Percecokan antara negara-negara Arab, yang kerapkali dikenal sebagai Poros Wajar dan rejim teroris yang resmi ditetapkan di Iran kerap dikenal sebagai Poros Perlawanan, tidak lagi sekedar perbedaan pendapat dalam bidang politik tetapi juga ancaman terhadap keamanan nasional negara-negara Arab.
Ketika negara-negara Arab mendukung kehidupan bernegara dan bekerja sama dengan negara-negara lain, Iran serta Poros Perlawanan tampaknya tidak. Iran punya mentalitas milisi dan jarang sekali berurusan dengan negara-negara, walau dia menyebut dirinya Republik. Secara umum, bukannya berhubungan dengan pemerintah-pemerintah, ia sebaliknya membangun milisi, seperti dimilikinya di Libanon dan Yaman. Bahkan di Irak, di mana pemerintahnya dianggap sebagai sekutunya, Iran membangun lebih 15 kelompok milisi. Qatar, berkat dukungannya terhadap Hamas dan Hizbullah, termasuk Suriah di bawah rejim Assad, tampaknya punya mentalitas yang sama seperti Iran. Jika anda melacak Poros Perlawanan, maka mereka semua tampaknya mengadopsi konsep untuk mendukung milisi serta kelompok-kelompok ekstremis dengan slogan, "perlawanan."
Sejarah panjang rejim Iran kini berkulminasi dengan menjadikan Arab Saudi sebagai sasaran peluru kendali-peluru kendali Iran yang berlokasi di Yaman. Peluru-peluru kendali itu dikoordinasikan di Libanon oleh milisi Hizbullah yang melatih kelompok Houthi di Yaman. Penting untuk memahami bahwa pelanggaran dan perang yang dilancarkan oleh antek-antek perwaliannya yang dilancarkan oleh rejim Iran bukan saja mengancam Teluk Arab tetapi juga memunculkan ancaman terhadap keamanan rejional dan internasional.
Poros Perlawanan yang dipimpin oleh Iran, mencakup Suriah, Qatar, Hizbullah, Hamas, kelompok Shiah Arab yang setia kepada Wilayat al-Faqih (Para Ahli Fiqih Islam Perwalian Iran) di Iran dan para nasional Arab. Slogan-slogannya terdiri dari perjuangan untuk memerangi imperialisme, memberdayakan (kelompok yang rawan diserang)--- terutama kaum Muslim Shiah --- serta memperluas nasionalisme Arab, yang biasa memanifestasikan diri dalam dukungan terhadap Bangsa Palestina untuk melawan Bangsa Israel.
Sasaran ekspansionis Poros Perlawanan--- ketika mendorong pembentukan sebuah "Bulan Sabit Shiah" dari Iran hingga Laut Mediterania, sudah jelas, dibandingkan dengan sasaran Poros Wajar, yang tidak mengumumkan tujuannya yang khusus kecuali untuk menentang campur tangan Iran dalam urusan-urusan negara-negara Arab.
Poros Wajar terdiri dari Arab Saudi, Mesir, Yordania dan negara-negara Teluk Arab, kecuali Qatar. Poros ini pernah melakukan kesalahan terbesar ketika melawan rejim Iran --- yaitu mencoba menghentikan keinginan Iran untuk mengekspor "Revolusi"-nya---justru telah masuk dalam jebakan menyebarluaskan sektrarianisme. Ketika Iran menggambarkan diri sebagai pembela semua kelompok Shiah di dunia, Arab Saudi, sebagai akibatnya, bertindak sebagai pembela semua kaum Sunni di seluruh dunia Muslim--- dan dengan demikian, sektarianisme pun disebarluaskan. Bagaimanapun, polarisasi ini, hanya semakin memperluas kepentingan rejim Iran, yang tampaknya pertama-tama hendak melanjutkan upaya untuk memantik pembagian ini dalam suatu kebijakan yang jelas-jelas memecah belah lalu menaklukan. Para anggota Poros Wajar bukannya melawan Iran secara politik atau militer, mereka justru menantang karena alasan agama dan sektarian, seperti dengan menerbitkan buku yang tidak terhingga jumlahnya untuk melawan kaum Shiah. Buku-buku itu menjelaskan Shiah sebagai musuh Islam serta melabelkan semua kaum Shiah sebagai bawahan Iran, seolah-olah semua kaum Shiah itu boneka Iran, padahal tidak semuanya demikian.
(Sumber foto: White House) |
Aksi memecah belah ini berhasil membawa ekstremisme dan terorisme ke kawasan tersebut, dan hanya merugikan semua orang.
