Dalam keadaan apa pun, Rusia tidak boleh membawa lebih banyak lagi pasukan, pesawat, atau perlengkapan perang ke Venezuela melalui udara atau laut. Foto: Presiden Rusia Vladimir Putin menyambut Nicolás Maduro di Moskow, 2 Juli 2013. (Sumber gambar: kremlin.ru). |
Dalam pidatonya kepada para veteran perang Teluk Babi di Miami, Florida, 17 April lalu, Penasehat Keamanan Nasional AS John Bolton menjelaskan langkah-langkah Pemerintah Trump terhadap Venezuela. Dikatakannya, bahwa langkah-langkah itu menjadi peringatan kepada Rusia dan pihak-pihak lain yang menawarkan bantuan militer kepada rejim diktator Nicolás Maduro:
"Kawasan yang luar biasa ini [Amerika Latin] harus tetap bebas dari despotisme internal dan dominasi eksternal...Nasib negara-negara kita tidak akan didikte oleh kekuatan-kekuatan asing, tetapi akan dibentuk oleh masyarakat yang menyebut bagian dunia ini sebagai rumah mereka. Sekarang ini, dengan bangga kita proklamasikan agar didengar semua orang: Doktrin Monroe itu hidup dan segar bugar.
Inti Doktrin Monroe dapat digambarkan dengan pernyataan Presiden James Monroe pada 1823:
"Mustahil bahwa kekuatan-kekuatan sekutu harus memperluas system politik mereka kepada bagian manapun dari kedua benua ini tanpa membahayakan perdamaian dan kebahagiaan kita. Atau tidak ada yang percaya bahwa para saudara selatan kita, jika dibiarkan kepada mereka sendiri, bakal mengadopsinya selaras dengan kemauan mereka sendiri."
Konflik kini tengah meledak di Venzuela. Seiring dengan itu, bangsa Amerika jelas perlu memahami relevansi krisis Venezuela bagi mereka dan mengapa mereka harus mendukungnya.
Karena itu, di sinilah letak sejarah ringkas dokumen penting yang dirancang pada 1823 itu. Perancangnya adalah Menteri Luar Negeri Amerika masa itu yang menjadi presiden masa depan negeri itu, John Quincey Adams. Mantan Presiden James Madison dan Thomas Jefferson juga turut memberikan masukan.
Dokumen itu disampaikan dalam sebuah pesan tahunan pada 1823 kepada Kongres AS oleh presiden kelima kita, James Monroe. Pesannya dimulai dengan membahas ambisi geopolitik di Amerika dari para tiran Eropa penguasa Rusia, Prancis dan Spanyol. Doktrin itu sendiri tidak sebagai "Doktrin Monroe" sampai 1950. Sama seperti Presiden AS Donald J. Trump sekarang ini, Rusia menjadi perhatian terbesar dokumen kala itu. Soalnya, Fatwa 1821 Tsar Alexander I mengaku berhak atas semua kawaan pantai Baratdaya Pasifik Amerika turun sampai ke garis lintang 51, Negara Oregon sekarang ini. Karena itu, fatwa itu melarang pengiriman barang dengan kapal bukan Rusia di kawasan ini.
Amerika masih terlampau lemah untuk menegakkan kepentingannya di Bagian Barat bumi. Untungnya dia punya sahabat yang ramah dari Inggris dengan Angkatan Laut Kerajaannya yang kuat yang bisa membantu menahan beruang Rusia.
Presiden pertama yang mengutip Doktrin Monroe berdasarkan namanya adalah Abraham Lincoln. Ketika Perang Saudara Amerika terus berkecamuk, ancaman baru justru membuka bagian selatan perbatasan Texas. Meski baru terbentuk pada 1858, Benito Juárez, Presiden Meksiko baru yang punya pikiran reformasi terlibat perang dengan beberapa pihak. Bukan saja melawan kaum konservatif Meksiko tetapi juga melawan pasukan Kaisar Prancis pimpinan Napoleon III. Padahal, Meksiko banyak berutang kepada Prancis.
