Nyaris empat dekade sudah berlalu sejak Sheikh 'Abdullah bin Muhammad bin Humaid (1908-1981, mantan Hakim Utama Arab Saudi menerbitkan essaynya yang panjang lebar serta berapi-api tentang jihad[1]. Essay ini masih bisa didapatkan di Intenet. Inilah satu-satunya essay yang para cendekiawan Saudi pilih untuk disertakan dalam Noble Quran (Qur'an yang Mulia)--- sebuah terjemahan Al-Qur'an modern setebal 9 jilid yang juga memasukan berbagai komentar zaman purbakala. [2]
Sekilas membaca essay Sheikh bin Humaid ini seharusnya bisa selamanya menghentikan orang dari fantasi-fantasi yang berkaitan dengan disposisi penuh damai dari Islam terhadap dunia non-Muslim. [3] Seperti dikatakan oleh penerbit essay itu dalam catatan pengantarnya;
"Tetapi terkait dengan pahala dan ganjaran, ada satu kebajikan yang sangat luhur dibandingkan dengan semua ibadah serta kebajikan-kebajikan yang baik. Tindakan itu adalah Jihad!"
Penerbitnya meneruskan pernyataannya:
"Sebelumnya, tidak terlihat artikel seperti ini. Ia menjabarkan Jihad yang sebenarnya---begitu membangkitkan hati sekaligus sangat mendorong!...Kami terbitkan artikel ini sekaligus merekomendasikan kepada setiap umat Muslim untuk tidak hanya membacanya sendiri tetapi juga menawarkan kepada setiap saudara Muslim lain yang berada dalam lingkungan tempat dia membacanya."
Jelasnya, Sheikh bin Humaid mendefenisikan "jihad" sebagai "perjuangan suci di Jalan Allah." Dengan kata lain, ini bukan lagi, "jihad kecil" atau "perjuangan spiritual," yang dikutipkan sejumlah Muslim apologet (para pembela ajaran Islam), yang mungkin saja hendak mengaburkan penggunaan utama kata itu sendiri dalam sejarah. Jihad adalah perang yang dilancarkan "dengan hati", "tangan (senjata, dll)," dan "lidah" (2).
Mengapa Kaum Muslim Mengangkat Senjata?
Menurut Sheikh bin Humaid, Allah mengutus Nabi Muhamad untuk memerangi kaum mushrikun di Mekkah--- mereka adalah kaum polities, penganut banyak agama, orang kafir (pagan), penyembah berhala dan orang-orang yang tidak mempercayai ke-Esa-an Allah dan UtusanNya Nabi Muhamad" (2). Dengan sabar selama 13 tahun, Nabi Muhamad mengundang penduduk Mekkah untuk menganut Islam, memperingatkan mereka soal pengadilam (judgement) Alah. Tetapi mereka menolak undangan itu.
Penolakan ini, karena dirinya sendiri, bukanlah pembenaran atas jihad. Kemurahan Allah itu tidak habis-habisnya. Sheik bin Humaind memberi tahu kita, dalam cerita yang sangat mendetil, bahwa Nabi Muhamad dan pengikutnya ditindas dan disiksa oleh penduduk Mekkah. Mereka "dipenjara, dipaksa menderita lapar dan haus serta dipukul (dengan cara mengerikan)" (3). Lebih jauh lagi, Muhamad sendiri secara fisik disiksa lebih dari satu kali. [4]
Gambaran kejam penduduk Mekkah sudah cukup untuk membangkitkan kemarahan besar di antara para pembaca, untuk menetapkan upaya-upaya balas dendam serta jihad. Pertama-tama, Allah mengijinkan kaum Muslim untuk membela diri sehingga jihad tidak menjadi tindakan wajib. Allah tentu dapat membela kaum Muslim tanpa berperang, menurut Sheik, "tetapi Allah ingin para penyembahNya berusaha sepenuh hati untuk patuh kepadaNya" (4). Akibatnya, dia meminta mereka melancarkan jihad sebagai aksi yang memperlihatkan kepatuhan dan ketaatan, tidak sekedar bela diri. Pemikiran ini tampaknya menjadi lahirnya doktrin perang dalam Islam.
