Menteri Dalam Negeri Italia Matteo Salvini menuduh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Eropa bekerja sama dengan mafia penyelundup manusia menjemput para migran di lepas pantai Libya kemudian mengirimkan mereka ke berbagai pelabuhan Italia. Para pejabat Italia menyebutkan kapal-pakal amal penyelamat itu sebagai "taksi Mediteriania" bagi para penyelundup manusia. (Foto oleh Andreas Gebert/Getty Images). |
Otoritas Italia menyita sebuah kapal penyelamat migran Spanyol setelah tiga pekan terlibat konflik yang berujung buntu dengan lembaga amal Spanyol yang mengoperasikan kapal.
Menteri Dalam Negeri Italia Matteo Salvini menolak mengijinkan kapal penyelamat Open Arms untuk mengangkut lebih dari 80 migran yang sebagian besar orang Afrika untuk naik dock di Italia. Penolakan itu searah dengan upayanya untuk menanggulangi penyelundupan migran yang efektif menutup pelabuhan Italia bagi kapal-kapal penyelamat migran sejak Juni 2018.
Salvini menuduh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bekerja sama dengan mafia penyelundup manusia untuk menjemput para migran di laut lepas Libya. Para migran kemudian diangkut menuju pelabuhan-pelabuhan Italia. Para pejabat Italia lantas menamakan kapal-kapal penyelamat itu sebagai "taksi-taksi Laut Mediterania" bagi para penyelundup manusia.
Meski demikian, seorang jaksa Sisilia Luigi Patronaggio, 20 Agustus lalu memerintahkan kapal Open Arms membuang sauh satu kilometer di pulau paling selatan Italia. Dengan tujuan agar kapal itu bisa memasuki galangan kapal di Sisialia. Dengan demikian, penumpangnya bisa turun. Keputusannya itu jelas berbeda dari keputusan Salvini. Dia melakukan itu karena lebih dari sepuluhan migran melompat dari kapal berusaha berenang menuju pantai. Namun, berbagai gambar video selanjutnya ternyata memperlihatkan bahwa Open Arms yang justru menyuruh para migran melompat ke laut guna memanipulasi pendapat public.
Kapal Open Arms dioperasikan oleh sebuah LSM Spanyol dengan nama yang sama. Pada 1 Agustus lalu, lembaga itu menjemput 147 migran di lepas pantai Libya, Pemerintah Italia lalu mengijinkan orang-orang yang membutuhkan perawatan medis serta semua anak yang tidak didampingi orang dewasa untuk turun 17 Agustus lalu. Lima negara Uni Eropa; Spanyol, Prancis, Jerman, Luksemburg serta Portugal sepakat untuk menjemput sisanya, walaupun rincian pemahaman belum final.
Pada 18 Agustus, Pemerintah Spanyol mengumumkan bahwa Open Arms diijinkan memasuki galangan kapal di Pelabuhan Algeciras di Cádiz serta di Mahón, Menorca di Kepulauan Balearic. Namun, Kapten Kapal Open Arms menolak tawaran itu. Dia berdalih bahwa "tidak mungkin" melakukan perjalanan empat sampai enam hari jika dilihat dari kondisi kapal. "Kami tidak bisa membahayakan keamanan serta keutuhan fisik migran serta anak buah kapal. Kami perlu naik galangan sekarang."
Penolakan kapten untuk menerima tawaran Spanyol memicu kecurigaan tentang motivasi finansial dan politik di balik penyelamatan migran. Termasuk upaya Open Arms dan LSM lain untuk mempromosikan pembukaan kawasan perbatasan negara dengan cara mendiskreditkan kebijakan imigrasi garis keras Salvini.
"Kami menghadapi ejekan yang kesekian dari Open Arm Spanyol. Selama berhari-hari LSM itu berkeliaran di Laut Mediterania untuk satu tujuan tunggal. Mengumpulkan sebanyak mungkin orang untuk selalu dan hanya membawa mereka menuju Italia," tulis Salvini dalam twit-nya. "Selama ini mereka sudah bisa bolak-balik ke pelabuhan Spanyol tiga kali. LSM-LSM ini hanya politis. Mereka menggunakan imigran untuk melawan negara kami. Saya tidak akan menyerah."