Napoleon III, jelas ingin membentuk kembali sebuah monarki di Bagian Barat bumi. Karena dia pernah berjasa menciptakan tahta ala Meksiko bagi Pangeran Kerajaan Austria, Ferdinand Maximilian. Berdasarkan kenyataan ini, para utusan negara-negara Konfederasi kepada "Kaisar" Maximilian pun ingin mencari kemungkinan membangun aliansi
Lincoln pun menanggapi. Secara sembunyi-sembunyi, ia memberi bantuan militer dan ekonomi kepada Juárez, presiden sah Meksiko. Sementara itu, Juárez mengerahkan agen-agennya ke seluruh AS guna mencari para kapitalis, pengedar senjata dan editor suratkabar---bahkan membentuk "Masyarakat Doktrin Monroe" (Monroe Doctrine Societies).
Akhirnya, Presiden Lincoln mengerahkan Jenderal Ulysses S. Grant dan Jenderal Phillip Sheridan secara rahasia guna memerangi Prancis di perbatasan Meksiko – Texas. Pasca-1867, unit-unit Prancis, patah semangat sehingga mulai menarik mundur dari perang. Maximilian sendiri ditangkap dan ditembak mati. Juárez pun menang.
Pada 1904, beberapa negara kuat Eropa lainnya ---seperti Jerman, Italia dan Inggris, memblokade Venezuela. Selain itu, mereka juga menembaki pesisir-pesisir pantainya. Jelas upaya itu sebagian dilakukan untuk menagih utang-piutang luar negerinya yang sangat besar. Sementara itu, di bawah Pemerintah Presiden Cipriano Castro, seorang pemimpin yang bisa disejajarkan dengan Nicolás Maduro sekarang ini, kekacauan pun melanda negeri itu. Akibatnya, Venzuela dilanda kelaparan. Setelah meminta agar Doktrin Monroe menentang kekuasaan bagian bumi lain, Presiden Theodore Roosevelt mengirimkan armada kapal AS---seluruhnya 50 buah. Belakangan dia juga membantu menegosiasikan menyelesaikan utang-piutang Venezuela dengan memanfaatkan 30% bea-cukai pabean negeri ini sampai dibayar penuh.
Presiden Roosevelt juga menambahkan "akibat wajar" pada Doktrin Monroe: ia memproklamasikan hak Amerika Serikat untuk menjalankan 'kekuatan polisi internasional' untuk menghentikan 'pelanggaran kronis' yang menyolok. Akibatnya, marinir AS selanjutnya dikirimkan ke Santo Domingo pada 1904, ke Nikaragua pada 1911 dan ke Haiti pada 1915. Langkah itu didesain seolah-olah agar masyarakat Eropa tidak memasuki kawasan, tetapi sebetulnya sekaligus untuk melindungi kepentingan bisnis AS. Negara-negara Amerika Latin lain tampaknya was-was melihat intervensi ini. Akibatnya, meski bertahun-tahun berhubungan, hubungan antara "Raksasa agung di Utara" dengan tentangganya di selatan tetap saja bermasalah.
Lalu muncul cara untuk mengoreksinya. Roosevelt lain, yaitu Presiden Franklin Delano Roosevelt (FDR), mengakui bahwa Doktrin Monroe dirancang untuk melindungi warga Amerika dari ancaman bagian bumi lain, bukan untuk menjaga ketertiban negara-negara tetangga Latin. Dia lantas menekankan bidang perdagangan dan kerjasama serta hidup bertetangga yang baik sehingga bisa meningkatkan keamanan.
Membaiknya hubungan yang terbentuk menyusul kembalinya doktrin itu kepada arti sebenarnya berhasil membantu FDR mempersiapkan Latin Amerika beserta Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS) menghadapi meningkatnya ancaman Nazi Jerman. Pada 1940, Doktrin Monroe muncul lagi dengan memasukkan pemikiran tentang hak kolektif untuk membela diri pada "Pertemuan Para Menteri Luar Negeri Republik Kawasan Amerika " di Havana.
Pada tahun yang sama, FDR menekankan soal Doktrin Monroe dalam kampanye kepresidenannya. Pada 1941, dia memperluas doktrin itu dengan menambahkan kata-kata "... ke kawasan timur sampai tengah Atlantik." Juga dia umumkan bahwa rumusan itu mencakup Greenland yang kala itu dimiliki Denmark, tetapi untuk sementara waktu diduduki AS. "Kami menerapkan atas Denmark, apa yang mungkin disebut pelaksanaan dari Doktrin Monroe..."