Siapakah Musuh Islam?
Bin Humaid melihat jihad sebagai perang kekal yang dilancarkan melawan dunia hingga takluk kepada Islam dijalankan. Usai sudah waktu untuk bersabar; waktu untuk membuat keputusan sudah tiba. Dia lalu mengutip "ayat pedang yang kenamaan" sebagai berikut;
"Perangilah orang-orang yang tidak percaya akan Allah atau pada Hari Penghakiman Terakhir dan yang tidak menganggap melawan hukum apa yang Allah dan UtusanNya sudah putuskan melawan hukum dan yang tidak menganut agama yang benar dari orang-orang yang diberikan Alkitab---[perangi] sampai mereka memberikan jizyah secara sukarela ketika mereka menjadi rendah hati." (Al-Quran 9:29, Sahih International)
Bin Humaid memberi tahu kita bahwa Allah memerintah kaum Musim;
"membuang (semua) kewajiban (perjanjian, dll) serta memerintahkannya untuk memerangi semua kaum mushrikun serta Ahlul Kitab (kaum Yahudi dan Kristen) jika mereka tidak memeluk Islam, hingga membayar Jizya (sejenis pajak yang diperingan atas kaum non-Muslim yang tidak menganut Islam dan berada dalam perlindungan Pemerintah Islam) berbarengan dengan kesediaan mereka untuk takluk dan merasa diri ditaklukan" (4).
Perdamaian dengan kaum penyembah berhala (pagan), Yahudi dan Kristen bukanlah pilihan selama mereka menolak kekuasaan Muslim. Dan sejauh kaum Muslim mampu perangi, urai Sheik bin Humaid, mereka "tidak diijinkan meninggalkan "perang melawan mereka...dan untuk berekonsiliasi dengan mereka serta untuk menghentikan permusuhan terhadap mereka untuk masa yang tidak berbatas. (4)
Apakah Ganjaran Jihad?
Kaum Muslim, menurut Al-Qur'an, pada awalnya tidak menyukai seruan jihad, tetapi Allah terus mendesaknya:
"Jihad (perang suci di Jalan Allah) ditakdirkan bagi kalian (kaum Muslim) walau kalian tidak menyukainya. Kalian mungkin tidak menyukai hal yang baik bagimu sehingga justru menyukai hal yang tidak baik bagimu. Allah tahu, tetapi kalian tidak tahu" (2:216): (5).
Jihad, dengan demikian bukan buatan Nabi Muhamad; ia, kita diberi tahu, merupakan perintah langsung dari Allah sendiri.
Menurut Bin Humaid, Muslim yang menolak jihad segera menyukainya sehingga sangat senang berperang. Motivasinya, dalam kasus ini, adalah ganjaran, upah yang jauh melebih perjuangan keras perang itu sendiri. Para pejuang (mujahidin) ini "berperang melawan musuh Allah agar ibadah seharusnya hanya bagi Allah...dan bahwa Firman Allah...seharusnya lebih unggul" (5).
Ini saja, dia memberi tahu kita, seharusnya menjadi kompensasi yang cukup bagi para pejuang, tetapi Allah malah bergerak lebih jauh. "Dia mengampuni dosa-dosa kalian dan menerima kalian memasuki Taman-Taman tempat sungai-sungai mengalir sehingga nyaman berdiam di Taman-Taman Keabadian" (6).
Allah, kata Sheik, juga membantu kaum Muslim dalam perjuangan mereka melawan musuh dengan memberikan kemenangan kepada mereka. Walau tidak secara khusus menyebutkannya dalam essay-nya, kaum Muslim mendapatkan contoh yang mengagumkan dari intervensi ilahi ini dalam konflik penting Islam yang pertama, yaitu dalam Perang Badar. Dalam perang itu, tentara Muslim yang relatif kecil mengalahkan tentara Mekkah yang bersenjata lengkap. Perang ini diklaim sebagai tanda pasti dukungan ilahi.
