Belum pernah terjadi sebelumnya, di Timur Tengah, umat Kristen diserang dan diusir keluar dari kawasan itu. Gambar: Sebuah gereja yang dibakar dan dirusak oleh ISIS di Kota Qaraqosh, Irak. Foto diambil 27 Desember 2016. (Foto oleh Chris McGrath/Getty Images) |
Negara-negara sekuler yang tidak menindas (non-coersive states) yang mengakui kebebasan beragama seharusnya menjadi persoalan yang sangat penting bagi umat Islam di seluruh dunia. Ia menjadi kritik serius terhadap praktik Islam. Baik secara historis maupun pada era modern. Kritik bahwa banyak negara Muslim tampaknya tetap saja sangat tidak toleran terhadap pengikut agama lain atau pengikut berbagai cabang agama mereka sendiri. Sangat tidak toleran terhadap orang yang mereka anggap meninggalkan Islam. Atau kepada orang yang mereka anggap "menyinggung" pengikutnya. Entah dengan tidak sengaja ataupun sengaja. Penganiyaan terhadap kaum minoritas agama dan Muslim lainnya tampaknya umum di banyak negara Muslim. Mulai dari Arab Saudi yang sangat ketat hingga Indonesia yang lebih liberal, terutama di negara-negara tempat agama terkait erat dengan negara.
Situasi ini perlu dibahas. Diskusi dapat mengeksplorasi perbedaan antarberbagai masyarakat Eropa. Di sana ada pemisahan antara agama dan negara. Di atas semuanya, Perancis bisa jadi contoh. Bandingkan dengan banyak budaya dalam negeri di mana tidak ada pemisahan. Soalnya, dari sana, begitu banyak imigran Muslim berdatangan. Perbedaan antara kedua iklim politik ini ditandai tatkala menyangkut kebebasan beragama berikut hak berbagai entitas agama yang berbeda untuk hidup tanpa terganggu dalam negara dan lembaga negara yang berbeda, seperti lembaga peradilan. Tidak sulit untuk melihat bagaimana hukum dan nilai sekuler menawarkan perlindungan duniawi kepada Muslim sangat jauh di atas dibandingkan yang tersedia bagi non-Muslim di negara-negara Islam. Namun, ada berbagai kalangan seperti ilmuwan politik Inggris Jim Wolfreys, yang mengutuk sekularisme yang kuat lalu mengklaim bahwa itulah penyebab utama niat buruk terhadap Muslim. [1]
Mengapa harus dianggap anti-Muslim atau "Islamofobia" untuk menulis tentang efek jihad atau perlakuan Muslim konservatif terhadap kaum kafir? Faktanya memang diketahui sangat baik oleh badan-badan internasional, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), komisi nasional serta laporan jurnalistik yang dapat diverifikasi. Para reformis Muslim sendiri sangat kritis terhadap hukum dan perilaku diskriminatif di negara-negara tempat mereka atau leluhur mereka berasal. Memang, justru Muslim reformis dan liberal yang paling vokal berbicara tentang pembatasan yang sangat radikal terhadap nilai-nilai yang diklaim Muslim lain sebagai universal.
Mari kita perjelas. Tidak diragukan lagi, mungkin selalu ada orang yang menyebut diri sungguh-sungguh "fobia terhadap Islam", yang menggunakan masalah di negara-negara atau komunitas Muslim untuk mencoba menjerat Islam atau Muslim secara keseluruhan. Namun masalah ini dan masalah lainnya masih harus dihadapi sebagai masalah hak asasi manusia yang otentik.
