Rotherham, Inggris, adalah kota pertama dengan geng-geng grooming seks berskala besar. Ia juga menjadi tempat terjadinya skandal kejahatan seksual terbesar terhadap anak di Inngris yang pernah terjadi. (Foto oleh Anthony Devlin/Getty Images) |
Tanggal 24 Juli 2018. Menteri Dalam Negeri Inggris yang juga anggota parlemen yang konservatif, Sajid Javid menggemparkan Inggris umumnya dan masyarakat Pakistan di Inggris khususnya. Ia mengeluarkan perintah untuk melakukan penelitian tentang asal-usul etnis banyak gang grooming seks negeri itu yang melibatkan banyak "Orang Asia." Ditengarai, bertahun-tahun, sudah orang-orang itu menyandera gadis Inggris kulit putih untuk dimanfaatkan atau digilir demi tujuan seksual. Sebagian besar laki-laki itu, urai Javid, keturunan Pakistan. Karena itu, campur tangan sang menteri dalam negeri jadi signifikan.
Seperti banyak imigran Pakistan lain, ayah Javid sendiri dari Punjab. Juga sangat miskin awalnya. Dia pernah menjadi sopir bus, lalu menjadi pemilik toko pakaian. Namun, semua lima anak laki-lakinya menjadi warga Inggris yang berhasil berintegrasi dengan masyarakat pribumi negeri itu. Karir mereka dalam dunia bisnis, politik dan sektor publik cemerlang. Semua menjadi model dari prestasi imigran generasi kedua, bermil-mil jauh jaraknya dari para anggota geng. Ketika melaporkan tentang keluarga Javid, Harian The Times menulis:
"Penunjukan Javid sebagai orang non-kulit putih pertama --- dan orang pertama berlatar belakang Muslim --- untuk menduduki satu dari tugas nang agung negeri itu menjadi titik puncak dari perjalanan keluarga itu selama enam dekade."
Melihat betapa besarnya potensi kontroversi seputar upaya untuk mengidentifikasi etnis sebagai satu dari berbagai faktor kejahatan serius, Javid dapat dikatakan memperlihatkan keberaniannya. Apalagi langkah itu dia ambil hanya beberapa bulan setelah dia diangkat memimpin departemen dalam negeri, April lalu. Kritik pun segera bermuncul dari Partai Buruh. "Jeremy Corbyn menyangkal bahwa ada 'persoalan' dengan laki-laki Pakistan dan perlakuannya. Karena itu dia katakan: "Persoalannya adalah kejahatan atas wanita dari komunitas mana saja." Perpaduan dari pengalaman politik serta etnisnya memperlihatkan kepada Javid, bahwa berdasarkan berbagai larangan Departemen Dalam Negeri sebelumnya serta laporan adekademis yang ada, penyidikan ini mungkin bisa dimanfaatkan oleh kaum ekstrim kanan untuk menyerang masyarakat Pakistan sekaligus Muslim.
Dengan keluar jalur partai, Javid berkomitmen melakukan investigasi terhadap etnis asal pelaku kejahatan. Dia lalu menyurati Sarah Champion, anggota Parlemen Kota Rotherham dari Partai Buruh, kota pertama yang punya geng grooming seks berskala besar sekaligus tempat skandal kejahatan seks anak terbesar di Inggris pernah terjadi. Tepat kurang dari setahun sebelumnya, Champion diserang karena berani meminta perhatian publik terkait persoalan lebih banyaknya masyarakat Pakistan dalam geng-geng penjahat itu.
Ketika pertama kali terpilih sebagai anggota parlemen tahun 2012, Champion menjadi Menteri Bayangan untuk Pencegahan Perlakuan Kejam pada 2015. Dia pun dianugerahi jabatan sebagai pengakuan atas kerjanya dalam bidang eksploitasi seksual anak, khususnya dengan memimpin sebuah penyelidikan lintas partai terhadap eksploitasi kejahatan anak. Langkah itu dilakukan bekerja sama dengan lembaga amal anak-anak, Barnardo yang menerbitkan sebuah laporannya pada April 2004. Sayangnya, Champion terpaksa segera mengundurkan diri pada 2016, ketika sejumlah anggota parlemen mengundurkan diri dari partai tersebut sebagai upaya untuk menyingkirkan Jeremy Corbyn. Dia kemudian ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri Bayangan untuk Wanita dan Persamaan Derajat, Oktober 2016, sebuah peran yang memang sangat cocok baginya. Pada Nopember tahun itu juga dia meluncurkan program bertajuk National Action Plan (Dare2Care), Rencana Aksi Nasional (BeraniPeduli) guna mencegah penyalahgunaan anak serta kekerasan dalam hubungan remaja.
