Selama beberapa tahun terakhir, Suku Houthi, boneka sekaligus antek Iran, berperang melawan kaum Sunni Arab. Mereka tampaknya hendak memastikan bahwa konflik berlanjut di Yaman, sampai mereka, orang Houthi merebut kekuasaan atas negeri itu sekaligus memajukan kepenetingan Pemerintah Iran. Gambar: Para milisi yang bersekutu dengan koalisi Yaman pimpinan Saudi dengan dukungan pemerintah negeri itu di garis depan tengah menghadapi para pemberontak Houthi yang mendapat dukungan Iran, 20 September 2018 lalu di Hodeidah, Yaman. (Foto oleh Andrew Renneisen/Getty Images). |
Salah satu cita-cita revolusioner penting yang diperjuangkan untuk ditegakkan oleh para ulama Republik Islam Iran adalah agar hukum Islam versinya tidak hanya dilaksanakan untuk Iran saja. Para ulama penguasa itu juga berkomitmen hendak mengekspor prinsip-prinsip revolusi Iran keluar negeri sekaligus memperluas misi kaum fundamentalisnya kepada negara-negara lain.
Bagaimana mereka lakukan ini? Dengan secara efektif mengambil alih negara-negara lain. Mengambil Libanon lewat anteknya, Hizbullah menjadi gebrakan pertama. Kemudian, muncul Suriah dan akhirnya Irak – dengan Jalur Gaza yang dikuasai Hamas tengah menanti di sayap-sayapnya.
Para mullah penguasa Iran dengan demikian tumbuh menjadi semakin mematikan. Juga semakin berani. Seiring dengan setiap kemenangan yang diraihnya. Saat ini, dan selama beberapa tahun, Iran mengarahkan matanya pada Yaman.
Ini bukan filosofi acak atau filosofi baru. Misi ini adalah bagian dari konstitusi Iran. Pembukaan konstitusi negeri itu mengatakan ia "memberikan dasar yang diperlukan untuk memastikan berlanjutnya Revolusi di dalam dan luar negeri."
Dokumen selanjutnya mengatakan bahwa Tentara Iran dan Pengawal Revolusi, "tidak hanya bertanggung jawab untuk menjaga dan melindungi perbatasan negara, tetapi juga untuk memenuhi misi ideologis jihad (Syiah) di Jalan Allah. Yaitu untuk memperluas kedaulatan hukum Allah (Syiah) di seluruh dunia...dengan harapan bahwa abad ini menyaksikan berdirinya pemerintahan suci universal sekaligus jatuhnya semua pemerintahan yang lain."
Pemerintah Iran menggunakan setiap taktik politik dan militer yang memungkinkan agar tujuannya itu tercapai. Meski tidak terbatas, aksi ini termasuk mendanai dan mempersenjatai Suku Houthi di Yaman. Pada era 1990-an, mereka sudah mulai mengkotbahkan perdamaian guna menghentikan penganiayaan terhadap kaum Muslim Zaidi di Ibukota Sanaa dan kawasan utara Yaman. Muslim Zaidi sendiri adalah sebuah sekte yang dekat dengan Kaum Syiah, tetapi belakangan berkembang menjadi kekuatan militer berkekuatan lebih dari 100.000 orang. Selama empat atau lima tahun terakhir, Houthi, sebagai boneka dan proksi Iran berperang melawan Kaum Sunni Saudi. Kelompok itu tampaknya hendak memastikan bahwa konflik terus berlanjut di Yaman sampai mereka, kaum Houthi, mengambil kendali negara dan memajukan kepentingan Pemerintah Iran.
Suku Houthi beruntung mendapatkan Iran sebagai sekutunya yang kuat. Para pendukung Iran mereka tidak bakal membiarkan mereka kehabisan amunisi. Pemerintah Iran bakal terus menyelundup masuk senjata dan teknologi secara gelap ke Yaman. Menurut sebuah laporan yang kaya nuansa dari Kantor Berita Reuters, Pengawal Revolusi Islam Iran (IRGC) menjadi pendukung sekaligus sponsor utama Suku Houthi. Untuk itu, IRGC meningkatkan jumlah pasokan senjatanya ke Yaman. Persoalannya, mungkin lebih pada soal ketika baru-baru ini, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompei menetapkannya sebagai Organisasi Teroris Asing (Foreign Terrorist Organization).
