Minggu, 27 Januari 2019. Teroris meledakkan dua bom ketika Misa sedang berlangsung di Karedral Katolik Our Lady of Mount Carmel (Bunda Kami dari Gunung Karmel) di Jolo, Filipina. Sedikitnya, 20 orang terbunuh dan 111 orang terluka. Gambar: Presiden Filipina Rodrigo Duterte melakukan inspeksi terhadap katedral yang rusak itu, 28 Januari 2019. (Sumber foto: Albert Alcain/ Kantor Urusan Komunikasi Kepresidenan Filipina /Wikimedia Commons). |
Pembantaian Dalam Gereja dan Serangan Atasnya
Filipina: Minggu, 27 Januari 2019. Para militan Islam membom sebuah Katedral Katolik ketika Misa sedang berlangsung. Sedikitnya, 20 orang tewas dan 111 orang terluka. Dua bahan peledak diledakan sekitar satu menit berbeda waktu di seputar Katedral Our Lady of Mount Carmel (Bunda Kami dari Gunung Karmel) di Jolo, sekitar pukul 8.45 pagi. Menurut berita, "Ledakan pertama memporak-porandakan bangku kayu dalam ruang utama karedral dan memecahkan kaca-kaca jendela. Bom kedua melemparkan serpihan jenasah manusia dan reruntuhan ke segala penjuru sebuah alun-alun kota yang berhadapan dengan katedral."
Berbagai foto di media sosial memperlihatkan jenasah manusia dan serpihan barang terlempar ke jalanan di luar gedung katedral. Pastor pemimpin misa, Rm. Ricky Bacolcol, "masih shock dan tidak bisa berbicara tentang apa yang terjadi," itu yang bisa dikutip dari pernyataan seorang rekan imamnya. Setelah bom pertama diledakkan, tentara dan polisi yang ditempatkan di luar gereja tergesa-gesa berlarian masuk. Pada saat itulah bom kedua meledak. Lima belas orang yang terbantai oleh ledakan itu adalah masyarakat sipil; lima anggota militer; sementara 90 orang yang terluka adalah warga sipil. Padahal, katedral yang terletak di kawasan mayoritas Muslim itu dijaga ketat. Pernah katedral itu diserang sebelumnya. Pada 2010, granat dilemparkan dua kali ke bangunan itu dan merusaknya. Pada 1997, Uskup Benjamin de Jesus ditembak mati tepat di luar katedral. Negara Islam mengaku melakukan serangan, lalu menambahkan bahwa pembantaian dilakukan oleh "dua ksatria syuhadah" melawan "bait Tentara Salib."
Mesir: Sekomplotan pelaku terror Islam berniat membom sebuah gereja Kristen yang penuh pepak jemaat pada 6 Januari 2019 sore lalu. Kala itu, umat Kristen Koptik Orthodoks sedang merayakan Natal, tetapi berhasil digagalkan polisi. Menurut berita,
Empat bahan peledak dipasang di sekitar Gereja Santa Perawan Maria danSt. Mercurius di...Kota Nasr. Tiga bom berhasil dipindahkan dengan aman, tetapi yang keempat, yang disembunyikan dalam tas meledak ketika petugas penjinak bom dari kepolisian berusaha menjinakkannya. Mayor Polisi Mostafa Ebeid tewas di tengah ledakan yang melukai dua petugas lainnya serta seorang warga yang lewat di dekatnya. Ledakan terakhir dalam serangkaian insiden yang agaknya menyasar populasi umat Kristen Koptik Mesir, terjadi sehari sebelum Perayaan Natal Gereja Ortodoks.
Lebih luas lagi, antara penghujung Desember hingga awal Januari lalu, pihak berwenang menutup paksa empat gereja lagi di Mesir setelah gerombolan Muslim yang marah melakukan aksi rusuh memprotes keberadaan gereja. Dalam salah satu contohnya, pada Jumad, 11 Januari 2019, lebih dari seribu warga Muslim mengepung Gereja St. Georgius di Minya menuntut agar gereja-gereja itu segera ditutup. Bukan saja patuh, pihak berwenang justu mengusir keluar dua imam yang bersembunyi di dalam gereja lalu menyeret mereka keluar dalam sebuah kendaraan pengangkut sampah. Pengusiran itu disambut oleh massa marah yang bergembira-ria beriringan dengan jeritan kemenangan "Allahu Akbar."