Sebelum standar hak-hak asasi manusia internasional muncul, ada berbagai cara digunakan untuk mendekati beragam masalah budaya. Seperti misalnya persoalan pernikahan anak, kebebasan berbicara, perlakuan terhadap perempuan atau penerapan hukum yang setara. Norma-norma Islam dan Barat bertemu erat pada titik-titik tertentu namun juga berbeda pada berbagai aspek lainnya. Kesadaran terhadap kedekatan titik temu ini tetap bertahan sampai sekarang: seperti yang terjadi pada soal pembunuhan, pencurian, penipuan, perzinahan, pemberian kesaksian yang salah, pentingnya pendidikan anak, kepatuhan terhadap hukum, pemberian amal, perawatan para lanjut usia (Lansia), perhatian dan perawatan orang sakit dan cacat, hukuman atas kejahatan. Semua itu merepresentasikan nilai yang negatif sekaligus positif atas para pengikuti semua agama.
Terlepas dari persoalan ini, masih ada jurang pemisah yang semakin melebar antara nilai-nilai Barat dan Islam. Contohnya nilai-nilai yang terkait dengan perzinahan. Pengkhianatan terhadap pasangan hidup memang dianggap pelanggaran sistem nilai moral Barat. Tetapi tidak ada negara yang bermimpi hendak melembagakan hukumannya, terlepas dari soal pembagian harta benda rumah dan kekayaan dalam gugatan cerai. Namun bagaimanapun, di lebih dari satu negara Muslim, kasus itu menjadi serangan yang dapat dan kerapkali membuat si pelanggar mendapat hukuman cambuk atau dirajam dengan batu sampai mati. Yang menyedihkan, perbudakan masih bertahan di banyak bagian dunia Muslim (di sini, di sini dan di sini).
Banyak orang Barat tidak suka orang yang berlebihan minum alkohol atau narkoba karena persoalan pribadi, keluarga dan sosial yang ditimbulkan oleh barang-barang itu. Pecandu alcohol dan narkoba dianggap orang rentan yang memerlukan bantuan sosial dan medis. Tetapi minum alkohol sewajarnya dalam suasana sosial dianggap sangat normal. Bahkan sering diinginkan. Jika tidak semua, sebagian besar negara Barat menyediakan organisasi dan pusat perawatan resmi sukarela yang seringkali gratis jika minum alkohol dan narkoba sudah berubah menjadi masalah. Portugal, yang masih merupakan negara Katolik yang cukup konservatif bahkan tidak lagi menganggap memakai narkoba sebagai kejahatan pada 2001. Sejak itu, negara itu sangat berhasil mengurangi penggunaan narkoba. Negara-negara lain mulai bergerak ke arah serupa. Namun, sebaliknya, di negara-negara Muslim, alkohol dilarang dan penggunaan obat-obatan keras diganjari dengan hukuman mati. Dan itu sangat sering terjadi di di Iran.
Di Barat, homoseksual tidak lagi didiskriminasi oleh negara mana pun. Pernikahan sesama jenis semakin banyak dilakukan. Bahkan dilakukan di negara-negara yang sebelumnya menetapkan batasan agama terkait dengan ungkapan kasih sayang para gay (gay attachment) itu. Hal itu misalnya bisa dilihat di Republik Irlandia yang sebelumnya didominasi Gereja. Kesenjangan antara pemerintah Barat dengan populasi pembentuk keluarga LGBT terbuka yang mengadakan pawai Gay yang Berbangga (Gay Pride) pada satu sisi [2] dengan 13 negara Muslim semakin melebar. Di negara-negara Muslim, homoseksual bisa diganjari hukuman cambuk atau hukuman mati. Meski demikian, ada hal yang mengkhawatirkan. Dalam survei 2007 soal pandangan Muslim di Inggris, ditemukan 71% Muslim paling muda (16-24 tahun) menyatakan bahwa homoseksualitas itu salah dan harus dianggap melawan hukum. Namun, tidak seperti yang ditemukan di kalangan generasi tertua (55+). Hanya 50% di antaranya berpikir sebaliknya. [3] Dengan kata lain, dari generasi ke generasi, kesenjangan itu mungkin juga melebar.
