Bagaimana dunia berubah. Penghujung 1978. Koresponden anda yang hina ini menyajikan terjemahan pertama dalam Bahasa Inggris, kisah buku Ayatollah Khomeini, Velayat-e Faqih (Pemerintahan Ahli Fikih), yang penulis beli di Teheran tahun 1977. Kala itu, saya sadari para ekstremis relijius bakal menantang kekuasaan Shah Iran. Tetapi, saya yakin, mereka tidak punya peluang untuk menentang pasukannya, polisi dan dinas keamanannya.
Saya salah. Januari 1979, Revolusi Islam meledak pecah. Sesudah April 1979, Khomeini bahkan mendeklarasikan pendirian Republik Islam pimpinannya sendiri dengan dukungan rejim ulama di bawahnya.
Pada Nopember tahun yang sama, seorang fundamentalis Muslim bersama pengikutnya berhasil menguasai Masjd Agung Mekkah. Masjid kemudian dikepung selama 15 hari. Insiden itu menyebabkan mungkin ada 1.000 orang mati. Pasukan kontra-terorisme Prancis pun turun tangan. Serangkaian eksekusi mati menyusulinya. Sejumlah pemberontakan yang terus bertahan hidup lalu bertahun-tahun kemudian bergabung dengan organisasi teroris, al-AQaida.
Hanya sebulan kemudian, pada Desember 1979, Uni Soviet menginvasi Afghanistan. Serangan singkat itu mengawali perang sembilan tahun yang menyebabkan sekitar satu juta masyarakat sipil tewas. Istilah Mujadhin pun menjadi terkenal di Barat bersamaan dengan konsep jihad. Setelah Rusia mengundurkan diri dari Afghanistan tahun 1989, panggung disiapkan bagi Taliban (para murid pondok pesantren relijius), yang mengambil kendali negeri itu tahun 1996. Perang Afghanistan melawan Rusia pun mempersiapkan panggung pembentukan kelompok oleh Osama bin Laden, tahun 1998, bernama Al-Qaida. Kelompok inilah yang bertanggung jawab atas serangan 11 Septemper 2001 atas Amerika Serikat yang berdampak terhadap invasi AS atas Afghanistan termasuk perang multinasional yang berlanjut.
Sebagaimana luas didokumentasikan, sejak 2001, berbagai bagian Eropa dan AS menderita gelombang terorisme yang terinspirasi oleh Islam. Ada gerakan radikal internasional yang terkenal sebagai Negara Islam (ISIS) yang membinasakan Irak, Suriah, Libya dan sekitarnya. Sekumpulan kelompok teror Muslim mendatangkan malapetaka di Afrika Utara. Negara-negara seperti Nigeria, Somalia, Kenya, Pakistan dan Bangladesh menjadi tidak stabil, termasuk beberapa bagian India dan sekitarnya. Hamas, Hizbullah, Jihad Islam pun efektif merusak semua prospek perdamaian di Israel. Gelombang pengungsi Muslim memasuki Eropa dan beberapa dari mereka membuat kota-kota Eropa menjadi jauh lebih kejam. Anti-Semitis Islam memaksa ribuan orang Yahudi keluar dari Prancis. Pemerintah berbagai negara semuanya memalingkan mata buta terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh kaum Muslim garis keras, kerapkali satu sama lain, dan seterusnya.
Bagaimanapun, sulit melihat betapa besarnya gelombang kekejaman luar biasa ini memantik kekhawatiran atas apa yang bisa diharapkan, walaupun, tentu saja, sebagian Muslim cinta damai, taat hukum dan sangat mungkin hanya mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Lebih dari itu, kita semua sudah melihat manusia dan propertinya diledakkan sampai dengan penembakan, penikaman, aksi membenturkan kendaraan dan meningkatnya agresi seksual di beberapa bagian Barat. Banyak gangguan ini sayangnya berpasangan dengan tibanya jutaan Muslim di Eropa dan Amerika Utara. Repotnya, banyak dari mereka, kerapkali setelah dua atau tiga generasi, belum juga merasa nyaman berasimilasi dengan negara-negara penerima mereka.
Kekhawatiran itu punya gema hitam yang bisa dilacak sampai sekitar 1.400 tahun di Eropa. Sejak abad ketujuh, berbagai perang pernah diperjuangkan melawan pasukan Islam yang datang menyerang. Yang relatif baru adalah jihad yang mencakup serangan atas Inggris, Prancis dan Rusia oleh Kekaisaran Utsmainiyah selama Perang Dunia I dan melawan Bangsa Armenia dan Yunansi di Turki.