Sheikh bin Humaid menghabiskan beberapa halaman tulisanya (hal 6-10) untuk mendiskusikan keunggulan para mujahidin atau para pejuang dibandingkan dengan semua pelayanan serta pekerjaan lain dalam Islam, termasuk orang-orang yang menjaga masjid. "Orang-orang beriman yang berperang di Jalan Allah (mujahidin) jauh lebih unggul golongannya di hadapanNya" (7).
Dia menjelaskan ganjaran Surga yang menanti mereka (walau tidak pernah disebutkannya para perawan dongeng). Ganjaran Surga juga dijanjikan kepada kaum Muslim taat, namun, tingkat tertinggi Surga, yang berjumlah 100 buah, dicadangkan hanya bagi para pelau jihad (8).
Sheikh bin Humaid praktis tidak menekankan persoalan barang-barang rampasan perang sebagai ganjaran (lihat hal. 16). Namun, dari banyak pertempuran yang dikisahkan dalam hadith kita tahu bahwa pampasan perang menjadi motivasi penting bagi beberapa orang (dekat) Nabi Muhamad [5]. Idealisme Sheikh bin Humaid dengan demikian, tampaknya dimaksudkan untuk menarik hati "kaum beriman sejati" dan motif-motif paling murni dan mulia dambaan kaum Muslim yang taat.
Apakah Jihad itu Ibadah?
Jihad, menurut Sheikh bin Humaid, adalah perang spiritual sekaligus konflik bersenjata. Al-Qur'an mengatakan (4:76): "Orang-orang beriman, berperanglah di Jalan Allah dan orang yang tidak beriman, berperang di jalan Thagut (Setan, dll)." Dengan memerangi para sahabat Setan, kaum Muslim, menurut dia, melindungi kaum lemah sekaligus melindungi kaum tertindas dari kebatilan (10). Mereka berperang dengan tujuan hendak membawa umat manusia "dari kegelapan menuju terang," "dari penyembahan berhala menuju ibadah kepada Allah saja dan "dari ketidakadilan agama menuju keadilan Islam" (17).
Jihad, bin Humaid katakan kepada kita, juga terkait sangat dalam dengan doa dan puasa---semua ketiga-ketiganya ditakdirkan Allah. "Semua cendekiawan relijius Muslim sepakat dengan suara bulat" bahwa jihad itu lebih tinggi nilainya dari sholat sunnah, juga lebih unggul dari Haji (ziarah ke Mekkah yang dipersyaratkan) serta Umroh (ziarah sukarela menuju Mekkah) (11).
Aspirasi Nabi Muhamad yang tinggi terhadap Jihad terekam dalam hadith ini yang berasal dari Sahih Al-Bukhari (2797). "Saya senang menjadi syuhadah di Jalan Allah kemudian kembali hidup, lalu menjadi syuhadah kemudian kembali hidup lagi, lalu kembali menjadi syuhadah kemudian kembali hidup, kemudian menjadi syuhadah" (11)
"Siapa saja", kata Nabi Muhamad, "yang kedua kakinya tertutup dengan debu di Jalan Allah tak bakal tersentuh oleh kobaran api Neraka" ((Sahih Al-Bukhari 2811) (16). Perjuangan menjadi syuhadah ini digemakan oleh pembunuh Fort Hood, Major Nidal Malik Hasan. Dua tahun sebelum melancarkan aksi pembunuhan terhadap 13 orang pada 2009, dia memberi tahu para sesama dokter tentaranya, "Kami mencintai kematian lebih daripada kalian mencintai hidup!" [6]
Apakah Ganjaran dari Menolak Terlibat dalam Jihad?
Jika upah jihad itu sangat agung, maka demikian juga hukuman bagi para pria Muslim yang mampu (berjihad) yang menolak terlibat atau yang menarik diri dari sana. Menurut Sheikh bin Humaid:
"Allah (swt) menentang orang-orang yang meninggalkan Jihad (misalnya, mereka tidak pergi melancarkan Jihad) dan mengkaitkan mereka dengan sikap munafik serta penyakit hati kemudian mengancam (semua) yang tetap berada di belakang Jihad dan duduk (di rumah) dengan hukuman yang sangat mengerikan" (12).