Pejabat Wakil Perdana Menteri Spanyol Carmen Calvo pun mengaku bingung dengan sikap Open Arms. Dalam wawancaranya dengan stasiun radio Spanyol Cadena SER, ia menekankan bahwa kapal itu dapat dengan mudah memasuki galangan di Tunisia atau Malta tetapi menolak untuk melakukannya:
"Kami tidak paham posisi Open Arms. Sudah kami tawarkan semua jenis dukungan: perhatian medis, perbekalan. Kami sadari situasinya kritis karena ketidakpastian dan keputusasaan. Tetapi begitu Anda memberi tahu bahwa mereka bisa menggunakan pelabuhan yang aman, para migran pun tahu mereka akan tiba. Dan semua orang bisa pahami bahwa tidak ada masalah. "
Pada 20 Agustus lalu, Pemerintah Spanyol mengerahkan sebuah kapal perangnya, Audaz. Dari Pangkalan Angkatan Laut Rota. Guna menjemput para migran kemudian membawa mereka ke Pulau Mallorca milik Spanyol. Bagaimanapun, perjalanan pulang-pergi diperkirakan menempuh sedikitnya satu pekan. Dan Patronaggio bertindak setelah ada berita bahwa beberapa migran bunuh diri.
Pemerintah Italia belakangan melarang Open Arms. Keputusan itu diambil setelah dalam sebuah inspeksi, Pengawal Pantai Italia menemukan ada "penyimpangan-penyimpangan keamanan yang serius". Menteri Transportasi Italia menegaskan bahwa kapal itu tidak diijinkan berlayar menuju Sisilia sampai persoalan-persoalan itu dibereskan.
Menteri Transportasi Italia Danilo Toninelli lalu meminta Pemerintah Spanyol melarang aktivitas Open Arms. Dengan cara tidak mendaftarkan kembali kapal itu serta mencabut bendera Spanyol dari kapal. "Saya berharap Spanyol menjawab permohonan kami serta berusaha menghentikan Open Arms pada masa datang dengan sarana dan dengan cara yang dianggapnya tepat," urainya. Sebuah kapal yang tidak berbendera secara hukum tidak bisa terus menjemput para migran.
Pemerintah Spanyol sejak itu mengungkapkan sikap yang lebih keras terhadap LSM Open Arms. Padahal, pemerintah sendiri sedang menghadapi semakin banyak kritik soal penanganan masalah yang buntu itu. Pada 21 Agustus lalu, Calvo mengatakan kepada Radio Cadena SER bahwa Open Arms tidak punya ijin untuk mengangkut migran. Dengan demikian, LSM itu bisa didenda $ 1 juta (sekitar Rp 14,2 miliar) karena melanggar larangan serius untuk berlayar menuju laut lepas Libya. "Open Arms tidak punya ijin untuk menyelamatkan orang, seperti yang diketahui oleh kapten kapal. Ini negara yang dipimpin oleh hukum. Kita semua tunduk kepada hukum."
Bagaimanapun, pada masa lalu, Pemerintah Spanyol pernah bekerja erat dengan Open Arms. Pada Agustus 2018, LSM itu mengumumkan bahwa ia sudah mencapai kata sepakat dengan pemerintah untuk mengkoordasikan upaya penyelamatan migran di Selat Gibraltar dan Laut Mediterania. Pada bulan yang sama, Menteri Pembangunan Spanyol, José Luis Ábalos memuja-muji Open Arms karena menyelamatkan "puluhan ribu orang sejak 2015." Masih tetap belum jelas jika LSM itu mendapatkan uang dari pemerintah untuk aktivitas-aktivitasnya.