Polisi "bersikap kepada para imam seolah menghadapi parapembunuh," urai seorang pengacara hak asasi manusia. "Apa yang terjadi membuat kami takut," tambah seorang pastor lain. "Saya imam dan polisi mungkin saja mau memborgol saya jika esktremis Muslim tetangga kami memprotes atau berkumpul di depan gereja saya. Persoalan semakin parah, tetapi mari kita berdoa kepada Allah supaya menjaga kita dalam damai."
Dalam sebuah pernyataannya, Uskup Kristen Koptik setempat berujar:
Ini bukan pertama kalinya tempat yang digunakan untuk ibadat umat Koptik di Minya ditutup. Bagaimanapun, faktor umum di antara semua penutupan gereja, adalah bahwa, tindakan itu dilakukan untuk menyenangkan hati kaum fundamentalis dan ekstremis dengan merugikan umat Koptik. Tampaknya hendak menunjukkan bahwa kaum ekstremis kini lebih kuat sehingga berusaha menyenangkan hati mereka menjadi cara mudah untuk keluar dari persoalan...Ini terjadi menyusul deklarasi Imam Agung (Universitas) Al-Azhar, Sheikh Ahmad al-Tayyeb yang mendukung keberadaan gereja. Juga pernyataan dan tindakan yang positif dari Presiden Abdel-Fattah a-Sisi bahwa setiap warga Mesir berhak menjalankan agama pilihanya sendiri. Dan Paus Tawadross berusaha dalam tataran itu.
Sebuah berita media 15 Januari lalu membahas tentang serangan ini. Di dalamnya, ada komentar yang mengatakan, "Secara keseluruhan, pihak berwenang Mesir sudah menutup empat gereja dalam empat setengah pekan. Tidak ada prosedur resmi dilakukan guna melawan para penyerang gereja ini yang sudah dilakukan."
Kamerun: Kaum militan Muslim imenyerang dan menjarah dua desa Kristen pada 24 Januari malam. Mereka merusak 190 rumah, menjarah sekaligus menajiskan empat gereja, membakar sebuah rumah sakit Kristen serta membunuh ternak." Apakah benar manusia yang lakukan ini?" seorang saksimata setempat dikutip mengelukan soal ini. Menurut berita,
Serangan terhadap Gochi dan Toufou [desa-desa Kristen] itu meruapakan yang keempat yang dilakukan oleh para militant selama dua pekan ini. Dalam serangan sebelumnya, tiga orang dibunuh dan gereja serta rumah-rumah dirusak dan dihancurkan...Desa-desa Kristen di ujung utara Kamerun mengalami serangan dari kelompok milisi Islam radikal Boko Haram [ketika[] mereka berusaha membangun sebuah kekhalifahan Islam dari kawasan timur laut Nigeria sampai sepanjang kawasan utara Kamerun. Di kawasan itulah, sebagian besar kaum Muslim Kamerun berdiam di negeri yang didominasi umat Kristen itu.
Nigeria: Kaum militan Muslim merusak seluruhnya 1.125 gereja milik sebuah denominasi Kristen saja, yaitu Gereja Para Saudara (Church of Brethren) di Nigeria. Gereja itu berbasis di kawasan timur laut negeri itu yang mayoritas Muslim, tulis sebuah berita, 23 Januari lalu. Presiden denominasi itu, Pendeta Rev. Joel Billi, terus mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk mempercepat pembangunan kembali tempat-tempat ibadah itu:
"Mengapa dengan keji kami diabaikan seolah kami pantas dihukum? Jika bukan karena pasukan keamanan kita yang tidak becus dan sikap lembut politik, Boko Haram tidak bisa menyerbu menyerang kita. Jadi mengapa kami yang membayar dosa yang tidak kami lakukan?"