Hukuman, urai Sheik, tidak terbatas pada keadilan sementara: "siapa saja yang memalingkan punggungnya dari kaum beriman di medan perang...telah menimpakan kemarahan Allah atas dirinya sendiri. Dan Neraka menjadi tempat tinggalnya, sungguh paling celaka tujuannya! (Al-Qur'an :16) (16). Dalam peristiwa ketika kaum Muslim "tidak berpawai maju" meninggalkan tugas mereka untuk melancarkan jihad, Allah mengancam untuk menggantikan mereka dengan orang-orang yang lain (12).
Hukuman yang sangat berat ditimpakan atas orang-orang yang meninggalkan jihad secara grafis diperlihatkan oleh ISIS selama beberapa tahun lampau. Dengan kejam ISIS mengesekusi mati puluhan tentara mereka sendiri yang melarikan diri dari medan perang. Berbagai laporan berita mengindikasikan bahwa para "pejuang" ini dibakar hidup-hidup, dibunuh dengan gas beracun, dipenggal kepalanya atau dikuburkan hidup-hidup. [7]
Bagaimana Jihad Dijalankan?
Seruan jihad mempersyarakan adanya dukungan dari seluruh umat atau masyarakat Muslim. Ia terkait dengan transformasi komunitas agama menjadi mesin militer. Sheikh bin Humaid mengatakan:
"Dan tidak akan kalian temukan organisasi apapun pada masa lampau atau sekarang ini, agama atau bukan agama...(memerintahkan) seluruh bangsa untuk berpawai maju memobilisasi mereka semuanya untuk aktif dalam dinas militer sebagai sebuah baris tunggal untuk Jihad di Jalan Allah dengan demikian mengunggulkan Firman Allah...sebagaimana kalian temukan dalam Agama Islam dan ajaran-ajarannya" (13). [8]
Jihad harus diperangi dengan "benar-benar gagah berani," penuh iman dan keyakinan (untuk itu, pengarangnya mengutip sejumlah contoh dalam sejarah). Allah membantu nabi dan para pejuangnya, "dengan kemenangan dalam perang" dan "membantu mereka dengan para malaekat dan...menyebarkan terror dalam hati musuh-musuh mereka" (16). Berbeda dari orang-orang yang percaya, para jihadi diperintahkan untuk "menghantam senjata pada leher mereka [9] hingga kalian berhasil membunuh dan melukai banyak dari mereka." Jika musuh tidak mau menyerah, tawanan bisa ditebus atau dibebaskan tanpa tebusan, "sesuai dengan apa yang menguntungkan Islam" (14).
Dengan penuh ampun, para wanita, anak-anak serta orang-orang tua tidak boleh dibunuh dalam perang (Sahih Al-Bukhari 4:52, 257) (16). Walaupun aturan tempur ini umumnya ditaati oleh pasukan Muslim dalam medan perang, ia tidak mencegah kaum Muslim untuk terlibat dalam aksi perusakan massal (seperti membakar tempat tinggal musuh dengan menggunakan katapel atau bom) sehingga mungkin saja menyebabkan orang-orang tidak berdosa tewas. [10] Lebih jauh lagi, Nabi Muhamad, tampaknya tidak harus mempertahankan musuh-musuh pribadinya, tanpa memperhatikan usia, jenis kelamin, menurut tradisi-tradisi sejarah. [11]
Mengapa Islam Abad ke-20 Meninggalkan Jihad?
Sheikh bin Humaid mengalihkan perhatiannya dari penderitaan Islam abad ke-20, setelah dia mengajukan seruan tertinggi untuk berjihad kepada pembacanya. Keberhasilan jihad senantiasa bergantung pada kemampuan kaum Muslim untuk mempertahankan iman yang murni. Ini mencakup juga rasa takut terhadap dosa dan rasa takut karena tidak taat kepada Allah. Kaum Muslim adalah pemenang, meski jumlah mereka kecil, karena menurut bin Humaid, para musuh mereka tidak taat kepada Allah. Andaikata kaum Muslim pada titik ini gagal, maka mereka bakal dikalahkan oleh para musuh mereka (18).
