The United Church of Christ (Gereja Persatuan Kristus ---UCC) adalah sebuah denominasi Kristen yang sedang meredup yang terutama aktif di Amerika Serikat. Gereja itu barangkali paling liberal di antara denominasi Alur Utama Protestan Amerika. Pada 1957, ketika pertama didirikan, gereja itu pernah mempunyai dua juta jemaat dan 7.000 gereja. Namun, kini, angka itu merosot menjadi satu juta jemaat dengan 5.000 gereja. Meski demikian, dia masih punya jemaat terkenal di jantung gerakan jemaat lokal yang mandiri Amerika (American Congregationalist movements) seperti di negara bagian Pennsylvania, Conneticut, Vermont, News Hamsphire dan Maine.
Banyak gubernur AS, senator dan hakim Mahkamah Agung William H. Rehnquist penah menjadi jemaatnya di samping beberapa teolog kenamaan seperti H. Richard Niebuhr, saudara tuanya Reinhold dan Paul Tillich dan beberapa penulis serta akademisi. Namun, gereja itu kini terkenal sebagai gereja yang diikuti oleh Presiden AS Barrack Obama selama dua puluh tahun, antara tahun 1980 dan 2008. Selama masa itu, persekutuan gereja itu menjadi rumah spiritual sang presiden: "Gereja Trinitas adalah tempat saya menemukan Yesus Kristus, tempat kami menikah, tempat anak-anak kami dibaptis," urai Obama suatu ketika. Dia menjadi jemaat UCC Trinitas (Trinity UCC) di Chicago yang punya jemaat denominasi terbesar, sekitar 10.000 jemaat. UCC Trinitas menjadi gereja kaum kulit hitam atau gereja "Afrosentris" yang membasiskan diri pada upaya untuk memperjuangkan cinta dan keadilan. Jemaatnya yang berkulit hitam sangat menonjol, berbeda dari anggota jemaat UCC yang sebagian besar terdiri dari kaum kulit putih.
"Penasehat spiritual yang dekat" dengan Obama di gereja itu, tidak lain dari pastor seniornya, Pendeta Jeremiah Alvesta Wright Jr. Ia menjadi pastor di sana sejak 1972 sampai 2008. Wright bukan sekedar radikal, tetapi agaknya yakin sehingga "mengkotbahkan berbagai teori konspirasi anti-Semit, yang menganjurkan ide-ide rasial ilmiah yang semu (pseudo-scientific racial ideas ) yang berbahaya, menentang perkawinan antarras, memuja para diktator komunis, mengecam asimiliasi kaum kulit hitam...dan sangat meyakini bahwa HIV/AIDS diciptakan oleh Pemerintah Amerika untuk membunuh orang-orang berkulit hitam."
Seolah jika ini tidak cukup, Wright membumikan keyakinan-keyakinan anti-Amerika-nya yang mendalam. Dalam sebuah kotbah yang disampaikannya 16 September 2001, bertajuk, "The Day of Jerusalem 's Fall" (Hari Keruntuhan Yerusalem), Wright tampaknya bersorak gembira dengan penderitaan kaum kulit putih Amerika.
"Kita bom Hiroshima, kita bom Nagasaki. Dengan senjata nuklir kita serang lebih dari ribuan orang di New York dan Pentagon. Dan kita tidak pernah pikirkan bahwa semua itu biasa saja...Kita dukung terorisme negara menentang warga Palestina serta kaum kulit hitam Afrika Selatan. Dan kini kita naik darah karena persoalan yang pernah kita lakukan di luar negeri kita dibawa pulang tepat ke halaman depan rumah kita. Orang-orang Amerika kini terkena bumerangnya sendiri."
