Seperti Obama, di Suriah, Presiden Trump tampaknya belum menyadari bahwa ketika AS menarik diri mundur maka musuh-musuhnya akan maju mengisi kekosongan (Foto oleh Mark Wilson/Getty Images) |
Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya terjadi bulan lalu. Penasihat Keamanan Nasional yang mengundurkan diri, Duta Besar John R. Bolton, dipaksa keluar panggung oleh komplotan komentator TV dan musuh Bolton dan Presiden AS Donald J. Trump. Kemudian, mungkin untuk pertama kalinya, Bolton secara terbuka menolak presiden karena kebijakan luar negerinya. Sementara itu, pengacara terkemuka Amerika, Alan M. Dershowitz, secara tepat menytakan tindakan Bolton sebagai "malapetaka nasional."
Memang, pembersihan Bolton punya implikasi keamanan nasional yang serius bagi masa depan AS. Pujian karena itu, pantas dihaturkan kepadanya. Karena ia berani mengorbankan pekerjaannya jika dirasakannya presiden tengah berbaris menuju arah yang salah. Rasa sakit Bolton mungkin disebabkan karena dia tidak lagi mampu menanggung "momen Obama" dalam Pemerintahan Trump.
"Momen Obama", "Kesabaran Strategis" vs "Strategi Strategis."
Pada 2017, momen-momen ala Obama didefinisikan sebagai "memimpin dari belakang," "tidak adanya strategi" dan "kebijakan yang hanya menghasilkan negara-negara gagal. Yang mengalami kekacauan karena digerakkan oleh kelompok penganut Islam radikal, meningkatnya serangan teroris di Eropa, dan bencana utang." Dalam kasus itu, masih ditambah lagi dengan kurangnya tekad yang berbarengan dengan kecenderungan untuk membuat kompromi dan konsesi yang tidak sempurna bagi para musuh asing. Para pembantu Obama sendiri misalnya menciptakan sebagai doktrinnya, "kesabaran strategis" (strategic patience)
Sebaliknya, pada awal 2017, di bawah bimbingan para pejuang intelektual seperti Menteri Pertahanan James Mattis dan Penasehat Keamanan Nasional Jenderal H.R McMaster, Presiden Trump memulai masa jabatannya dengan beberapa "gebrakan keras". Pertama, ia menghukum diktator Suriah Bashar al Assad. Cara yang ditempuhnya adalah dengan melancarkan serangan yang berhasil atas dirgantara Suriah karena Assad diduga menggunakan perang kimia atas warga sipilnya sendiri.
Serangan Presiden Trump punya arti yang sangat luar biasa. "Momen Obama" yang mungkin saja paling dikenang oleh Mantan Presiden Barack Obama menjadi langkah mundurnya dari garis merahnya sendiri melawan perang kimia pada 2013. Dia menarik pulang pesawat-pesawat perusak yang bergerak menuju pantai-pantai Suriah. Dan sebaliknya, dia agaknya membuat kesepakatan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menyingkirkan semua senjata kimia dari Suriah,
Pasca-serangan udara itu, Trump menjatuhkan MOAB (Mother of All Bomb --- Induk Semua Bom) atas Taliban di Afghanistan. Gebrakan yang sangat menentukan itu disusul dengan pengerahan armada kapal laut besar yang dramatis dekat pantai Korea Utara. Gebrakan itu dilakukannya beriring dengan gebrakan atas diktator Korea Utara oleh Angkatan Bersenjata, Angkatan Udara serta tekanan yang vokal dari Trump sendiri.
Ringkasnya, kapten baru sedang mengemudikan kapal negara. Dan timnya tidak menyelesaikan persoalan seperti yang dilakukan Pemerintahan AS sebelumnya. Sebaliknya, mereka menghadapi persoalan dengan langsung terlibat. Sambil juga mereka mengirim pesan yang jelas soal perlunya menghentikan pemimpin Korea Utara yang maniak supaya tidak semakin jauh mengembangkan senjata nuklir dan sistem penembakkannya sehingga seperti di Guam, sudah mampu mencapai pantai-pantai Amerika.