Partai anti-migran Spanyol, Vox lantas mengajukan gugatan terhadap Open Arms. Menyerukan supaya kapten kapal tersebut, Óscar Camps ditangkap. "Ia mencoba menyamarkan aktivitasnya sebagai "karya penyelamatan.' Padahal, LSM ini adalah antek dari jaringan mafia internasional penyelundupan manusia. Pemimpin Vox Santiago Abascal dalam twit-nya menambahkan:
"Open Arms tidak menyelamatkan penumpang kapal karam. Jika dia lakukan itu, maka ia bawa mereka menuju pelabuhan terdekat. Yang dilakukannya adalah memanfaatkan para migran itu sebagai alat pemerasan melawan negara-negara yang memilih mempertahankan kedaulatan mereka.
"Organisasi kemanusiaan pura-pura ini, atas nama solidaritas, mengeksploitasi niat baik banyak orang. Bagaimanapun, karya mereka diperjuangkan oleh kalangan yang ingin menghancurkan perbatasan Eropa dan hanya menguntungkan para pedagang manusia.
"Karena semua alasan ini, kami akan bertindak tegas dan memaksa atas LSM, pemerintah, perkumpulan atau organisasi apapun yang berniat terus mempromosikan imigran illegal yang massif serta membuat kita tunduk kepada kepentingan mafia-mafia perdagangan manusia internasional.
"Aktivitas kriminal yang melawan hukum ini membahayakan negara kesejateraan, kedaulatan, keamanaan masyarakat Spayol. Bahkan hidup dari orang-orang yang mereka klaim mereka selamatkan. Mereka bakal harus menjawab kepada pengadilan segera daripada terlambat."
Kapal-kapal kemanusiaan Eropa berulangkali berupaya --- dengan tingkat keberhasilan beragam --- untuk membawa migran yang diselamatkan di laut menuju pelabuhan-pelabuhan Italia:
Tanggal 22 Desember 2018. Kapal Spanyol Open Arms mengangkut 311 migran yang diselematkan di laut lepas Libya, kemudian berlayar menuju Pelabuhan Algeciras Spanyol, setelah kapal itu ditolak masuk oleh Italia dan Malta. "Pelabuhan-pelabuhan Italia TUTUP," tulis Salvini dalam twit-nya. "Pedagang manusia beserta antek-antek mereka sadar bahwa pelabuhan-pelabuan itu tutup. BERHENTI! tambahnya lagi.
Tanggal 19 Maret 2019. Kapal amal berbendera Italia Mare Jonio disita setelah naik dock di sebuah pelabuhan di Lampedusa menurunkan 49 migran yang diambil dari laut lepas Libya. "Kapal orang-orang pendek gemuk yang anarkis itu sudah disita. Mengagumkan," kata Salvini. "Di Italia kini ada pemerintahan yang mempertahankan batas-batas negaranya dan membuat hukum dihormati, di atas segala-galanya oleh para pedagang manusia. Semua yang melakukan kesalahan akan membayar." Sebelumnya, dia pernah mengatakan bahwa para migran tidak bakal diijinkan memasuki Italia: "Mereka bisa dirawat, diberikan pakaian dan diberikan makan. Kita bisa berikan kenyamanan apapun kepada mereka. Tetapi mereka tidak akan menginjak kaki di Italia."
Tanggal 10 Mei 2019. Kapal Mare Jonio sekali lagi dilarang keluar setelah dia naik dock di sebuah pelabuhan di Lampedusa menurunkan 30 migran yang diselamatkan di lepas pantai Libya.
Tanggal 29 Juni 2019. Pihak berwenang Italia menangkap seorang kapten kapal warga Jerman yang berbendera Belanda. Kapal Sea-Watch 3, namanya. Dioperasikan oleh lembaga amal Sea-Watch, Jerman. Tindakan itu dilakukan setelah dia secara illegal naik dock, membawa 40 migran di Lampedusa. Salvini menulis twit: "Pelanggar hukum ditangkap. Kapal bajak laut disita. Denda besar untuk LSM asing. Para migran semuanya dibagikan kembali di seluruh negara Eropa. Misi selesai." Seorang hakim Italia belakangan membebaskan kapal itu. Pertimbangannya bahwa kapal itu sudah bertindak menyelamatkan nyawa manusia. Keputusan itu membuat Salvini marah. Dia pun lantas berujar bahwa tindakan itu bakal mendorong kapal-kapal amal lainnya untuk menolak larangan naik dock.