Kini, kelompok Poros Wajar mulai cerdas ketika berkonfrontasi melawan Iran. Caranya, dengan mempekerjakan sejumlah pakar dalam urusan Iran. Poros tersebut, khususnya Arab Saudi, sadar bahwa dia tidak bisa mengalahkan ancaman Iran tanpa melakukan reformasi internal secara radikal. Keluhannya soal campur tangan Iran serta penyebaran ekstremisme yang dilakukannya terdengar tidak bisa dapat dipercaya jika ekstremisme itu sendiri dipraktekkan dalam negerinya sendiri. Jadi, reformasi internal ini serta upaya untuk membebaskan masyarakat, penting secara internal: mereka bakal meningkatkan ekonomi dengan menciptakan lingkungan penanaman modal yang menarik, khususnya bagi penanam modal luar negeri. Yang juga sama pentingnya, adalah bahwa reformasi bakal menghentikan penantang untuk mengatakan bahwa Arab Saudi adalah pendukung terorisme atau sebuah negeri (land) yang mengekspor teroris.
Perubahan paling nyata adalah reformasi internal Arab Saudi. Reformasi itu mencakup adanya "keterbukaan sosial" (social openness) dalam bentuk pagelaran konser serta festival, yang dikoordinasikan oleh sebuah lembaga yang menangani urusan hiburan. Semua itu dilakukan untuk menghentikan kekuasaan para ulama dengan menangkap para ekstremis. Untuk mencapai tujuan itu, Arab Saudi mendirikan sebuah komisi di Universitas Islam di Medina yang bertugas menyusun penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an yang menyerukan adanya ekstremisme khususnya melawan agama-agama lain.
Arab Saudi juga ketat mengawasi korupsi dengan menangkap pengusaha, para pangeran serta mantan menteri yang dicurigai. Kerajaan itu juga menaikan status wanita dengan memberikan hak asasi mereka seperti pencabutan larangan bagi wanita untuk menyetir. Perubahan penting lainnya, adalah bahwa Arab Saudi akan juga mengijinkan para wanita menjadi ulama sehingga bisa mengendalikan semua penafsiran Al-Qur'an yang berkaitan dengan wanita secara patriarkis. Akhirnya, pencabutan larangan itu berarti persyaratan adanya wali laki-laki bagi wanita mungkin juga bakal segera dicabut. Pangeran Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman juga pernah mengatakan dia bakal mengijinkan para wanita untuk mengikuti pelajaran olahraga di sekolah, menghadiri atau menonton pertandingan olahraga bagi wanita serta mengijinkan adanya musik. Keinginannya itu, pernah dia katakan bertujuan untuk "merestorasi" Islam.
Pangeran Mahkota Arab Saudi, dalam pertemuan Inisiatif Penanaman Modal Masa Depan (Future Investment Initiative) di Riyadh, 26 Oktober 2017 lalu memperlihatkan hal yang terpenting dari semua itu, yaitu: "Kita berusaha kembali kepada Islam yang biasa kita jalankan...Islam moderat." Ia juga mengatakan, "Kita tidak bisa terus menerus berada dalam era pasca 1979."
Pada dasarnya, ini pengakuan bahwa pendekatan yang Arab Saudi ikuti sejak 1979 untuk menentang Revolusi Khomeini tidak banyak membantu dan bahwa kini sudah waktunya melakukan reformasi nyata untuk menghadapi tantangan internal dan eksternal.
Apa yang Arab Saudi lakukan akhirnya berkontribusi terhadap upaya untuk menjelaskan tujuan Poros Wajar, yang mendukung negara-negara yang tujuan utamanya adalah pembangunan, modernisasi serta stabilitas. Tujuannya yang terpenting adalah untuk tuntas membasmi terorisme dengan mendukung lahirnya Islam "moderat" atau lebih khusus lagi, mendukung pendekatan yang Arab Saudi tempuh sebelum tahun 1979. Pendekatan ini digemakan oleh Duta Besar Uni Emirat Arab kepada Amerika Serikat Yousef Al Otaiba. Menurut Otaiba, negara-negara moderat yang memboikot Qatar tengah bergerak menuju sekularisme --- yang berbeda dengan Qatar yang mendukung milisi-milisi Islam radikal seperti Hizbullah serta kelompok-kelompok radikal di Poros Perlawanan seperti Ikhwanul Muslim.
