Para jururunding dari Partai Uni Demokratik Kristen (CDU) pimpinan Angela Merkel yang berhaluan tengah kanan dan para mitra mereka dari Partai Uni Sosial Kristen (CSU) dari Negara Bagian Bavaria serta Partai Sosial Demokrat yang berhaluan tengah kiri (SPD) pada prinsipnya sudah sepakati koalisi besar baru pemerintah. Dan kenyataannya, koalisi itu sama dengan yang memerintah sebelum Pemilu terakhir September 2017.
Kesepakatan akan resmi disahkan oleh segelintir pejabat SPD serta anggotanya pada kongres khusus partai 4 Maret nanti. Jika sudah disahkan maka dia menjamin bahwa Jerman bakal punya pemerintahan baru setelah Paskah nanti. Juga akan mengesahkan bahwa Merkel sudah berkuasa selama 12 tahun, dan masih tetap menjabat selama empat tahun yang panjang sebagai kanselor, meskipun dalam posisi yang sangat lemah.
Tidak seperti biasanya, kesepakatan sepanjang 177 halaman yang tercapai pada 7 Februari itu bisa ditinjau kembali dalam kurun waktu dua tahun, saat partai-partai anggota koalisi mau menilai kembali koalisi mereka. Para analis politik pun berspekulasi bahwa kesepakatan mungkin saja menjadi peluang bagi Merkel untuk akhirnya meninggalkan jabatannya.
Kanselir Jerman Angela Merkel (tengah) berdiri bersama Martin Schulz (kanan), pemimpin Partai Sosial Demokrat (SDP) serta Horst Seehofer (kiri) Gubernur Bavaria sekaligus Pemimpin Partai Uni Sosial Kristen (CSU) setelah negosiasi koalisi pemerintah, 7 Februari 2018 di Berlin, Jerman. (Foto oleh Carsten Koall/Getty Images). |
Ketiga partai koalisi membuat konsesi satu sama lain guna menjamin kesepakatan antarmereka. Semua ini merupakan upaya untuk mencegah diadakannya pemilu baru, karena partai Alternatif untuk Jerman (AfD) yang anti-imigrasi memperoleh banyak dukungan dalam berbagai jajak pendapat sehingga nyaris bisa memperkuat posisinya dalam Parlemen Jerman, tempat dia sudah menjadi partai oposisi utama.
Konsesi Merkel yang terpenting mencakup alokasi posisi para menteri kabinet. Partai CDU yang dipimpinnya melepaskan kekuasaannya atas kementrian dalam negeri dan keuangan yang berpengaruh. Partai SDP bakal menguasai tiga kementerian penting; keuangan, urusan luar negeri dan perburuhan. CSU, yang menganjurkan adanya sikap keras atas imigrasi dibandingkan dengan Merkel, akan mengambil alih posisi kementerian dalam negeri.
Ada sejumlah poin penting kesepakatan; Ada reformasi perawatan kesehatan dan perumahan; komitmen terhadap tujuan iklim internasional; "program satu miliar euro," sebuah program yang menjamin bahwa semua warga Jerman, termasuk yang berdiam di pedesaan, mendapatkan akses hubungan internet berkecepatan tinggi setelah tahun 2025. Dan akhirnya, kesepakatan untuk membatasi ekspor senjata dari Jerman kepada semua negara yang terlibat perang di Yaman. Pembatasan itu bakal berlaku juga atas Arab Saudi, pasar utama perusahaan-perusahaan pertahanan Jerman.
Terkait dengan Uni Eropa, CDU/CSU dan SPD sepakat untuk memberi makin banyak kekuasaan kepada Parlemen Eropa untuk membangun Dana Moneter Eropa---yang agaknya didanai dalam jumlah besar oleh Jerman---. Dana itu dimaksudkan untuk membantu melindungi zona Euro menghadapi krisis keuangan masa datang. Yang lebih penting lagi, kesepakatan itu menjanjikan "lebih banyak lagi investasi" bagi Uni Eropa. Pihak SPD mengatakan kesepakatan itu sama saja dengan "mengakhiri langkah-langkah yang menegangkan". Misalnya, memangkas pengeluaran publik, yang Jerman tetapkan atas Uni Eropa pasca-meletusnya krisis zona euro.
