Berikut ini ringkasan sejumlah masalah Islam dan yang berkaitan dengan Islam yang terjadi di Inggeris. Semua masalah itu dikategorikan dalam empat tema yang luas: 1) Ekstremisme Islam; 2) Multikulturalisme Inggeris; 3) Integrasi Muslim dan 4) Muslim dan Pemilu nasional Inggeris.
1. Ekstremisme Islam dan Ancaman yang Terkait dengan Suriah
Polisi Inggeris yakin bahwa sekitar 600 warga Briton berangkat ke Suriah dan Irak sejak konflik meledak awal 2011. Sekitar separuh dari mereka diyakini sudah kembali ke Inggeris Raya.
Kepolisian Turki sudah menahan 9 warga Inggeris dari Rochdale, Greater Manchester. Mereka diduga berupaya bergabung dengan Negara Islam di Suriah, 1 April lalu. Kesembilan orang itu – terdiri dari lima orang dewasa dan empat anak-anak, termasuk seorang bayi berusia satu tahun—ditahan di sebuah kota Turki, Hatay.
Salah seorang yang ditangkap adalah Waheed Ahmeed, mahasiswa Ilmu Politik Universitas Manchester. Ayahnya Shakil, salah seorang pimpinan Partai Buruh di Rochdale, mengatakan dia pikir anaknya menjalani kerja magang di Birmingham. Katanya;
"Benar-benar sangat misterius bagi saya, mengapa dia ada di sana karena saya pikir dia bekerja karena ditugaskan di Birmingham. Anak saya seorang Muslim yang baik dan setia kepada Inggeris. Karena itu, saya tidak pahami dengan apa yang dilakukannya di sana. Jika saya pikir dia dalam bahaya karena mengalami radikalisasi maka saya akan laporkan dia kepada pihak berwenang."
Juga pada 1 April, Erol Incedal, 27, seorang warga Inggeris keturunan Turki dipenjara selama 42 bulan karena memiliki buku pedoman pembuatan bom. Rekannya, Mounir Rarmour-Bouhadjar, 26, seorang warga negara Inggeris keturunan Aljazair yang mengaku memiliki buku pedoman yang sama diganjar hukuman tiga tahun. Keduanya berada di perbatasan Suriah – Turki dan bergabung dengan para pejihad yang mengajarkan hal-hal yang terkait dengan senjata dan bahan peledak kepada mereka.
Sementara itu, muncul kasus seorang ayah tiga remaja dari Brent, barat laut London yang ditahan di Turki Maret lalu. Pria yang bekerja di Kementerian Pertahanan Inggeris itu dicurigai mencoba bergabung dengan Negara Islam di Suriah. Sang ayah, yang mungkin punya akses terhadap nama dan alamat personil militer Inggeris di dalam dan luar negeri diberi "cuti agar bisa menghibur orang lain."
Pada 2 April, Yahya Rashid dari Willesden yang juga terletak di barat laut London dituduh "terlibat dalam persiapan aksi terorisme termasuk juga dalam kegiatan yang berniat membantu pihak lain untuk melakukan aksi terorisme antara Nopember 2014 dan Maret 2015." Rashid, 19, ditangkap di Bandara Luton saat dia baru tiba dari penerbangan dari Istambul. Mahasiswa elektro Universitas Middlesex itu dituduh kembali dari Suriah setelah terbang ke sana melalui Maroko dan Turki.
Pada 3 April, enam warga Muslim ditangkap di Port Dover, Kent. Mereka dicurigai mencoba meninggalkan Inggeris untuk bergabung dengan Negara Islam. Pihak Jaksa Penuntut di Crown mengatakan ketiga orang itu ditemukan di dalam sebuah truk, tampaknya sedang berupaya menyelundupkan keluar dari Inggeris. Mereka didakwa "mempersiapkan aksi terorisme."
Pada 5 April, Abase Hussen, ayah seorang gadis sekolah Inggeris yang melarikan diri untuk berjihad, Amira Hussen mengaku puterinya mungkin menjadi radikal setelah dia membawanya bergabung dalam demo kaum ekstremis yang diorganisasikan sebuah kelompok Islam terlarang, Al-Muhajiroun. Organisasi itu dikelola oleh Anjem Choudary, khatib kelahiran Inggeris yang senang mengkotbahkan kebencian.