Persoalan ternyata melenceng. Dia memang bisa tetap sebagai anggota parlemen, tetapi dipaksa mundur melepaskan jabatan kabinet bayangan nyaris setahun kemudian, pada 16 Agustus 2017, setelah terjadi serangkaian kontroversi yang besar. Dalam wawancara dengan Radio BBC 4, 10 Agustus lalu, dia mengungkapkan tentang geng-geng grooming besar yang baru dihukum di Newscastle upon Tyne:
Mayoritas pelaku di semua kota, di mana kasus-kasus itu terjadi adalah, laki-laki Inggris keturunan Pakistan. Salah satunya, misalnya, disiarkan semalam. Di sana ada foto 18 orang yang dihukum. Bahwa 17 dari orang-orang itu, jelas-jelas laki-laki Asia. Dan ini menyakitkan saya bahwa ini terjadi dari waktu ke waktu dan sekali lagi dari waktu ke waktu dan pemerintah tidak menyelidikinya. Anda tahu, apa yang sedang terjadi. Apakah ini persoalan budaya, semacam pesan yang beredar di kalangan komunitas [Pakistan]? Kita sekarang sudah tangkap ratusan laki-laki, laki-laki Pakistan, yang sudah dijatuhi hukuman akibat kejahatan ini. Mengapa kita tidak melakukan penelitian seputar apa yang sedang terjadi, bagaimana kita perlu mengecek dan bagaimana kita perlu mengubah apa yang sedang terjadi.
Pada hari yang sama, tabloid gossip, The Sun menerbitkan artikel karya Champion. Artikel itu mengatakan banyak hal yang sama dengan apa yang dikatakannya dalam wawancara. Judulnya, "British Pakistani men ARE raping and exploiting white girls and it's time we faced up to it" (Laki-laki Pakistan memperkosa dan mengeksploitasi gadis kulit putih dan sekarang waktunya menghadapinya." Sebagian artikel itu mengatakan:
Sekian lama kita menjadi ras pelaku kejam ini. Parahnya, kita berusaha tutup-tutupi.
Tidak lagi. Orang-orang ini perusak. Dan sebutan mereka yang sama adalah warisan etnis mereka.
Betapapun tidak menyenangkan, kita harus melakukan pembicaraan dewasa atau dalam kurun waktu enam bulan kita bakal mengalami skenario yang sama ini terulang lagi.
Ironi dari semua ini adalah bahwa sikap benar secara politik justru menciptakan situasi seputar suku, jika persoalan kesukuan para pelaku kejahatan tidak ditangani sebagai suatu kenyataan.
Tulisan itu ternyata tidak membuat Champion didukung atau disukai di lingkungan Partai Buruh, yang memang menekankan penolakan terhadap rasisme---kecuali terhadap masyarakat Yahudi, walaupun Champion berusaha menjaga jarak dari tulisannya. Sekelompok anggota dewan lintas partai malah menyurati Tabloid The Sun, mengecam tulisan itu. Walaupun Champion berani mengatakan bahwa, "Para pelakunya adalah penjahat dan kita perlu menangani mereka sedemikian rupa, tidak mundur dari melakukan hal yang benar karena takut disebut seorang rasis," dia dipaksa mundur pada 16 Agustus silam.