Terkait dengan isu yang paling banyak diperdebatkan, misalnya yang berkaitan dengan imigrasi, Partai CDU/CSU dan SPD sepakat untuk menghentikan jumlah pencari suaka yang berdatangan ke Jerman antara 180 ribu dan 220 ribu orang pertahun. Sudah lama Merkel menolak batas atas pembatasan jumlah pencari suaka seperti yang dituntut oleh CSU, tetapi setelah satu juta pemilih CDU menyeberang ke AfD dalam Pemilu terakhir, dia pun lantas sepakat.
Koalisi juga membahas pembantasan jumlah migran yang dibawa ke Jerman via visa penyatuan keluarga (Familiennachzug) menjadi seribu visa per bulan untuk pencari suaka yang disebut sebagai perlindungan subsider, semacam perlindungan sementara yang justru mengecewakan pencari suaka. Termasuk dalam kategori itu biasanya para migran yang melarikan diri dari negara-negara yang dilanda perang tetapi tidak mampu membuktikan bahwa mereka sendiri menghadapi bahaya langsung. "Perlindungan subsider berlaku ketika tidak ada lagi perlindungan bagi pengungsi atau haknya untuk mendapatkan suaka diberi karena ada kerugian serius [penyiksaan atau hukuman mati] yang mengancamnya di negara asalnya," demikian dikatakan oleh Kantor Federal untuk Migrasi dan Pengungsi (Federal Office for Migration and Refugees).
Bagaimanapun, ketika diamati secara teliti, kompromi itu seolah-oleh polesan kosmetik: soalnya, sebagian besar migran yang memperoleh perlindungan subsider di Jerman tidak menikah dan tidak punya anak. Dan, menurut hukum Jerman, mereka tidak bakal diijinkan untuk membawa anggota keluarga besar mereka dalam kasus apapun. Lebih jauh lagi, migran yang mendapat perlindungan subsider itu persentasenya relatif kecil di antara para migran di Jerman.
Hanya 200 ribu dari lebih dari dua juta migran yang tiba di Jerman semenjak 2015 lalu mendapat perlindungan subsider, demikian dikatakan oleh Badan Tenaga Kerja Federal. Dari jumlah itu ada sekitar 50 ribu dan 60 ribu yang mengajukan permohonan untuk bisa bergabung dengan anggota keluarga mereka.
Dalam peristiwa apapun, pembatasan ini membuat pengecualian demi "alasan kemanusiaan" . Itu menyebabkan Pemimpin SPD Martin Schulz melukiskan kesepakatan itu sebagai "regulasi dengan 1.000 tambahan."
Dengan kata lain, "kompromi" yang bermaksud membatasi jumlah penyatuan keluarga di antara para migran tampaknya menjadi tipuan dalam hubungan masyarakat yang mau membujuk pemilih Jerman bahwa partai-partai arus utama menjalankan sikap yang agak keras atas migrasi. Agaknya cara itu merupakan upaya untuk menghambat suara pemilih beralih kepada AfD.
Kesepakatan koalisi itu disambut dengan banyak sikap skeptis dari berbagai penjuru spektrum politik Jerman.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Die Welt 8 Februari lalu menemukan bahwa 63% ---hampir dua pertiga suara pemilih--- meyakini bahwa Merekel sudah "melemah" atau "jelas-jelas melemah" akibat hasil negosiasi koalisi. Hanya 16% pemilih mengatakan sang kanselir "menguat" atau "jelas-jelas menguat" sementara 18% mengatakan, dia tidak menguat atau melemah.
Banyak pengamat politik mengatakan, kesepakatan koalisi membayangi dimulainya senjakala era Merkel.
Pemimpin redaksi Süddeutsche Zeitung, Kurt Kister, melukiskan kabinet baru Merkel sebagai sebuah "pemerintahan tanpa tanggal kedaluarsa." Karena itu, dia pun menulis;
"Ya, tidak ada pemenang dalam negosiasi koalisi ini --- sama seperti tidak ada pemenang yang jelas dalam Pemilu Bundestag (Parlemen Jerman). Mungkin saja CSU sudah melakukan hal yang terbaik. Pemimpin partai Horst Seehofer, yang tidak kehilangan apa-apa, bakal menjadi menteri paling penting [Menteri Dalam Negeri] dari Partai CDU/CSU. Pemberian batas atas untuk imigrasi yang dirancang oleh Seehofer kini menjadi koridor makalah koalisi: Partainya (dan CDU) bakal secara politis memperoleh keuntungan dari kebijakan batas atas imigrasi, yang berkaitan erat dengan pemikiran tentang mayoritas Jerman sekaligus menghadirkan batasan dari bagian-bagian penting mana dari SDP yang akan diterima. SPD juga memperoleh banyak dalam berbagai negosiasi koalisi singkat ini, khususnya karena memperoleh kendali atas kementerian-kementerian penting.