Jelas, Jeremiah Wright punya pemahaman aneh tentang cinta dan keadilan. Membingungkan juga bahwa Obama menghabiskan waktu dua puluh tahun mendengarkan kotbah-kotbahnya kemudian menyebutnya sebagai mentor spiritual terdekatnya. Barangkali Gereja Trinitas dan Pendeta Wright punya keyakinan sekaligus praktek yang berbeda dari Gereja Persatuan Kristus secara keseluruhan. Sangat mungkin bahwa gereja-gereja lain dalam dominasi itu lebih lembut teduh pandangan dan afiliasinya. Bagaimanapun, dalam satu topik, jelas ada suara yang sama antara Wright dan gereja yang lebih luas. Topik itu adalah soal Palestina dan Israel. Di sana, dalam pernyataan Wright yang dikutip di atas, "Kami mendukung terorisme negara melawan Palestina..."
Pernyataan itu jauh lebih jelas dalam sebuah kotbah yang Wright sampaikan pada 2015 lalu. Pada kesempatan itu dia memaklumkan tanpa malu-malu bahwa "Yesus itu orang Palestina." Dia kemudian membandingkan pria dan wanita kulit hitam di Ferguson dengan pria dan wanita muda di "Palestina."
Pernyataan ini dan pernyataan lainnya disampaikannya dalam sebuah kegiatan Organisasi Nation of Islam (Bangsa Islamiah) di Washington D.C. Ketika berbicara tentang gerakan Black Lives Matter (Hidup Kaum Kulit Hitam itu Penting), Wright mengatakan:
"Isu yang sama yang tengah diperjuangan hari ini, sudah diperjuangkan sejak tahun 1948. Dan para sejarahwan dibawa kembali menuju abad kesembilan... ketika bangsa pribumi, orang-orang Palestina , Bangsa Palestina menerima orang-orang Eropa datang dan mengambil negara mereka. Dan tolong diingat, Yesus itu orang Palestina."
Pidato itu, ringkasnya, merupakan perpaduan aneh dari omong kosong kisah kontra-sejarah. Lebih jauh dia pun mengatakan, sambil mengutip pernyataan modern tentang ciri kategori sosial yang tumpang tindih:
"Kaum muda di Ferguson dan kaum muda di Palestina bersatu bersama memperingatkan kita bahwa titik-titik perlu dihubungkan satu sama lain. Dan apa yang Dr. (Martin Luther) King pernah katakan, ketidakadilan di manapun merupakan ancaman terhadap keadilan di manapun, berimplikasi terhadap kita ketika kita berdiri di samping para saudara dan saudari kita Bangsa Palestina, yang pernah mengalami salah satu dari ketidakadilan yang paling mengerikan pada abad ke-20 dan abad ke-21."
Benarkah? Jauh lebih mengerikan dibanding dengan Kamboja atau Cina Maois atau Holocaust Bangsa Yahudi atau Rusia di bawah kaum Stalinis? Dia kemudian melanjutkan dengan mengecam Israel sebagai sebuah "negara apartheid." Salah satu kebohongan yang sudah ada di mana-mana dalam sejarah modern itu pun dia ulangi lagi:
"Ketika kita duduk di sini, sebuah tembok aparteheid sedang dibangun. Ukurannya dua kali tingginya Tembok Berlin. Ini menyebabkan orang-orang Palestina tersisih jauh dari kawasan-kawasan yan diduduki secara illegal. Di sana, orang-orang Eropa mengklaim bahwa tanah itu sebagai milik mereka. Orang-orang Palestina mengatakan, "Hidup orang Palestina itu penting.' Kami memihak kalian, kami dukung kalian, kami daraskan, Allah memberkatimu."
Nyaris bukan rahasia lagi bahwa Mantan Presiden AS Barack Obama tidak menghargai Negara Israel serta tidak menyukai Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Hanya perlu sedikit lompatan imaginasi untuk mempertautkan sikap tidak sukanya terhadap negara dan pemimpinnya itu dengan berbagai kotbah Jeremiah Wright. Selain itu, tampaknya mungkin saja sikap anti-Israel Obama itu lahir dari hubungannya yang dekat dengan Nation of Islam (Bangsa Islamiah) yang anti-Semit dan pengalamannya sebelumnya sebagai anak Muslim di Indonesia.