Lebih jauh lagi, Iran mendorong memberikan wawasan soal taktik dan strategi jangka panjang bagi para antek yang dilatih dan dipersenjatainya di seluruh penjuru Timur Tengah. Rencana itu mereka dibangun di atas empat pilar yaitu; destabilisasi, konflik, pembunuhan, dan menolak solusi apa pun yang berasal dari Kaum Sunni atau yang berasal dari Barat.
Satu contoh upaya Iran mengejar empat pilar itu mencakup pembunuhan atas Mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh. Pada 2007 lalu, dua hari setelah dia mendesak supaya ada resolusi atas konflik, sang mantan presiden malah dibunuh oleh milisi Houthi dukungan Iran. Padahal, komunitas internasional sudah merasa lega karena perang saudara empat tahun yang tampaknya menjadi konflik yang tak mudah terselesaikan di Yaman itu bakal terselesaikan lebih cepat daripada yang diharapkan.
Dan sebaliknya, berbeda dari pendahulunya Barack Obama, Pemerintahan Trump juga mengambil sikap tegas menentang ambisi gelap dan ekstremisme Iran.
Presiden Donald J. Trump kemudian melakukan lawatan ke kawasan itu. Ia hendak membantu membasmi ekstremisme dan membangkitkan kembali "NATO Arab" guna menghambat gerak Iran. Pasca-kunjunganya, negara-negara Teluk pun meningkatkan usaha mereka untuk memerangi terorisme, termasuk langkah yang sedang dilakukan oleh Arab Saudi serta Uni Emirat Arab.
Belakangan, Yayasan Middle East Monitor melaporkan perihal "email bocoran yang dikirim oleh Duta Besar UAE untuk AS, Yousef A-Otaiba sebagai berikut":
"Beberapa surat daring antara Al-Otaiba dan para sahabatnya di Amerika mengindikasikan bahwa UAE tengah menyebarluaskan apa yang dianggapnya sebagai Islam "moderat'. Pada saat bersamaan dia serentak mengarahkan para pejabat AS kepada orang-orang yang mendukung larangan atas Ikhwanul Muslim. Al-Otaiba juga terungkap hendak menyampaikan pidato pada sebuah acara yang mendukung inisiatif Pemerintah AS untuk melawan ekstremisme yang kejam, yaitu sebuah strategi yang dijalankan dengan berbagai nama di banyak negara Barat dan sumber dari banyak pertengkaran di komunitas-komunitas Muslim."
Sebuah kajian dari Yayasan Henry Jackson Society di Inggris yang dilaporkan pada 2018 lalu mengatakan bahwa:
"Uni Emirat Arab Emirates (UEA) akrab bekerja sama dengan AS serta negara dan organisasi internasional untuk memperlihatkan komitmennya memerangi segala bentuk ekstremisme. Kontra-ekstremisme UEA memusatkan perhatian pada upaya untuk memangkas peluang pendanaan untuk aktivitas para ekstremis. Juga untuk memperbaiki keamanan di perbatasan negara untuk mengacaukan perekrutan para pejuang dari negara-negara lain. Selain itu, UAE mengawasi media sosial guna mencegah tersebar luasnya pesan-pesan kebencian kemudian turut campur tangan di dalamnya jika dirasakan bahwa pusat-pusat keagamaan meradikalisasi orang serta melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan ekstremis." (hal.16).
"Pada 2015, Penguasa Dubai Sheikh Mohammed bin Rashid mendesak mufti negaranya untuk mengeluarkan fatwa-fatwa moderat yang menyebarluaskan toleransi." Fn. 92. (Fn. 92. Dajani, H., 'Fatwa Baru Dewan UAE "akan membantu memerangi ajaran agama yang ekstrim," Harian The National, 5 Juni 2017 ) (hal. 17).
Jemaat berbagai agama telah membangun 40 gereja, dua kuil Hindu serta satu kuil Sikh. Semuanya dibangun di atas tanah yang diberi gratis oleh otoritas yang berkuasa, yang mengambut gembira jemaat-jemaat asing di UAE. Gereja Anglikan terbesar kawasan itu baru saja sedang dibangun di Abu Dhabi. Bangunan ini mampu menampung lebih dari 4.000 jemaat jika sudah jadi. Fasilitas baru ini tidak saja menjadi pusat peribadatan, tetapi juga tempat berkumpulnya berbagai komunitas yang menjadikannya rumah saat mereka jauh dari rumah. Ketetapan hukum soal tanah yang penuh kemurahan hati bagi para pemukim non-Muslim ini memang memperlihatkan keramahtamahan yang memang menjadi gambaran dari budaya sekaligus tradisi masyarakat Emirat.