"Jika mayoritas anggota SPD tidak menentang kesepakatan koalisi, Angela Merkel dengan demikian bakal meraih tujuannya yang terpenting: bakal ada pemerintahan yang (relatif) stabil. Jika kabinet Merkel keempat berhasil, maka dalam beberapa hal, nasibnya sama dengan kabinet terakhir Helmut Schmidt dan Helmut Kohl. Merkel memang akan memerintah...tetapi pemerintahannya akan berada di bawah judul, 'tidak akan bertahan lama'. Pernyataan ini merujuk kepada Merkel. Juga pada kenyataan bahwa di banyak bagian negeri ini, ada perasaan " bahwa (keadaan) 'ini' tidak boleh berlanjut."
Koresponden Deutsche Welle yang berbasis di Berlin, Volker Witting menulis:
"Merkel sadar bahwa masa jabatannya yang keempat sebagai kanselir mungkin menjadi yang terakhir. Bahkan sebelum Pemilu federal sekalipun, dia butuh waktu lama untuk memutuskan mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan keempat. Dan bukan cuma oposisi yang mendorong adanya perubahan. Sejumlah kalangan di CDU juga memperhitungkan Merkel melepaskan jabatan ---lebih baik secepatnya daripada terlambat; bahkan jika para pengkritiknya mengatakan hal ini di balik pintu tertutup.
"Di atas semuanya itu, kelompok sayap kanan partainya sendiri tidak bisa memaafkan Merkel karena dia menggerakan partai CDU yang dulunya konservatif sampai jauh menuju arah sosial liberal demokrat. Sudah lama kaum konservatif menggerutu soal itu, tetap hanya beberapa orang yang mengungkapkan ketidakpuasan mereka secara terbuka, walau mereka pun memikirkan soal berakhirnya era Merkel. Sebagai contoh, Perdana Menteri Negara Bagian Schleswig-Holstein Daniel Günther baru-baru ini pernah mengatakan: "Pemerintah baru seharusnya memasukan orang-orang yang punya pandangan tentang periode pasca-Angela Merkel."
Harian Münchner Merkur dalam sebuah artikelnya bertajuk, "CDU grumbles about Merkel: 'One could hardly have negotiated worse'" (CDU Menggerutu soal Merkel: Orang Nyaris Tidak Bisa Negosiasikan Sesuatu yang Lebih Parah) menulis:
"Rancangan kesepakatan bisa mengamankan politik Merkel supaya langgeng, tetapi menekannya secara internal. Kesepakatan membuatnya membayar mahal dengan melepaskan partainya dari posisi menteri yang terpenting. Kementrian Urusan Dalam Negeri, Keuangan dan Kementerian Perburuhan---semuanya lenyap. CDU tetap berkuasa atas Kementerian Ekonomi yang terdengar bagus, Kementerian Kesehatan yang kurang populer, Kementerian Pertahanan yang rawan krisis serta pos-pos kementerian bayangan di kantor Kanselir, yaitu kementerian pendidikan dan pertanian. Itu tentu saja kecil untuk ukuran sebuah faksi terkuat di Bundestag."
Suratkabar Jerman yang bersirkulasi terbesar, Bild dalam sebuah artikelnya bertajuk, "Help, I have shrunk the CDU!" (Bantulah, Sudah Saya Susutkan CDU), berhasil mendokumentasikan meningkatnya pemberontakan terhadap Merkel dari dalam lingkungan CDU sendiri. Reaksi terhadap kesepakatan koalisi mencakup ungkapan seperti, "sebuah kesalahan politik," "benar-benar tidak bisa diterima," "partai kita tengah dihapuskan bersih," "ia berisi tulisan tangan SPD," "sedang menghancurkan diri" dan "tidak bagus." Bild menulis: "Faktanya, CDU sudah kehilangan pengaruh dalam pemerintahan baru dibanding yang bisa diperolehya. Para pengkritik Merkel dalam kubu CDU pun kini sudah semakin bersuara keras."