Tanggal 6 Juli 2019. Kapal amal berbendera Italia, Alex, membawa 41 migran yang terdampar ke pelabuhan di Lampedusa sebagai bentuk perlawanan terhadap Salvini. Salvini menulis tweet: "Untuk melanggar hukum, para penjahat itu menempatkan nyawa para imigram di kapal dalam bahaya. Akankah mereka tidak boleh dihukum? Di sebuah negara yang serius, penangkapan dan penyitaan kapal akan segera dilakukan. Lalu apakah yang akan para hakim lakukan saat ini?"
Sementara itu, kapal Ocean Viking yang berbendera Norwegia, diijinkan naik dock di Malta, 23 Agustus lalu setelah ditolak masuk Italia. Kapal itu dioperasikan oleh dua lembaga amal Prancis. Dengan mengangkut 356 migran, kapal itu berlayar antara Sisilia dan Lampedusa selama dua minggu sambil menunggu izin naik dock di Italia. Para migran akan dipindahkan ke Prancis, Jerman, Irlandia, Luksemburg, Portugal dan Rumania.
Dalam sebuah essay yang diterbitkan oleh suratkabar Spanyol, El Mundo, 24 Agustus lalu, José María Ruiz Soroa, seorang profesor hukum maritim terkemuka di Universitas Negara Basque, menjelaskan bahwa LSM Eropa memanipulasi kesenjangan antara hukum nasional yang membatasi migrasi dan hukum internasional yang mempersyaratkan perlunya bantuan bagi orang-orang yang terdampar, supaya bisa mengirimkan imigran ilegal ke UE.
Ruiz Soroa menulis bahwa LSM-LSM menyalahgunakan hukum maritim internasional (terutama Konvensi Internasional soal Penyelamatan dan Konvensi Internasional soal Pencarian dan Penyelamatan Maritim). Undang-undang itu mewajibkan kapten kapal untuk menyelamatkan orang-orang yang terdampar yang mereka temukan di laut lalu mengirimkannya ke tempat atau pelabuhan yang aman. Dia mencatat bahwa "pelabuhan yang aman" sebagaimana didefinisikan oleh undang-undang itu memungkinkan LSM mengembalikan orang-orang yang terdampar ke Libya. Tetapi LSM-LSM itu bersikeras mengangkut mereka ke Eropa:
"Sangat jelas bahwa ketika jaringan terorganisir pengendali migran dari Libya melemparkan orang ke laut ke dalam kapal yang tidak punya kondisi navigasi memadai sekalipun supaya aman mengangkut mereka ke pelabuhan Eropa, maka yang mereka lakukan adalah sengaja menempatkan orang-orang itu dalam status hukum orang-orang terdampar. Ini bukan bangkai kapal yang disebabkan oleh kecelakaan laut, sebagaimana dimaksud oleh hukum internasional. Itu 'bangkai kapal yang nyaman.' Tidak peduli berapa banyak migran yang melakukannya karena putus asa, mereka secara resmi menjadikannya kapal karam supaya bisa memperoleh status hukum. Dan begitu diselamatkan, mereka diizinkan masuk ke Eropa dengan melewati larangan imigrasi ilegal.
"Dalam analisis terakhir, yang sedang kita saksikan di perairan Mediterania adalah salah satu kasus penipuan hukum paling nyata yang dapat dibayangkan. Yang sengaja ciptakan tampilan peristiwa faktual yang diatur dengan cara tertentu dalam undang-undang khusus ... untuk menghindari penerapan hukum umum yang tak terhindarkan yang benar-benar sesuai dengan situasi faktual yang mendasarinya. Salah satunya adalah emigrasi. Dan itu dilarang. Karena upaya untuk mem-bypass hukum itu dilakukan berdasarkan hukum yang lain. KUHP dan akal sehat, mengatakan bahwa trik semacam itu ilegal.