Ironisnya, anggota parlemen Partai Buruh lain, Naz Shah, yang juga keturunan Pakistan, berjuang membelokkan komentar Champion. Shah mengatakan, bahwa tidak diragukan lagi, bahwa nyaris 90% pelaku kekerasan terhadap anak (agaknya di Inggris) adalah laki-laki kulit putih. Ditambahkannya, "Yang tidak saya terima atau toleransi adalah wacana yang mengganggap setiap laki-laki Pakistan itu jahat sebagai pemerkosa." Tetapi, tentu, Champion tidak pernah berbicara tentang kekerasan terhadap anak secara umum di sebuah negara yang sebagian besar kulit putih, tetapi hanya seputar situasi geng grooming tertentu, yang tidak pernah didengar di Inggris sebelumnya. Dia juga tak pernah mengklaim bahwa semua laki-laki Pakistan itu pemerkosa. Tidaklah mengejutkan bahwa Shah sendiri (yang baru diskors dalam percecokan soal anti-semitisme, tetapi kemudian dipulihkan kembali), diangkat Juli tahun ini sebagai Menteri Luar Negeri Bayangan bagi Wanita dan Kesetaraan, posisi penting yang pernah Champion duduki.
Sementara itu, Champion menerima banyak ancaman mati. Polisi kontra-terorisme menanggapinya dengan harus memberikan lebih banyak lagi keamanan kepadanya. Sejumlah orang yang mengaku aktivis hak asasi manusia, yang jelas-jelas tidak mempedulikan hak asasi para gadis dan remaja kecil di kawasan Inggris Utara atau agaknya di tempat lain malah menuduhnya, melakukan "rasisme skala industrial" (industrial-scale racism)."
Champion, kebetulan, bukan orang pertama yang menarik perhatian soal kejahatan dan pelakunya. Anggota parlemen lainnya Ann Cryer, pernah mengungkapkan hal-hal yang rinci seputar geng grooming di kalangan konstituennya di Keighly, di Yorkshire tempat dia berasal, sejak tahun 2003 silam. Tatkala dia lakukan demikian, dia pun "ditertawakan, dijuluki rasis, penipu yang suka berkhayal [dan] dipaksa untuk memasang tombol panik di rumahnya sendiri."
Reputasi Champion sejak tahap awal diselamatkan oleh anggota perlemen lain, Barry Sheerman, anggota parlemen untuk Huddersfield, sebuah kota di mana 28 laki-laki yang sebagian besar keturunan Pakistan sudah diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman hanya beberapa bulan sebelumnya karena kejahatan yang sama. Barry mengatakan bahwa "kampanye memalukan yang menjijikkan terhadap seorang wanita berani yang mengagumkan." Yang terpenting, Sajid Javid, yang waktu itu belum menjadi Menteri Dalam Negeri, berbicara lantang membelanya. Dalam twitnya, dia menulis, "Corbyn salah memecat Sarah Champion. Kita perlu perdebatan jujur yang terbuka soal eksploitasi seksual anak, termasuk motivasi rasialnya." Itulah niat yang dia penuhi hampir segera setelah dia memimpin Kantor Kementerian Dalam Negeri (Home Office).
Walaupun pelecehan seksual terhadap anak dan remaja terjadi di seluruh dunia, krisis geng grooming di Inggris, tentu saja tidak semuanya benar, tampak unik di Barat. Sejak tahun 2013, Jaksa Agung Inggris, Lord Morris dari Aberavon, pernah mengatakan di Majelis Tinggi bahwa 27 pasukan polisi kala itu tengah menyelidiki tidak kurang dari 54 terduga geng yang terlibat dalam grooming seksual terhadap anak-anak. Dia, karena itu bertanya:
"Apakah ada amnesia kolektif yang membuat kita buta terhadap situasi penyebabnya ketika sedikitnya 27 pasukan polisi tengah menyelidiki 54 terduga geng grooming anak-anak?
"Mengapa penyelidikan dan pengusutan kasus itu ke pengadilan di begitu banyak bagian negara ini membutuhkan waktu begitu lama?
"Apakah ada rasa takut terhadap rasialisme, atau adakah fakta bahwa banyak gadis rentan yang diserang itu berasal dari panti asuhan (care home)?
Empat tahun kemudian, pada Agustus 2017, Harian Daily Express menyajikan sebuah peta yang memperlihatkan delapan kota besar dan kecil tempat berbagai geng itu aktif. Nyatanya, sebuah penyelidikan April tahun ini berhasil menyeret 29 laki-laki dari Huddersfield ke pengadilan. Sebelumnya, Januari, ada pengadilan atas kasus yang sama. Para pelakunya pun semuanya sudah dihukum, sehingga secara keseluruhan ada sembilan kota dirambah geng grooming.