Dalam sebuah essay berjudul, , "Why German Politics Can't Move Beyond Merkel" (Mengapa Politik Jerman Tidak Bisa Bergerak Melampau Jangkauan Merkel), René Pfister, Kepala Biro Der Spiegel di Berlin, menulis:
"Semenjak Pemilu Jerman September silam, ada bau-bau ucapan selamat jalan yang melayang-layang di atas apa pun. Dalam pemungutan suara itu, partai konservatif pimpinan Merkel menderita kalah dengan meraih hasil terparah semenjak 1949. Jika indikasi-indikasinya tidak sepenuhnya salah, maka Merkel terlihat seolah-olah sedang dalam proses mengatur penggantinya untuk memimpin Partai Demokrat Kristen (CDU) saat dia tinggalkan partai itu.
"Anehnya, warga Jerman terbagi-bagi pendapatnya seputar wanita yang sekian lama memerintah itu. Generasi yang lebih muda tidak bisa mengenang masa ketika kanselir pria memimpin negeri itu. Pada pihak lain, ada keinginan untuk melakukan perubahan. Merkel yang sudah kelelahan membuat perubahan itu tampak jelas selama peluncuran singkat pencalonan Martin Schulz setahun silam. Perubahan terjadi dalam bentuk bangkitnya partai anti Merkel, yaitu Partai Alternatif bagi Jerman (AfD). Pada pihak lain, masyarakat Jerman tampaknya takut dengan perubahan mendasar dambaan mereka, dengan 51 persen pemilih yang mendukung Merkel tetap menjabat sebagai kanselir. Di balik Menteri Luar Negeri Sigmar Gabriel, dialah politisi paling populer di Jerman.
"Tetapi tidak sepenuhnya jelas apakah yang yang terjadi setelah Merkel melepaskan jabatannya. Namun, salah satu ciri dari bertahun-tahun Merkel berkuasa belakangan ini mengemuka. Yaitu bahwa semua dorongan politik sepenuhnya berasal dari dia. Berawal dengan AfD yang menamakan dirinya sebagai rujukan terhadap pernyataan Merkel yang paling kenamaan bahwa tidak ada alternatif untuk bisa menyelamatkan mata uang euro.
"Tergantung pada sudut pandang anda, AfD bukan anak jahat era Merkel atau sebuah ungkapan demokrasi yang sehat. Tetapi tidak dapat diragukan lagi bahwa AfD bakal tidak pernah ada tanpa Merkel. Bagi partai sayap kanan yang populis, dia itu figur ibu sekaligus fokus dari rasa benci. Tidak ada orang yang dengan penuh semangat partai itu tolak seperti yang dilakukannya terhadap Merkel. Memang, dalam dirinya sendiri emosi itu menyatu dalam penolakan partai itu terhadap sang kanselir mengingatkan kembali orang pada perseteruan keluarga.
"Pertanyaan populer sekarang, adalah apakah tepatnya, yang bertahan dari era Merkel setelah dia lepaskan kekuasaannya? Kanselir Adenauer terkenal karena melabuhkan negara itu dalam komunitas bangsa-bangsa Barat. Warisan dari Kanselir Kohl adalah diperkenalkannya euro. Tetapi orang bisa saja berargumentasi bahwa dengan gaya politiknya, Merkel telah mengubah negara itu secara jauh lebih mendasar dibandingkan siapapun para pendahulunya.
"Kecenderungan dominan sekarang adalah bahwa gerakan politik...terbentuknya tenda partai-partai besar tampaknya benar-benar sudah ketinggalan jaman, terjebak dalam ritus dan hambatan ideologis. Tetapi Merkel sendiri yang agaknya pertama-tama sadari betapa kuatnya hal itu terjadi jika pemimpin partai memerdekakan dirinya sendiri dari doktrin partainya sendiri.
"Merkel tidak punya semacam charisma yang dimiliki oleh [Presiden Prancis Emanuel] Macron. Dan tentu dia tidak mengubah CDU menjadi kendaraan bagi ambisi pribadinya berbarengan dengan semangat yang berapi-api dan kecepatan yang sama seperti Sebastian Kurz lakukan ketika mengubah Partai Rakyat Austria [ÖVP]. Tetapi ketekunannya untuk memulihkan partai dari segala sesuatu yang membuat partai itu berbeda dari persaingan politik berdampak sama selama beberapa waktu: Yang akhirnya penting bukan lagi prinsip umum yang partai itu yakini tetapi tekad utamanya untuk menyatu erat pada kekuasaan. CDU dengan demikian diubah menjadi partai politik pribadi Merkel sendiri.