Ghana: Sejumlah pemuda Muslim yang marah dengan bersenjatakan parang, merusak sebuah gereja setelah pastor gereja itu meramalkan bahwa imam utama negeri itu, Sheikh Osman Nuhu Sharunutu bakal meninggal dunia tahun ini. Setelah itu, anak-anak muda itu membuat video, mengultimatum sang pastor untuk menarik kembali ramalannya "atau apa;" "Kami peringatkan kau," kata pemimpin kelompok itu. "Kau hanya punya 24 jam untuk membuat video dirimu untuk meminta maaf kepada semua umat Muslim. Jangan katakan ramalan bohongmu kepada kaum Muslim dan imam utama kami. Jika kau tidak minta maat, kami akan minum darahmu."
Indonesia: Sekelompok massa Muslim melemparkan baru kepada sebuah rumah yang dijadikan gereja ketika sekelompok jemaat gereja sedang beribadat, Minggu, 13 Januari lalu di Ibukota Propinsi Sumatera Utara Medan. Gambar dalam video memperlihatkan segerombolan orang berteriak-teriak keras penuh kemarahan. Mereka dipimpin oleh sejumlah lakilaki berkopiah Muslim dan para wanita berhijab yang mengepung tempat tinggal pastor. Diduga tempat itu sudah diubah menjadi tempat ibadat untuk digunakan oleh jemaat Gereja Bethel Indonesia. Massa berteriak kepada umat Kristen yang sedang berkumpul, mendorong-dorong sebelum memaksa agar ibadat dihentikan. "Kami tidak lakukan hal-hal yang terlarang," tulis seorang anggota gereja di Instagram. "Kami hanya ingin beribadah, tetapi mengapa gereja kami diserang pagi ini? Di manakah keadilan di negeri ini? Di manakah toleransi agama kita? Allah bersama dengan kami." Akibat insiden ini dan insiden sejenis, umat Kristen semakin "merasa terancam untuk beribadat di negara mereka sendiri," tulis sebuah berita. Berita itu menambahkan bahwa;
" jemaat mengaku bahwa mereka sudah mendapat beberapa ijin supaya bangunan itu berfungsi sebagai rumah ibadat, tetapi masih kurang beberapa dokumen yang kata mereka sulit didapatkan dari para pejabat pemerintah, khususnya selama masa liburan baru-baru ini. September lalu, pihak berwenang di Jambi, Sumatera Timur menyegel tiga gereja, yang sudah digunakan sebagai tempat ibadat selama lebih dari sepuluh tahun karena tidak punya ijin resmi. Seorang petugas di salah satu gereja itu mengatakan mereka tidak diberi peringatan lebih dulu bahwa gereja itu bakal ditutup. Karena itu dia curiga gereja-gereja itu ditutup karena ditekan dari kelompok-kelompok tertentu yang mengancam melakukan protes jika tetap dibuka. Pejabat salah satu gereja mengaku bahwa upaya mereka untuk mendapatkan ijin yang sebagaimana mestinya terbukti sulit karena para pejabat pemerintah [di sebuah negara mayoritas Muslim] selalu menolak mereka."
Aljazair: Setelah pihak berwenang menutup gereja mereka, 300 jemaat Kristen yang kuat mulai bertemu dan mengadakan ibadat di tenda --- hanya untuk dipaksa keluar dari tenda dan dipaksa bongkar, 28 Januari lalu. Tenda dibangun di lahan milik Gereja Azaghar, lahan yang memungkinkan jemaat untuk terus beribadat setelah dipaksa menutup gereja mereka karena alasan kesehatan dan keamanan palsu. Menurut sebuah berita :
"Gereja...tidak boleh menggunakan bangunan itu Oktober 2018 lalu, meski jemaat sudah menanggapi perintah untuk memasang pintu keluar saat kebakaran (fire exit) berikut alat-alat pemadam kebakaran. Beralih agama dari Islam memang bukan kejahatan agama di Aljazair. Tetapi orang yang memberi kesaksian iman kepada kaum Muslim berpotensi menghadapi hukuman penjara selama lima tahun. Gereja yang resmi diakui memang sudah dibuka selama lima tahun dan merupakan pelayanan yang berdaya bagi kaum Muslim setempat...Sejumlah gereja ditutup sejak awal tahun 2018, baik karena diduga melanggar (aturan) kesehatan dan keselamatan atau karena pihak berwenang mengaku gereja-gereja itu tidak didaftarkan sebagaimana mestinya."