Berkat kekuatan Allah, bin Humaid melanjutkan, kaum Muslim menjadi "bangsa terbaik yang pernah dibesarkan bagi umat manusia"---yang memerintahkan monoteisme sejati sekaligus melarang politeisme. Tetapi kini, mereka "menjalankan hidup seperti orang yang tidak mengenal Nabi atau mempercayai Pesan Ilahi atau Wahyu Ilahi [12] atau mengharapkan atau takut terhadap Kehidupan Sesudah Mati." Mereka, dalam berbagai cara, dia tangisi, kembali kepada sikap masa bodoh pra-Islam yang diperlihatkan oleh para penganut polieis masyarakat Arab (19).
Menjawab kenyataan ini, Allah memberikan cobaan atas mereka lewat penerapan budaya Barat serta komunisme Soviet (ingat, essay itu ditulis sebelum Uni Soviet jatuh pada 1999). "Jadi, tanah mereka," urai sang Sheik, "menjadi "kekayaan bebas" tanpa pelindung." Guna memenuhi ramalan Nabi Muhamad, Allah menghapuskan rasa takut dari hati orang-orang yang membenci Islam sembari memberikan cinta terhadap dunia namun membangkitkan rasa benci terhadap maut dalam hati kaum Muslim. [13] Dengan penuh penghinaan Allah menutup kaum Muslim karena mereka saling menipu satu sama lain, karena meninggalkan gaya hidup nomaden mereka mengikuti nafsu kenikmatan mereka sendiri.
Setelah sekian lama jatuh, kaum Muslim, tambahnya, menambahkan dosa lain akibat kemurtadan mereka: Mereka meminta bantuan musuh mereka serta meminta orang kafir melindungi mereka, "mengemis kepada mereka; beralih kepada mereka, mengharapkan hal yang baik dari mereka" (19). Sheik bin Humaid memang tidak mempertalikan tuntutan ini terhadap peristiwa sejarah tertentu. Mungkin saja dia merujuk sejumlah usaha yang Arab Saudi – Amerika laukan, termasuk eksplorasi minyak pada era 1930-an, pembangunan pangkalan udara militer AS yang permanen di Arab Saudi menjelang berakhirnya Perang Dunia II serta perlindungan militer yang AS perjuangkan bagi Arab Saudi sejak era 1940-an.
Terlepas dari upaya untuk mempertahankan penampilan luar agama dan budaya Islam, kaum Muslim, katanya, "menjadi jahat, hina di hadapan Allah." Mereka terbenam dalam kemewahan, memuja-muja kekayaan serta mencintai dunia ini. Mereka takluk kepada musuh mereka tanpa sebegitu jauh berjuang mengangkat tangan. Hukum Islam mereka tinggalkan demi hukum buatan manusia yang bertentangan dengan pengadilan Allah (19-20).
Dalam desakan Sang Sheikh, perlawanan biasa terjadi terhadap imperialisme Barat dan penindasan ekonomi yang biasa kita dengar sekarang ini, benar-benar hilang. Dengan sejumlah pengecualian khusus, kaum Muslim justru tidak menderita secara ekonomi di bawah pengaruh Barat; malah sebaliknya justru berkembang, khususnya kaum Muslim yang berdiam di negara-negara Teluk kaya minyak. Perasaan bersalah karena meninggalkan agama menjadi akibat dari kecenderungan mereka untuk mengikuti kesenangan diri bukan karena menginginkannya atau karena ditindas.
Dengan sejumlah pengecualian khusus, kaum Muslim justru tidak menderita secara ekonomi di bawah pengaruh Barat; malah sebaliknya justru berkembang, khususnya kaum Muslim yang berdiam di negara-negara Teluk kaya minyak.. Foto atas: Gedung pencakar langit Dubai. (Foto oleh Francois Nel/Getty Images untuk XCAT) |
Dalam seruan akhirnya, Sheikh bin Humaid menjelaskan bahwa, kaum Muslim, khususnya para cendekiawan Muslim "benar-benar wajib" untuk patuh kepada Allah, menyelesaikan perbedaan-perbedaan antarmereka, mengajak kaum Muslim serta non-Muslim untuk masuk Islam, "menerbitkan aspek-aspeknya yang baik" serta memerintahkan masyarakat mengikuti hukum dan kebijakan Islam, "sebagaimana dilakukan para tokoh Muslim awal." Kegagalan ini menjadi undangan bagi pengadilan Ilahi (20-21).