Amira, 15, adalah satu dari tiga gadis dari Akademi Bethnal Green di East London. Ia terbang ke Turki, Februari lalu untuk menjadi "pengantin jihad" di Suriah. Selama dengar- pendapat di Komisi Seleksi Urusan Dalam Negeri (HASC), Maret lalu, Abase malah mengecam pihak berwenang Inggeris karena gagal menghentikan puterinya larikan menuju Suriah. Ketika ditanya oleh Ketua HASC, Keith Vaz, apakahh jika Amera pernah diarahkan pada ekstremisme apapun, Hussen menjawab: "Sama sekali tidak pernah. Tidak pernah." Mendengar jawaban itu, polisi justru mengeluarkan surat permintaan maaf.
Bagaimanapun, Abase mengubah kisahnya setelah muncul video yang menelanjangi statusnya sebagai anggota Islam radikal yang ikut berparade dalam demonstrasi benci yang dilancarkan kaum Islamis. Ia ikut berparade bersama Choudary dan Michel Adebolajo, pembunuh yang pernah beraksi di Lee Rigby. Abase, aslinya berasal dari Etiopia. Dia mengaku datang ke Inggeris pada 1999, "demi demokrasi, demi kebebasan, demi masa depan anak-anak yang lebih baik sehingga mereka bisa belajar bahasa Inggeris."
Pada 8 April 8, Alaa Abdullah Esayed dari South London mengaku menulis 45.600 twit hanya dalam waktu satu tahun untuk mendukung Negara Islam. Twit itu juga memasukan berbagai foto jenasah orang yang tewas dan upaya mendorong anak-anak untuk mempersenjatai diri. Twit Essayed itu juga memasukkan puisi, "Ibu Syuhadah" yang menasehati para orangtua tentang cara mengajarkan jihad kepada anak-anak mereka. Essayed, 22, menghadapi hingga 14 tahun di penjara karena mendorong aksi terorisme dan menyebarluaskan publikasi teroris.
Pada 9 April keluarga dua remaja laki-laki dari Dewsbury, West Yorkshire mengaku "dalam keadaan sangat shock" dan sangat khawatir dengan keamanan "anak-anak Yorkshire umumnya." Mereka khawatir karena yakin anak-anak mereka hendak pergi bergabung dengan Negara Islam. "Remaja berusia 17 tahun, Hassan Munshi dan Talha Asmal diyakini berniat pergi ke Suriah setelah pergi ke Turki, 31 Maret lalu. Kedua remaja dilaporkan memberi tahu keluarga mereka bahwa mereka pergi piknik sekolah, tetapi sebaliknya menggunakan liburan Paskah sebagai "peluang menyenangkan" untuk melarikan diri dari Inggeris.
Pada 20 April, seorang remaja pria 14 tahun dari Blackburn, Lancashire menjadi terduga pelaku teror termuda Inggeris. Dia ditangkap berkaitan dengan kelompok teror yang terinspirasi oleh Negara Islam di Melbourne, Australia. Polisi menjelaskan bahwa pesan-pesan yang ada dalam komputer dan telepon genggam anak itu mengindikasikan adanya rencana untuk menyerang perayaan seratus tahun pendaratan Anzac di Gallipoli selama Perang Dunia Pertama. (Anzac Day, Hari Perayaan Anzac, yang jatuh pada 25 April, menandai ulang tahun aksi militer penting pertama yang diperangi pasukan Australia dan Selandia Baru selama Perang Dunia Pertama).
Pada 20 April, polisi Turki menangkap sepasang suami isteri Inggeris dan empat anak mereka yang masih kecil karena dicurigai berupaya bepergian menuju bagian Suriah yang dikuasai Negara Islam. Asif Malik, istrinya Sara dan empat anak mereka – berusia antara 11 bulan dan 7 tahun—ditahan di sebuah hotel di Ankara. Para pejabat Turki mengatakan keluarga itu menyeberang ke Turki dari Yunani, 16 April lalu dan ditahan setelah mendapatkan informasi rahasia dari polisi Inggeris.
Pada 24 April, Hassan Munir dari Bradford dipenjara selama 18 bulan karena memasang tautan tulisannya dengan Dabiq, majalah propaganda Negara Islam pada halaman Facebook. Pengadilan mendengar bahwa Munir, 27, mengabaikan berbagai peringatan dari Facebook dan polisi setelah menerbitkan bahan-bahan seputar jihad, termasuk berbagai kisah tentang pemenggalan kepala. Hakim mengatakan majalah Dabiq memperlihatkan bahaya sangat serius karena memantik orang untuk memanggul senjata demi Negara Islam.