Kekerasan Terhadap Umat Kristen dan Tekanan untuk Pindah Agama
Uganda: Beberapa oknum kaum Muslims memukul seorang wanita Kristen. Alasannya, karena dia berdoa kepada Kristus di rumanya sendiri. "Hari ini kami sudah peringatkan bahwa kau harus hindari doa yang ramai berisik menggunakan nama Isa dalam doa-doamu," jelas salah seorang penyerang kepada Deborah Gimbo setelah merangsek memasuki rumahnya. Mereka tambahkan bahwa seorang ulama lokal pernah mengatakan, "orang yang berdoa dalam nama Yesus harus diperangi dan ditekan hingga mereka hanya menerima sholat Allah atau dibunuh," Karena itu, Debora menanggapi:
"Saya tidak bisa berhenti berdoa. Dan lebih lagi, Isa itu Tuhan dan Penyelamat saya. Saya akan terus berdoa dalam namaNya...Mendengar itu, dua penyusup masuk rumah langsung tinggalkan rumah, lalu segera kembali membawa tongkat kemudian mulai menghajar saya. Wajah saya dipukul. Darah mengalir turun di wajah saya ketika saya mulai berteriak minta tolong."
Para tetangga berdatangan menolongnya. Dia pun dirawat selama dua hari.
Iran: Dalam sidang banding terakhir 15 Januari lalu, dua orang Kristen "diminta hakim pemimpin sidang, Hassan Babaee dan Ahmad Zargar untuk meninggalkan iman mereka, tetapi kedua terdakwa menolak melakukannya," demikian dlaporkan sebuah berita. Sebelumnya, pada 22 September 2018, Saheb Fadaie dan Fatemeh Bakhteri dijatuhi hukuman penjara dengan tuduhan "menyebarkan propaganda melawan rezim," serta "menyebarluaskan Agama Kristen Zionis." Putusan 15 Januari juga "mengklaim bahwa diskusi tentang doktrin Kristen yang diadakan di rumah yang dijadikan gereja dianggap sebagai serangan terhadap Islam." Seorang aktivis hak asasi manusia yang akrab dengan kasus ini menguraikan:
"Hukuman terhadap Bapak Fadaie dan Bapak Bakhteri karena menegaskan doktrin Kristen bukan saja pelanggaran berat terhadap hak mereka untuk menganut kepercayaan agama yang mereka pilih, tetapi juga mengkriminalkan iman Kristen, yang diakui oleh pokok-pokok Konstitusi Iran... Kami, karena itu meminta agar vonis atas Fadaie dan Bakhteri dibatalkan, dan mendesak pemerintah Iran untuk memastikan proses hukum yang tepat dalam kasus-kasus yang melibatkan minoritas agama. Kami juga terus mendesak pemerintah Iran untuk menghentikan semua bentuk pelecehan dan intimidasi dari komunitas agama yang damai, dan untuk membebaskan semua yang ditahan sehubungan dengan agama atau kepercayaan mereka. "
Somalia: "Sangatlah berbahaya jika ada orang mengidentifikasi kau sebagai seorang Kristen di negeri ini," urai seorang pastor bawah tanah yang menggunakan nama samaran, Johanes, dalam sebuah berita 7 Januari lalu. Dia mengungkapkan ini sehubungan dengan bahaya karena disebut orang Kristen di negeri Tanduk Afrika yang Islami. "Kau akan, kenyataannya, menghitung hari-harimu di bumi. Jadi kami senantiasa diam selama kami bertemu dan berbagi Sabda Allah secara pribadi." Berita itu menjelaskan:
"Ratusan umat Kristen di Somalia, khususnya orang asing dari negara-negara sekitar yang bekerja di segala penjuru negara Afrika Timur, takut [bahwa] kaum ekstremis Muslim akan membunuh mereka jika tahu mereka menjalankan ibadat Kristen--- kaum ekstremis itu adalah para pejihad al-Shabab, sebuah kelompok yang terkait dengan al-Qaida dan unsur-unsur penjahat yang ada di antara tetangga mereka yang sebaliknya penuh damai.... Selama tahun-tahun terakhir, situasi umat Kristen di Tanduk Afrika semakin memburuk, seperti digambarkan dari berbagai pembunuhan yang dikisahkan di media sosial. Di kawasan yang dikuasai al-Shabab, para militant memburu umat Kristen."