Selain itu, tampaknya, "Obama adalah 'bagian dari panggung Chicago'". Di sana, [Louis] Farrakhan, Jesse Jackson, Pendeta Jeremiah Wright Jr. beserta kaum radikal saling berkunjung menghadiri kegiatan yang lainnya dan saling mendukung cita-cita satu sama lain."
Newsmax rmelaporkan:
"Mantan wakil tertinggi pemimpin Nation of Islam, Louis Farrakhan mengatakan kepada Stasiun Televisi Newsmax bahwa sudah mendalam sekali ikatan antara Barrack Obama dengan gerakan kaum nasionalis kulit hitam di Chicago. Juga dikatakan bahwa bertahun-tahun sudah kedua orang itu punya 'jalur hubungan terbuka antara mereka' untuk mendiskusikan kebijakan beserta strateginya, baik langsung maupun lewat para perantara.
"'Ingat, itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Jika Anda politisi di Chicago, Anda harus punya semacam hubungan dengan Louis Farrakhan. Anda harus lakukan. Jika tidak, Anda dikucilkan dari masyarakat kulit hitam Chicago," kata Dr. Vibert White Jr., yang menghabiskan sebagian besar masa dewasanya sebagai anggota dan akhirnya pejabat tertinggi Nation of Islam. "
Di sini, sekali lagi muncul pertanyaan: apakah arus anti-Semit, pro-Palestina, anti-Israel ini hanyalah bagian dari radikalisme warga kulit hitam Chicago? Atau apakah ia merasuki Gereja Persatuan Kristus (UCC) secara keseluruhan?
Jawabannya dapat ditemukan dalam dua suara yang sangat menekan yang diberikan pada Boikot Divestasi dan Sanksi (BDS) dan resolusi apartheid-Israel oleh gereja tersebut pada 30 Juni 2015. Menurut Suratkabar The New York Times:
"Persetujuan tercapai di sinode umum gereja itu di Cleveland. Di sana, para delegasi memberi 508 berbanding 128 suara mendukung divestasi dan boikot (terhadap Israel) dengan 38 suara abstain. Itulah satu dari dua resolusi atas konflik Israel-Palestina yang diperdebatkan gereja, yang punya satu juta anggota dan lebih dari 5000 jemaat di seluruh negeri itu."
Resolusi kedua yang mengecam Israel sebagai negara "apartheid" mendapat lebih sedikit suara voting (51,4%) sehingga tidak bisa disahkan. Tetapi bahwa sikap itu muncul dalam sebuah sinode mengungkapkan banyak sekali persoalan.
Ada ironi yang memuncak di sini. Dan dia membuat persoalan merunyam. Pada satu pihak UCC memperlihatkan diri sebagai sangat anti-Semit. Bukan saja karena mereka meyakini pandangan ekslusif Perjanjian Baru dilakukan Allah dengan Bangsa Yahudi dan Yudaisme (supersessionist view), tetapi juga bahwa sikap standar ganda mereka yang luar biasa atas Israel bertentangan dengan defenisi dunia internasional tentang anti-Semitisme modern dan pada saat yang sama, anti-Semitisme baru meningkat cepat di Eropa dan tempat-tempat lain.
Pada pihak lain, UCC mencintai kaum Muslim dan berjuang sangat keras mendukung mereka. Tentu saja, tidak ada yang salah dengan persahabatan dengan pihak lain atau mendukung mereka ketika mereka didiskriminasi. Beberapa halaman media daring gereja itu menegaskan sikap ini (contohnya di sini, sini dan di sini).
Menurut sebuah laporan UCC, 8 Juni 2016;
Kampanye Ramadhan lintas agama ini, merupakan perayaan solidaritas, hasil kerja sama para wakil Dewan untuk Hubungan Islam Amerika (CAIR) Cabang Northwest dengan Konperensi Gereja UCC Cabang Pacific Northwest beserta para pemimpin denominasi. Gereja-gereja UCC, menghormati komitmen Bulan Ramadhan para tetangga Muslim sehingga diundang untuk melakukan tiga hal sederhana selama bulan suci ini:
1. Memasang spanduk atau mengubah papan pengumuman mereka sedemeikian rupa untuk menghormati para tetangga Muslim kita.
2. Meluangkan waktu untuk membuat janji mengunjungi masjid lokal atau pusat (pembinaan) Islam untuk menyampaikan salam dari jemaah lokal mereka.