Aslinya berawal dari FDR lalu muncul Doktrin Monroe yang diperpanjang dan dirumuskan lebih luas --- salah satunya melancarkan perang melawan musuh dengan melewati kawasan Atlantik kemudian melindungi sekutu lama, Inggris dan Eropa Baratnya. AS bahkan pernah membuat persekutuan sementara dengan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Soviet, Joseph Stalin, untuk menghalangi kemampuan Führer Jerman, Adolf Hitler, untuk maju merangsek kawasan timur.
Kemudian, di tengah Perang Dingin yang panjang pasca-Perang Dunia II, Rusia beralih kepada Amerika dengan tantangan geopolitik dan ideologis baru. Kali ini, menuju pantai-pantai kawasan timur. Pada era 1960-an, sama seperti 140 tahun sebelumnya, Rusia berusaha menentang Doktrin Monroe dengan menyuntikkan system komunis mereka memasuki Kuba, diikuti dengan Nikaragua, dan Grenada pada awal era 1980-an.
Pada 1960, Perdana Menteri Soviet Nikita Khrushchev mengumumkan dalam sebuah konperensi pers:
"Kami menilai Doktrin Monroe sudah hidup jauh melebih masanya, jauh melebihi umurnya sendiri, sudah mati, demikian kalau mau dikatakan, mati yang wajar. Kini, sisa-sisa doktrin ini harus dikuburkan sama seperti setiap orang mati diperlakukan demikian sehingga dia tidak perlu meracuni udara karena baunya yang busuk."
Dua tahun kemudian, Presiden John F. Kennedy menemukan bahwa Uni Soviet diam-diam membangun tempat-tempat peluncur peluru kendali di Kuba. Juga secara rahasis mengirimkan 42.000 pasukan Soviet yang menyamar ke pulau itu. Yang selanjutnya adalah Krisis Peluru Kendala Kuba (Cuban Missile Crisis) yang membawa AS ke ambang perang nuklir. Pada Agustus 1962, Kennedy dalam sebuah konperensi pers mengatakan:
"Doktrin Monroe mengartikan apa yang memang dimaksudkannya sejak Presiden Monroe dan John Quincy Adam mengatakannya. Dan bahwa karena itulah kita akan menentang kekuasang asing memperluas kekuasaan di Belahan Dunia Barat. Dan bahwa itulah sebabnya mengapa kita menentang apa yang sedang terjadi di Kuba sekarang ini. Itulah sebabnya mengapa kita memangkas perdagangan kita. Itulah sebabnya mengapa kita bekerja dalam Organisasi Negara-Negara Amerika serta dengan cara-cara lain hendak mengisolasi bahaya Komunis di Kuba."
Didukung oleh OAS, Kennedy pun menghadapi Khrushchev lalu mengepung pulau itu. Caranya dengan menjadikan pulau itu sebuah "karantina" dengan mengerahkan armada laut dan udara. Kata karantina sendiri, tidak terlampau bernuansa perang dibandingkan dengan "blockade." Kennedy juga sadari bahwa serangan militer ke Kuba mungkin saja menginspirasi Rusia untuk membalas dendam dengan melawan Berlin Timur, jika dia memobisasi serangan.
Setelah beberapa hari tegang dan Jam Kiamat (Doomsday Clock) ini berdetak keras, Uni Soviet setuju untuk menarik peluru kendalinya dan membongkar tempat-tempat peluncurannya. Sebagai timbal balik, Amerika Serikat pun membongkar beberapa pangkalan udara dan peluru kendalinya yang memang sudah usang di Turki.
Meski keberanian dan penyelesaian tangan besi Kennedy patut dipuji, namun, akhirnya bukanlah kemenangan yang jelas bagi AS. Dia maupun Presiden AS berikutnya tidak pernah menuntut agar semua aset militer Rusia ditarik dari Kuba, sama seperti Presiden Trump kini menuntut untuk Venezuela.