Ketika Barat semakin sekuler, proses itu menyebabkan peran pemerintah untuk campur tangan dalam urusan komunitas keagamaan semakin dibatasi. Gejala itu terutama ditemukan di negara-negara seperti Irlandia, Inggris, Prancis (sejak 1905) dan Israel (sejak 1948). Persoalan pindah beralih masuk agama lain mungkin tidaklah rutin tetapi langkah itu jelas merupakan hak yang dilindungi oleh undang-undang Barat, sama halnya dengan hak orang untuk berdakwah.
Sikap untuk membuka diri ini mendorong terjadinya multikulturalisme. Dalam suasana itu, kaum beragama didorong untuk menjalankan ritus agama mereka sesuai keyakinan mereka dibesarkan atau mereka sudah beralih memeluknya. Di negara-negara itu, orang tidak dibatasi untuk mengubah agama atau meninggalkannya sepenuhnya. Pernyataan ini tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa semua kelompok bergaul baik di sana. Penduduk asli Irlandia Utara saya mungkin sudah bergeser dari kondisi politik dan agama mereka yang fanatik pada 1950-an dan 1960-an ketika saya tumbuh dewasa. Tetapi negeri itu masih menyembunyikan rasa permusuhan sektarian berdasarkan agama sehingga kekerasan menjadi kenangan seumur hidup mereka. Pemisahan ekstrim seperti ini memang tidak banyak terlihat di sebagian besar Inggris. Meskipun demikian, anti-Semitisme tetap terjadi. Dan setelah melihat banyak insiden kekerasan yang berulangkali terjadi itu terbukti dilakukan karena pengaruh Islam (misalnya di sini, di sini, di sini, di sini dan di sini), maka ada ketakutan yang menggelisahkan soal hidup bertetangga yang sebenarnya dari banyak orang yang baru tiba di Inggris.
Ini bukan situasi dunia Islam. Banyak Muslim yang memasuki Eropa dan Amerika Utara mungkin bingung dengan kebebasan beragama kami. Mereka lantas berasumsi bahwa apa yang diizinkan di negara asal mereka, diizinkan di Barat. Seperti misalnya terkait dengan "wanita tidak berjilbab" yang memang "ada." Secara tradisional, hingga hari ini, para penguasa dan ulama Islam menetapkan pembatasan ketat atas kaum kafir. Ini prinsip dasar Muslim bahwa satu-satunya agama yang benar di dunia itu Islam. Dan berdasarkan Al-Qur'an (3:85); "Dan siapa pun yang mencari agama selain Islam tidak akan pernah diterima olehNya dan pada hari akhirat dia akan menjadi salah satu yang rugi." Menurut seorang teolog Shiah modern, Al-Quran yang suci tidak pernah menggunakan istilah agama dalam bentuk jamak. Ini menunjukkan bahwa Allah Yang Mahakuasa hanya mengakui satu agama. Dan ada satu jalan menuju-Nya. Dan jalan itu adalah Islam".
Mungkin tidak mengejutkan. Banyak agama, termasuk Kristen, berpikiran sama. Seperti halnya umat Kristen, umat Islam berpendapat bahwa orang-orang beriman sejati adalah, atau berada di surga dan sebaliknya kaum tidak beriman di neraka. Muslim juga percaya bahwa kaum Yahudi dan Kristen adalah pengecualian parsial terhadap aturan ini, jika menerima Islam. Abraham, Musa dan Yesus dianggap sebagai nabi. Taurat dan Injil dianggap sebagai kitab suci ilahi, meski menurut Islam sudah dirusak oleh para rabi dan imam. Meski begitu, kaum Yahudi dan Kristen, betapapun bermoralnya mereka, jika tidak masuk Islam akan menemukan diri dalam Neraka (al-Nar) untuk selamanya. Sebagian Muslim senang terlibat dalam hubungan antaragama dan antar-komunitas yang positif. Meski demikian, sulit untuk tidak bertanya apakah masing-masing pihak benar-benar berharap bahwa pihak lain akan datang untuk melihat segala sesuatunya dengan cara mereka.