3. Pertimbangkan untuk menyelenggarakan kegiatan untuk belajar lebih lanjut tentang Islam dan melakukan upaya khusus untuk berbicara menentang retorika anti-Muslim.
Apakah UCC tidak sadari bahwa CAIR itu jauh dari sebuah gerakan lintasan iman yang membuat orang bisa merasa nyaman dan baik untuk berdamai sehingga punya hubungan yang hangat? Lembaga itu, ternyata, punya hubungan dengan terorisme Islam. Sampai sepuluh tahun silam, tkharakter sebenarnynya dari organisasi itu, sudah terkenal luas:
Tetapi ada sisi lain CAIR yang memberikan sinyal yang menakutkan bagi banyak orang yang mengetahuinya. Departemen Keamanan Dalam Negeri menolak berurusan dengannya. Senator Charles Schumer (Partai Demokrat, New York) melukiskannya sebagai sebuah organisasi yang "kita tahu punya hubungan dengan terorisme." Senator Dick Durbin (Partai Demokrat, Illinois) perhatikan bahwa "retorika CAIR tentang kontra-terorisme itu benar-benar tidak wajar dan punya hubungan dengan berbagai kelompok yang dicurigai. Steven Pomerantz, mantan Kepala Kontraterorisme FBI, mencatat bahwa "CAIR bersama para pemimpinnya dan kegiatannya efektif memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok teroris internasional." Keluarga John P. O'Neill, Sr., Mantan Ketua Kontraterorisme FBI yang tewas dalam Tragedi World Trade Center (WTC), pernah menyebutkan nama CAIR dalam sebuah gugatan hukumnya. Ia menyebutnya, "menjadi bagian dari konspirasi kriminal terorisme Islam radikal" yang bertanggung jawab atas kekejaman 11 September (2001). Pakar kontraterorisme Steven Emerson menyebutnya "kelompok fundamentalis radikal garda depan bagi Hamas."
Penting untuk berhenti sejenak di sini, untuk memperlihatkan bahwa Hamas sebenarnya adalah organisasi teror terkemuka yang memerangi Israel saat ini. Piagam 1988 organisasi itu menjadi bukti kekejaman jihadnya, yang sangat bertentangan dengan perdamaian. Piagam ini menyerukan agar semua orang Yahudi di dunia dibantai, memaklumkan bahwa "Berbagai inisiatif dan apa yang disebutnya solusi damai serta konferensi internasional itu bertentangan dengan prinsip Gerakan Perlawanan Islam." Juga berpendapat bahwa "Tidak ada solusi bagi persoalan Palestina kecuali melalui Jihad. Inisiatif, proposal dan konferensi internasional semuanya membuang-buang waktu dan usaha yang sia-sia. "
Apakah tidak ada orang di UCC yang sopan yang bersedia menolak hubungan yang tidak sesuai ini? Atau ketika bergaul lebih luas dengan kelompok-kelompok Islam apakah mereka mau mengangkat fakta bahwa banyak Muslim di Timur Tengah membunuh, mengusir, dan menghina orang Kristen dan Yahudi bahkan Muslim (yang bisa dibaca di sini, sini, sini, sini dan sini) sekian lama, terutama dalam beberapa dekade terakhir? Tidakkah mereka akui bahwa meluasnya eksodus umat Kristen Tepi Barat dan Gaza dipicu oleh kaum ekstremis Muslim dan Otoritas Palestina? Bahwa sejak 1995 di bawah Otoritas Palestina, jumlah umat Kristen sudah merosot tajam?
