biarkan dia pergi karena itu cara terbaik untuk menghindari orang-orang lain mengetahui apa yang terjadi. Tidak dia dapatkan hukuman apapun, walaupun dia hancurkan hidup saya. Orang mungkin lupa apa yang dilakukan, tetapi saya tidak bisa. Kini, dia menikah dan menjalani hidup yang bahagia. Saya mengecam nasib saya sendiri. Saya hanya orang tidak beruntung sehingga hal ini terjadi atas saya."
Jadi, pemerkosa dimaafkan dan korbannya kini dianggap tidak cocok menikah. Dia dipaksa keluar untuk pergi kerja supaya bisa mendapatkan uang yang sangat sedikit jumlahnya.
Akhirnya, pantas dicatat bahwa sejak pasca-imigrasi massal 2015 ke Eropa dimulai, sejumlah besar orang Afghanistan, yang sebagian besar dari mereka adalah laki-laki muda memasuki berbagai negara seperti Kerajaan Inggris. Walau Uni Eropa sudah membuat kesepakatan untuk mendeportasi orang Afghanistan pencari suaka, para migran negara itu membentuk kelompok pencari suaka terbesar kedua di Eropa dengan 196,170 orang mengajukan suaka pada 2015. Perilaku laki-laki terhadap wanita dan gadis di Afghanistan dengan demikian, bisa menginspirasi pria Indonesia dan Pakistan.
Para wanita memakai burka di Pakistan (Foto oleh Paula Bronstein/Getty Images). |
Pada 2011 dan sekali lagi pada 2013 lalu, seorang wartawati Iran, Zohreh Soleimani, bepergian ke Ibukota Afghanistan, Kabul. Di sana, dia mewancarai dan melaporkan kisah salah seorang wanita, Soheila, namanya. Soheila dipenjara karena berpacaran dan belakangan punya seorang anak laki-laki dari hubungan tersebut. Sebelumnya, ketika dia masih berusia lima tahun, saudara laki-lakinya yang lebih tua meninggalkan rumah, pergi bersama isteri seorang pria lain. Ayahnya kemudian mempertunangkan dia dengan sang suami yang terluka itu, yang jauh lebih tua darinya. Karena dipaksa menikahi laki-laki itu ketika masih remaja, Soheila pun melarikan diri. Dia kemudian hidup bersama selama 3,5 tahun dengan Niaz Mohamad, saudara sepupunya. Mereka saling jatuh cinta, tapi sang ayah yang berhasil menemukan mereka malah menjebloskan dia ke dalam penjara. Soheila dan Niaz sama-sama diganjari hukuman penjara enam tahun. Banyak wanita muda di Afghanistan yang dijebloskan dalam penjara karena "kejahatan-kejahatan" moral seperti ini.
Dalam dua wawancara pertamanya, ayah Soheila, seorang pria beruban yang terlihat seolah-olah berusia 80-an tahun mengatakan:
"Agama kami Islam, tidak membiarkan seorang wanita melakukan apapun yang dia inginkan. Berdasarkan hukum Islam, seorang anak perempuan harus menikahi siapa saja yang dipilihkan ayahnya. Islam mengatakan, ketika seorang ayah ingin menikahkan anaknya --- yang berusia 8,9 atau 10 tahun, maka itu tidak ada masalah. Wanita itu miliknya. Dan seorang wanita tidak berhak menolaknya." [4]
Kini, hukum sipil Afghanistan baru saja mengijinkan seorang wanita berusia lebih dari 18 tahun untuk menikahi siapa yang disukainya. Persoalan dengan pernikahan dan perceraian terletak di tempat lain, dalam jejak hukum shariah yang berpadu dengan tradisi yang basah kuyub dengan hukum suku atau adat-istiadat. Ayah Soheila mengabaikan hukum sipil dan ngotot bahwa hukum yang diikutinya memberinya hak mutlak atas anak perempuannya yang "menjadi miliknya."