UAE serta negara-negara Teluk lainnya juga sedang berpartisipasi bersama dengan Amerika Serikat dalam sebuah misi banyak negara. Seperti yang diawali oleh UEA yaitu:
"UAE berkomitmen untuk memerangi ekstremisme Islamisme di semua lini--- termasuk berjuang menyelesaikan dan melenyapkan unsur-unsur lain yang melahirkan terorisme. Upaya ini mencakup:
- Mempromosikan peluang-peluang ekonomi baru sekaligus memperkuat pemerintahan dan institusi di seluruh kawasan Timur Tengah.
- Menghentikan perekrutan para pejuang dari luar masuk ke dalam berbagai organisasi ekstremis serta aliran para pejuang itu di seluruh penjuru perbatasan negara; memangkas pendanaan yang mendanai organisasi-organisasi ekstremis.
- Bertindak melindungi orang-orang yang menjadi sasaran penculikan dan yang mengalami kekerasan seksual dari para penculik mereka.
- Bekerja sama dengan mitra-mitra internasional untuk memangkas meluasnya ideology teroris."
Menurut Daily Caller:
"Sayangnya, di banyak Negara di kawasan itu, umat Kristen serta kelompok minoritas iman lainnya menjadi sasaran kekerasan, diskriminasi. Kadangkala mereka tidak mampu untuk secara bebas menjalankan agama mereka.
"Namun, tidak semua tempat di di Timur Tengah terjadi seperti itu. Uni Emirat Arab, sebuah negara kecil di Teluk Arab, memelopori jalan yang berbeda. Sebuah jalan yang berbasiskan pada toleransi, keterbukaan, dan inklusi."
The Daily Caller juga mencatat bahwa melalui Hidayah Centre-nya, sebuah lembaga kajian politik global yang diresmikan pada tahun 2012, UEA juga berjuang menjadi "rumah bagi semua agama." Organisasi itu juga menyediakan "peralatan bagi komunitas dan pemerintah di seluruh dunia supaya bisa meningkatkan kemampuan mereka melawan ekstremisme dan upaya perekrutan oleh organisasi teroris ...
Tahun lalu, UAE menetapkan Tahun 2019 sebagai Tahun Toleransi. Dengan mengadakan konperensi dan program-program lainnya UAE berusaha mempromosikan nilai-nilai toleransi di seluruh wilayah sejak saat itu.
Pada bagiannya, revolusi Arab Saudi pun terhambat setelah beberapa kali terbentur pada awalnya. Termasuk di dalamnya terhambat pula upayanya membuka bioskop dan mengijinkan para wanita untuk mengemudi. Menyedihkan bahwa kemajuan ini dinodai dengan penangkapan dan diadilinia beberapa wanita yang meminta adanya reformasi bagi para pengemudi kendaraan, terutama karena hal yang mereka minta itu sudah bukan lagi sesuatu yang ilegal. Arab Saudi akan sangat membantu jika secara internasional melihat mereka semua dibebaskan. Menghukum mereka hanya akan mengirim pesan kepada dunia bahwa keluarga kerajaan Saudi berusaha mengancam orang lain sebagai peringatan supaya tidak mengungkapkan pandangan mereka. Dengan demikian, dia membuat reformasi baru itu tampak palsu.
Arab Saudi juga bakal sangat membantu jika membebaskan beberapa tahanan lain, terutama Raif Badawi, yang sekarang berada di penjara setelah menerima 50 cambukan. Raif dipenjara dan dicambuk karena menulis pemikiran seperti, "Komitmen saya adalah ... untuk menolak penindasan atas nama agama ... tujuan yang akan kita capai dengan cara yang damai dan taat hukum. " Selain itu, pengacara yang mewakilinya, Walid Abu'l-Khayr harus dibebaskan dari penjara juga.
Terlepas dari buku-buku pelajaran sekolahnya yang bermasalah dan ekspor Wahabi Islam pilihan mereka di seluruh Eropa dan sebagian besar Barat dengan mendanai pusat-pusat budaya dan masjid secara besar-besaran, Arab Saudi memang tidak mengancam Eropa atau Amerika Utara dan Selatan dengan tingkat kekerasan fisik yang hampir sama dengan yang terus dilakukan oleh para mullah Iran. Arab Saudi juga baru saja setuju membentuk dewan kemitraan strategis dengan India untuk bekerja sama lebih erat untuk memerangi terorisme.