Pada tahun 2015, Duta Besar Israel untuk PBB, Ron Prosor mengatakan kepada Majelis Umum PBB:
"Setelah PA menguasai Betlehem pada 1995, orang-orang Palestina bersenjata merazia rumah-rumah umat Kristen dan menjarah Gereja Kelahiran Tuhan Yesus (Church of Nativity). Akibat aksi penganiayaan ini, populasi umat Kristen kota itu merosot sampai nyaris 70 persen."
Pada 2002, para teroris Palestina bersenjata menduduki Gereja Kelahiran Tuhan Yesus (Church of Nativity) di Betlehem. Tempat suci itu mereka jarah dan manfaatkan sebagai tempat buang hajat. Sekarang ini, umat Kristen membentuk sebuah kelompok minoritas kecil populasi kota suci mereka. Menurut wartawan Kristen Lela Gilbert:
"Di Bethlehem, umat Kristen bukan sekedar populasi minoritas di tengah komunitas Muslim yang besar. Mereka bukan saja terpinggirkan. Mereka sungguh tidak sekedar menderita diskriminasi. Kerapkali juga, mereka diancam dan diintimidasi, dilukai bahkan dibunuh. Mereka sangat hati-hati. Mereka khawatir. Banyak dari mereka hidup dalam ketakutan."
Di Gaza, sebagian besar umat Kristen melarikan diri karena takut terhadap serangan orang-orang Hamas bersenjata. Jika ada pembasmian etnis atas umat Kristen Palestina, maka itu terjadi di bawah kekuasaan kaum Muslim. Sebanyak dua pertiga umat Kristen Arab Yerusalem dan daerah sekitarnya meninggalkan kawasan itu antara 1949 dan 1967. Kala itu, Yordania menduduki dan menganeksasi Tepi Barat dan Mesir menguasai Gaza. Dan itu terjadi bertahun-tahun sebelum Israel memerintah kawasan-kawasan itu. Pada penghujung 2018 lalu, ketika Agama Kristen nyaris musnah justru di kawasan-kawasan tempatnya dilahirkan, Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt, menyerukan supaya dipulihkan kembali.[1]
Juli 2017, UCC mengesahkan resolusi lain lagi. Resolusi ini mengecam Israel karena dugaan menganiaya anak-anak Palestina yang terlibat dalam berbagai bentrokan yang melibatkan tentara dan warga sipil Israel. Resolusi yang masih baru ini tampaknya terinspirasi oleh sebuah laporan dari Amnesty International, Februari lalu. Padahal, Amnesty International sendiri pernah dituduh "Melakukan Metodologi yang Salah, Korupsi dan Bias Anti-Israel" serta "memberikan perhatian negatif yang khusus kepada Bangsa Yahudi pada 2019". Amnesty juga baru-baru ini membayar dua aktivis anti-Israel yang mau berbicara terbuka:
Paling akhir, pada 2017, Amnesty International cabang Amerika, mempekerjakan Raed Jarrar sebagai Direktur Advokasi Timur Tengah dan Afrika Utara serta Allie McCracken sebagai Jurukampanye Amerika Utara organisasi itu. Kedua orang itu memperlihatkan contoh bahwa pendekatan ideologis organisasi itu bermasalah terhadap Israel juga keluar dari prinsip universal hak-hak asasi manusia.
Selain itu, Amnesty International secara sistematis "mengabaikan upaya untuk mempersenjatai anak-anak Palestina."
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) pun sudah membantah upaya-upaya bias yang memanfaatkan klaim yang pantas dipertanyakan terkait dengan anak-anak Palestina yang mau menyerang Israel sekaligus standar hak asasi manusia IDF sendiri. Lebih jauh lagi, ketika mengesahkan resolusi berbasiskan klaim itu, UCC tidak berusaha mendapatkan komentar dari pihak militer Israel atau sumber-sumber yang sah. UCC juga tidak bertanya mengapa orangtua-orangtua Palestina mengijinkan dan kerapkali mendorong anak-anak mereka terlibat dalam serangan-serangan itu. UCC juga tidak mendiskusikan lebih mendalam persoalan seputar perilaku agresif Palestina. Pasukan dan warga sipil Israel tidak sekedar menghadapi lemparan batu dan layang-layang api yang menakutkan dari anak-anak itu; mereka juga dipaksa tetap berperan menjaga perdamaian dari upaya para teroris dewasa yang bersenjata.