Serangan atas Kaum Muslim yang Beralih Masuk Kristen
Kenya: "Para polisi Muslim, Sabtu lalu (19 Januari) memukul kemudian menangkap seorang pria Kristen di luar kota Nairobi. Aksi itu sebagai balas dendam karena korban menolak melepaskan iman Kristennya," urai sebuah berita.
"Didampingi oleh dua Muslim keturunan Somalia yang pernah menyerang korban sebelumnya, polisi pun tiba di rumah tempat Hassan (nama keluarganya dirahasiakan demi alasan keamanan) berdiam dengan mamanya yang janda. Para petugas ini, bersama dua orang lainnya meninju, menendang, menginjak-injak dan menghajarnya dnegan benda-benda tumpul..."
Menurut mamanya:
"Polisi datang kemudian membawa Hassan dari sana. Darah mengalir dari tubuhnya. Kaki anak saya memar. Dada dan punggungnya mengalami sakit parah. Dia tidak mampu berjalan. Beberapa giginya rontok. Keluarga saya ada dalam bahaya. Ke manakah kami akan menyembunyikan diri? Saya tidak bisa kembali masuk Ialam. Saya lebih suka mati bersama keluarga saya daripada kembali masuk Islam...Saya sudah menderita akibat beberapa penganiayaan oleh kaum Muslim karena beralih masuk Kristen...Perut saya sakit akibat serangan yang derita beberapa tahun silam. Saya tidak bisa berdiri tegak. Saya dan keluarga sudah memilih perkara Kristus. Tidak ada jalan mundur."
Sudan/Mesir: Sebuah berita yang terbit 31 Januari lalu mengisahkan kembali penganiayaan yang dialami seorang wanita mantan Muslim yang beralih menjadi Kristen. Ebtehaj Alsanosi, 42, "melarikan diri ke Mesir pada 2005 setelah dipenjara lima kali karena imannya di Sudan." Dia akhirnya menikahi seorang yang beralih agama lainnya yang juga meninggalkan Sudan dan melahirkan seorang anak perempuan. Para penyiksanya akhirnya berhasil melacaknya kemudian menyanderanya ketika dia sedang dalam perjalanan menuju pasar di Mesir.
"Mereka memanggil namanya lalu mencengramnya, membekap hidung dan mulutnya, memutarkan tangannya ke punggungnya lalu menyemprotkan beberapa zat kimia kepadanya sehingga dia tidak sadarkan diri. Mereka kemudian membawanya ke sebuah ruang tak berjendela di sebuah rumah yang tidak dikenal. Di sana mereka menyiraminya dengan air, menjambak rambutnya. Tangan dan kakinya mereka ikatkan pada sebuah kursi sambil memaki-makinya. Sambil menutupi wajahnya, mereka ingatkan latar belakang asuhan Islamnya di Sudan dan betapa setelah masa sekolahnya dia dan keluarganya pindah ke Arab Saudi. Ayahnya yang orang Sudan, mereka ingatkan dia, adalah seorang sheik di Arab Saudi."