Tentu saja, masih harus dilihat. Seperti diperlihatkan oleh Nina Shea, Direktur Pusat Kebebasan Beragama, (Center for Religious Freedom) persoalannya adalah bagaimana banyak peluang yang dibangun di Arab Saudi dan UEA itu diterjemahkan ke dalam tindakan. Bukan sekedar "token tolerance" atau "bukti toleransi." Memang tidak dapat disangkal, UEA telah membuka jalan. Karena itu tentang kunjungan Paus pertama ke wilayah tersebut pada 3 Februari, Shea menulis:
"Pada satu sisi, ini kemajuan nyata. Kunjungi ini semakin mengikis tabu kuno yang bertentangan dengan kebebasan beragama di Semenanjung Arab. Karena dikaitkan dengan Nabi Islam Muhamad, tradisi berpendapat bahwa tidak ada agama selain Islam yang diperbolehkan di sana. Dan memang, selama berabad-abad tidak ada agama lain di sana...
"Dalam berbagai acara minggu ini, UEA justru tengah bertindak sebagai alter ego (baca: pribadi yang lain) Arab Saudi yang lebih liberal. Ketika dukungan Amerika terhadap Arab Saudi mulai menipis, negara-negara Teluk ini cemas menopangnya sehingga meminta UEA menunjukkan sedikit toleransi kehidupan beragama yang dijanjikan Arab Saudi tetapi gagal dilaksanakan. Barat harus memuji UEA saat ini tetapi tetap dilakukan dalam perspektif. "
Di lain pihak, Iran beserta para anteknya menunjukkan strategi mereka yang kejam dan bengis melalui aksi teror. Juli lalu, kaum Houthi berusaha menembakkan sebuah peluru kendali (Rudal) di fasilitas nuklir Abu Dhabi. Tindakan itu kemungkinan besar dimaksudkan untuk menjadikan warga sipil sebagai korban massal. Untungnya, misilnya gagal. Selain itu, kelompok yang mendapat dukungan Iran itu juga telah menembakkan beberapa roket ke Arab Saudi.
Republik Islam Iran juga telah mengepung Arab Saudi dengan tujuannya yang jelas-jelas untuk mengambil-alih ladang minyak Saudi dan situs-situs suci serta jalur pelayaran kapan internasional penting di kedua sisi Semenanjung Arab; Bab al Mandeb dan Selat Hormuz. Iran juga telah menduduki Suriah and Irak; memerintah Libanon melalui kelompok teroris anteknya, Hizballah, kemudian masih mendanai kelompok teroris lainnya, Hamas, di Jalur Gaza, mungkin dengan harapan bisa menghancurkan Israel.
Bagi Iran, konflik Yaman lebih berarti daripada sekadar mengejek saingan-saingan Teluknya. Dan dia sudah bersumpah akan menghancurkannya. Sebaliknya, konflik ini merupakan perang ideologis untuk menyatukan dunia Muslim di bawah pemerintahan kaum Islam radikalnya (Islamist) sendiri, yang akan selalu melihat upaya perdamaian hanya sebagai tertundanya cita-citanya.
Sampai sebegitu jauh, yang lebih mengkhawatirkan lagi, adalah bahwa Iran sudah berada di ambang batas untuk memperoleh senjata nuklir dan rudal balistik yang siap dikirimkannya. Iran, singkatnya, telah mengadopsi ideologi ekspansionis berbahaya yang perlu ditanggapi dengan serius.
Episode ini tidak akan menjadi seruan-seruan berulang yang terakhir. Sekarang juga, Amerika perlu untuk menghentikan Iran mengambil alih Yaman.
Dr. Majid Rafizadeh adalah ahli strategi dan penasehat bisnis, cendekiawan tamatan Harvard University (AS), ilmuwan politik dan anggota dewan redaksi Majalah Harvard International Review. Ia juga presiden dari lembaga International American Council on the Middle East. Beberapa buku tentang Islam dan Kebijakan Luar Negeri AS sudah dituliskannya. Dia bisa dihubungi lewat:Dr.Rafizadeh@Post.Harvard.Edu