Yang memperparah situasi adalah eksploitasi konflik di Amerika Serikat antara Partai Republik dan Partai Demokrat seputar bagaimana cara memerangi terorisme berdasarkan negara dalam Poros Perlawanan seperti Qatar.
Wajah ganda Qatar tampil dalam berbagai cara. Televisi Al-Jazeera berbahasa Inggris, misalnya, sebagaimana disinggung dalam artikel : "Al Jazeera: Non-Arabs Should Not Be Fooled"---benar-benar berbeda dari versi siaran Al Jazeera yang berbahasa Arab.
Ahmed Mansour, seorang wartawan Al Jazeera, misalnya membuat twit tentang Badai Irma di Florida, dengan mengutip sebagai ayat Al-Qur'an yang hendak mengatakan bahwa apa yang sedang terjadi di Amerika adalah kutukan Tuhan: "Dua puluh juta warga Amerika melarikan diri karena ketakutan dari Badai Irma," tulisnya: kemudian dia mengutip sebuah ayat dari Al-Qur'an yang mengatakan,
"Dan Dia memperlihatkan kepadamu tanda-tandaNya. Jadi tanda-tanda manakah dari Allah yang kalian sangkali?" (40:81, Sahih International).
Setelah twit berbahasa Arabnya itu dibaca oleh para wartawan Amerika, dia pun meminta maaf lewat twit berbahasa Inggris yang sangat manis.
Qatar pun berpura-pura kepada AS seolah-olah mendukung nilai-nilai negara itu tetapi nyatanya, dia punya hubungan yang dekat dengan semua musuh AS. Sultan Saad Al-Muraikhi, utusan khusus Qatar untuk Liga Arab, misalnya, pernah menyebut Iran sebagai sebuah "negara terhormat"( honorable state) padahal AS sudah resmi menetapkannya sebagai negara teroris, Qatar juga berbeda pendapat soal penetapan Hamas dan Hizbullah sebagai organisasi teroris, serta sebaliknya menyebut mereka "gerakan perlawanan" terhadap Israel.
Lebih jauh lagi, Qatar memanfaatkan percecokan demi tujuannya sendiri dengan cara bersekutu dengan sekutu serta para pendukung Partai Demokrat (AS).
Banyak penulis serta pendukung Qatar, khususnya dari lingkungan Ikhwanul Muslim, menulis berbagai artikel menentang Pemerintahan Trump. Mereka menentang karena Trump dinilai berbeda dari pemerintah sebelumnya yang jelas-jelas bersikap manis dan melakukan apa saja (soft spot) bagi Ikhwanul Muslim. Sejak awal, Pemerintahan AS Presiden Barack Obama, mengesampingkan Presiden Mesir Husni Mubarak. Dengan mendesak agar Ikhwanul Muslim menghadiri ceramah Obama di Kairo (Mesir), dia menetapkan panggung bagi jatuhnya Mubarak. Ia juga benar-benar mendukung rejim Presiden Mesir selanjutnya, Muhamad Morsi (yang anggota Ikhwanul Muslim). Obama juga secara terbuka memperhitungkan Presiden Turki yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslim, Recep Tayyip Erdogan, di antara "para sahabat terbaiknya.
Para pembuat pendapat publik ini di AS, jelas-jelas bernostalgia dengan pemerintahan sebelumnya yang terkenal khususnya selama Perjanjian Iran. Karena tidak persis berkaitan dengan Poros Wajar, mereka mengeksploitasi keretakan yang ada antara Partai Demokrat dan Republik sehingga berharap agar Donald Trump dijatuhkan. Seperti ditulis seorang akademisi serta peneliti Arab Saudi Ahmad Al-faraj dalam artikelnya bertajuk "Qatar: The dream of isolating Trump!" (Qatar: Impian untuk mengisolasi Trump!), mereka mungkin berpikir bahwa seorang presiden dari Partai Demokrat seperti Obama, bakal kembali mendukung mereka.