Ketika memberikan sinyal tentang "kesabaran strategis," langkah-langkah ini tampaknya hendak mengawali sebuah doktrin Trump baru yang sedang muncul. Langkah itu bisa dijuluki sebagai "kecerdasan strategis." Secara tersirat, langkah itu mau mengatakan kecerdasan strategi memang membutuhkan diplomasi yang pintar, tekad dan keberanian serta penggunaan instrumen ekonomi serta kekuatan militer yang bijaksana. Bolton, tampaknya sedang memulai kembali perannya. Sang tokoh yang kala itu menjadi komentator TV dan Pimpinan Gatestone Institute, itu mungkin terkesan oleh sikap "pro-masyarakat Amerika" sang presiden (pro-American-ness), seperti yang ditunjukkannya dalam sebuah wawancara yang diterbitkan pada Maret 2019:
"Saya gambarkan diri saya sebagai orang yang pro-Amerika," kata Bolton. "Harapan terbesar bagi kebebasan umat manusia dalam sejarah adalah Amerika Serikat. Karena itu melindungi kepentingan nasional Amerika menjadi satu-satunya strategi terbaik dunia." Dikatakannya bahwa Amerika perlahan-lahan telah membatasi jangkauan tindakannya. Pembatasan itu terjadi lewat keterlibatannya yang membabi-buta dengan lembaga-lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan perjanjian bilateral naif yang terlalu banyak menjanjikan kepada musuh-musuh Amerika dengan imbalan terlalu sedikit.
Kebijakan Domestik Trump yang berhasil
Trump pantas dipuji karena berhasil membangun tembok perbatasan Meksiko. Dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun, dia juga berhasil memacu pertumbuhan ekonomi yang sangat merosot dengan kebijakan ekonomi yang terancang bagus. Misalnya, dengan menderegulasi hambatan-hambatan pertumbuhan serta memulai berbagai penyesuaian yang sulit dengan para mitra dagang strategis Amerika.
Perbedaan pendapat antara Bolton dengan presiden September 2019 lalu tampaknya terjadi karena Bolton semakin sering menentang Trump yang pelahan kembali kepada kebijakan Obama. Untuk bersabar dan mundur secara strategis padahal tidak bisa dijalankan. Sebagai diplomat kawakan, Bolton juga memperlihatkan keberanian yang langka untuk kembali melawan media kelas ringan yang secara keliru menggambarkannya sebagai "elang uber" dan "tokoh penganjur perang."
Dalam beberapa bidang kebijakan luar negeri Trump dan Bolton sama-sama sepakat. Seperti misalnya soal dukungan Amerika yang begitu kuat terhadap sekutunya yang demokratis Israel. Sikap itu juga mereka perlihatkan ketika mempersenjatai Ukraina dengan peluru kendali Javelin sehingga Iran tidak bisa menyerang.
Masa-Masa ala Obama Trump di Suriah
Bagaimanapun, di Suriah, seperti dilakukan Obama sebelumnya, Presiden Trump tampaknya tidak menyadari bahwa ketika AS menarik diri mundur, para musuhnya justru maju mengisi kekosongan di sana. Yang termasuk korban kebijakan pengunduram diri itu adalah Menteri Pertahanan AS James Mattis yang tampaknya mengundurkan diri karena menentangnya. Sama seperti Bolton yang beberapa bulan kemudian mengundurkan diri, jelas karena Presiden Trump mengundang Taliban untuk hadir ke Kamp David, namun melarang sekutu AS yaitu Pemerintah Afghanisan untuk tidak menghadirinya. Juga soal pekan peringatan serangan 11 September 2001 di AS. Seperti Mattis, Bolton yang patriotis mengorbankan pekerjaannya karena dia bisa melihat konsekwensi negatif dari kebijakan itu terhadap kepentingan nasional AS.
Penarikan pasukan AS dari Ukraina juga berdampak merusak di Ukraina. Ini juga yang sedang terjadi atas Kurdi. Sekuru Amerika itu kini ditinggalkan oleh Trump untuk dibantai oleh Turki. Akibatnya, negara-negara itu menilai kembali keandalan AS secara negatif.
Seperti pernah dilakukannya sebelumnya pada tahun 2015, Presiden Rusia Vladimir Putin juga waktu itu meluncurkan apa yang tampaknya merupakan pukulan pura-pura atas Kota Pelabuhan Mariupol di Ukraina. Tujuan Putin yang sebenarnya tampaknya adalah serangan gabungan baru yang berdarah-darah bersama dengan Diktator Suriah Bashar al Assad dan Pengawal Revolusi Iran (IRGC) terhadap pemberontak di Provinsi Idlib, Suriah. Beberapa pria Muslim yang diwawancarai di Beograd menjelaskan bahwa serangan Rusia-Suriah meningkat setelah jelas bahwa Trump menanggapi pembantaian Rusia-Suriah yang baru itu hanya lewat tweet yang marah-marah.