Melihat begitu banyak serangan teror atas nama Islam, kekhawatiran tertentu mungkin saja masuk akal.
Seperti sudah tercatat sebelumnya, terlampau banyak orang termasuk kaum Muslim, bahkan menyerang warga Muslim lainnya, yang sayangnya merusak citra semua anggota agama itu. Memang pernah terjadi berbagai serangan fisik oleh non-Muslim terhadap kaum Muslim beserta pusat-pusat perkumpulan masyarakat Muslimnya. Banyak peristiwa itu terjadi di negara-negara Eropa seperti Jerman, Inggris, Polandia, Prancis dan Belanda. Beberapa warga Muslims dibunuh karena imannya, seperti yang terjadi tahun 2013 di Inggris, atau sekali lagi tahun ini di London.
Mungkin ribuan orang di Eropa benar-benar fanatik beragama, nasionalis dan merasa diri unggul sebagai kaum kulit putih. Mereka berpawai berdemonstrasi di jalanan; membuat gratifi di masjid dan rumah kaum Muslim dan mendistorsi perlunya debat dalam lingkaran politik tentang solusi terbaik atas tiga persoalan berkaitan dengan Islam di Barat: terkait ancaman teror, asimilasi yang gagal dan kekerasan yang diarahkan melawan umat Kristen, Muslim, Yahudi dan lainnya yang lugu.
Bagaimanapun, keprihatinan manusiawi yang murni tentang ketidakadilan terhadap Muslim, bercampur-baur dengan perilaku politik dan agama. Akibatnya, siapapun yang mengajukan pertanyaan paling lembut sekalipun tentang Islam dikecam. Campur baur itu terjadi sebegitu rupa sehingga, nyatanya, banyak politisi, penganjur hak asasi manusia, pemimpin gereja dan wartawan Barat yang berniat baik justru malah mengubah Islam menjadi satu-satunya ideologi yang tidak boleh pernah dikritik dan menjuluki siapapun yang mengomentasi begitu banyak hal atas sejumlah ajaran Islam sebagai "rasis." Orang-orang yang bertanya pun dituduh mendistorsi doktrin, hukum dan sejarah Islam. Banyak penganjur Islam kerap ngotot mengatakan bahwa Islam, sebuah agama dengan sejarah panjang kekerasan atas kaum tidak beriman dan yang berbeda pendapat dengannya, harus senantiasa disebut sebagai "agama damai," suatu hal yang tidak pernah terjadi pada agama itu. Pandangan ini, bahwa Islam tidak boleh dipertanyakan, menyebabkan tidak adanya timbal-balik: orang Islam radikal dan lembaga-lembaganya kerapkali diijinkan mengkotbahkan rasa benci mereka terhadap Barat di berbagai masjid, pusat Islam, kampus namun sebaliknya, komentar non-Muslim seputar hal yang benar-benar memprihatinkan kerap jadi sasaran kekerasan publik bahkan tuntutan pidana.
Bagaimanapun, banyak warga sangat yakin bahwa kekhawatiran mereka dibenarkan ketika melihat besarnya penghasutan dan kekerasaan yang dilancarkan oleh para pejihad. Sayangnya, sejumlah ekstremis dan aktivivis politik malah mengalihkan keprihatinan realististis itu menjadi kawah rasa benci dan curiga yang tidak realistis.
Siapapun yang berjuang membela Islam dari pengkritiknya mungkin kerap sangat terpengaruhi oleh organisasi Muslim ekstrim yang menampilkan diri sebagai moderat yang menganjurkan integrasi dalam masyarakat dan Islam liberal, seperti organisasi Keterlibatan dan Pembangunan Muslim (Muslim Engagement and Development--MEND). Inggris bertindak benar secara politik sehingga mau menangkis kritik apapun terhadap Islam, meski tidak seorang pun pernah diajukan ke pengadilan karena berbicara atau menulis komentar kritis tentang Kristen, Yudaisme, Komunisme, Sosialisme, Libertarianisme, Fasisme, Gereja Katolik, Hinduisme, Budhisme dan ideologi lainnya.
