Banyak analis politik mengatakan bahwa pengakuan Presiden AS Donald Trump atas Ibukota Israel merupakan janji kampanyenya kepada pemilih Kristen evanggelis serta kaum sayap kanan Yahudi. Meski demikian, ada cara lain untuk menilai persoalan ini. Pengakuan Trump mungkin saja menjadi peluang emas bagi para oportunis bermuka dua supaya melepaskan topeng mereka --- sepenggal kenyataan yang mungkin akhirnya membantu proses perdamaian sekaligus menyelesaikan konflik jangka panjang ini.
Sejak Yerusalem dideklarasikan sebagai Ibukota Israel, banyak pengamat politik, intelektual serta akademisi Arab mulai mempertanyakan keberanian para pejihad yang mengklaim bersedia mengorbankan jiwa raga untuk membela Yerusalem, karena ketika benar-benar ada pengumuman --- aksi tersebut tidak terjadi. Berbagai kalangan yang mengeksploitasi berbagai hal peka yang berkaitan dengan Yerusalem --- khususnya kaum radikal Islam yang terjun dalam dunia politik (political Islamists) seperti Hamas dan Hizbullah—muncul terutama dari poros perlawanan pimpinan Iran.
Oportunis lain adalah negara-negara bermuka dua kawasan itu seperti Qatar dan Turki. Secara publik keduanya memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap Israel, tetapi pada yang saat sama, di balik pintu mereka mendukungnya. Oportunis selanjutnya adalah media Barat dan Arab, yang selama beberapa dekade berupaya menyebarluaskan pemikiran bahwa persoalannya adalah pendudukan Israel, tetapi tidak pernah menyebutkan persoalan korupsi Otoritas Palestina.
Pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai Ibukota Israel juga memperlihatkan kelemahan Departemen Luar Negeri AS. Departemen tersebut tidak berperan apa-apa untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran yang disebutkan di atas sehingga sikap negatif dan birokrasi ini hanya memunculkan kebencian yang lebih luas terhadap AS.
Pengakuan Trump mengungkapkan sikap munafik milisi bersenjata Hizbullah yang senantiasa mengklaim bakal tidak pernah mau dilucuti senjatanya karena perjuangannya melawan Israel. Dan sekarang, ketika Yerusalem diakui, banyak warga Arab pun mempertanyakan motivasi Hizbullah berkaitan dengan Israel. Libanon dan negara-negara Arab mempertanyakan mengapa Hizbullah belum mengirim milisi bersenjatanya untuk berperang di Israel seperti dilakukannya di Suriah, Irak dan Yaman. Dr. Hadi El Amine, seorang peneliti Libanon bidang kajian politik dan pemerintahan membuat twit, "poros kata-kata perlawanan diarahkan melawan Israel, tetapi peluru kendali mereka ditujukan kepada negara-negara Arab."
Adhwan Alahmari, wartawan Saudi yang berbasis di London untuk Harian Asharq al-Awsat juga menulis twit:
"Tentara, roket dan pembom bunuh diri Hizbullah berada di perbatasan Israel, namun mereka tidak mendukung Yerusalem setelah Trump mengumumkannya. Justru sebaliknya, mereka mendukung Wilayat al-Faqih [Ahli Fiqih Islam Perwalian Iran] supaya bertempur di Suriah untuk mengusir dan membasmi bangsa itu guna melindungi tempat suci (shrine)."
Namun, oportunis lain adalah Hamas dan para pendukungnya yang berhasil menggerakan bangsa Arab untuk melawan Palestina. Kali ini, kemarahan masyarakat Palestina tidak cuma diarahkan terhadap Israel dan Amerika Serikat, tetapi terutama kepada Arab Saudi. Bersama pengikutnya, Hamas menyerang bendera Saudi serta memaki-maki Raja Salman dari Arab Saudi. Orang-orang Palestina ini tampaknya berpikir bahwa Trump tidak membuat pengumuman ini tanpa mengedipkan mata meminta persetujuan Arab Saudi. Kemarahan mereka menyebabkan tak terhitung warga Arab marah. Mereka lalu menganggap serangan itu memperlihatkan sikap tidak tahu terima kasih Palestina yang tidak menghargai orang, yang sudah mereka berikan miliaran dolar uang.