Korea Utara: Kembali kepada Kebijakan Kesadaran Strategis
Setelah penuh semangat memperlihatkan kecakapan strategisnya dengan Kim Jong Un pada 2017-2018, Trump sementara itu menjadi secara strategis bersabar kepadanya. Sama seperti Ayub (dalam kisah Perjanjian Lama). Dan, pasca-unjuk kekuatan datanglah pertemuan puncak.
Trump tampaknya yakin bisa mengajak Kim bekerja sama seperti seorang klien real estat. Ia karena itu memuji Kim sebagai tokoh yang punya "kepribadian yang hebat." Padahal, seperti Stalin, Kim adalah tokoh yang berdarah-darah yang dan tidak kenal ampun. Akibat pujian itu, keduanya bisa bersukacita pada "chemistry yang baik" antara mereka. Termasuk juga berbagai komentar Trump lain yang mungkin sama-sama memalukan bagi Duta Besar Bolton.
Bolton karena itu memperingatkan, "Dalam keadaan sekarang, dia [Kim] tidak akan pernah sukarela menghentikan nuklir." Apakah Trump tidak tahu bagaimana para pejabat Korea Utara sudah terbiasa menyajikan anggur merah dan mengadakan makan malam, menghibur, dan menipu para negosiator Amerika justru ketika mereka membangun persenjataan nuklir mereka?
Di bawah Presiden George W. Bush, misalnya, Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice tampaknya sangat berhasrat mengadakan perjanjian dengan ayah diktator Korea Utara sekarang ini. Karena itu, Rice terlibat dalam apa yang oleh Wakil Presiden Dick Cheney disebut, "konsesi demi konsesi." Dan sepertinya karena putus asa, Rice bahkan mengeluarkan Korea Utara dari daftar negara sponsor terorisme.
Lagi-lagi karena keberatan Bolton, Trump menyetujui permintaan penting Korea Utara. Yaitu membatalkan latihan militer AS-Korea Selatan. Dan pembatalan itu dilakukan tanpa ada timbal balik dari Korea Utara. Selain itu, masih ada masalah lain.
Presiden Korea Selatan Moon-Jae-in belum pernah membuat segalanya mudah bagi Presiden Trump. Kunjungannya ke Korea Utara hanyalah semacam latihan yang menyedihkan untuk merendahkan diri.
Titik Balik di Iran.
Titik balik penting muncul ketika Iran menyerang kapal pengangkut minyak sekutu di Teluk Persia dan menembak jatuh pesawat nirawak A.S. Keputusan Trump untuk tidak menanggapi insiden itu secara militer sehingga menarik kembali pesawat-pesawat A.S. yang siap membom sasaran di Iran, mengingatkan kita lagi dengan ketidakberdayaan Obama. Lebih jauh lagi, kegagalannya membalas serangan Iran terhadap kapal pengangkut minyak negara-negara sekutu AS di Teluk dan terhadap sebuah perusahaan penghasil minyak Arab Saudi, sama saja dengan mendorong tindakan militer Iran di masa depan terhadap aset sekutu di Teluk Persia.
Trump tampaknya mengisyaratkan bahwa dia pikir semua perbedaan dapat diselesaikan dengan negosiasi - olehnya. Namun, Presiden Richard M. Nixon dan semua presiden AS dulu sangat mungkin akan menghukum Iran karena menggunakan kekuatan militer. Mungkin hanya satu presiden yang dikecualikan dalam kasus ini, Barack Obama.
Sebelum melanjutkan upayanya menegosiasikan kesepakatan nuklir baru dengan para pemimpin Iran, Trump mungkin menganggap bahwa, seperti Korea Utara, mereka tidak akan menghentikan pembuatan bom mereka. Titik. Jadi, pertahankanlah sanksi, biarkan rezim itu hancur-lebur. Gunakanlah kekerasan jika dan bila perlu. Salah satu prestasi terbesar Trump adalah ketika ia membatalkan "Kesepakatan Nuklir" yang penuh malapetaka yang tidak ditandatangani dengan Iran. Namanya Rencana Aksi Komprehensif Gabungan. Perjanjian itu sebenarnya membuka jalan bagi Iran untuk memiliki sebanyak mungkin senjata nuklir yang sah sesuai keinginannya.
Tiga Tirani: Kuba, Venezuela dan Nikaragua.
Kondisi Venezuela kini semakin memburuk. Bolton menjulukinya sebagai "Troika of Tyranny," alias tirani tiga tokoh yang bekerja sama di halaman belakang strategis AS, yaitu di kawasan Karibia. Venezuela dulunya dikenal sebagai negara OPEC kaya, yang dibanjiri minyak. Namun, dalam 20 tahun atau lebih telah berubah menjadi negara gagal. Rakyatnya kini hidup di bawah kondisi kelaparan dan kekurangan yang tak tertahankan. Ia menjadi lubang narkoba, kejahatan dan para teroris Hizbullah.