Orang-orang yang berusaha begitu keras untuk melindungi Islam dari kritik, nyaris sebagian besar melakukannya demikian dengan niat terbaik. Mungkin mereka anti-rasis, yang sebagian terbentuk oleh filosofi Martin Luther King dan Nelson Mandela. Yang lain tampaknya pemimpin Kristen yang memprioritaskan relasi antar-agama sebagai solusi terhadap perpecahan sosial. Meskipun demikian, yang lain tampaknya menjadi anjuran yang berprinsip sebagai pendekatan kaum pendukung asimilasi Muslim dengan masyarakat pribumi atas keretakan sosial yang muncul di Inggris, Prancis, Amerika dan jalinan sosial lainnya.
Banyak orang menanggapi suara-suara warga Yahudi ketika berbicara tentang anti-Semitisme, Juga memberikan telinga mereka ketika kaum Muslim mengaku tersinggung. Sayangnya, banyak orang baik itu tidak dilengkapi dengan pengetahuan untuk bisa membedakan antara seruan minta tolong yang berimbang pada satu pihak dan manipulasi kaum ekstremis pada pihak lain. Banyak orang yang berniat sangat baik tampaknya sangat percaya mereka membantu kaum Muslim yang menderita sehingga membantu mereka menemukan tempat dalam masyarakat nasional. Cukup kerap, mereka, dan dukungan mereka sangat membantu. Namun, pada skala lebih luas, mereka sangat merugikan kaum Muslim. Seperti dalam misalnya, mendukung penderitaan para wanita yang dipukul atau praktek sunat perempuan (FGM) yang sangat luas. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO), praktek sunat perempuan dengan kejam menyunatkan lebih dari 200 juta gadis di Asia, Afrika dan Timur Tengah saja.
Banyak jiwa bakal hancur atau berkurang mengerikan, selama sunat perempuan diabaikan dalam komunitas Muslim yang terjalin erat satu sama lain. Apalagi ketika diabaikan oleh pemerintah Barat, polisi dan Dinas Penuntutan Kerajaan (Queen).
Tidak diragukan lagi, orang-orang yang mengabaikan atau menutup-nutupi perlakuan kejam seperti pemukulan, sunat perempuan atau penindasan umumnya melakukannya karena kepekaan mereka terhadap budaya (Islam). Juga karena hormat mereka kepada pemimpin tradisional serta wakil-wakil dari berbagai komunitas yang mengangkat diri sebagai pemimpin, termasuk juga lembaga-lembaga Muslim. Bagaimanapun, kepekaan mereka bisa berakhir mengerikan karena membahayakan kehidupan dari kasarnya ratusan juta wanita Muslim karena membiarkan praktek-praktek yang merugikan itu tetap abadi.
Orang-orang yang mengecam praktek sunat perempuan (FGM) mungkin saja, pada gilirannya justru malah dikecam oleh orang-orang sok baik (good-doers) dan pelindung yang mengangkat diri sebagai "moralitas." Meski demikian, orang-orang yang melakukan pekerjaan mahabesar bagi para gadis Muslim yang lugu, adalah para pengkritik. Ini juga terjadi ketika orang berusaha menghentikan adat istiadat suttee di kalangan masyarakat Indian. Menurut adatnya, seorang janda diminta melemparkan dirinya untuk turut dibakar bersama suaminya dalam tumpukan kayu api sebagai penghormatan kepada suaminya.
Faktanya, komentar cerdas, yang diteliti secara kuat dan kritis terhadap Islam mungkin saja mengacaukan kaum Muslim yang tidak bisa berubah karena tradisi mereka sendiri termasuk para pendukung mereka di Barat. Meski demikian, hal ini penting bagi kesejahteraan Muslim dan bekas Muslim yang putus asa berjuang membebaskan diri dari kaum tradisionalis dan penerapan Hukum Shariah yang kejam.
Ada banyak reformis Muslim. Tetapi mereka menghadapi perjuangan berat ketika berusaha mempengaruhi agama mereka---termasuk pekerjaan-pekerjaan prestisius yang tidak diragukan lagi menggiurkan yang menyertai prakteknya yang ketat.
Sebaliknya, kita mungkin berbuat baik dengan memberikan jasa bagi begitu banyak suara orang yang tidak dipedulikan. Caranya, dengan membantu membawa masyarakat mereka lebih dekat dengan hak asasi manusia dan dunia modern yang bebas. Tampaknya tidak ada rasa enggan untuk memanfaatkan teknologinya. Persoalannya, mengapa tidak termasuk perlakuannya terhadap pihak lain?