Pada umumnya, penganut agama minoritas dalam lingkungan masyarakat Muslim, jumlahnya kecil. Sayangnya, itu sering terjadi. Jadi bukan kebetulan (lihat di sini, di sini dan di sini). Umat Kristen paling besar jumlahnya di negara Islam yang ada adalah umat Koptik Mesir. Menurut Harian Wall Street Journal;
Pemerintah Mesir memperkirakan ada sekitar 5 juta umat Kristen Koptik. Tetapi pihak Gereja Ortodoks Koptik mengatakan populasi umatnya mencapai sekitar 15-18 juta. Angka yang dapat diandalkan memang sulit ditemukan. Tetapi perkiraan menunjukkan bahwa jumlahnya sekitar 6% hingga 18% dari populasi. Kebanyakan umat Koptik adalah orang Mesir, meskipun ada banyak kantong umatnya di Suriah, Libya, Yordania dan negara-negara lain, termasuk di Barat.
Tahun silam, Mesir masuk dalam liga tahunan penganiayaan terhadap orang-orang Kristen yang disusun oleh Yayasan Open Doors. Menurut Word Watch List (Daftar Pantau Dunia) rancangannya Korea Utara masih menjadi negara paling berbahaya di dunia bagi umat Kristen. Selain itu, penganiayaan umat Kristen mengalami peningkatan terbesar di Nepal.
Mesir bagaimanapun sangat mengkhawatirkan, meski ia adalah rumah bagi komunitas Kristen terbesar di Timur Tengah. Secara resmi sekitar 10% dari 95 juta populasi negeri itu Kristen, meskipun banyak yang percaya angka itu secara signifikan lebih tinggi.
Umat Kristen Koptik lebih jelas lebih pribumi dibanding banyak rekan Muslim mereka. Meski demikian populasi secara keseluruhan tidak menganggap mereka khusus. Mereka dipandang rendah sebagai dzimmmi. Yaitu orang-orang yang hidup dan harta bendanya secara teoritis "dilindungi" oleh penguasa Islam, namun tetap tunduk pada batasan keras yang diberlakukan berdasarkan hukum Islam. Berabad-abad, umat Kristen Mesir dianiaya dan seringkali sangat kejam. Sampai 1952, perlakuan terhadap umat Koptik sama saja dengan perlakuan terhadap umat Kristen dan Yahudi di seluruh dunia Muslim, meskipun Gamal Abdul Nasser naik ke puncak kekuasaan lewat kudeta tidak berdarah yang dipimpinnya sendiri yang berhasil menggulingkan monarki masa itu,
Seiring dengan meningkatnya fundamentalisme di Mesir karena pengaruh Ikhwanul Muslimin (MB) sejak era 1930-an dan seterusnya, permusuhan terhadap umat Kristen dan serangan atas orang dan bangunan mereka meningkat tajam. Umat Kristen Koptik menderita banyak sekali diskriminasi dan serangan terhadap gereja. Termasuk di dalamnya, tragedi bomb 2011 yang menewaskan 21 umat, perusakan gereja, penculikan serta membunuhan para wanita muda Kristen. Perusakan gereja baru saja dilarang pada 2016 ketika sebuah pengadilan di Aleksandria menetapkan bahwa aksi-aksi itu tidak bisa diterima. Gereja-gereja yang sudah dirusak atau dibakar rata tanah beserta banyak orang sudah dibunuh oleh gerombolan manusia. Penganiayaan ini dilukiskan sebagai "belum pernah terjadi sebelumnya" pada 2018, setahun sesudah 128 umat Koptik dibunuh.[4]
Di tempat lain di Timur Tengah, umat Kristen diserang, diusir dari kawasan itu. Dan itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Berbagai berita tentang semakin meningkatnya penderitaan mereka muncul dari berbagai sumber. Laporan umum (general report) yang benar-benar diteliti ditulis pada 2017 oleh Huma Haider dari Univeristas Birmingham. Laporan itu merupakan laporan utama, di mana berbagai isu dilaporkan dan ditata secara terurut bagus (Helpdesk) yang diminta oleh Departemen Pembangunan Internasional Inggris. Laporan itu dimulai dengan;
Satu abad silam, umat Kristen Timur Tengah membentuk 20 persen populasi. Kini, mereka membentuk tidak lebih dari 3-4 persen populasi kawasan itu. Kemerosotan drastis jumlah umat Kristen di Timur Tengah dianggap sebagai bagian dari eksodus jangka panjang yang terkait dengan kekerasan umum yang terjadi di banyak negara, kurangnya peluang ekonomi di kawasan serta penganiayaan agama.