Jihad Baru
Kita pun menyaksikan kebangkitan kembali iman tradisional di banyak dunia Muslim, sejak Sheik bin Humaid menulis essay ini, jelasnya antara tahun 1974 dan 1981. Seiring dengan pembaruan ini, dapat diramalkan bahwa aksi kejam pun meningkat karena kaum Muslim pun menaklukan kaum tidak beriman dan membersihkan kaum mereka sendiri dengan menghukum serta membunuh orang-orang murtad. Memang tetap saja menjadi perdebatan terbuka, apakah Sheikh bin Humaid mendukung kekerasan ISIS serta penggunaan pelaku bom bunuh diri. Tetapi kita bisa pastikan bahwa dia memuji kesediaan banyak kaum Muslim untuk menyebarluaskan pesan Islam serta mengorbankan hidup mereka demi cita-cita itu.
Jihad baru pertama-tama bukanlah reaksi terhadap penindasan ekonomi Barat, seolah-olah kekayaan yang lebih besar di tangan masyarakat banyak bakal menghentikan persoalan itu sendiri[15]. Kita bisa terkecoh menilai istilah neo-Marxis ini sebagai perjuangan kelas ekonomi. Negara-negara Muslim seperti dicatat di atas, banyak yang makmur di bawah pengaruh Barat. Sejumlah negara pun meminta perlindungan kekuatan-kekuatan Barat. [16] Lebih dari itu, jihad baru secara alamiah muncul dari doktrin tradisional Islam yang berupaya menyamai Nabi Muhamad serta para penggantinya dalam sejarah. Dari penampilannya, jihad, dengan demikian, pertama-tama dan terpenting adalah tindak penyerahan diri relijius, sedangkan perlawanan ekonomi dan politik hanya menjadi persoalan kedua.
Ketika negara-negara Barat umumnya berjuang untuk memperoleh perdamaian dan melihatnya sebagai akibat dari kemakmuran serta pembangunan budaya yang tinggi, kalangan Muslim yang tradisionalis seperti Sheik bin Humaid justru yakin bahwa jihad merupakan indikasi iman Islam murni yang penuh semangat. Perdamaian, menurutnya, hanya tercapai kala kaum tidak beriman ditaklukan atau dilenyapkan dari bumi. Islam yang terus berperang melawan dunia tidak beriman menjadi aspirasi iman dan bukti kepatuhan tertinggi. Sebaliknya, perdamaian, kemakmuran serta budaya yang begitu dihargai di Barat justru merusak Islam tradisional dari dalam, menjadi ancaman terhadap keberadaannya. Jelas, ini sebabnya mengapa seruan jihad baru melawan Barat menjadi jauh lebih mendesak bagi kaum Islamis dibanding sebelumnya.
William DiPuccio meraih gelar Ph.D dalam bidang kajian relijius dan mengarang sejumlah artikel dan essay seputar agama dan ilmu. Dia juga bekerja dan mengajar dalam bidang keahliannya ini. Anda bisa menemukan blognya Science Et Cetera, pada http://scienceetcetera.blogspot.com
[1] "Jihad in the Qur'an and Sunnah". Angka-angka dalam tanda kurung merujuk kepada jumlah halaman versi daring. Ketika mengutip tulisan, saya mengikuti ejaan versi cetak yang sudah diperbaiki yang ditambahkan sebagai catatan pada Noble Quran, yang dikutipkan di bawah. Terjemahan Inggris dari kasus itu kadangkala memang sangat janggal.