Menanggapi serangan itu, masyarakat Saudi pun memulai sejumlah hashtag di Twitter seperti #hellwithyouand your issue (masuklah neraka kau dan masalahmu) dan #Saudis are angry for their king (Masyarakat Saudi marah demi raja mereka). Banyak warga Saudi di balik hastag ini menyesali setiap sen uang yang diberikan untuk membela masyarakat Palestina, khususnya setelah mereka melihat para pengkhianat Palestina sebagaimana mereka katakan, memaki-maki Arab Saudi, yang sudah membuat mereka kaya raya padahal negeri ini menyalurkan dana lebih daripada yang dibutuhkan dalam berbagai proyek pembangunan Palestina. Salman Al-Ansari, seorang penulis dan pengamat politik Arab yang berbasis di Washington DC, menuliskan twitnya:
"Kami ingin setiap orang tahu bahwa gaji diplomat Palestina di seluruh penjuru dunia berasal dari Riyadh, Arab Saudi. Gaji itu 30% lebih tinggi dibandingkan dengan gaji para diplomat Saudi sendiri. Apakah yang Doha dan Ankara lakukan untuk mereka selain menawarkan slogan-slogan kosong lalu menikam Yerusalem dari belakang?"
Jika anda sekarang bertanya kepada warga Saudi, satu dari pendukung dan penyandang dana utama Palestina seputar konflik ini, maka mayoritas masyarakat akan katakan, "Ini bukan urusan kami." Warga Saudi lebih suka, tampaknya, memusatkan perhatian pada urusan dalam negeri sendiri serta menyimpan duit mereka daripada membayar warga Palestina yang tidak tahu berterimakasih.
Apalagi, sejumlah besar warga Saudi tampaknya heran dengan perilaku warga Palestina yang mendukung Qatar dan Turki, negara yang punya hubungan diplomatik dengan Israel. Akibatnya, banyak warga Saudi berpikir Palestina tidak serius dalam upaya untuk mempertahankan cita-cita mereka.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, setelah deklarasi Trump, menuliskan twit. Dikatakannya bahwa dia akan menggerakan seluruh dunia Muslim untuk melawan Washington. Sikap gagah-gagahan ini tidak bisa mempengaruhi publik intelektual Arab lain. Yousef Al Kowaileet, warga Saudi, wakil redaktur pelaksana harian Al Riyadh lalu men-twit, "Sebagian besar negara Muslim punya ikatan dengan Israel. Orang tidak bodoh. Mereka tahu bahwa kepentingan-kepentingan ini menggantikan pernyataan iman."
Masyarakat Arab bahkan tidak yakin dengan twit Erdoğan ketika melihat bahwa sehari setelah dia meledak marah di Twitter, Turki di tengah kerusuhan politik justru menandatangani sebuah perjanjian bernilai 18,6 miliar euro (atau sekitar Rp 253 triliun) dengan Israel.
Arab juga punya foto-foto perayaan Hari Kebudaayaan Turki (Turkish Cultural Day) di Tel Aviv dan Yerusalem. Sejumlah intelektual Arab Saudi menanggapi retorika Erdoğan menentang Israel dengan mengatakan, "Jika kau tulus, dunia Muslim menginginkan kau supaya memutuskan relasi diplomatik serta kerja sama militer dengan Israel."
Qatar pun sedang memainkan peran dua wajah sama seperti Turki meski lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk menyerang Arab Saudi. Qatar lewat saluran medianya Al-Jazeera kini tampaknya ingin mengumpulkan dunia Muslim supaya mempermalukan Arab Saudi karena hubungannya dengan Trump sejak pengumumannya itu.
Tanggapan ini berpura-pura hendak membela cita-cita Palestina, tetapi, sasaran yang sebenarnya tampaknya lebih kepada upaya untuk menekan Arab Saudi supaya mengakhiri hubungannya dengan Pemerintah AS. Qatar tak pernah berhenti bermimpi untuk meminta pertanggungjawaban (impeach) Trump. Tidak diragukan lagi, para pemimpin negeri itu berpikir bahwa seorang presiden dari Partai Demokrat seperti Obama, bakal kembali mendukung Qatar dalam proyek Ikhwanul Musliminnya. Mohamad Krishan, seorang wartawan Al Jazeera karena itu menuliskan twitnya:
"Yerusalem adalah kiblat (Qibla) pertama dari dua kiblat dan masjid ketiga dari dua Masjid Suci yang diberikan kepada bangsa Israel sebagai ibukota mereka oleh Trump setelah dia mendapat miliaran (dolar) dari Penjaga Dua Masjid Suci."