Pada 27 April, Mohammed Kahar dari Sunderland ditangkap setelah tertangkap tangan sedang menyebarluaskan bahan-bahan kaum ekstremis termasuk berbagai dokumen seperti, "The Explosive Course," (Kursus Pembuat Bahan Peledak), "44 Ways To Serve And Participate In Jihad," (44 Cara Melayani dan Berpartisipasi dalam Jihad), "The Book Of Jihad," (Buku Jihad) dan "This Is The Province Of Allah" (Inilah Propinsi Allah). Kahar, 37 juga dituduh berkomplot dalam berbagai aksi terorisme yang berkaitan dengan Suriah, mendukug sebuah organisasi terlarang sekaligus mendanai terorisme. Secara keseluruhan dia melakukan 11 serangan, sejak 18 bulan silam.
Pada 28 April, pejihad berusia 18 tahun, Kazi Jawad Islam dihukum karena menjadi "pengantin pria yang suka meneror" karena mencoba mencuci otak rekannya Harry Thomas, "seorang pemuda yang agak terganggu mentalnya dan mengalami kesulitan belajar" untuk menyerang tentara Inggeris dengan pisau daging.
Pengadilan Kejahatan Pusat Inggeris dan Wales (aka Old Bailey) diberi tahu bahwa Kazi Islam—diduga terinspirasi oleh aksi pemenggalan kepala seorang petugas negara, Lee Rigby pada 2013. Dia berteman dengan Thomas pada 2013 yang kala itu berusia 19 tahun setelah keduanya bertemu di kampus. Pengadilan mendengar betapa Kazi Islam juga "sangat mengeksploitasi temannya yang autis itu untuk mulai bersiap-siap membuat bom.
Dalam wawancaranya dengan Harian Guardian, Nazir Afzal, jaksa penuntut Muslim kenamaan Inggeris mengingatkan bahwa jauh lebih banyak lagi anak berisiko mengalami "jihadimania" daripada yang dipikirkan orang sebelumnya karena mereka melihat teroris Islam sebagai "idola pop." Dia karena itu mengatakan;
"Anak-anak laki-laki ingin seperti mereka. Para gadis pun ingin bersama mereka. Itulah yang biasanya mereka katakan tentang Beatles (kelompok band Inggeris, pen.) dan akhir-akhir ini tentang One Direction and Justin Bieber. Propaganda yang dilancarkan para teroris itu sama dengan marketing. Banyak sekali remaja kita tergila-gila pada citra.
"Mereka melihat hidup mereka miskin dibanding dengan pihak lain. Mereka tidak sadar bahwa mereka dimanfaatkan. Para ekstremis memperlakukan mereka sama seperti pasangan seksual – mereka memanipulasi mereka, memisahkan mereka dari sahabat-sahabat dan keluarga mereka kemudian membawa mereka.
"Jika pergi ke Suriah, masing-masing mereka bakal semakin diradikalisasi ketika kembali ke tanah air. Dan jika tidak pergi, mereka menjadi masalah. Mereka menjadi bom waktu yang berdetak—yang menunggu untuk terjadi.
2. Multikulturalisme Inggeris
April lalu, para pejabat di Sekolah Lostwithiel di Cornwall mempermalukan hampir sepuluhan murid berumur antara 8 hingga 11 tahun yang orangtuanya menolak mengijinkan mereka bergabung dalam perjalanan sekolah menuju sebuah masjid di Exeter. Sejumlah orangtua mengatakan khwatir dengan keamanan anak-anak mereka, sementara yang lain mengaku menentang agama Islam diajarkan di sekolah itu. Tetapi para pejabat sekolah memaksa para murid yang tidak patuh untuk secara pribadi memberikan penjelasan dalam pertemuan para siswa.
Pada 5 April, Victoria Wasteney, 38, seorang perawat kesehatan, mengajukan tuntutan melawan sebuah dewan pengadilan pekerjaan yang menemukan bahwa dia "mengganggu" seorang kolega Muslimnya dengan berdoa baginya dan mengajaknya ke gereja. Wasteney lalu diberhentikan dari pekerjaan sebagai terapis senior di John Howard Center, sebuah fasilitas kesehatan di timur London setelah koleganya itu, Enya Nawaz, 25, menuduh dia mencoba mentobatkannya menjadi Kristen. Para pengacara Wasteney mengatakan pengadilan melanggar hukum karena membatasi suara hati dan beragama yang bebas, yang diabadikan dalam Artikel 9 Konvensi Hak-Hak Aasi Manusia Eropa.