Belakangan (hal. 5), laporan itu memberikan rincian yang lebih lengkap tentang kemerosotan jumlah itu;
Di Mesir dilaporkan bahwa populasi umat Kristen merosot. Dari 8,3% (1927) menjadi 5,3% (2011)... Di Irak, ada kira-kira 1,5 juta umat Kristen sebelum tahun 2003 (kurang dari 5 persen populasi). Kini, perkiraannya berkisar antara 200.000 jiwa sampai 250.000 jiwa...Di Suriah, umat Kristen berjumlah kira-kira 8 persen dari 22 juta populasi sebelum 2011. Kini, diperkirakan separuh jumlah umat Kristen meninggalkan negeri ini. Bukti-buktinya memperlihatkan bahwa sebagian besar dari mereka tidak berharap atau berniat untuk kembali. Seluruh desa Kristen dilaporkan dikosongkan, menyebabkan beberapa kawasan pedesaan sudah tidak punya umat Kristen...Dalam kasus kota-kota yang lebih besar seperti Damaskus dan Aleppo, persentase umat Kristen yang melarikan diri agaknya tidak lebih daripada persentase umat Muslim yang melarikan diri.
Dilaporkan bahwa Agama Kristen bisa saja lenyap dari Irak... dalam kurun waktu lima tahun,,,di Iran, populasi umat Kristen merosot. Dari 0,9% (1970) menjadi 0,35% sekarang ini. Umat Kristen di kawasan ini, yang tidak berdiam di berbagai kawasan yang langsung terganggu oleh perang akhir-akhir ini, mungkin saja berupaya untuk meninggalkan kawasan, jika dilihat dari ancaman anti-Kristen yang dilancarkan oleh ISIS dan berbagai kelompok mirip ISIS terhadap kestabilan kawasan itu.
Haider menjelaskan berbagai bentuk penganiyaan yang berdampak atas merosotnya populasi umat Kristen. Ada satu bentuk penganiayaan yang meningkat pada abad ke-21. Dia membuat daftarnya (kemudian menjelaskan) kategori berikut ini: Violence and harassment
1. Pengusiran keluar wilayah
2. Perusakan bangunan keagamaan dan warisan budaya
3. Pencurian (misalnya razia illegal terhadap rumah dan tanah milik umat Kristen)
4. Tidak adanya perlindungan hukum dan konstitusional (status warga negara yang tidak setara serta tidak memadainya kebebasan agama)