Akhir-akhir ini, kritik yang tidak beralasan diarahkan sebagai tanggung jawab organisasi dan website yang nyatanya, cenderung sejajar dengan perasaan prihatin kaum Muslim reformis seperti Sara Khan dari Inggris yang baru-baru ini diangkat oleh pemerintah untuk menjadi Kepala Komisi untuk Melawan Ekstremisme. .[1]
Pantaslah dicatat resensi buku Kahn bertajuk The Battle for British Islam: Reclaiming Muslim Identity from Extremism (Perjuangan Bagi Islam Inggris: Mengklaim Kembali Identitas Muslim dari Eskremisme) oleh "Scottish Desi" di Amazon Inggris. Sebuah tanggapan yang menantang walau tidak mengejutkan. Resensi itu menulis; "Sara Khan itu fobia kepada Islam (Islamofobia). Dia punya banyak teman yang fobia terhadap Islam yang mendiskreditkan Islam. Bukunya hanya sekedar omong-omong kasar fobia terhadap Islam."
Komentar itu saja sudah merangkum persoalan yang dihadapi oleh kaum Muslim yang berjuang membawa Islam memasuki abad ke-21 yang sesuai dengan nilai modern, sambil tetap setia kepada dimensi spiritual dan etis agama mereka sendiri.
Pengarang Sam Westrop pernah membahas kerugian yang timbul oleh sikap fanatik yang ekstrim terhadap kaum Muslim serta keuntungan-keuntungan dari kritik terhadap kaum Muslim liberal:
Ancaman terbesar bagi Islam moderat serta asimilasinya dengan nilai demokratis adalah orang terlalu takut untuk melawan kaum Islam radikal dan mengabaikan permohonan Muslim pro-Barat lalu sebaliknya memilih "terlibat" dengan para ekstremis. Islamofobia sejati adalah orang-orang yang meninggalkan Muslim sekular lalu memalingkan mata buta kepada pelanggaran hak asasi manusia terhadap kaum Muslim lugu yang dilakukan oleh pemerintahan orang-orang Islam radikal dan kelompok-kelompok terror.
Sejumlah pembaca berkomentar bahwa ini bukanlah argumentasi yang mereka harapkan datang dari Gatestone Institute. Seorang pembaca mengatakan dia tidak bakal membaca Gatestone lagi jika website lembaga kajian itu terus menerbitkan artikel seperti ini. Semua pembaca seperti ini memperlihatkan bahwa mereka tidak pamahami seperti apa organisasi-organisasi itu. Bahkan menurut Pengadilan Hak Asasi Eropa (European Court of Human Rights), Hukum Shariah itu tidak sesuai dengan demokrasi:
"Dalam Refah Partisi, dilakukan penyelidikan menyeluruh terhadap hubungan antara Konvensi, demokrasi, partai politik dan agama. Dan ditemukan bahwa rejim yang berbasis Hukum Shariah itu tidak sesuai dengan Konvensi, khususnya, yang berkaitan dengan aturan hukum pidana beserta prosedurnya. Juga yang berkaitan dengan tempat yang diberikan kepada wanita dalam tatahukum serta campur tangannya dalam seluruh bidang kehidupan pribadi dan publik yang sesuai dengan ajaran agama." (halaman 6).
Yang diperlukan adalah lebih banyak lagi organisasi yang bertahan sebagai pro-Muslim yang mendukung kehidupan kaum Muslim yang lebih baik, yang kerapkali terlampau takut karena berbicara secara bebas dan ketika menentang siapa saja yang merugikan kaum Muslim. Para pembaca yang jelas-jelas tergoda untuk membungkam banyak kritik terhadap radikalisme Islam adalah orang-orang yang tidak sepenuhnya peduli terhadap kaum Muslim atau mengharapkan yang terbaik bagi mereka atau yang lebih memilih mempertahankan sebuah ideologi ketimbang orang yang merasa terjebak di dalamnya. Banyak pembaca hanya bertoleransi kepada komentar atas Islam sejauh dia bisa mempertahankan penganutnya di bawah taklukan tirani yang tidak sudi memaafkan, seperti di Pakistan, Sudan, Nigeria atau Iran, untuk menyebutkan beberapa dari mereka.