Pada 15 September 2018, menyusul pidato Baroness Caroline Cox di Majelis Tinggi terungkap ke hadapan publik, apa yang diuraikan sebagai "contoh grooming seks paling serius yang muncul di negeri ini." Barones Caroline Cox sendiri adalah pembela setia hak wanita di kalangan komunitas Muslim Inggris.
Kasus itu melibatkan seorang gadis, Sarah namanya. Dia disandera oleh sebuah geng Muslim ketika masih berusia 15 tahun. Selama 12 tahun, dia dikurung, dipaksa menikah dua kali, diperkosa berulang-ulang, dipukul dan dipaksa menjalani delapan kali aborsi. Seperti dalam kasus lain, pihak keluarganya berpaling meminta bantuan polisi, namun diabaikan. "Saya kenal Sarah dan keluarganya," urai Baroness Cox. "Setiap kasus grooming itu mengerikan. Tetapi lama dan kejamnya penyanderaan Sarah membuatnya kasus paling mengerikan yang pernah saya tahu."
Sarah memang satu-satunya korban, tetapi agaknya geng yang terlibat bakal berurusan dengan lebih banyak lagi gadis muda yang diambil dari jalanan.
Pada 2017 silam, Liga Pertahanan Inggris (English Defence League---EDL) menerbitkan secara daring sebuah daftar "geng grooming Muslim serta hukuman atas jihad perkosaan lainnya." Oleh sejumlah kalangan, EDL dicemooh sebagai kelompok rasis. Menghadapi tudingan itu, EDL menanggapinya dengan mengatakan, "Kebenaran tidak bisa rasis." Daftar itu menyajikan daftar panjang berdasarkan abjad, "170 perkara yang diketahui sudah diputuskan dengan narapidana serangan jihad perkosaan di 68 lokasi utama." Daftar itu mungkin menarik secara intrinsik. Di dalamnya, disajikan tautan dengan berita-berita yang disiarkan seputar perkara, tetapi nyatanya, sangat mengecoh. [1] Pertama-tama, tidak ada bukti bahwa ada laki-laki yang terlibat (paling banyak satu atau dua orang) sedikitnya diduga melakukan "jihad perkosaan," sebuah konsep yang agaknya dibuat oleh EDL.
Perilaku geng-geng grooming pun sangat beragam. Mulai dari perkosaan dan pelecehan seksual yang dilakukan secara berkelompok dan terorganisir. Korbannya kerapkali orang di atas usia 16 tahun. Pelakunya, laki-laki Inggris umumnya dan di negara-negara lainnya. Orang Pakistan tampaknya paling unik dalam usaha bersama mereka untuk terlibat. Itu sebabnya, penyelidikan Javid harus diteruskan meskipun jika dia membuat berbagai bagian komunitas Pakistan yang lebih luas gusar sekalipun. Soalnya, sejumlah besar anggota komunitas itu benar-benar ingin melihat persoalan itu dibereskan dan reputasi mereka dipulihkan. Ini termasuk Muslim Inggris kenamaan lainnya seperti Yasmin Alibhai Brown, Mohammed Shafiq, dan Nazir Afzal.
Penyelidikan Javid memusatkan perhatian pada pertanyaan mengapa laki-laki Pakistan itu mengorganisasi dan mendominasi geng. Karena itu, penting dilihat agar upaya itu tidak dipahami sebagai rasis, seperti diklaim sejumlah kalangan. Sebagai contoh, Sarah Champion dituduh melakukan "rasisme skala industry." Tidak seorang pun mengklaim bahwa karakter rasial pemerkosa sedikitnya menjadi faktor kejahatan mereka. Juga tidak seorang boleh mengkriik penyelidikan tersebut karena alasan-alasan seperti itu.
Tampaknya, persoalannya sekarang tidak lagi lahir dari ras tetapi budaya. Banyak orang yang terjebak oleh penyelidikan yang menekankan multikulturalisme, tampaknya menganggapnya sebagai "rasis" sehingga mulai secara negatif mengomentari budaya apapun, selain budaya Barat (termasuk budaya Israel). Bagi beberapa kalangan, meminjam budaya berpakaian, makanan, agama, arsitektur, seni atau musik juga merupakan tindakan rasis. Mereka mengistilahkannya sebagai "penyesuaian budaya (cultural appropriation) atau "voyerisme budaya" (cultural voyeurism). Tidak lagi dilihat sebagai ekspresi kekaguman dan penghormatan.