Pada 8 April, Harian Guardian melaporkan ada peningkatan 60% kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak yang dilaporkan kepada polisi selama empat tahun terakhir. Angka-angka itu resmi yang diperoleh dengan mengajukan permintaan berdasarkan ketentuan tentang Kebebasan Informasi yang untuk pertama kalinya secara terbuka mengungkapkan skala persoalan di Inggeris dan Wales.
Jumlah kasus pelanggaran pelecehan seksual terhadap anak yang dilaporkan kepada kepolisian meledak tajam. Dari 5.557 kasus pada 2011 menjadi 8.892 kasus pada 2014. Pada waktu yang sama, jumlah penangkapan berkaitan dengan pelanggaran pelecehan seksual terhadap anak-anak di Inggeris dan Wales menurun dari 3.511 kasus pada 2011 menjadi 3.208 pada tahun yang sama. Jadi ada penurunan 9 persen kasus.
Peningkatan terbesar jumlah kasus-kasus yang dilaporkan pada polisi selama empat tahun terjadi di South Yorkshire. Di sana kepolisian melihat ada peningkatan 577% dari 74 kasus pada 2011 menjadi 501 kasus pada 2014. Kenyataan ini jelas merefleksikan terbongkarnya skandal pelecehan seksual oleh kaum Muslim di Rotherham
Pada 14 April, Ketua Mahkamah Agung Kerajaan Inggeris, Lord Neuberger dalam sebuah pidatonya mengatakan bahwa wanita Muslim seharusnya diijinkan memakai cadar di pengadilan. Dia menambahkan bahwa guna memperlihatkan sikap jujur terhadap orang-orang yang terlibat di pengadilan, para hakim harus memiliki "pemahaman terhadap perbedaan budaya dan kebiasaan-kebiasaan sosial," tambahnya;
"Contoh paling terkenal mencakup bagaimana sejumlah agama menganggap tidak tepat untuk mengucap sumpah, betapa sejumlah orang menganggap kasar melihat mata orang lain, betapa sejumlah wanita menganggapnya tidak tepat untuk hadir di depan umum dengan wajah tidak tertutupi dan betapa sejumlah orang menganggapnya tidak tepat untuk berhadapan muka dengan orang lain atau dihadapkan wajahnya pada orang lain – misalnya dengan penolakan yang benar-benar palsu."
Komentar Neuberger ini muncul setelah seorang hakim mengukuhkan keputusan mengijinkan Rebekah Dawson, seorang mualaf berusia 22 tahun, untuk diadili dengan mengenakan nikab, sejenis cadar yang hanya membiarkan mata si pemakai saja yang bisa dilihat orang.
Pada 15 April, Majalah Newsweek melaporkan bahwa "pandangan ekstrim terhadap orang rasis, homophobia dan anti-Semit yang mendukung pembunuhan kaum non-Muslim dan 'pelemparan batu terhadap para pezinah' kini sudah disediakan bagi para imam penjara dan tahanan di seluruh penjuru Inggeris dan Wales dengan dukungan dari pihak berwenang [penjara].
Majalah itu mewawancarai Haras Rafiq, Direktur Pengelola Quillian Foundation, sebuah think tank kontra-ekstremisme, yang mengingatkan bahwa penjara-penjara Inggeris sudah menjadi "inkubator ekstremisme Islam." Hal itu terjadi karena para tahanan diijinkan untuk membaca berbagai karya controversial dari ulama Asia Selatan Abu Ala Maududi. Rafiq menjelaskan Maududi yang meninggal dunia pada 1979 sebagai "kakek dari Islamisme."
Newsweek pun menemukan ratusan buku analisis Maududi atas Al-Qur'an yang dibagikan di March, dalam sebuah pelatihan para imam dan kiyai yang bertugas khusus di penjara yang diadakan di perguruan tinggi pelayanan penjara di Rugby. Buku-buku itu datang dari Markfield Institute for Higher Education (Pendidikan Tinggi Yayasan Markfield), bagian dari Islamic Foundation, sebuah organisasi yang berbasis di Inggeris yang "terinspirasi oleh Persaudaraan Muslim."