5. Pembatasan sekaligus penindasan dari praktek beragama.
6. Penangkapan dan penjeblosan dalam penjara yang dilakukan sewenang-wenang.
7. Menyasar para pemimpin agama
8. Pemisahan pendidikan (umat Kristen dilarang untuk mengajarkan Agama Kristen kepada anak-anaknya. Buku ajar sekolah di beberapa negara malah mengajarkan kebencian dan sikap intoleran terhadap kaum non-Muslim)
9. Tidak menjatuhkan hukuman kepada pelakunya serta lemahnya lembaga pemerintah (pelaku kekerasan gerombolan kerapkali tidak dihukum)[5]
Persoalan yang sangat tersebar luas di kalangan umat Kristen di berbagai negara Muslim adalah larangan atas umat Kristen untuk mengajak orang supaya masuk agamanya. Di Iran misalnya, berbagai upaya umat Kristen (atau Baha'i) untuk mengajak kaum Muslim masuk agama mereka bisa diganjari hukuman mati. Sementara negara-negara Kristen dan sekular membiarkan Muslim bebas berdakwa, mengajak orang pindah agama dan mengajar non-Muslim 25 negara Muslim melarang orang berpindah agama. Mereka juga menetapkan undang-undang yang mengatakan bahwa kaum Muslim yang beralih masuk agama lain bisa dihukum mati sebagai murtad. Untuk membenarkan hukum atas orang yang murtad, pembaca bisa membaca sumber daring yang popular; Islam: Question and Answer (Islam: Tanya dan Jawab). Website itu diawasi oleh Sheikh Muhamad Salih al-Munajid, seorang cendekiawan Salafi Arab Saudi, yang membahas suatu masalah, dengan rubrik "Why death is the punishment for Apostasy" (Mengapa Mati menjadi Hukuman bagi Orang Murtad). Persoalannya dibuat sederhana berdasarkan hukum Shariah. Dikatakan bahwa, "ketika seseorang memasuki usia pubertas dan orang yang dulunya secara bebas murtad dari Islam, maka dia pantas dibunuh." [6] Hukum syariah didasarkan antara lain pada tradisi dari Nabi yang dicatat dalam koleksi kanonik Hadis.
Apakah "fobia terhadap Islam" ketika orang menarik perhatian terhadap persoalan terputusnya hukum hak asasi manusia internasional ini di banyak negara Muslim? Sulit untuk dipercaya demikian. Ada perbedaan besar antara kritik berbasis fakta atas beberapa hukum atau praktik Islam dan kebencian rasis dan xenophobia yang menjadi ciri khas Islamofobia yang sebenarnya. Versi Islam yang diliberalisasi beberapa dekade terakhir tertekan karena diambil-alih oleh para fundamentalis dari seluruh lapisan masyarakat. Sulit dipercaya bahwa negara-negara seperti Iran, Arab Saudi dan Turki segera kembali kepada moderasi yang telah mereka kembangkan pada abad sebelumnya. Jika ada harapan untuk membangun hubungan yang baik antara non-Muslim dan Muslim, maka ia harus beristirahat, seperti yang sudah dimulai, dengan Muslim di negara demokrasi liberal.
Bagaimanapun, semakin banyak Muslim menyadari cara yang sangat berbeda sebagian besar negara sekuler memperlakukan kaum minoritas seperti mereka sendiri, dibandingkan dengan apa yang mungkin mereka alami di tanah air mereka. Karena itu, banyak Muslim dapat dengan tepat mencari perlakuan yang adil sebagai warga negara di negara yang mereka pilih. Untuk itu, mereka harus berjuang keras melawan kebencian bahkan oleh rekan seagama mereka sekalipun. Mereka harus berjuang menghadapi tantangan ekonomi, harapan kerja yang buruk, serangan fisik, pelecehan verbal, dan diskriminasi di berbagai tingkatan. Semua itu selalu menjadi perjuangan yang dihadapi oleh imigran.
Memang banyak orang dibesarkan untuk bertindak diskriminatif terhadap non-Muslim. Untuk menyebutkan orang Yahudi "sebagai anak kera dan babi" [7]. Untuk percaya bahwa umat Kristen, Hindu, Yazidi dan orang kafir lain itu ditakdirkan masuk neraka. Juga bahwa Muslim lain, seperti kaum Shiah, Sufi, Ahmadiyah dan seterusnya---yang agaknya dimasukan dalam kelompok bidaah, juga ditakdirkan untuk masuk Neraka.