Laki-laki geng grooming bukanlah representasi tepat dari banyaknya aspek umum budaya Pakistan sekaligus etika kaum Muslim. Menurut Ben Sixmith:
"Terlepas dari kasar biadabnya, para penjahat itu minum dan pakai narkoba serta memaksa para korban mereka melakukan aborsi. Dengan kata lain, ini bukan orang Muslim yang taat."
Ketika berbicara pada acara debat politik kenamaan yang diselenggarakan oleh Stasiun Televisi BBC, Newsnight, Muhbeen Hussain, pendiri Kaum Muda Muslim Inggeris (British Muslim Youth), bergerak begitu jauh sampai menyangkal bahwa laki-laki yang dihukum itu bukan Muslim.
Geng-geng grooming ini adalah individu-individu. Mereka minum alkohol, narkoba dan benar-benar menerapkan 'sesi' untuk mengeksploitasi para gadis muda ini. Saya tidak tahu apa yang Islami dengan soal minum minum alkohol, narkoba dan mengeksploitasi para gadis muda.
Terlepas dari semakin berkembangnya sekularisme di sejumlah kota, (masyarakat) Pakistan tetap sangat relijius. Di sana, ekspresi lahiriah kesucian bisa dilihat di mana –mana. Soal penodaan agama (blasphemy) dan kesetiaan untuk tidak murtad (heterodox allegiance) menjadi isu sosial penting. Jadi, pertanyaan yang muncul menjadi: sejauh mana sejumlah nilai Pakistan mungkin saja mempengaruhi para laki-laki seperti ini?
Sebagian jawabannya adalah, karena ketatnya peraturan yang terkait dengan perilaku wanita di Pakistan serta terbatasnya hubungan pria–wanita di sana. Ini juga terjadi di beberapa negara Muslim lainnya yang justru punya reputasi tingkat pelecehan seksual, bahkan jika pelecehan ini tidak berupa grooming terhadap para gadis di bawah umur. Aktivis sosial Pakistan, Muhamad Usman Awan, misalnya, pernah menulis panjang lebar seputar beragam bentuk pelecehan di Pakistan. Dalam sebuah artikel yang terbit tahun 2016 silam, dia menulis:
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh UNISON tahun 2008, lebih dari wanita pekerja menghadapi pelecehan seksual di Pakistan. Jumlah kasus kekerasan yang diajukan setiap hari semakin meningkat. Jumlah insiden yang tidak dilaporkan bahkan lebih besar lagi. Seluruhnya ada 24.119 kekerasan terhadap wanita dilaporkan terjadi selama tahun 2008-20010. Dari jumlah itu, hanya 520 kasus pelecehan seksual yang diajukan.
Ada 7.733 kasus kekerasan wanita dilaporkan dalam media tahun 2013 silam. Sebanyak 1.516 wanita dibunuh dan 472 wanita dibunuh karena alasan "demi 'kehormatan.' Negeri itu secara mengerikan gagal menghentikan aliran kasus pelecehan seksual.
Jelas, yang pertama-tama lazimnya, ada kekerasan fisik. Meski demikian, ada bentuk pelecehan lain termasuk pelecehan terhadap wanita ketika mereka menggunakan transportasi publik :
Kondisi transportasi umum di Pakistan bahkan nyaris tidak memuaskan. Bagi rata-rata wanita Pakistan, perjalanan pulang-pergi ke tempat kerja adalah dengan transportasi bus. Tetapi bepergiaan dengan bus umum menjadi sangat sulit karena perhatian yang tidak menyenangkan beserta omelan-omelan jorok yang harus dialami para wanita.
