Foto: Majid Rafizadeh. (Sumber foto: Valter Schleder/Wikimedia Commons) |
Sama sekali saya tidak terkejut ketika menerima sebuah surat dari seorang dai Islam Shiah yang relijius dari Inggris. Soalnya, saya menerima banyak surat serupa dari para Muslim ekstremis dari seluruh dunia, termasuk dari para liberal, sosialis, dan kalangan lainnya dari Barat. Tiap kali, membuka surat-surat ini, saya sudah mempersiapkan diri menghadapi kritik terhadap penelitian saya yang hati-hati terhadap agama saya sendiri. Seperti diharapkan, surat itu dimulai dengan saran yang sudah sangat akrab dan biasa. "Berhentilah mengkritik agamamu sendiri."
Surat pun berlanjut dengan mendukung saran ini dengan berbagai janji dari berbagai media dan orang-orang Barat progresif yang menyukai saya untuk lebih jauh lagi mendukung saya, jika saya mempertautkan pandangan-pandangan saya dengan poin-poin pembicaraan yang disukai.
"Jika berhenti mengkritik Islam, maka Barat tentu akan lebih gembira menyambutmu. Kau pun akan mendapatkan lebih banyak tawaran dan peluang untuk semakin meningkatkan karirmu."
Lalu, apakah yang saya katakan sehingga begitu membekas? Saya menolak menjadi apologet (baca: para pakar pembela ajaran agama) bagi Islam radikal di Barat. Saya menolak membuat berbagai konsekwensi gelap menjadi penuh kilau pesona yang diarahkan oleh ekstremisme yang acak. Saya tidak mau berbicara omong kosong di bawah pemikiran tentang multikulturalisme atau toleransi; karena beberapa hal memang tidak dimaksudkan untuk ditoleransi. Pesan para apologet ini jelas: " Sesuaikan jalur pemikiran. Kirimkan pesan-pesan yang sama dengan pesan orang lain: terkait dengan semua aspek Islam yang menjadi agama penuh cinta dan penuh kebajikan. Fokuskanlah perhatian anda pada persoalan ini lalu sembunyikanlan kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah karpet.
Sungguh, saya dambakan bisa lakukan itu.
Jelas, sulit melihat mengapa begitu banyak kolega saya tunduk mengalah kepada tekanan ini. Jalan saya benar-benar bakal jauh lebih mudah jika saya mengikuti pandangan yang dipolitisasi kemudian berpawai ke depan bersama orang-orang lain yang memilih asas manfaat (expediency) dibandingkan dengan kebenaran. Tetapi, saya temukan diri saya mustahil cocok di dalamnya lalu bergabung dengan para apoleget Islam arus utama di Barat. Berbagai kenangan atas apa yang pernah saya lihat serta berbagai kekejaman yang saya tahu masih dilakukan, mengganggu saya sekaligus mendorong saya untuk berbicara bagi orang-orang yang tidak bisa berbicara. Saya tidak pernah bermaksud agar Barat menyukai saya atau supaya bisa mendapatkan keuntungan pribadi dari membagikan pengalaman saya. Tujuan saya senantiasa hanyalah mau menghentikan siksaan yang dialami masyarakat saya di tangan para rejim dan kelompok kaum Islam radikal tiran yang tidak berbelaskasihan.
Saya lahir dan dibesarkan dalam lingkungan masyarakat mayoritas Muslim, dalam dua sekte Islam yang dominan; Sunni dan Shiah, baik di dunia Arab maupun Persia. Berbagai pengalaman yang keluarga dan orang-orang sekitar saya alami membentuk saya sedemikian rupa sehingga tidaklah masuk akal untuk tidak menyadari betapa bakal berbahayanya Shariah dan kekuasaan kaum Islam radikal itu. Akibatnya, misi saya adalah hendak membahas persoalan-persoalan yang melandasi ini dengan menjelaskannya dalam berbagai buku saya. Harapan saya ia mungkin saja membantu mengantarkan beberapa reformasi dari dalam lingkungan agama sendiri. Kaum Muslim seperti Presiden Mesir, Abdel Fattah al-Sisi, Dr. M. Zuhdi Jasser dan Salim Mansur, untuk menyebutkan hanya segelintir, juga tengah melakukan advokasi untuk menafsirkan kembali Islam.
Yang harus dipahami oleh para apoleget Islam, adalah bahwa saya beserta orang-orang lain seperti saya, tidak bermaksud melakukan tawar-menawar ala Faust supaya bisa memperoleh keuntungan yang sesuai dengan pemikiran arus utama. Ada beberapa nilai, yang jauh lebih penting dibandingkan dengan hanya melayani kepentingan personal seseorang. Seperti misalnya nilai untuk membangkitkan sikap yang waspada dan nilai untuk membantu para wanita yang takluk tertindas yang kerapkali efektif diperbudak dan disiksa dalam banyak cara di bawah kekuasaan kaum Islam radikal.