"Kau permalukan keluarga Muslimmu. Kau permalukan keluarga," teriak mereka kepadanya sambil menghajarnya. "Kau kafir." Mereka lalu paksa dia untuk kembali kepada keluarga Sudan-nya di Arab Saudi. Jika tidak maka dia, suaminya dan putrinya yang berusia 11 tahun akan dibantai. "Saya tidak akan kembali masuk Islam---Saya benci Islam," dia menimpali. Jawabannya itu membuat mereka memukulnya lebih keras lagi. Salah seorang penyanderanya lalu membawa "sebuah Al-Qur'an dan mulai mendaraskan ayat-ayat yang menyerukan pembunuhan atas orang-orang yang meninggalkan Islam"--- bahkan ketika mereka semua meneriakkan "Allahu Akbar" saat membacakan ayat-ayat itu. "Para ekstremis itu kemudian melepaskan ikatannya, memaksa dia berbaring di lantai kemudian melucutnya pakaiannya. Meski dia memohon supaya berhenti, mereka malah bergiliran memperkosanya." Salah seorang dari laki-laki itu mengatakan, "Ini pelajaran pertama." Mereka pun terus melecehkan dan memukulnya. Dan setelah menyiksanya, mereka bertanya apakah sudah siap meninggalkan Kristus lalu kembali tunduk kepada Muhamad. Tetapi, dia tetap menolak. Akhirnya, dia dihajar sampai tidak sadarkan diri. Ketika tersadar, dia temukan diri terbaring di tengah jalanan yang padat ramai."
Sebuah berita terpisah yang terbit 21 Januari lalu mengungkapkan penderitaan seorang Muslim yang juga ingin melarikan diri dari Sudan ke Mesir setelah beralih menganut Agama Kristen. Osman "meninggalkan Khartoum, April 2014 setelah polisi dari Departemen Penyelidikan Kriminal Sudan menuduhnya murtad yang bisa diganjari dengan hukuman mati di Sudan."
"Polisi nasional menangkapnya dari jalanan Khartoum, menutup matanya dengan sepotong kain kemudian membawanya ke sebuah tahanan rahasia. Di sana, selama tiga pekan mereka menyiksanya ...Dia digantung di plafon rumah sementara petugas menyiramkan air es atas sehingga tangan kirinya rusak permanen."
"Mereka katakan kepada mereka bakal bunuh saya jika tidak kembali masuk Islam," urainya. Saya lari tinggalkan Sudan demi nyawa saya setelah tahu bahwa nyawa saya terancam." Bagaimanapun, tidak lama kemudian, orang-orang tidak dikenal di Kairo mulai mengirim ancaman mati kepadanya lewat short message service (SMS). Yang paling akhir, apartemennya dirazia, paspornya dicuri yang membuat terpaksa menyembunyikan diri. "Nyawa saya dalam bahaya besar karena Mesir menjadi tempat yang tidak aman bagi saya," demikian konon yang dilaporkan terakhir kali dikatakan Osman.
Uganda: Kisah seorang ibu dan putrinya yang diusir keluar rumah oleh suami/ ayahnya yang Muslim setelah mereka beralih masuk Kristen muncul dalam sebuah berita, 7 Januari lalu. Menurut ibunya, Adijah
"Bertahun-tahun sebagai Muslim, saya tidak temukan sesuatu yang salah dengannya. Tetapi tahun lalu, ketika saya mendengar siaran radio tentang Yesus, saya mulai berpikir tentang Agama Kristen dan mengapa ada begitu banyak permusuhan antara kaum Muslim dan umat Kristen. Saya tidak tahu [saat itu, tetapi ia] mengawali perjalanan saya untuk beralih kepada Kristen. Suamiku tahu bahwa saya menerima Kristus ketika dia temukan Alkitab di rumah. Saya memmohon kepadanya untuk mengijinkan saya mencoba jalani iman baru dan melihat seberapa jauh saya maju, tetapi dia enggan. Dalam beberapa hari, dia musuhi saya dan Nuriah [putrinya] yang juga mulai membaca Alkitab. Saya diberikan ultimatum selama satu minggu untuk memutuskan jika ingin jadi non-Muslim kemudian mengikuti agama Kristen yang sesat."