Pada 1979, Pemerintahan Presiden Jimmy Carter mengakui bahwa satu ada brigade tentara Soviet berkekuatan sekitar 10.000 orang ditempatkan di Kuba. Kebetulan, informasi itu diperoleh dari Kedutaan Besar Soviet di Kuba sendiri yang disampaikan kepada Departemen Luar Negeri AS. Jadi bukan dari mantan pemimpin dan pejabat intelijen AS. Menurut Kedutaan Besar Soviet di Kuba, Rusia mempunyai "kelompok penasihat militer " yang telah berada di Kuba sejak 1962..
Orang-orang Kennedy, seperti pemerintahan-pemerintahan berikutnya, tampaknya lupa soal ancaman itu. Masalah Rusia di Belahan Barat baru kembali mengemuka ketika kegiatan brigade itu meningkat di kawasan. Mereka melatih gerilyawan komunis Nikaragua dan Grenada yang meraih kekuasaan pada 1979.
Akibatnya, 11 Maret 1981, Presiden Ronald Reagan memunculkan kembali prinsip-prinsip jika bukan nama dari Doktrin Monroe:
"Di sisi Atlantik ini, kita harus berdiri bersama demi integritas belahan bumi kita supaya hak-hak negara-negaranya tidak dilanggar... dan hak semua warga negara untuk bebas dari provokasi yang dipicu dari luar lingkungan kita demi tujuan-tujuan yang jahat."
Reagan dengan demikian bertekad hendak memukul mundur gelombang pengikut Leninis yang melanda Grenada, Nikaragua dan para gerilyawan komunis di El Salvador dan kawasan-kawasan lain, seperti Angola dan Afghanistan.
Pasca-pembebasan Grenada pada 1983, taktik Reagen bukan lagi hendak menyerang Nikaragua, tetapi sebaliknya mempersenjatai dan mendukung gerilyawan anti-komunis yang belakang terkenal sebagai Kontras. Tujuannya supaya gerilyawan Kontras bisa berperang melawan pasukan sayap kiri Sandinista di sana. Reagen, agaknya hendak membujuk Rusia untuk meninggalkan kawasan itu, juga mengesahkan upaya sabotase atas beberapa sasaran strategis di sana.
Pada 1990, kelompok Sandinista kalah dalam Pemilu yang bebas di Nikaragua. Desember 1991, Uni Soviet runtuh, sebagian besar akibat doktrin serta kebijakan militer Reagen berikut tekanan dari para pembaru Rusia yang radikal.
Bertahun-tahun, Presiden Rusia, Vladimir Putin berupaya menolak Bolshevisme. Namun ia justru kembali mendukung rejim tirani anti-Amerika, tampaknya karena alasan politik dan ekonomi. Di Nikaragua, dalam berbagai Pemilu yang penuh cacat, Kelompok Sandinista juga kembali berkuasa. Dan mereka masih bertahan sampai sekarang ini. Demikian juga halnya dengan para sekutu "sosialis" abad ke-21 mereka di Venezuela yang dipimpin oleh Almarhum Hugo Chávez dan kini oleh Maduro.
Sebagaimana Lincoln mendukung Juárez, Presiden Meksiko yang sah, Trump pun tengah mendukung Presiden Venezuela yang demokratis dan sah, Juan Guaidó. Maduro bukan saja telah menjadi wayang bagi kekuasan bagian dunia luar, khususnya Rusia dan Cina, tetapi dia bersama para sekutunya di Kuba dan Nikaragua mempertahankan ikatan keamanan dengan Rusia. Selain itu, mereka mendukung sebuah "sosialisme" tirani di dalam negeri. Karena itu, ketiga-tiganya, dalam kata-kata Duta Besar John Bolton, membentuk "Troika of Terror" atau "Tiga Tokoh Penting Teror" termasuk "Troika of Poverty" atau "Tiga Tokoh Penting Penyebab Kemiskinan."