Namun, semakin banyak Muslim kini berdiam di kawasan non-Muslim sadar lalu mengajarkan anak-anak mereka bahwa perilaku seperti itu justru menghina interpretasi Islam yang ingin mereka kembangkan dalam komunitas mereka. Banyak Muslim mengakui bahwa ketika masyarakat mereka sebenarnya sedikit atau tidak melakukan apa-apa guna menenangkan prasangka terhadap non-Muslim, negara-negara Barat dan organisasi-organisasi mengembangkan cara untuk hidup bersama orang lain yang berbeda. Organisasi Inggris, Muslims Against Antisemitism (Kaum Muslim Anti-Semitisme) menjadi contoh yang cemerlang. Di Amerika, American Islamic Forum for Democracy (Forum Islam Amerika untuk Demokrasi) menjadi contoh lain. Mereka karena itu seharusnya dihargai dan dibantu.
Dr. Denis MacEoin adalah mantan dosen Bahasa Arab dan Kajian Islam di sebuah universitas di Inggris. Banyak sudah buku dan artikel yang dia tuliskan dan memberikan sumbangsih bagi karya yang berkaitan dengan Islam oleh Policy Exchange, Civitas dan Institut Gatestone, tempat dia menjadi Mitra Senior Terhormat lembaga kajian tersebut.
[1] Jihat Jim Wolfreys, Republic of Islamophobia: The Rise of Respectable Racism in France, London, 2018.
[2] Salah satu parade terbesarnya adalah pawai Gay Pride (Para Gay Berbangga Diri) tahunan di Tel Aviv yang sudah berlangsung selama lebih dari 20 tahun. Lihat staf dan agen TOI, "Over 250,000 revelers flood Tel Aviv for Israel's biggest ever Gay Pride parade", yang diterbitkan dalam The Times of Israel, 8 Juni 2018. Tel Aviv sendiri sudah dijuluki 'kota yang paling ramah terhadap para gay' di dunia seperti terlihat dalam tulisan Christopher Muther, "Welcome to Tel Aviv, the gayest city on earth", dalam The Boston Globe, 17 Maret 2016.
[3] Munira Mirza, Abi Senthilkumaran, dan Zein Ja'far, Living apart together: British Muslims and the paradox of multiculturalism, Policy Exchange, 2007, hal. 47.
[4] Diskusi lebih lengkap ketegangan antara umat Kristen dan Muslim di Mesir bisa ditemukan dalam buku karya Abdel-Latif El Menawy, The Copts: An Investigation into the Rifts Between Muslims and Christians in Egypt, London, 2019.
[5] Untuk mendapatkan beberapa berita lebih jauh, lihat di sini dan di sini dan di hini. Kisah yang jauh lebih mendalam mungkin bisa ditemukan dalam karya Alon Ben Meir, "The Persecution of Minorities in the Middle East, dalam K. Ellis, Secular Nationalism in Muslim Countries. Minorities in West Asia and North Africa, London, 2018. Untuk mengetahui rincian lengkap dan instruksi untuk membeli bab buku itu atau buku itu sendiri, bisa lihat di sini.
[6] Ahmad ibn Naqib al-Misri, Reliance of the Traveller: A Classic Manual of Islamic Sacred Law, editor dan tejermahan Nuh Ha Mim Keller, edisi revisi MD, 1994, o8.1, hal. 595. Untuk mendapatkan keputusan yang lebih lengkap soal murtad secara umum, lihat paragraphs ibid, o8.0 to o8.7(20), hal. 595-598.
[7] Ini merupakan ungkapan yang tersebar luas, yang dipergunakan pada semua tingkat. Lihat, sebagai contoh karya Jeffrey Goldberg, 'Egyptian President Calls Jews "Sons of Apes and Pigs"; World Yawns', The Atlantic, 14 Januari, 2013. Untuk memperoleh contoh-contoh sebelumnya, lihat Anon, 'Arab/Muslim Anti-Semitism: Muslim Clerics – Jews Are the Descendants of Apes, Pigs, And Other Animals', Jewish Virtual Library, diperbarui Nopember, 2002. Lihat satu kajian yang lebih jauh oleh psikolog sosial Neil J. Kressel, 'The Sons of Apes and Pigs: Muslim Antisemitism and the Conspiracy of Silence, Potomac Books, University of Nebraska Press, 2012.