Tujuan lain di balik berbagai pesan ini adalah hendak menganalisa kata "Barat". Tampaknya, "Barat" tidak merepresentasikan semua masyarakatnya, ketika orang-orang seperti para dai mengatakan Barat bakal menyukai anda dan anda bakal meraih lebih banyak keuntungan jika tidak mengkritik Islamisme. Tetapi tampaknya sebagian besar merujuk kepada institusi dan tokoh ekstrim kiri politik. Kaum Muslim ekstremis ini mungkin juga merujuk kepada organisasi atau saluran media sosial yang tidak melaporkan fakta tetapi ideologi. Mereka tampaknya membahas persoalan seperti yang mereka dambakan bakal terjadi, ketimbang melihat bukti-buktinya. Sayangnya, banyak dari universitas, institusi dan saluran (media) ini kebetulan media raksasa dan dominan di Barat.
Ketika pertama tiba di AS untuk mengajar berdasarkan beasiswa Fullbright selama Pemerintahan Obama, ada hal menarik perhatian saya ketika melihat betapa banyak lembaga dan figur yang tidak suka mendengar atau melaporkan kritik apapun terhadap Islam. Sikap ini benar-benar berstandar ganda. Ketika orang-orang Barat ini merasa baik-baik saja dengan kritik agama yang keras, seperti terhadap Agama Kristen dan Yudaisme, mereka tidak memperlakukan Islam secara sama. Mengejutkan memang ketika menemukan, sangat cepat, bahwa mereka bisa terima agama mereka sendiri dikritik, tetapi tidak baik bagi saya untuk mengkritik agama saya. Tidak mungkin masuk akal memang.
Di Iran dan Suriah, tempat saya bertumbuh dewasa, orang bisa saja ditangkap, dipenjara, disiksa bahkan dibunuh karena mengatakan apa saja yang mungkin tidak positif tentang agama dominan tanah itu, Islam. Di permukaan, satu-satunya tempat bagi orang-orang yang mau melakukan reformasi Islam, tampaknya berada di Barat. Di atas semua itu, begitu banyak pemimpin politik konsisten membanggakan nilai kebebasan berbicara serta kebebasan pers. Di mana lagi reformasi atas agama yang begitu kuat dibatasi bisa terjadi?
Orang bakal menghadapi akibat mengerikan bahkan karena mau mengkritik agama jika hal seperti ini dicobakan di negara tempat Hukum Shariah ditegakkan. Kita semua asumsikan bahwa di sini, di Barat, amanlah untuk mempertanyakan dan mengkritik apapun. Sebaliknya, begitu banyak lembaga memanfaatkan lebih banyak metode yang halus untuk membungkam kritik. Beberapa metode ini mencakup upaya untuk melabelkan siapa saja yang mengatakan apa saja yang negatif tentang Islam sebagai fobia terhadap Islam (Islamofobia), bahkan atas orang-orang yang memberikan kritik konstruktif serta peluang untuk mereformasinya sekalipun.
Tolong terima satu pesan sederhana: Jika anda pikir mengkritik Agama Kristen dan Yudaisme itu konstruktif dan satu-satunya cara untuk memodernisasi sekaligus menciptakan reformasi, maka tolonglah terapkan aturan yang sama pada Islam.
Semakin kalian berusaha menyembunyikan atau mengabaikan kritik konstruktif tentang Islam, semakin sulit anda membuat reformasi terjadi sehingga semakin mudah pula anda membuat kaum radikal Muslim menang. Akhir-akhir ini, di seluruh dunia sedang terjadi kekejaman yang dilakukan setiap saat setiap hari atas nama Islam. Tujuan anda seharusnya bukanlah untuk secara politik benar atau secara kejam melindungi agama ini, tetapi hendak menyembuhkan luka-lukanya, kemudian memberikan dukungan kepada kalangan yang ingin memberantas penyalahgunaannya. Upaya untuk mengabaikan tindakan yang kerapkali tidak terucapkan pada Hukum Shariah justru hanya memperkuat orang-orang yang memang berniat jahat, dan pada saat bersamaan memaksa orang-orang yang paling rawan untuk tunduk menjadi sasaran aksi kejam mereka.
Jika, seperti anda klaim, nilai utama anda adalah menegakkan kebebasan berbicara, kebebasan pers serta diskusi terbuka tentang Agama Kristen dan Yudaisme maka nilai-nilai ini harus diterapkan juga pada Islam. Dukunglah suara orang-orang yang pernah mengalami Hukum Shariah secara langsung dan serukanlah untuk melakukan reformasi.
Alasan saya mengkritik unsur radikal agama saya bukan karena dalam hati saya membencinya, tetapi karena saya ingin melindungi orang-orang yang disalahgunakan kemudian ditinggalkan oleh para pemimpin mereka. Dengan mata terbuka, saya tak ingin bersembunyi dari kebenaran, tidak peduli betapa luar biasanya manfaat dan keuntungannya.
Dr. Majid Rafizadeh adalah cendekiawan, pengusaha, ilmuwan politik serta anggota dewan redaksi Majalah Harvard International Review, tamatan Universitas Harvard. Ia juga Presiden International American Council on Middle East (Dewan Amerika International atas Persoalan Timur Tengah). Sudah dia tulis beberapa buku tentang Islam dan Kebijakan Luar Negeri AS. Dia dapat dihubungi lewat email Dr.Rafizadeh@Post.Harvard.Edu