Berhasilnya invasi Rusia atas Georgia pada 2008 dan Krimea pada 2004 tampaknya sangat merangsang nafsu Putin. Kini, sebagian karena investasi mereka yang sangat besar dalam industri perminyakan dan pertahanan Venezuela, kedua adikuasa Rusia dan Cina, berusaha menyelamatkan Rejim Maduro. Caranya, dengan menerbangkan personil militer (sebagaimana dilakukan Rusia) serta persenjataan (sama-sama dari Russia dan Cina). Pada 29 April lalu, berbagai berita media mengungkapkan para pakar pertahanan udara Rusia dikirim ke Venezuela. Jelas, mereka "dikirim untuk memastikan peluru kendali dari darat ke udara S-300 yang canggih milik negeri itu tetap sebagai alat pencegah yang dapat dipercaya terhadap aksi militer apapun dari AS..."
Lebih jauh lagi, berbagai berita mengemukakan bahwa baru-baru ini Rusia meminta ijin Malta "untuk menggunakan ruang udaranya supaya boleh menerbangkan pesawat tempurnya dari Suriah ke Venezuela." Juga bahwa "dua pesawat militer Rusia juga terbang melalui ruang udara Yunani dan Siprus dari Suriah dalam perjalanan menuju Venezuela pada 22 dan 23 Maret lalu."
Apalagi yang Presiden Trump lakukan di Venezuela kini? Dalam keadaan apapun, Rusia tidak boleh diijinkan membawa masuk lebih banyak lagi pasukan, pesawat atau peralatan perang lewat laut atau udara. Trump harus ikuti contoh Kennedy dengan membuat "sebuah karantina" sekitar Venezuela.
Selain itu, Duta Besar John Bolton pernah mengatakan, "semua pilihan sudah dirundingkan."
Pada saat yang bersamaan, mungkin ide bagus untuk mengawasi Ukraina. Di negeri itu, Putin tengah menawarkan pasport jalur cepat Rusia, seperti dilakukannya sebelum menginvasi Ossetia Selatan di Georgia serta Abkhazia pada 2008 dan Krimea pada 2014. Mungkin bisa dinasehatkan kepada AS supaya membantu Ukraina memperkuat pertahanan mereka di sana, khususnya seputar Kota Mariupol.
Selain itu, mungkin saja membantu untuk menjelaskan kepada masyarakat Amerika, apa yang dipertaruhkan bagi Bagian Dunia Barat di Venezuela --- seperti yang dialami oleh "Masyarakat Doktrin Monroe" sebelumnya di Amerika Serikat. Sebagian besar masyarakat Amerika mungkin tidak sadar bahwa ketika sebagian besar patung dan patung dada Lennin dirobek-robek pasca revolusi demokratis 1989 di Eropa timur, Maduro justru mendirikan sebuah patung dada Lenin di Caracas pada ulang tahun ke-100 Revolusi Bolshewik pada 2017. Setelah itu, pada 22 April 2017, dia pun mengirim ucapan selamat ulang tahun kepada Lenin.
Bulan silam, Presiden Trump mengumumkan bahwa, "Gerakan bagi kemerdekaan di Venezuela mengungkapkan bahwa masa senjakala sosialisme memang sudah tiba di bagian bumi kita."
Masyarakat Amerika beserta "para saudaranya di selatan" perlu tahu bahwa Doktrin Monroe melindungi semua orang di bagian bumi. Termasuk dari para tiran mereka sendiri. Seperti dicatat oleh Marquis de Lafayette, Doktrin Monroe adalah "sedikit helai kertas terbaik yang Allah pernah ijinkan kepada siapapun untuk diberikan kepada dunia."
Sebagai anggota Dewan AS urusan Hubungan Luar Negeri, Dr. Jiri Valenta adalah research associate senior pada Begin-Sadat Center for Strategic Studies di Israel. Ia juga mantan professor tetap Pasca-Sarjana Sekolah Tinggi AL AS, sehingga dia pernah memberikan kesaksian di Komisi Dwi-Pihak Henry Kissinger untuk Amerika Tengah pada 1983. Dia mengarang buku Soviet Intervention in Czechoslovakia 1968, (Johns Hopkins, 1991). Juga mengarang bersama pengarang lainnya, buku Conflict in Nicaragua, (Allen and Unwin, 1987) dan buku Grenada and Soviet/Cuban Policy: Internal Crisis and U.S./OECS Intervention, (Westview Press, 1987).