Dengan bantuan Kuba, Presiden Rusia Vladimir Putin lantas mencemooh Doktrin Monroe Amerika. Caranya dengan memberikan bantuan militer kepada rezim "sosialis" Venezuela dan menopang rezim presiden tidak sah negeri itu, Nicolás Maduro Moros. Bagaimanapun, kedatangan "penasihat" Rusia dan Cina dan pengiriman bantuan militer di sana, tampaknya tidak membuat Trump tergerak hatinya. Tindakan signifikan untuk menggulingkan Maduro pun masih belum terlihat. Yang tidak mengejutkan pula, twit dan ancaman kosong pun tidak berhasil.
"Momen Obama Trump" Mendorong Erdogan Menjadi Berani
Puncak serangan Rusia-Suriah pada musim panas 2019 sekarang dapat dilihat pada puluhan ribu warga sipil Suriah yang melarikan diri dari negara mereka dan melalui Turki berusaha mencapai Eropa. Namun, eksodus Suriah yang baru, tampaknya hanya memberikan alasan kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk mengeluarkan ancaman ulang, memeras Uni Eropa dan Amerika bahwa ia dapat membanjiri Eropa dengan 3,6 juta pengungsi dari kamp-kamp Turki.
Pelajaran dari Gipper
Presiden Trump mungkin sebaiknya mengikuti rekomendasi para pakar kebijakan militer dan luar negeri, yang mengetahui sejarah, strategi, dan geopolitik secara mendalam. Yang presiden tunjukkan sekarang, adalah arah koreksi kebijakan yang tidak menguntungkan yang mengingatkan kembali orang pada keputusan terburuk dari Pemerintahan Clinton, Bush dan Obama. Trump mungkin mulai menyadari bahwa ia akhirnya harus menghadapi tantangan yang Erdogan munculkan terhadap AS. Turki bukan lagi sekutu strategis Amerika, seperti yang bisa dilihat ketika ia memilih membeli persenjataan Rusia yang tidak sesuai dengan persyaratan NATO, ketika dia secara teoritis berkomitmen.
Di atas semua itu, Trump disarankan untuk bekerja demi rekonsiliasi dan hubungan yang produktif dengan apa yang sekarang tampaknya sebagai sayap Bolton dari Partai Republik.
Ronald Reagan pun pernah dikepung oleh para pendukung Partai Demokrat. Tepatnya, ketika dia mengadakan kampanye Pemilu pada penghujung 1983-84. Mereka menggelarinya sebagai penghasut perang (war-monger). Bagaimanapun ia tetap menolak memproyeksikan citra seorang presiden yang berupaya menciptakan perdamaian dengan biaya berapa pun. Karena itu, dia menyerbu Pulau Grenada yang baru saja menggulingkan Rezim Leninis brutal dalam sebuah kudeta berdarah melawan perdana menterinya.
Masyarakat Amerika tidak perlu memilih calon presiden yang eksklusif terlibat mengupayakan perdamaian. Tidak diragukan lagi, mereka tentu berharap bahwa presiden baru bisa membereskan persoalan. Bolton benar. Masyarakat Amerika mendukung kandidat presiden yang senang menyenangkan hati orang tetapi adalah pembela nilai-nilai Amerika, kepentingan vital nasional dan hak asasi manusia. Terutama di halaman belakang rumahnya sendiri. Dengan demikian, belum terlambat bagi Presiden Trump. Dia bukannya warna lembayung senja yang meredup. Tetapi dia memang perlu untuk bangun.
Dr. Jiri Valenta adalah senior research associate pada BESA Center for Strategic Studies di Universitas Bar Ilan,. Ramat Gan. Ia mantan professor Sekolah Pasca-sarjana Perguruan Tinggi AL-AS. Dia juga Koordinator Kajian Soviet dan Eropa Timur untuk Program Master bagi perwira intelijen semua angkatan bersenjata. Sebagai anggota Dewan AS untuk Hubungan Luar Negeri, dia penerima Medali Perak Jan Masaryk karena sudah memimpin sebuah lembaga kajian pasca-revolusioner di Republik Cheko. Dia juga menerima beberapa beasiswa kehormatan sekaligus pengarang beberapa buku. Beberapa bukunya berbasiskan penelitian di tempat yang meliputi Granada, Nicaragua dan Kamboja. Selama dekade terakhir dia bekerja bersama istrinya, seorang tamatan Pasca-sarjana Drama pada Universitas Yale, Leni Valenta.