Upaya gereja manapun, untuk membangun jembatan antara komunitas iman patut dihargai. Tetapi melakukannya secara tidak kritis sehingga tidak bisa mengangkat sikap prihatin Kristen yang sebenarnya terhadap penganiayaan yang dilakukan Islam, justru memperlihatkan sikap naïf yang mungkin paling mengerikan tentang radikalisme dan terorisme Islam. Dengan demikian, sikapnya yang berapi-api melawan dunia Yahudi justru bergerak jauh melebih ekspresi Iman Kristen yang sopan dan sejati. Persoalannya, haruskah kita untuk tidak mengatakannya?
Much effort has gone into the writing of the UCC Guide, and factual errors, which take up so much of the text, are clearly the result of conscious assumptions that have never been checked against reputable facts. But there can be no excuse for this degree of carelessness in such an important document, given the number of lives that have been lost, are still being lost, and may well be lost in future in the course of this unending conflict. If a body of Christians really cares about Palestinian lives, Muslim and Christian alike, not to mention the lives of Israeli children, the lives of everyone on either side, then supporting an illegal and fanatical use of violence by telling lies and permitting distortions in order to incite an anti-Semitic hatred that will embolden and activate further terrorist attacks is beyond measure a contradiction of normative Christian ethics. The UCC cannot continue to assert its association with Jesus Christ, a man of peace, when they so openly espouse the cause of Palestinian resistance that embraces violence as a solution above any form of peace-making. Jesus said, "Blessed be the peace-makers", yet here is a Christian church that blesses men of violence.
Banyak upaya dilakukan untuk mennelidiki Panduan UCC (UCC Guide). Banyak kesalahan faktual pada teks-teksnya jelas lahir dari asumsi sadar yang tidak pernah diperiksa sesuai fakta yang sebenarnya. Tetapi tidak ada alasan untuk memaafkan kecerobohan dalam dokumen yang begitu penting ini, mengingat jumlah nyawa yang hilang, yang masih hilang dan mungkin akan hilang pada masa datang dalam perjalanan konflik yang tak berkesudahan ini. Jika sebuah lembaga Kristen benar-benar peduli dengan kehidupan Palestina, Muslim maupun Kristen, tanpa menyebutkan kehidupan anak Israel dan kehidupan semua orang di kedua pihak, dukungan untuk menggunakan kekerasan yang melawan hukum yang fanatik dengan berbohong dan mengizinkan pemutarbalikan faktanya guna memantik kebencian anti-Semit yang menguatkan sekaligus mengaktifkan serangan teroris lebih lanjut benar-benar bertentangan dengan etika normatif Kristen. UCC tidak bisa terus menegaskan hubungannya dengan Yesus Kristus, seorang yang cinta damai, ketika mereka secara terbuka mendukung cita-cita perlawanan Palestina yang menganut paham bahwa kekerasan adalah solusi atas segala bentuk perdamaian. Yesus pernah mengatakan, "Diberkatilah para pembuat perdamaian", namun di sini ada sebuah gereja Kristen yang memberkati orang-orang yang melakukan kekerasan.
Dr. Denis MacEoin, adalah orang Irlandia berkewarganegaraan Inggris. Ia cendekiawan dan pakar tentang Islam sekaligus pendukung setia Negara Israel.
[1] Untuk mendapatkan laporan yang diteliti baik dan berimbang tentang penderitaan umat Kristen oleh Dewan Urusan Publik Yahudi bisa dilihat di sini. Laporan ini menyajikan konteks menyeluruh sekaligus memperlihatkan betapa stabilnya persoalan ini.