"Meskin demikian, persaingan ide politik hilang lenyap---padahal, konflik kebijakan merupakan darah hidup demokrasi sekaligus memberikan arah kepada para pemilih. Itupun yang terjadi dengan identitas CDU. Hasilnya adalah percecokan yang sekian lama meledak seputar arah partai, tidak banyak lagi yang berkaitan dengan pertanyaan, "Di manakah anda berpegang Merkel?"
Ketika menulis untuk Der Spiegel Fleischhauer memperingatkan bahwa ketika SDP menguasai Kementerian Keuangan, pemerintah koalisi baru semakin jauh memperbesar alasan bagi (runaway) pengeluaran pemerintah:
"Pemerintahan mendatang tahu cara membelanjakan uang tanpa mau menghentikannya. Jika ada kesediaan untuk bersikap wajar, maka sikap itu sudah hilang dalam berbagai negosiasi koalisi. Orang harus menyembunyikan angka-angka dalam kolom, orang tidak ingin membuat pembacanya bosan. Tetapi angka-angka harus ada. Ada 1, 392 triliun euro: ini angka pengeluaran rencana anggaran yang negara federal bakal berikan untuk masa legislatif yang kini berkuasa. Karena angka mencengangkan ini tidak cukup bagi para pemimpin koalisi akbar itu, mereka pun sepakati untuk membelanjakan lagi 46 miliar euro sehingga keinginan apapun bakal terpenuhi.
"Bahkan sebelum kabinet baru diambil sumpahnya, Angela Merkel bisa mengklaim diri sebagai kanselir paling mahal sepanjang masa.
"Saya hormati Kanselir, sungguh. Saya kagumi ketekunan dan kesediaannya mendengarkan suara hatinya yang membuatnya mampu menerima setiap persoalan yang muncul. Saya tidak tahu ada orang yang bekerja begitu keras untuk negara kita. Tidak pernah dia tidur lebih dari empat jam, lalu mulai bekerja lagi. Namun, dia tidak pernah mengeluh.
"Hanya saya pikir Angela Mekel juga punya hubungan yang santai. Itu persoalan saya dengan dia.
"Baginya, memutuskan untuk diri sendiri bagaimana orang ingin belanjakan uang perolehannya adalah suatu pemikiran yang aneh. Semua manusia bisa perhatikan pengalaman masa kanak-kanaknya. Semakin tua anda, semakin berkembang pula pengalaman itu. Merkel kini memadukan kebiasaan hidupnya di rumah pendeta [tentang ayahnya yang adalah seorang pendeta] serta bekas Komunis Jerman Timur. Mereka menyebutnya sebagai sikap hemat evangelis tatkala menemukan rujukan terhadap sosialisme itu terlampau sulit; ia menjadi sesuatu yang sama.
"Anda hanya harus perhatikan berbagai ragam jasa yang negara makmur modern tawarkan. Tidak ada yang tidak jadi persoalan. Ia sediakan tiket opera dengan potongan harga serta kursus bahasa di Tuscany seperti konseling perkawinan secara gratis. Anda bisa pikirkan itu sebagai persoalan sosial. Tetapi saya pikir itu sembrono.
"Kepala rumah tangga kantor kanselir (chancellery head) Peter Altmaier berharap bisa mengikuti Wolfgang Schäuble sebagai Menteri Keuangan. Seperti bosnya, Altmaier punya cara yang lebih longgar dalam berurusan dengan uang masyarakat. Pada dasarnya, dia yakin setiap uang euro yang orang belanjakan adalah sebentuk pengkhianatan terhadap Sang Kanselir, yang seribu kali tahu lebih baik apa yang baik bagi negara. Kini Menteri Keuangan menjadi jatah SPD."