Informasi tentang dia murtad dari Islam akhirnya menyebar ke seluruh wilayah. Pihak keluarga serta beberapa pihak lainnya lalu mendesak suaminya untuk mengusirnya: "Kau kafir," ia akhirnya meledak marah. "Aku tidak ingin lihat kau di sini. Ambil pakaianmu dan pergi dengan Nuriah karena dia juga sudah mulai baca Alkitab dan nyanyikan lagu-lagu Kristen. Lihatlah hal memalukan dan kehancuran yang kau timpakan kepada kami. Nuriah dulu Muslim yang baik, tetapi sekarang dia bersembunyi dan pergi bersamamu ke gereja. " urai Adijah mengenang:
"Keesokan harinya sebelum kami tinggalkan rumah, dia mencabut sebuah singkong yang saya tanam. Dengan suaranya yang paling keras dia berteriak-teriak. Dia ancam akan mengambil kembali apa saja yang secara hukum dia berikan kepada saya sehingga saya tidak mendapat warisan tanah secuil pun dari dia. Dikatakannya, itu konsekwensi langsung dari meninggalkan Allah dan nabiNya dan mengikuti dewa-dewa."
Menurut putrinya, Nuriah:
"Saya siap menjadi Kristen. Tetapi ayah saya mungkin tidak senang sehingga memukul saya. Saya masih mencintai ayah saya, tetapi dia tidak ingin kami berdoa sesuai keinginan kami. Tidak boleh dia paksa kami untuk masuk Islam. Seorang anggota keluarga kami memberitahu bahwa ayah sedang mencari cara untuk membunuh kami."
Sejak itu, sang ayah menikah lagi. "Dengar-dengar, dia sudah cari seorang wanita Muslim. Mereka sudah hidup bersama dalam rumah yang dulu sama-sama yang kami tempat," urai bekas istrinya. "Kami hidup dalam ketakutan. Soalnya kami tidak tahu apa yang dia rencanakan akan dia lakukan atas kami." Sejak itu, ibu dan puteri melarat itu mengalami banyak kemiskinan dan penderitaan. Terakhir, dilaporkan tengah berlindung dalam sebuah keluarga Kristen di bagian lain negeri itu.
Secara terpisah di Uganda, seorang mantan Muslim yang menjadi Kristen hidup dalam ketakutan mengkhawatirnya nyawanya setelah kaum Muslim lokal merobohkan gereja yang dipimpinnya sampai rata tanah dan mengancamnya membunuhnya karena murtad dan menyebabkan Muslim lainnya murtad dari Islam. "Satu geng Muslim radikal memasuki kompleks gereja," Simon Mustafa Waseke, yang menjadi Kristen pada tahun 2017, mengenang, "lalu robohkan bangunan gereja sambil berteriak 'Allah Akbar"... Tidak ada lagi ibadat di tempat ini. Kalau tidak kalian semua akan kehilangan nyawa.' Dan, dalam sekejap gereja sudah rata tanah. " Seorang Kristen bawah tanah yang berhubungan dengan komunitas Muslim memberi tahu dia bahwa mereka berencana akan membunuhnya:
"Bahkan jika saya diberi perlindungan polisi sekalipun, saya tidak yakin dengan keamanan anggota gereja, yang kini sangat ketakutan. Saya berada di persimpangan jalan, tidak tahu apa yang akan dilakukan. Para anggota gereja saya tersebar pecah belah seperti domba tanpa gembala. Segera, iman mereka dalam Kristus akan mengecil dan mereka mungkin saja akan kembali memeluk Islam...Orang-orang Muslim kini keluar hendak membunuh saya dan keluarga. Kami alami malam-malam kurang tidur. Berapa lama kami bakal menyembunyikan diri dari masuk-musuh agama Kristen kami? Tolong doakan kami."