Mendapat twit itu, Ahmad Al-Faraj, seorang akademisi dan peneliti Arab Saudi mentwit kembali kepadanya;
"Andaikata kau tinggalkan saluran televisi mata-matamu #Al Jazeera lalu pergi kembali ke rumahmu di Doha, maka akan kau lihat di sebelah kananmu, gedung reprsentatif Israel, yang berjarak 600 meter dari rumahmu. Masyarakat di sana...akan memberitahumu soal peran saluran televisimu dalam pengkhianatan sekaligus konspirasi yang menghancurkan dunia Arab. Selain itu, mereka akan memberitahumu siapa yang menjual Yerusalem."
Masyarakat Saudi juga mulai menuliskan twit seputar wawancara-wawancara dengan Hamad bin Jassim bin Jaber Al Thani, Mantan Menteri Luar Negeri Qatar dan Hamad bin Khalifa Al Thani, Mantan Emir Qatar seputar upaya untuk mendukung Israel, guna memperlihatkan kemunafikan mereka kepada publik yang lebih luas. Dalam wawancara dengan televisi Al Jazeera milik Qatar 25 Oktober 2017 lalu, Hamad bin Jassim mengatakan bahwa hubungan dekat Qatar – Israel dimaksudkan supaya bisa semakin mendekati Amerika sehingga Israel membuka pintunya bagi Qatar di Amerika.
Qatar juga sedang berupaya mendapatkan dukungan di AS lewat para penentang Arab Saudi seperti Jamal Khashoggi. Sebelumnya, Khashoggi menduduki sejumlah jabatan di beberapa suratkabar Arab Saudi dan pernah menjadi penasehat politik, Kini, dia sepenuhnya didukung oleh Qatar dan menjadi kolomnis Harian The New York Times yang berbasis di Washington DC. Selama ini, setiap peluang untuk menyerang Arab Saudi di berbagai suratkabar AS dan Eropa di manfaatkan.
Siapa pun yang memahami Bahasa Arab bisa memberitahu anda akun Twitter Jamal Khashoggi yang penuh twit dan twit ulangan berbau anti-Semit. Terlihat seolah-olah New York Times membiarkan dia menulis di korannya hanya karena dia menyerang Arab Saudi.
Khashoggi pernah menulis twit:
"Merasa marah dan berteriak keras-keras bahkan ketika anda melakukannya di antara orang-orangmu sendiri dan di dalam rumah sahabatmu yang ketakutan, itu adalah #Yerusalem. Allah mencukupi saya, karena dialah pembuang masalah yang paling baik. Saya merasa sengsara."
Masyarakat Arab Saudi mengakui bahwa niat Khashoggi yang sebenarnya bukan untuk membela Yerusalem atau Palestina, tetapi menggerakkan orang di jalanan untuk bangkit melawan pemerintahan mereka sendiri. Karena itu, Ahmad Al-Faraj menuliskan twit:
"Jika kau merasa marah seperti itu, mengapa tidak kau tinggalkan negeri Amerika yang terkutuk itu, yang presidennya memindahkan kedutaan besar ke Yerusalem?"
Para penulis Arab Saudi dan lainnya hanya menertawakannya. "Pergi minumlah segelas anggur untuk menenangkan diri," tulis Hani Al Dahri, seorang wartawan Saudi, sambil menyelipkan twit Kashoggi sendiri di atas bersama sebuah foto dia tengah merayakan "Thanksgiving" di AS dengan berbotol-botol anggur di atas meja:
Media Barat dan Arab tradisional masih terus memuntahkan slogan dan retorika anti-Israel sekaligus memompakan keluar propaganda yang sama dari pihak Palestina dengan semua kontroversinya sekalipun ketika perilaku dalam menggunakan media sosial di Arab justru sudah benar-benar berubah terhadap cita-cita Palestina. Sebagian besar komentar di media sosial berdatangan dari para intelektual yang meyakinkan masyarakat umum bahwa alasan utama konflik Israel–Palestina yang tidak berujung ini adalah Otoritas Palestina yang korup yang dikelola oleh Fatah dan Hamas. Keduanya tampaknya mau percaya bahwa Otoritas Palestina mengandalkan cita-cita Palestina yang membuat mereka berhasil mengumpulkan jutaan dolar, tetapi tidak satupun persoalan itu pernah didiskusikan dalam media mainstream.