Pada 22 April, Daily Mail menerbitkan rangkuman dari sebuah buku baru, Girl for Sale. Buku itu menjabarkan kisah mengejutkan tentang Lara McDonnell, yang menjadi sebuah korban geng fedofilia Muslim ketika dia masih berusia 13 tahun. Dia menuliskan;
"Mohammad menjual saya seharga £250 kepada para fedofilia dari segala penjuru negeri. Mereka masuk, duduk dan mulai mengelus-elus saya. Jika mengelak, Mohammad akan memberi jauh lebih banyak lagi ganja sehingga saya bisa menutup mata dan merasa diri melayang-layang. Saya adalah sekam, orang yang mati di dalam.
"Kadangkala saya digilirkan dari satu penyuka seks menyimpang kepada orang lainnya. Di Oxford, banyak pelaku pelecehan seksual terhadap saya keturunan Asia; [di London], lelaki-lelaki hidung belang itu adalah orang Mediterania, hitam atau Arab.
"Kemudian, pada awal 2012 [kira-kira lima tahun setelah pelecehan seksual dimulai], pihak kepolisian Thames Valley meminta bertemu. Mereka tengah menyelidiki kasus panjang yang sudah lama berlalu soal eksploitasi seksual pada gadis-gadis muda dan ingin berbincang-bincang dengan saya. Saya katakan semuanya pada mereka. Pada akhirnya, Mohammad dan gengnya ditahan. Tanpa saya ketahui, lima gadis lain pun mengisahkan cerita senada kepada pihak kepolisian.
"Pembelaan Muhamad menggelikan. Dia mengaku saya memaksanya memberi ganja dan berhubungan seks. Pengacaranya, seorang wanita secara tersamar mengatakan saya rasis karena semua terdakwanya Muslim.
"Karena semua terdakwanya Muslim maka kasus itu menyingkapkan masalah yang peka seputar ras dan agama. Pandangan saya jelas: Mereka berperilaku seperti itu karena mereka melihat kaum wanita secara berbeda."
Pada 25 April, harian Telegraph melaporkan bahwa para pembayar pajak Inggeris kini justru membayar sewa bulanan bagi Hani al-Sibai, pendakwa Islam yang "menjadi penasehat" bagi Muhamad Emwazi (aka Jihadi John, seorang pengesekusi mati Negara Islam). Al-Sibai, 54, ayah lima anak, berdiam di sebuah rumah krontak senilai £1 million di Hammersmith, sebuah distrik di West London. Menurut Telegraph:
"Dompet masyarakat juga membayar sejumlah aksi legal yang dimunculkan oleh al-Sibai untuk menentang Pemerintah Inggeris dalam upayanya mencegah dia dideportasi ke Mesir, termasuk juga berbagai upaya agar namanya dihapuskan dari daftar sanksi terror.
"Dari rumahnya, al-Sibai , yang juga dikenal sebagai Hani Youssef efektif mengelola mesin propaganda Al-Qaeda. Termasuk Maqreze Centre for Historical Studies (Pusat Kajian Sejarah Maqreze). Selama beberapa bulan terakhir, dia gunakan berbagai situs Internet untuk memuja bin Laden dan mengagungkan Al-Qaeda karena melancarkan perang melawan 'Para Pejuang Salib Zionis."
Juga selama April, Pendeta David Robertson, yang bakal segera mengambil alih jabatan Moderator Gereja Bebas Skotlandia, menulis sebuah essai yang sangat telak menghantam dalam website Christian Today. Dalam artikel itu dia mengatakan bahwa "ketakutan terhadap Islamofobia membutakan mata banyak politisi kita terhadap ancaman yang kita hadapi dari Islam." Robertson menulis;
"Agama Kristen merupakan peletak dasar dan fondasi masyarakat kita yang sekular. Islam itu beda. Islam tidak punya doktrin pemisahan hal spiritual dari yang politis. Islam itu, dan senantiasa demikian, merupakan gerakan politik. Tidak bakal ada hal seperti Islam sekuler. Dalam pandangan Islam, dunia dibagi atas dua rumah, Darus Salma, rumah Islam dan Darul Har, rumah perang. Yang pertama merupakan bidang yang sebenarnya dikuasai Islam, penuh dengan pengawasan politik dan religious. Yang kemudian merupakan bidang-bidang dunia yang masih tidak bisa ditaklukan oleh Islam. Islam berarti 'taklukan," bukan damai."