Pro-Muslim, Bias Anti-Christian di Barat
Kerajaan Inggris: Seorang laki-laki Kristen yang sudah menetap di Inggris selama 15 tahun, awal Januari lalu dideportasi kembali ke Pakistan, walau dia dianiaya di sana. Asher Samson, 41, "pertama tiba di Inggris tahun 2014 untuk menjalani pendidikan teologinya agar bisa menjadi pendeta, tetapi belakangan mengajukan lamaran untuk mendapatkan suaka setelah mendapatkan ancaman dari kaum ekstremis Islam selama dia mengunjungi rumahnya," tulis sebuah berita . Mantan pendetanya, Pendeta Lorraine Shorton dari Gereja Hall Green United Community melukiskan situasi terbaru sebagai berikut;
"Saya terima beberapa pesan darinya. Dia sangat takut. Takut dengan hidupnya .... Dia bersembunyi di Pakistan dan keluarganya sangat mengkhawatirkannya.... Sekarang ini dia tidak punya uang untuk hidup. Dia tidak bisa bekerja .... Inggris kirim kembali orang-orang ke negara-negara ini di mana kehidupan mereka dalam bahaya. Pakistan itu nomor lima dalam Daftar Pengawasan Dunia untuk ekstremisme terhadap umat Kristen. Sungguh memalukan jika kita kembali mengirim orang yang berpotensi mati.... Berdoalah agar pemerintah akan pahami. "
Berita terpisah lain dari 20 Januari menegaskan bahwa, ketika sampai kepada pemberian suaka, Inggris "tampaknya membeda-bedakan dan lebih memilih Muslim" daripada minoritas Kristen dari negara-negara Muslim. Berbagai statistik mengkonfirmasi dugaan ini: "dari 4.850 pengungsi Suriah yang diterima untuk dimukimkan kembali oleh Kementerian Dalam Negeri pada 2017, hanya sebelas orang Kristen, mewakili hanya 0,2% dari semua pengungsi Suriah yang diterima oleh Inggris."
New Zealand: Dari warga negara asing yang ditawarkan suaka antara 31 Oktober 2017 dan 31 Oktober 2018, tujuh berasal dari Irak, 105 dari Afghanistan dan 277 dari Suriah — namun semuanya Muslim, sebuah berita menemukan:
"Angka-angka untuk tahun-tahun sebelumnya... sama-sama suram. Pada 2016, hanya enam orang Kristen di antara 377 warga Suriah yang mendapatkan perlindungan. Dan dalam lima minggu hingga 10 Februari 2017, tidak ada orang Kristen di antara 45 warga Suriah, semua Muslim, yang diizinkan untuk menetap. Orang-orang Kristen membentuk 10% dari populasi Suriah sebelum perang. "
Menanggapi perbedaan angka ini, seorang jurubicara pemerintah mengatakan bahwa pengungsi dipertimbangkan untuk dimukimkan kembali berdasarkan "kebutuhan untuk melindungi mereka bukan afiliasi agama." Namun, bagaimanapun, mengingat bahwa Negara Islam biasanya menyasar orang berdasarkan "afiliasi agama" mereka, maka ia menunjukkan bahwa orang Kristen, Yazidi, dan minoritas lainnya lebih "membutuhkan perlindungan" dibandingkan kaum Muslim.***
Raymond Ibrahim, pengarang buku baru, Sword and Scimitar, Fourteen Centuries of War between Islam and the West (Pedang dan Badik, Empat Belas Abad Perang Antara Islam dan Barat) adalah Mitra Senior Lembaga Kajian Gatestone Institute dan Mitra pada Lembaga Kajian Middle East Forum.
Tentang Seri Ini
Memang tidak semua, atau bahkan tidak bisa dikatakan sebagian besar, kaum Muslim terlibat namun penganiayaan terhadap umat Kristen terus meningkat. Seri "Kaum Muslim Menganiaya Umat Kristen" dikembangkan untuk mengumpukan berbagai contoh aksi penganiayaan yang mengemuka setiap bulan walaupun tentu saja tidak semua.