Pada 2013 lalu, Soleimani menemukan Soheila berdiam di sebuah rumah perlindungan korban (safe house), tetapi tidak bisa bebas pergi dengan bakal suaminya (Niaz Mohamad) atau kembali ke rumah. Dia pernah pergi menemui ayahnya lalu membuat surat perceraian dari sebuah pengadilan sipil, tetapi sang ayah menolak surat-surat itu. Dia malah dihajar oleh ayahnya, saudaranya, istri saudaranya serta seorang pamannya. Dia diminta tidak boleh datang lagi ke rumah. Tetapi ayahnya memberikan kelonggaran (concession): katanya, dia akan menerimanya kembali jika dia membunuh anak laki-lakinya. Ya, anda sudah benar membacanya. Dia boleh kembali ke rumah, jika dia membunuh anak laki-lakinya yang kecil.
Dalam sebuah wawancara yang lebih jauh dengan ayah dan saudara Soheila, sang ayah mengatakan dia bakal melacak keberadaannya bahkan jika harus pergi ke Amerika. 'Di manapun dia ditemukan, dia akan dibunuh.' Dia kemudian berpesan kepada Soheila:
"Jika kau mencintainya, pergilah kepada Niaz Mohamad. Dengan semua kekuatan yang Allah berikan kepada saya, saya akan meminta kepada Allah, 'Sebelum mereka mengambil langkah baru, Allah, bunuh mereka berdua.'"
Dalam kunjungan terakhirnya, saudara Soheila mengatakan, dia (pun) sudah mempertunangkan puterinya sendiri dengan seorang pria lebih tua ketika masih berusia tiga hari. Ketika ditanya apa yang akan dilakukannya jika dia juga kabur melarikan diri dari perkawinan seperti itu, dia pun sama-sama cepatnya seperti ayahnya mengatakan: "Akan saya bunuh dia."
Beberapa kisah ini tampak seolah-olah diambil dari kisah horror mengerikan di mana para pria adalah para penjahat yang tidak bisa berubah dan para wanitanya adalah para korban abadi mereka. Tentu saja, tidak sulit untuk memahami mengapa laki-laki yang berasal dari latarbelakang yang sama ini, terdorong oleh perilaku Islam tradisional tidak mampu mengatasi pandangan terhadap seorang wanita, remaja, gadis kecil yang berpakaian santai (lightly dress) kemudian mengajar bahwa wanita merupakan harta milik mereka, semangat bagi kehormatan pribadi dan keluarga mereka namun tidak pernah mengajarkan pengendalian diri menganggap laki-laki berkuasa atas semua wanita kemudianmerendahkan wanita non-Muslim karena berpandangan bahwa semua non-Muslim itu lebih rendah alias inferior dibanding dengan kaum Muslim sehingga memilih untuk memanipulasi secara seksual, memperdagangkan serta memperkosa para wanita yang mudah diserang yang sedang berdiam di kota-kota mereka sendiri.
Dr. Denis MacEoin mengajar Bahasa Arab dan Kajian Islam di Universitas Newcastle. Kini, dia mitra senior kehormatan pada Gatestone Institute. Dia berdiam di Newcastle upon Tyne.
[1] Lihat John L. Esposito (ed.), "Ahl-i Hadith", The Oxford Dictionary of Islam, Oxford, 2014
[2] Seorang anggota sayap kirip Partai Buruh yang terkenal karena aktivitasnya yang pro-Palestina tetapi anti-Israelnya.
[3] Hanya tiga dari semua ini yang sudah menjadi Muslim: empat orang tidak disebutkan namanya dan hanya dilukiskan sebagai para laki-laki, "tanpa tempat tinggal tetap."
[4] Tegasnya, Hukum Shariah menuntut para wanita untuk menyetujui walaupun dalam prakteknya ini biasanya diperoleh karena tekanan.