Siapapun yang menyaksikan siaran Televisi Al Jazeeera berbahasa Arab tidak bakal menemukan hal lain selain kebencian yang murni terhadap nilai-nilai Barat dan dukungan Qatar yang sangat besar terhadap milisi bersenjata seperti Hizbullah dan kelompok teroris seperti Hamas justru ketika Qatar memperlihatkan dirinya toleran sekaligus pendukung Bangsa Amerika dan Barat yang demokratis,
Karena itu, mendesak perlunya sikap Amerika yang bersatu menghadapi Poros Perlawanan. Iran terus saja menjadi penyandang dana terorisme kenamaan dunia sambil memberdayakan milisi-milisi bersenjata serta kelompok-kelompok ekstremis ini --- basis terorisme di kawasan dan di seluruh penjuru dunia. Negara itu membuat ancaman mati dan bekerja sama dengan Korea Utara yang sudah punya senjata nuklir dan pada saat yang sama berlomba-lomba supaya bisa memiliki kemampuan senjata nuklir. Amerika Serikat pun bakal melakukan sebaiknya-baiknya dengan menganjurkan Uni Eropa bersatu agar bisa menarik dukungan dari segala spektrum politik. Sayangnya, Pemerintahan Eropa, demi kepentingan ekonomi mereka sendiri memalingkan diri secara buta kepada semua terorisme, ekstremisme dan sektarianisme yang Iran munculkan. Negara-negara Eropa harus diperingatkan bahwa jika terus mendahulukan kepentingan ekonomi ini dibandingkan dengan keamanan global, maka keputusan itu bukan saja mengabaikan keamanan nasional negara-negara mereka sendiri yang sudah rapuh, tetapi juga keamanan kawasan.
Amerika Serikat dan dunia damai berkepentingan untuk mendukung pilar-pilar Poros Wajar yang bakal;
- Menghapuskan Islam politik karena ia mengeksploitasi agama demi tujuan politik radikal di kalangan Sekte Sunni maupun Shiah. Versi Islam politik Shiah sudah gagal di Irak dan versi Sunni Ikhwanul Muslim pun sudah gagal di Mesir dan Tunisia. Dalam kedua versi Islam politik itu, kekerasan serta terorisme semakin memburuk.
- Menghancurkan pengaruh Iran di antara milisi-milisi bersenjata di kawasan, seperti Milisi Hizbullah di Libanon, Houthi di Yaman dan milisi sektarian di Irak. Ini harus diklasifikasikan sebagai organisasi teroris. Hamas di Jalur Gaza sudah diklasifikasikan demikian oleh Amerika Serikat pada 31 Oktober 2001. Negara manapun yang mendukung Hamas atau membelanya, di media sekalipun, harus diklasifikasikan sebagai teroris juga.
- Mencegah adanya milisi bersenjata beroperasi sebagai negara dalam negara. Mereka menjadi awal dari runtuhnya negara-negara sehingga dengan demikian menjadi ancaman serius terhadap perdamaian dan stabilitas.
- Mengkonsolidasikan prinsip-prinsip sekularisme dalam perundingan internal atau dalam negeri dan eksternal atau luar negeri. Upaya menghasut terjadi kebencian sektarian dan kebencian harus dicegah termasuk pemanfaatan ayat-ayat Al-Qur'an guna menyebarluaskan kekerasan dan ekstremisme. Supaya Irak berada di luar kendali Iran, maka hubungan negara bertetangga yang tidak sektarian perlu dijaga.
- Menanamkan prinsip toleransi serta pengharagaan bagi semua agama dan sekte serta menjamin praktek beragama yang bebas serta adanya perlindungan terhadap kaum minoritas.
Negara-negara moderat tidak bakal mempromosikan retorika pertempuran melawan Israel seperti yang dilakukan oleh Poros Perlawanan yang dipimpin oleh Iran. Sebaliknya, Poros Moderasi kini berkomitmen pada nilai-nilai perdamaian, yang berbasiskan pada kepentingan bersama negara-negara sehingga mampu menjami keamanan serta kesejahteraan seluruh warga negaranya.
Kawsan dan dunia sebagai keseluruhan telah menderita akibat berbagai aksi rejim Iran serta para sekutunya. Tidak boleh ada pembenaran atas adanya kelompok milisi serta ekstremis di bawah spanduk perlawanan atau dalih yang sejenis. Komunitas internasional perlu bersikap kukuh dalam menantang negara-negara yang mengijinkan atau mendukung kelompok-kelompok seperti itu dan seharunya menekankan bahwa negara hanya bisa melindungi diri dengan angkatan bersenjata dan kekuatan bersenjata, bukan dengan milisi. Amerika dan Eropa perlu bersatu agar bisa membantu Poros Moderasi mencegah negara-negara yang bergolak menjadi kantong-kantong kelompok misi dan ekstremis. Tampaknya ada cara yang lebih konstruktif untuk memerangi terorisme sekaligus membangun stabilitas global.
Najat AlSaied adalah akademisi Amerika keturunan Arab serta pengarang buku"Screens of Influence: Arab Satellite Television & Social Development". Dia kini asisten professor pada Zayed University di College of Communication and Media Sciences di Dubai-Uni Emirat Arab.