Tampaknya, pelecehan terutama dialami di tempat kerja. Wartawati Pakistan Nosheen Abbas pernah menjelaskan persoalan ini agak rinci. RUU tentang pelecehan perempuan di tempat kerja yang dituliskan, memang sudah disahkan menjadi UU Parlemen (Act of Parliament), tetapi belum banyak berdampak. Selain tulisannya, ada juga tulisan Nazish Broho. Dalam sebuah artikel yang panjang lebar dan rinci, yang diterbitkan dalam Dawn, Mei 2018 lalu, Nazish Broho menulis bahwa masalahnya memang membaik sejak UU tahun 2010 disahkan. Tetapi persoalan akut masih saja ada, khususnya bagi wanita yang mengajukan laporan mengalami pelecehan.
Tahun lalu, Shahid Javed Burki, mantan Menteri Keuangan Pakistan serta Wakil Presiden Bank Dunia berbicara lantang tentang perlakuan terhadap wanita di negaranya. Dikatakannya bahwa rendahnya status yang diberikan kepada wanita benar-benar sangat berdampak pada kehidupan sosial, demografis, pendidikan dan keuangan. Karena itu, dia membandingkan situasi negerinya dengan negara tetangganya Bangladesh yang menurutnya sudah jauh lebih membaik, khususnya lewat keterlibatan mereka dalam dunia kerja.
"Faktor utama yang membuat status sosial wanita dalam masyarakat Bangladesh lebih tinggi adalah tingkat partisipasi mereka dalam dunia tenaga kerja. Di sana, sebesar 43,1 persen tenaga kerja adalah wanita. Angka itu nyaris dua kali dari Pakistan, yang bercokol pada 24,3 persen."
Dalam sejumlah langkah, yang terefleksi di Inggris, para wanita Muslim (terutama keturunan Pakistan) dibatasi untuk berpartisipasi di lapangan kerja, dalam dunia pendidikan tinggi, bahkan untuk tahu Bahasa Inggris. Persoalan ini diamati oleh Dame Louise Casey dalam tulisannya, tinjauan pemerintah seputar peluang integrasi yang diluncurkannya pada tahun 2016. Membawa masuk perilaku ala Pakistan di Inggris, yang kerapkali ada dalam komunitas yang terpisah-pisah, hanya mengekalkan keyakinan bahwa wanita secara instrinsik lebih rendah daripada laki-laki dalam seluruh aspeknya. Pada titik ini, ketika wanita begitu direndahkan, beberapa laki-laki justru menganggap pelecehan seksual (sexual mistreatment) atas wanita non-Muslim merupakan hak mereka yang diberikan Tuhan. Penting dicatat bahwa semua wanita diperlakukan seperti ini adalah kaum Muslim.
Satu pembenaran diri yang digunakan atas kasus grooming di Inggris adalah bahwa para gadis yang terlibat itu non-Muslim, yang mungkin dianggap lebih rendah sehingga boleh diserang tanpa takut dihukum. Banyak korban pemerkosa asing itu melaporkan bahwa para pelakunya berulang-ulang mengatakan bahwa perkosaan memang diperbolehkan dalam Al-Qur'an.
Selain itu, seorang professor wanita dari Universitas al-Azhar (Mesir), pernah mengklaim bahwa Allah memang mengijinkan "kaum Muslim untuk memperkosa wanita non-Muslim untuk 'menghina' mereka.'"
Bagian kedua artikel ini akan mengamati peran yang muncul akibat tidak adanya integrasi sosial, berpadu dengan perilaku konservatif atau keagamaan radikal serta praktek taharrush jama'i (pelecehan seksual massal) dalam lingkungan Arab. Kedua-duanya, mungkin menjadi kunci terbaik yang berkaitan dengan mengapa pelanggaran ini awalnya terjadi.
Dr. Denis MacEoin, meraih gelar Ph.D dari Universitas Cambridge dalam Bidang Kajian Persia, mengajar terjemahan Bahasa Arab-Inggris di Universitas Mohamad V di Fez, Maroko serta mengajar Bahasa Arab untuk Kajian Islam di Universitas Newcastle di Inggris. Dia Mitra Senior Kenamaan (Distinguished Senior Fellow) Lembaga Kajian Gatestone Institute.
[1] Daftar nama statistik lainnya dari semua tertuduh dalam kasus gabungan yang diatur secara kronologis dan dengan rincian lengkap tentang kota, pengadilan, serta dakwaannya mungkin bisa ditemukan di sini.