RAJA ARAB SAUDI SALMAN BIN ABDUL AZIZ---tiba di Indonesia, 1 Maret 2017 lalu untuk sebuah perjalanan besar-besaran selama sembilan hari. Bersama dia ikuti pula 1500 rombongan yang besar. Dia disambut hangat, bukan saja sebagai monarki dari salah satu negara dunia terkaya, tetapi juga sebagai penjaga dua kota tersuci Islam, Mekkah dan Medina.
Kunjungan itu tampaknya dimaksudkan untuk berlibur, bukan untuk kunjungan kenegaraan. Karena itu, raja berusia 81 tahun itu menghabiskan enam hari di sebuah resort di Bali. Meski demikian, raja punya sejumlah bisnis penting untuk dihadiri. Sesuai dengan yang diiklankan sebagai upaya untuk mempromosikan "interaksi sosial" antara Arab Saudi dan Indonesia, tujuan perjalanan itu yang sebenarnya seolah-olah adalah untuk mempromosikan serta meningkatkan Salafisme dan aliran Sunni ekstrim di negara Muslim terbesar tersebut, yang kerapkali dipuja-puji di Barat sebagai contoh dari sebuah masyarakat Islam yang moderat. Pada saat yang sama, raja juga mengumumkan paket bantuan senilai satu miliar dolar (sekitar Rp 13,350 triliun), penerbangan tanpa batas antara kedua negara serta jatah tambahan sebesar 50.000 tempat per tahun bagi orang Indonesia yang mau naik haji ke Mekkah dan Medina.
Presiden Joko Wido dari Indonesia (latar depan, kiri) bertemu dengan Raja Salman dari Arab Saudi (latar depan, kanan) di Bandara Halim Perdanakusuma di Indonesia. (Sumber foto: Istana Kepresidenan Indonesia) |
Wartawan yang berbasis di Jakarta, Krithika Varagur menulis dalam The Atlantic seputar hari kedua kunjungan sang saja dengan menjabarkan usaha Arab Saudi sebagai berikut;
"Sejak 1980, Arab Saudi menyediakan jutaan dolar guna mengekspor jenis Islamnya yang kaku ketat, Salafisme, kepada Indonesia yang secara historis toleran dan beragam. Negara itu sudah membangun lebih dari 150 masjid (sekalipun di sebuah negara yang sudah mempunyai 800,000 masjid), sebuah universitas besar yang memberikan pendidikan gratis di Jakarta serta sejumlah institute Bahasa Arab, memasok lebih dari 100 sekolah berasrama dengan berbagai buku serta guru-gurunya (meski di sebuah negara yang diperkirakan sudah mempunyai antara 13,000 dan 30,000 sekolah berasrama); mengirim para penceramah serta guru; serta membagi-bagikan ribuan beasiswa bagi para mahasiswa pascasarjana untuk belajar di Arab Saudi."
Pengaruh Saudi ini sudah memakan banyak korban di Indonesia yang 90% dari 250 juta penduduknya beraliran Sunni. Konstitusi negeri itu yang memang pluralistis. Ada pasalnya yang mengatakan, "Negara menjamin setiap dan masing-masing warga negara kebebasan beragama dan beribadat sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing," namun, Indonesia----yang mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1945 ---telah berkembang menjadi semakin tidak toleran terhadap umat Kristen, Hindu dan Muslim Shiah.
Sebelum Arab Saudi berupaya menyebarluaskan Salafisme ke seluruh penjuru dunia Muslim, Indonesia tidak punya organisasi teroris seperti Hamas Indonesia, Laskar Jihad, Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam, Jamaah Islamiah, untuk menyebutkan beberapa organisasi tersebut.
Sekarang, ada banyak kelompok-kelompok seperti ini. Mereka patuh secara kaku kepada hukum Shariah Islam, kepada sistem hukum Arab Saudi yang mengikat dan yang mempromosikan institusi-institusi pendidikannya. Seperti al-Qaeda dan ISIS, mereka juga menolah hak-hak wanita yang sederajat, meyakinkan perlunya kematian dengan rajam bagi para pezinah serta memotong tangan bagi para pencuri dan mengeksekusi mati para homoseksual dan Muslim yang beralih agama.
Contoh paling terakhir dari cara esktremisme ini melanda Indonesia terjadi baru saja tiga pekan setelah Raja Arab Saudi mengakhiri perjalanannya. Pada 31 Maret 2017, sedikitnya 15.000 demonstran kaum radikal garis keras memenuhi jalan-jalan Jakarta setelah sholat Jumat, menyerukan agar gubernur ibukota yang Kristen dipenjara, yang kini sedang diadili dengan tuduhan, "menghina Qur'an" (blaspheming the Quran).
Jumlah ini sedikit dibandingkan dengan gerombolan massa ----berjumlah sekitar 200.000 pada setiap demonstrasi yang keras yang melanda kota itu pada Nopember, Desember dan Februari lalu. Gerombolan massa itu menuntut agar Basuki Tjahaja Purnama (yang dikenal akrab sebagai Ahok) dipenjara karena mengatakan kepada sebuah kelompok nelayan bahwa, mereka ditipu soal bagaimana Qur'an melarang kaum Muslim supaya tidak diperintah oleh seorang kafir, sehingga dia paham mengapa beberapa dari mereka mungkin tidak memilih dia. Jika dihukum, maka Ahok bisa menjalankan hukuman hingga lima tahun di penjara.
Yang menyedihkan, masa penjara ala kaum radikal Islam itu tidak ada apa-apanya, bila orang menganggap bahwa secara keseluruhan negara itu sudah menjadi---pemberian Raja Salman dan "hadiahnya" yang mewah.