Robertson menambahkan:
"Saya baru-baru ini menghadiri pertemuan malam Senin di sebuah kota di kotaku... Saya terkesan dengan apa yang saya amati. Ada 150 orang yang hampir semuanya kaum muda menghadiri pertemuan Senin malam itu. Itu bukan doa hari Jumad. Itu hanya satu dari lima masjid di kota. Dan aspek komunitas, sosial dan politiknya sangat mengesankan dalam acara itu. Tetapi saya juga depresi. Karena saya tahu, tidak ada gereja di kota yang akan mendapatkan 150 pria datang untuk berdoa. Karena saya sadari, tidak ada organisasi politik atau sosial di kota yang bisa sangat cocok dengan apa yang saya amati. Dan ini terjadi di sebuah kota tempat hanya 2 persen penduduknya Muslim. Bayangkan kekuatan apa yang bisa mereka miliki di sebuah kota tempat 25 persennya Muslim?
"Ini tidak banyak berkaitan dengan angka. Ppemerintahan tidak dijalankan berdasarkan polling pendapat umum. Organisasi, kohesi sosial, kekayaan dan disiplin internal yang memunculkan kekuatan politik, jika kau inginkan. Dan Islam melakukannya. Sebuah survei yang dikeluarkan pekan ini yang memperlihatkan bahwa di Inggeris Raya, ketika sebagai keseluruhan, Islam akan mencapai 11 persen dari penduduk dalam beberapa dekade mendatang."
3. Integrasi Muslim
Pada 8 April, Pengadilan Leicester Crown memasukan Jafar Adeli ke dalam penjara. Ia warga Afghanistan pencari suaka. Ia dijatui hukum 27 bulan setelah mengakui mencoba bertemu dengan "Amy" seorang gadis di bawah umur, setelah berjanji menikahinya secara online. Adeli, 32 tahun, sudah menikah mengatur waktu untuk bertemu dengan gadis setelah terlibat dalam percakapan seksual online lalu mengirimkan gambar dirinya yang tidak senonoh. Tetapi dia digaet oleh kelompok pengawas fedofilia bernama Letzgo Hunting. "Amy" nyatanya adalah anggota kelompok pengawas bernama John yang berpura-pura menjadi seorang gadis muda.
Adeli pernah mengajukan banding untuk tetap berdiam di Inggeris. Persoalannya, dia dicegah untuk bepergian karena melakukan serangan seksual yang bisa diganjari 10 tahun penjara. Hakim Philip Head mengatakan: "Kau berniat melakukan aktivitas seksual yang sempurna dengan seseorang yang kau yakini berusia 14 tahun dan kau tahu itu merupakan kejahatan dalam negeri ini. Kau memperdaya orang ini supaya bisa berhubungan seks."
Pada 10 April, Abukar Jimale, seorang ayah beranak enam berumur 46 tahun yang tengah mencari suaka di Inggeris setelah melarikan diri dari Somalia yang dirobek perang, berjalan bebas setelah secara seksual menyerang seorang penumpang wanita dalam taksi yang dikemudikannya ketika mengantar sang wanita ke berbagai penjuru Bristol. Walau terbukti bersalah atas serangan seksual dan menyebabkan seseorang terlibat dalam aktivitas seksual tanpa keinginannya sendiri, dia meminta agar hukuman penjara dua tahun atasnya ditangguhkan. Penasehat hukum terdakwa mengatakan bahwa Jimale yang meninggalkan Somalia karena dianiaya adalah seorang ayah pekerja keras yang kehilangan pekerjaan dan nama baiknya sebagai akibat dari serangan itu.
Pada 13 April, Mohammed Khubaib, seorang ayah lima anak kelahiran Pakistan didakwa memperdaya gadis berusia 12 tahun dengan makan, uang, rokok dan alcohol. Pengusaha yang sudah menikah berusia 43 tahun yang tinggal di Peterborough , dengan isteri dan anaknya itu bersahabat dengan para gadis di restorannya. Kemudian, dia "menggaet" mereka dengan alkohol—biasanya dengan vodka—dalam upayanya untuk membuat mereka mau dicumbu secara seksual.
Setelah diajukan di pengadilan di Old Bailey, Khubaib terbukti bersalah memaksa seorang gadis berusia 14 tahun untuk melakukan aksi seks atasnya termasuk sembilan tuduhan penjualan gadis demi eksploitasi seks yang melibatkan para gadis berusia mulai dari 12 hingga 15 tahun antara Nopember 2010 dan Januari 2013.