[2] "The Call to Jihad (Holy Fighting for Allah's Cause) dalam Al-Qur'an, " Interpretation of the Meaning of the Noble Quran (Ryadh: Darussalam Publishers, 2000), 9:459-477. Buku ini menjadi terjemahan resmi Al-Qur'an dari Saudi yang merepresentasikan bentuk Salafi (kadangkala disebut bentuk Wahabi) Islam. Bagaimanapun, essay itu jelas-jelas tidak ada dalam versi satu jilid terjemahan yang jauh lebih popular, mungkin saja supaya bisa menyembunyikan niat-niat kejam dari doktrin tradisional Islam dari kaum non-Muslim
[3] Tentu saja, tidak semua Muslim mengikuti ajaran-ajaran tradisional, khususnya yang berdiam di Barat. Kaum Muslim yang ngotot mengikuti teologi dan hukum tradisional secara mendetil kerap dikenal sebagai kaum Islamis atau kaum radikal Islam. Mereka berniat agar seluruh dunia takluk terhadap Islam dan Hukum Shariah dijalankan di setiap negara. Lihat artikel "What Do the Terrorists Want? [A Caliphate and Shari'a]" oleh Daniel Pipes, 26 Juli 2005.
[4] Banyak sejarahwan yakin bahwa pada awal pertumbuhannya, kaum Muslim benar-benar dianiaya. Bagaimanapun, sejauh mana penganiayaan itu terjadi mungkin saja sudah dibesar-besarkan guna membenarkan aksi kejam yang belakangan mereka lancarkan terhadap penduduk Mekkah.
[5] Lihat buku, Muhammad at Medina, karya W. Montgomery Watt (Oxford Press, 1956), 145-146.
[6] "We love death more than you love life!," National Post, 6 April 2011.
[7] Lihat http://www.dailymail.co.uk/news/article-3871056/ISIS-executes-nine-fighters-fleeing-fighting-Mosul-burning-alive-oil-trenches-jihadi-group-shifts-area-control-new-Iraqi-town.html, http://www.express.co.uk/news/world/698836/Islamic-State-ISIS-execute-fighters-lock-cars-gas, http://aranews.net/2017/02/isis-executes-12-of-its-own-fighters-for-trying-to-flee-mosul/, http://www.mirror.co.uk/news/world-news/isis-bury-45-fighters-alive-7943328
[8] The English translation is very awkward here, and I have omitted some words in an attempt to render it more intelligible.
[9] Pemenggalan kepala senantiasa menjadi metode eksekusi yang lebih disukai dikalangan kaum Muslim. Kepala yang terpenggal, khususnya kepala milik orang-orang penting, dianggap sebagai piala kemenangan dan kerapkali dipamerkan kepada publik setelah perang usai.
[10] Lihat diskusi dalam, Hedaya, oleh Shaikh Burhanu 'd-din 'Ali, diterjemahkan oleh Charles Hamilton (London: T. Bensley, 1791), 2:145-146 dan A Dictionary of Islam, oleh T.P. Hughes (London: W.H. Allen, 1885), "Jihad."
[11] Lihat misalnya dalam buku The Life of Muhammad, karya Ibn Ishaq, diterjemahkan oleh A. Guillaume (Oxford University Press, 1955), 665, 676 (kaum wanita); Life of Muhammad, 551 dan Bukhari 52:256 (anak-anak); Life of Muhammad, 675 dan Bukhari 19:173 (orang-orang lanjut usia).
[12] Versi daring sebelumnya mengatakan "Inspirasi Ilahi."
[13] Sumbernya tidak dikutip, tetapi mungkin saja Abu Dawud 4297.
[14] Teks Bahasa Inggeris mengatakan, "dan mengikuti ekor sapi (misalnya, dengan senang hati terjun dalam dunia pertanian dan puas dengannya)"
[15] Lihat misalnya, "State Department spokeswoman claims jobs are key to defeating ISIS," dan "Kerry: 'Root Cause of Terrorism' Is Poverty"
[16] Pendudukan atas tanah-tanah Muslim kerapkali dianggap sebagai aksi hasutan, khususnya dalam perdebatan seputar Negara Palestina. Tetapi, di sini sekalipun, dimensi religious persoalan (misalnya menolak mengakui hak Bangsa Yahudi atas tanah itu, menghambat kaum Muslim untuk hidup di bawah pemerintah Islam, dst) sehingga memunculkan konflik politik dan ekonomi.