"Apakah ini berarti bahwa orang-orang buangan yang ditemukan (dikejar oleh?) Open Arms harus ditinggalkan menghadapi nasib? Jelas tidak. Kehidupan manusia jauh di atas pertimbangan seperti itu. Orang-orang yang pura-pura terdampar dari Open Arms harus dibantu .. Namun, situasi penipuan hukum ini memang luas terjadi. Negara-negara yang terkena dampak perlu campur tangan menghentikan dan mencegah tindakan orang-orang yang penuh semangat yang beritikad baik yang justru hanya memperparah masalah. Penyelamatan menjadi masalah negara ketika aspek-aspek kepentingan publik yang relevan dipertaruhkan. Misalnya terkait dengan soal lingkungan, dan bagaimana seharusnya dalam kasus imigrasi ilegal.
"Pemerintah Spanyol beberapa bulan lalu melakukan intervensi: Open Arms pun dilarang menyelamatkan orang-orang yang terdampar di perairan Libya. Larangan itu tidak dibuat begitu saja, tetapi berdasarkan kecurigaan kuat bahwa kehadiran Open Arms di perairan itu akan mendorong calon migran potensial untuk membahayakan diri sendiri dengan harapan diselamatkan. Namun, pemilik kapal melanggar larangan ketika memutuskan sendiri bahwa hukum dapat dilanggar ketika manusia yang menderita ditempatkan pada sisi lain dari skala keadilan ....
"Akan ada orang-orang kapal karam yang merasa nyaman (beberapa akan berjuang untuk itu) selama mereka punya harapan kuat bahwa akan ada penyelamat yang menunggu mereka di luar sana. Itu lingkaran mematikan yang tidak berkelanjutan yang harus dipotong di suatu tempat."
Sebuah polling pendapat umum dari Ipsos baru-batu ini oleh Suratkabar Italia Corriere della Sera menemukan bahwa mayoritas masyarakat Italia mendukung kebijakan garis keras Salvini atas imigrasi. Sebanyak 59% mengatakan sepakat dengan keputusannya untuk menutup pelabuhan Italia dari kapal-kapal penyelamat migran. Sebesar 71% mengatakan bhawa negara-negara Eropa lain seharusnya bertindak lebih banyak untuk berbagai beban. Polling juga menemukan bahwa mayoritas masyarakat Italia (56%) yakin bahwa LSM yang terlibat merekrut para migran itu termotivasi oleh uang. Hanya 22% yang yakin bahwa mereka memang terdorong oleh prinsip kemanusiaan.
Semenjak Salvini mengumumkan kebijakan imigrasi garis kerasnya, Juni 2018, jumlah kedatangan migran ke Italia, sangat merosot. Demikian juga dengan jumlah migran yang meninggal dunia dan hilang di perjalanan. Jumlah kedatangan migran lewat laut merosot. Dari 119. 369 pada 2017 menjadi 23.370 pada 2018. Jadi menurun sampai 89%, ademikian dikatakan oleh Komisioner Tinggi PBB urusan Pengungsi. Selama periode yang sama, jumlah migran yang meninggal dunia dan hilang merosot dari 2.873 orang menjadi 1.311 orang. Jadi merosot lebih dari 50%.
Kecenderungan yang sama berlanjut pada 2019: Sebanyak 2.800 migran tiba di Italia lewat laut antara Januari dan Juni 2019. Bandingkan dengan 16.600 migran selama periode bulan yang sama pada 2018 dan 83.800 migran pada 2017 menurut UNHCR.
Dari migran yang tiba di Italia lewat laut pada 2019, ada 600 orang (21%) dari Tunisia; 400 (14%) dari Pakistan. Sebesar 300 orang (10%) dari Aljazair; 300 orang (10%) dari Irak; 200 orang (7%) dari Pantai Gading; 200 orang (7%) dari Bangladesh; 100 orang (3,5%) dari Sudan; 100 orang (3,5%) dari Iran; 100 orang (3,5%) dari Marokko. Dan ada 50 orang (1,7%) dari Mesir, menurut UNHCR.
Data mengindikasikan bahwa banyak migran yang tiba di Italia selama enam bulan pertama 2019 itu adalah migran ekonomi. Bukan para pengungsi yang meninggalkan kawasan perang.
Soeren Kern adalah Mitra Senior pada Lembaga Kajian Gatestone Institute yang berbasis New York.