Ketika media arus utama masih memperlihatkan penindasnya adalah Israel dan yang tertindas adalah warga Palestina, berbagai polling di kalangan masyarakat Paletina mengisahkan kisah yang berbeda [1]:
Dalam polling yang diadakan Juni 2015 yang dilaksanakan oleh Palestinian Center for Public Opinion (yang berbasis di Beit Sahour, Tepi Barat), 52% warga Palestina yang tengah berdiam di Yerusalem Timur yang dikuasai Israel mengatakan lebih suka menjadi warga negara Israel dengan hak-hak yang sama, dibandingkan dengan hanya 42% yang memilih menjadi warga negara Negara Palestina.
Makin banyak warga Palestina di Yerusalem berupaya mendapatkan kewarganegaraan Israel.
Menurut berbagai polling yang Palestinian Center for Policy and Survey Research (PSR) selenggarakan di Tepi Barat dan Jalur Gaza antara 14 dan 16 September 2017, mayoritas warga Palestina tidak senang dengan kinerja Presiden Mahmud Abbas. Sebanyak 67% publik ingin dia mengundurkan diri sementara 27% lagi menginginkan dia tetap berkuasa. Tuntutan supaya Abbas mundur mencapai 60% di Tepi Barat dan 80% di Jalur Gaza.
Jika Pemilu legislatif baru diselenggarakan hari ini, maka 63% warga Palestina yang disurvei mengatakan bakal memberikan suara. Dari orang-orang yang berpartisipasi, 29% persen mengatakan akan memilih Hamas; 36% mengatakan akan memilih Fatah; 10% mengatakan memberikan suara untuk semua partai lainnya sementara 25% persen belum menentukan sikap.
Hanya 38% masyarakat Palestina peserta polling mengatakan warga Tepi Barat bisa mengkritik Otoritas Palestina tanpa takut ada tindakan balasan; sebanyak 59% mengatakan masyarakat tidak bisa bebas PA. Separuh masyarakat (50%) melihat PA sebagai beban warga Palestina. Sedangkan 77% peserta polling melihat PA sebagai sebuah pemerintahan yang korup.
Sebagian besar pemimpin Hamas yang menggambarkan diri mereka sebagai pejihad penentang Israel adalah para milioner. Seorang pejabat senior di Hamas, misalnya Khaled Mashaal, menurut berbagai perkiraan global punya kekayaan 2,6 miliar dolar AS (sekitar Rp 35 triliun). Para, pengamat politik Arab malah memperhitungkan dia punya kekayaan antara 2 miliar (sekitar Rp 27 triliun) dan 5 miliar dolar AS (sekitar Rp 68 triliun). Mashaal pernah mengatakan, dia "menginvestasikan uangnya di berbagai bank Mesir dan negara-negara Teluk, beberapa di sejumlah proyek real-estate." Tokoh selanjutnya yang ada dalam daftar adalah Islamail Haniyeh, yang hingga penandatanganan perjanjian untuk persatuan antara Hamas dan Fatah baru-baru ini, adalah Perdana Menteri Gaza. "Kekayaannya diperkirakan mencapai 4 miliar dolar AS (sekitar Rp 54 triliun). Sebagian besar asetnya di Jalur Gaza terdaftar dengan nama menantu laki-lakinya Nabil dan lusinan anaknya serta anak para pejabat Hamas lain yang kurang terkenal. Otoritas Paletina di Tepi Barat pun tampak tidak kurang korupnya dibanding para pemimpin di Gaza. Abbas dan para pemimpin di PLO mencuri jutaan dolar dana internasional yang dimaksudkan bagi masyarakat Palestina. Yang salah dalam kasus korupsi ini adalah para donor internasional yang tidak pernah meminta pertanggungjawaban para pemimpin ini.
Mengapa semua data ini hilang dari media arus utama yang memperlihatkan foto-foto bendera yang terbakar dan parade kemarahan lain hanya dari sudut pandang Otoritas Palestina dan para pendukungnya?