Pada 14 April, Mohammed Ali Sultan, 28, dari Wellington, Telford, dijatuhi hukuman penjara hingga lima tahun. Dia terbukti bersalah atas dua tuduhan pemerkosaan dan satu tuduhan upaya pemerkosaan. Hukuman itu berbeda dari tujuh tahun hukuman setelah terbukti salah dalam dua tuduhan aktivitas seksual dengan anak-anak dan satu tuduhan mengontrol prostitusi anak-anak pada 2012.
Pada 22 April, empat pria Muslim didakwa melakukan kejahatan seks terhadap anak-anak di Rochdale. Mereka adalah Hadi Jamel, 33, dari Rochdale, Abid Khan, 38, dari Liverpool, Mohammed Zahid, 54, dari Rochdale dan Raja Abid Khan, 38, dari Rochdale. Mereka masing-masing didakwa melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak. Berbagai dakwaan itu diduga keras berkaitan dengan kejahatan terhadap seorang gadis yang berusia di bawah 16 tahun saat itu.
Semua itu merupakan dakwaan terakhir yang bakal diajukan menyusul diberlakukannya Operation Doublet, sebuah penyidikan oleh Tim Insiden Penting dari Polisi Greater Manchester dalam berbagai dugaan eksploitasi seksual atas anak-anak di Rochdale. Selama Maret lalu, sepuluh pria didakwa melakukan serangan seks yang diduga keras dilakukan terhadap sang gadis dan enam temannya yang lain.
Pada 23 April Pengadilan Pemilu Inggeris menetapkan Luftur Rahman, walikota London Borough di Tower Hamlets terbukti bersalah. Dia dinyatakan melakukan penipuan dalam Pemilu. Hakim pun memerintahkan dia untuk mengosongkan jabatannya saat itu juga. Rahman yang kelahiran Bangladesh dan para pendukungnya terbukti memanfaatkan intimidasi agama melalui para imam setempat, melakukan kecurangan dalam perhitungan suara dan sengaja menjuluki saingannya dari Partai Buruh sebagai rasis guna mengamankan pemilihan ulang dirinya untuk masa jabatan kedua, 24 Mei 2014 lalu.
Rahman juga dilarang untuk berupaya menduduki jabatan lagi. Selain itu, ia masih ditemukan bersalah karena mengalokasikan dana kepada masyarakat setempat guna membeli suara. Untuk itu, dia diperintahkan untuk membayar biaya langsung sebesar £250,000 ($390,000) dari biaya yang diduga bakal mencapai 1 juta Poundsterling (sekitar Rp 20, 280 miliar).
Pada 23 April, Pengadilan Birmingham Crown menjatuhkan hukuman penjara empat bulan atas Imran Uddin, 25 tahun, seorang mahasiswa Universitas Birmingham. Dia terbukti bersalah karena meretas masuk ke sistem komputer universitas tempat dia belajar guna memperbaiki nilainya. Uddin menggunakan peralatan pendeteksi keyboard guna mencuri password para staf kampusnya kemudian menaikan angkanya untuk lima ujian yang dijalaninya. Dia pun diyakini menjadi mahasiswa Inggeris pertama yang pernah dipenjara karena menipu.
Pada 23 April 23, seorang juri di Pengadilan Chester Crown mendengar kesaksian betapa Masood Mansouri, 33 tahun dari Saltney, Flintshire diduga keras sudah menyandera dan memperkosa seorang wanita dua puluh tahunan dari Mochdre, dekat Colwyn Bay. Awalnya, dia berpura-pura sebagai pengemudi taksi bagi sang wanita yang berupaya memangggil taksi. Lima hari kemudian, wanita itu meminum obat melebihi dosis. Meski demikian, Mansouri menyangkal semua dakwaan.
Pada 28 April, Aftab Ahmed, 44, dari Winchcombe Place, Heaton, didakwa karena mengancam hendak memenggal kepala David Robinson-Young, seorang kandidat Partai United Kingdom Independence (Partai Inggeris Bersatu Merdeka-- UKIP) di Newcastle East.
4. Kaum Muslim dan Pemilu Inggeris
Pada 4 April, Harian Telegraph mnurunkan laporan bahwa ada sekelompok pionir ekstremis Muslim menyombongkan diri akan bertindak sebagai "pembuat keputusan" dalam Pemilu 7 Mei nanti. Juga bahwa organisasi itu tengah "bernegosiasi dengan Partai Tory dan Pemimpin Partai Buruh" guna mengamankan tuntutannya.