Dalam sebuah artikel komentarnya bertajuk "Merkel IV" (Merkel pada Masa Jabatan ke-IV), Harian Hannoversche Allgemeine Zeitung, menulis:
"Hasil negosiasi koalisi dapat dirangkum dalam satu kalimat: Angela Merkel menyelamatkan jabatannya sebagai kanselir, Schulz menyelamatkan dirinya dengan memasuki Kementerian Luar Negeri, Seehofer menyelamatkan dirinya sendiri bagi Berlin. Jadi, ini aliansi tiga politisi yang waktunya sudah kedaluwarsa."
Dalam Tichys Einblick, sebuah blog liberal konservatif Jerman kenamaan, Rainer Zitelmann menjelaskan:
"Sebetulnya, semua partai oposisi dalam Bundestag Jerman bisa bahagia. Dari sudut pandang yang lebih luas, SPD digempur antara Partai Kiri dan Partai Hijau sementara Partai CDU digempur antara Partai FDP dan AfD [yang liberal klasik]. Merkel tidak peduli. Dia tahu ini masa kerjanya yang terakhir."
Dalam sebuah artikel bertajuk "The Eternal Merkel" (Merkel Nan Abadi), Pemimpin Redaksi Westdeutschen Allgemeine Zeitung, Lutz Heuken, menulis:
"Angela Merkel menjadi kanselir sejak tahun 2005--- sejak itu dia mengamankan satu tempat dalam berbagai buku sejarah. Bagi banyak warga negara, sang kanselir adalah penjamin stabilitas selama bertahun-tahun. Tetapi seperti begitu banyak hal nyata atau yang agaknya menakjubkan dalam sejarah, Angela Merkel melakukan satu kesalahan gawat: dia lupa mengucapkan selamat jalan pada waktunya secara bermartabat.
"Mungkin karena dia menganggap dirinya tidak tergantikan. Barangkali karena memang tidak ada orang yang berada di lingkungannya yang berani memperlihatkan kepadanya tanda-tanda yang jelas bahwa dia sudah lama melewati titik tertingginya. Ataupun barangkali karena benar-benar tidak ada orang di CDU yang mampu menggantikannya dalam masa yang singkat karena dia tidak mengijinkan siapapun, karena dorongannya sendiri untuk berkuasa secara murni.
"SPD kini ---secara paksa--- merencanakan ada perubahan kepemimpinan dari generasi Martin Schulz kepada generasi Andrea Nahles. Di CDU, perubahan seperti ini tidak bisa dibayangkan akhir-akhir ini. Ini tidak baik bagi Uni sekaligus menjadi tindakan yang nyaris tragis bagi Angela Merkel."
Jika 460 ribu anggota SDP tidak mendukung kesepakatan koalisi, maka Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier mungkin saja akan meminta diadakan Pemilu baru. Berbagai jajak pendapat mengindikasikan bahwa hasil Pemilu itu mungkin saja secara umum sama seperti Pemilu yang diadakan 24 September 2017 ketika aliansi Partai CDU/CSU pimpinan Merkel memenangkan 33% suara yang menjadi hasil Pemilu paling parah dalam kurun waktu hampir 70 tahun. Penantang utama Merkel yaitu Partai SPD pimpinan Martin Schulz memenangkan 20,5% yang sekaligus memperlihatkan hasil partai tersebut yang paling parah yang pernah terlihat.
Menurut jajak pendapat ARD terakhir, "Trend Jerman" (Deutschlandtrend) yang diterbitkan 1 Februari lalu, dukungan terhadap CDU mencapai 33% sementara dukungan terhadap SDP merosot menjadi 18 persen, sebuah penurunan yang menjadi rekor partai itu. Angka itu hanya empat poin di atas AfD yang justru meningkat menjadi 14%. Bersama-sama, kedua koalisi besar partai-partai itu hanya mencapai angka 51%.
Dalam edisi 18 Januari jajak pendek yang sama, ada 45% pemberi suara mengatakan bahwa koalisi besar-besaran lainnya merupakan pemikiran yang bagus; sementara 53% responden mengatakan mengatakan tidak. Jajak pendapat yang sama memperlihatkan bahwa 53% persen responden berpikir bakal sangat bagus atau bagus jika Merkel tetap berkuasa (tiga poin menurun dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya). Sebanyak 45 persen responden mengatakan Merkel harus menyelesaikan masa kerjanya secara penuh; 45% mengatakan dia seharusnya melepaskan jabatannya sebelum waktunya.
Soeren Kern adalah Mitra Senior Fellow Gatestone Institute yang berbasis di New York.