Departemen Luar Negeri AS tidak kurang salahnya dibanding media arus utama karena gagal memainkan peran vital yang lebih jauh untuk mengungkapkan berbagai kenyataan ini. Upaya mengungkapkan korupsi ini akan berjalan iring dengan upaya untuk meredakan kemarahan dan kebencian yang dirasakan terhadap AS. Departemen Luar Negeri (AS) senantiasa pasif dan birokratis, sebagian besar bekerja seperti lembaga pemerintah negara dunia ketiga.
Gedung Harry S Truman Building di Washington, DC, Kantor Pusat Departemen Luar Negeri AS (Sumber foto: Loren/Wikimedia Commons) |
Selama bekerja di Konsulat AS di Jeddah, Arab Saudi, saya menemukan sejumlah diplomat yang tidak menghayati pandangan-pandangan Pemerintah AS sendiri. Sebaliknya, beberapa dari mereka mempunyai pandangan politik yang benar-benar berbeda dari pemerintah mereka. Beberapa bahkan anti-Semitis. Selain itu, para diplomat itu bukanlah standar tinggi yang bisa anda harapkan dari negara digdaya seperti AS. Banyak diplomat dikirimkan ke berbagai negara Arab seperti Saudi tanpa bekal pengetahuan tentang pengetahuan Bahasa Arab dan tidak banyak tahu juga soal kawasan tersebut---keadaan ini sangat berbeda dari diplomat Kedutaan Besar Inggris. Saya heran ketika bekerja sama dengan seorang diplomat. Bukannya mendukung negaranya dalam upaya pembebasan Irak dari diktator paling brutal dalam sejarah, dia malah mengatakan itu sebagai "invasi" kepada para intelektual dan akademisi Arab Saudi. Dia juga menentang proses perdamaian. Dengan ngotot dia mengatakan Israel "yang menduduki" dan mengeluh saya membaca "website-website sayap kanan" seperti Middle East Media Research Institute (Institut Riset Media Timur Tengah---MEMRI). Padahal, organisasi itu hanya menterjemahkan bahan secara teliti dari Bahasa Arab, tetapi diplomat tersebut mengatakannya pro-Israel.
Jadi, saya berharap setelah Trump menjadi presiden, Departemen Luar Negeri bisa direformasi guna menghindari kesalahan yang sama yang dibuat selama kepemimpinan George Bush---terutama karena dia tidak menghadapkan Departemen Luar Negeri AS terkait dengan soal ketidakbecusannya. Presiden Trump harus kukuh dan waspada menghindari kesalahan yang sama. Yang sekarang ini, tidaklah efektif.
Departemen ini perlu direformasi dari atas hingga bawah sehingga bisa menjamin bahwa semua diplomatnya benar-benar bekerja demi kepentingan AS. Saya yakin departemen itu sendirilah yang bakal paling enggan untuk memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem.
Dunia telah mengikuti jalan yang menyebabkan proses damai ini tidak bergerak ke mana-mana. Fakta bahwa konflik itu sudah berlangsung selama 70 tahun memperlihatkan bahwa ada yang salah. Alasan utama mandegnya perkembangan ini adalah kurangnya transparansi, adanya para oportunis munafik dengan agenda pribadi tersembunyi, biasnya media arus utama serta misi diplomatik yang tidak efektif. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem adalah keputusan terbaik yang dibuat oleh Presiden Amerika karena ia jelas memperlihatkan busuknya kenyataan. Inilah persisnya yang diperlukan untuk menggalang proses perdamaian menuju solusi dua negara. Ia juga bakal menekan Otoritas Palestina yang korup untuk melakukan reformasi sekaligus untuk mengubah kepemimpinannya. Siapa tahu, dia bisa saja menghentikan para oportunis yang berusaha membuat konflik ini abadi demi tujuan mereka sendiri.
Najat AlSaied adalah akademisi Amerika keturunan Arab serta pengarang buku"Screens of Influence: Arab Satellite Television & Social Development". Dia kini asisten professor pada Zayed University di College of Communication and Media Sciences di Dubai-Uni Emirat Arab.
[1] Data polling, dengan murah hati diberikan oleh Dr. Michael Sharnoff, Associate Professor Kajian Timur Tengah pada Daniel Morgan Graduate School.