Ada berbagai organisasi yang tidak perlu diragukan, beberapa dengan website yang terkenal, dengan mayoritas komentarnya yang licik anti-Muslim. Banyak komentar menyerukan supaya kaum Muslim dibunuh atau memutuskan untuk mengusir keluar semua Muslim dari Eropa atau Amerika Serikat. Komentar itu tentu memperlihatkan mereka sendiri tidak mampu memahami upaya untuk menawarkan koreksi yang menjelaskan pandangan-pandangan garis keras.
Kenyataannya, akan sangat bermanfaat untuk memiliki lebih banyak organisasi seperti, Quilliam Foundation, American Islamic Forum for Democracy (AIFD), Middle East Forum (Forum Timur Tengah) dan Gatestone Institute. Karena, berbagai organisasi itu bersatu padu mempertanyakan Islam radikal dan pada saat yang sama mendudkung kaum Muslim yang mengaku mendambakan tidak ada lagi aksi kejam dan ada kebebasan universal untuk berbicara tanpa takut akan mendapatkan balasan.
Dr. M. Zuhdi Jasser, Presiden Lembaga Kajian American Islamic Forum for Democracy (Forum Kajian Islam demi Demokrasi ---AIFD), merupakan contoh dari seorang pemimpin Muslim Amerika yang kritis terhadap Islam radikal, berbicara keras tentang kesetaraan gender dan kebebasan berbicara sekaligus mendukung Muslim yang meyakini toleransi beragama (Sumber gambar: Gage Skidmore/Wikimedia Commons) |
Banyak Muslim yang menulis untuk berbagai organisasi ini tampaknya tidak punya masalah menghargai orang lain dan melihat apa yang mungkin bisa dilakukan supaya bisa meredakan aspek-aspek Hukum Shariah yang lebih keras kasar.
Lembaga kajian Muslim seperti Quilliam, berhaluan kiri moderat dengan stafnya yang campuran Muslim dan non-Muslim. Organisasi tersebut mendeskripsikan diri sebagai "organisasi kontra-ekstremisme pertama dunia". Organisasi itu juga mengatakan bahwa dia beroperasi di seluruh dunia. Sebagai contoh pendekatannya yang luas atas apa yang dimaksudkannya dengan menjadi seorang Muslim, dalam sebuah analisis CNN, bertajuk, "25 Muslim Pengubah Amerika," organisasi itu bertanya:
"... dengan melihat sekilas, ada banyak yang hilang dari daftarnya. Apa yang terjadi pada Muslim Shiah, Muslim Ahmadiyah, Muslim Latin, Muslim Pribumi Amerika, Muslim Kulit Hitam, kaum Muslim Salafi yang tidak suka kekerasan, Muslim Sufi, Muslim secular, Muslim kultural, Muslim LGBT, etc?"
Akhirnya, orang yang membenci, akan membenci. Merendahkan kaum Muslim, sama dengan merendahkan masyarakat Yahudi atau ras atau agama lain, sehingga tidak membantu membatasi publik untuk melihat dengan mata jelas banyak kasus yang berdampak pada terjadinya terorisme oleh para pejihad. Berbagai lembaga kajian dan organisasi, seperti di atas berada di garis depan perang untuk bekerja sama dengan kaum Muslim yang ingin menjadi bagian dari dunia bebas yang modern sembari menikmati hak mereka untuk beribadah sesuai cara mereka sendiri. Bukannya melihat kembali ke belakang kepada 1.400 tahun silam, mereka bergabung dengan kaum Muslim melihat ke masa depan yang kaum Muslim ini katakan, mereka dambakan --- untuk mengajar anak-anak mereka hidup damai di antara sahabat dan tetangga Muslim dan non-Muslim mereka. Mereka hanya ingin berkontribusi kepada masyarakat tempat mereka kini berdiam sambil meningkatkan prospek sesama kaum beriman di tanah Muslim demi reformasi, toleransi dan kebebasan berekspresi.
Dr. Denis MacEoin mengajar Bahasa Arab dan Kajian Islam di sebuah universitas Inggris dan mita senior kenamaan Gatestone Institute, New York.
[1] Lihat juga kajian kritisnya tentang radikalisme Islam, dalam, The Battle for British Islam: Reclaiming Muslim Identity from Extremism (Perjuangan Bagi Islam Inggris: Mengklaim Kembali Identitas Muslim dari Ekstremisme), London, 2016