Menurut harian tersebut, Muslim Engagement and Development (Keterlibatan Kaum Muslim dan Pembangunan--MEND) membangun jaringan dengan kedua partai setelah mengaku akan mempromosikan "keterlibatan yang demokratis" dari kaum Muslim. Bagaimanapun, upaya itu sebenarnya merupakan "sikap yang terbuka untuk mendapatkan akses dan pengaruh politik bagi orang-orang yang memiliki pemikiran ekstrim, fanatik dan anti-demokrasi."
Selama acara MEND pada 3 April lalu hadir juga pria bernama Abu Nesa Niamatullah. Ia pernah menyebutkan masyarakat Inggeris sebagai "binatang" dan menuntut agar para wanita seharusnya tidak bekerja. Selain itu dia juga menyerang demokrasi dan mengatakan bahwa "Pencipta adalah yang esa yang harus memutuskan bagaimana hukum itu seharusnya."
Sementara itu, Ed Miliband, kandidat perdana menteri Inggeris dari Partai Buruh, bersumpah untuk melarang adanya "Islamophobia" jika dia memenangkan pemilu. Dalam wawancaranya dengan The Muslim News, Milliband mengatakan;
"Kita akan buat [Islamophobia] sebagai kejahatan yang berlebihan. Kita akan pastikan bahwa kejahatan diberi catatan dalam catatan masyarakat yang pada kepolisian guna memastikan mereka mencabut Islamophobia sebagai kejahatan karena benci hingga ke akar-akarnya.
"Kita akan coba ubah undang-undang yang berkaitan dengan masalah ini sehingga benar-benar membersihkan rasa ngeri kita dari kejahatan karena benci dan Islamophobia. Untuk pertama kalinya polisi akan mendata serangan berbau Islamophobia di seluruh penjuru negeri."
Gebrakan tersebut – yang disebut seorang pengamat "benar-benar menakutkan." Menurut dia, gebrakan itu sangat berimplikasi terhadap kebebasan berbicara di Inggeris. Dan secara luas hal itu dapat dilihat sebagai bagian upaya Miliband untuk menjadikan para pemilih Muslim sebagai kaki tangannya.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri, Theresa May berjanji bahwa jika Partai Konservatif menang Pemilu, maka setiap kepolisian di Inggeris dan Wales dituntut untuk mendata kejahatan karena kebencian anti-Muslim sebagai kelompok sebagaimana sudah dilakukan pada kasus kejahatan anti-Semit.
Di Derby, Gulzabeen Afsar, seorang kandidat Muslim untuk dewan kota memantik kemarahan warga setelah dia menuding Ed Miliband sebagai "orang Yahudi," dalam berbagai komentarnya yang dibuatnya dalam Bahasa Arab.
Sementara itu, islamis kelahiran Inggeris Anjem Choudary aktif melarang kaum Muslim untuk ikut memilih. Dalam limpahan pesan Twitternya dengan hashtag #StayMuslimDontVote, Choudary mengatakan bahwa pemungutan suara merupakan "dosa." Dia beralasan, pemungutan suara bertentangan dengan Islam karena Allah adalah "satu-satunya pembuat hukum." Dia juga mengatakan bahwa kaum Muslim yang memberikan suara atau mencalonkan diri untuk jabatan publik adalah "orang-orang murtad."
Islamis Inggeris lain mengikuti jejak Choudary. Caranya, dengan menyebarkan berbagai poster berwarna kuning terang di Cardiff, ibukota Wales dan Leicester, sebagai bagian kampanye akar rumput bertajuk #DontVote4ManMadeLaw. Berbagai poster itu mengatakan demokrasi "melanggar hak Allah."
Satu poster seperti itu mengatakan:
"Demokrasi merupakan sistem di mana manusia melanggar hak Allah dan memutuskan apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan bagi manusia sepenuhnya berbasiskan perilaku dan keinginan mereka.
"Islam merupakan satu-satunya solusi nyata yang berfungsi bagi Kerajaan Inggeris. Ia merupakan sistem pemerintahan yang komprehensif di mana hukum Allah diterapkan dan keadilan dijalankan."
Soeren Kern adalah anggota senior Gatestone Institute yang berbasis di New York. Dia juga mitra senior European Politics pada Grupo de Estudio Estratégicos/Kelompok Studi Strategis yang berbasis di Madrid. Ikuti dia di Facebook dan di Twitter.