Setelah tiga Presiden Amerika berturut-turut memanfaatkan masa 6 bulan penandatanganan surat pembatalan (waiver) untuk menunda pemindahan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem selama lebih dari dua dekade, Presiden Donald J. Trump memutuskan untuk tidak lagi menunggu lama. Pada tanggal 7 Desember 2017 lalu, dia pun lantas memaklumkan bahwa Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Yerusalem. Pemindahan resmi kedutaan besar tersebut terjadi pada 14 Mei 2017, pada hari ulang tahun Israel yang ke-70.
Sejak Trump mengumumkan pemindahan Kedutaan Besar AS, para pemimpin dunia Mulism pun marah lalu mengumumkan kesulitan utama mereka. Sepekan kemudian, sebuah konperensi tingkat tinggi bersidang di Istambul dan berakhir dengan pernyataan-pernyataan seputar "kejahatan terhadap Palestina." Para pemimpin Barat pun mengikutinya. Kanselir Jerman, Angela Merkel mengatakan bahwa keputusan Presiden Trump merupakan suatu "kesalahan serius" dan bisa memunculkan "berbagai dampak" yang sangat besar. Presiden Prancis, Emmanue Macron, bergerak lebih jauh. Dia memaklumkan bahwa keputusan tersebut bisa memancing terjadinya "perang."
Terlepas dari prediksi tidak menyenangkan ini, persoalan tetap saja tidak terjadi. Statemen Istambul tetap saja statemen. "Perang" yang diantisipasi Macron tidak meledak pecah.
Organisasi teroris Islam, Hamas mengirimkan masa perusuhnya dari Gaza guna merobek tembok perbatasan Israel kemudian melewatinya, memaksa tentara Israel menembakinya, dan karena itu memungkinkan Hamas untuk mendapatkan jenazah "para martir." Dengan demikian, dia bisa memperlihatkannya pada kamera televisi. Sampai sebegitu jauh, Hamas mengirimkan 62 orang dari faksinya menyongsong kematian. Lima puluh dari para korban itu, berdasarkan pengakuan Hamas sendiri, adalah para anggota Hamas.
Kelompok teroris Palestina menembakkan roket-roketnya ke Israel selatan; jet-jet tempur Israel kemudian membalasnya dengan serangan udara. Hamas kemudian mengirim layang-layang, yang disatukan dengan alat pembakar beserta bahan peledak ke atas perbatasan menuju Israel. Sampai sebegitu jauh, 200 layang-layang berapi yang dikirimkan Hamas menghancurkan 6,200 acre (sekitar 31.000 Ha) hutan dan tanah pertanian Israel.
Para pakar yang meramalkan bakal lebih banyak reaksi yang lebih kejam terkejut dengan reaksi Palestina dan komunitas Muslim yang relatif tenang. Alasannya pun mungkin disebut "Doktrin Trump untuk Timur Tengah."
Satu unsurnya terdiri dari upaya untuk menghancurkan Negara Islam (ISIS) di Suriah dan Irak. Presiden Trump pernah berjanji segera membersihkan dunia dari apa yang menjadi tulang punggung utama terorisme Islam. Dia memenuhi janjinya dalam waktu kurang dari satu tahun, tanpa secara massif menyebarkan pasukan Amerika. Trump memperlihatkan kekuatan Amerika Serikat sekaligus memulihkan kredibilitasnya di sebuah kawasan di mana kekuatan dan pasukan menentukan kredibilitas.
Unsur lainnya ditempatkan pada tempatnya selama lawatan Presiden Trump ke Arab Saudi, Mei 2017 silam. Presiden Trump memperbarui ikatan yang benar-benar memburuk selama 8 tahun sebelumnya. Trump lebih luas lagi meletakan dasar bagi aliansi baru Amerika Serikat dengan dunia Sunni Arab, namun menetapkan dua persyaratan atasnya. Menghentikan semua dukungan Arab Sunni terhadap terorisme Islam dan pada saat yang bersamaan terbuka terhadap prospek perdamaian regional yang mencakup Israel.
Kedua syarat tengah dipenuhi secara bertahap. Juni 2017 silam, Raja Arab Saudi, Salman memilih puteranya Mohammad bin Salman (MBS) sebagai pewaris tahta kerajaan. MBS lantas memulai sebuah revolusi internal untuk menetapkan arah baru di kerajaan. Dengan dukungan Amerika Serikat, dia pun membangun Koalisi Perlawanan Terorisme Militer Islam (Islamic Military Counter Terrorism Coalition) 15 Desember 2015. Lembaga tersebut menyelenggarakan pertemuan untuk pengukuhannya, 26 Nopember 2017. Selain itu, tautan-tautan antara dinas keamanan Israel dan Arab Saudi diperkuat sementara koordinasi antara militer Israel dan Mesir ditingkatkan.
Aliansi Israel dan negara-negara penting dunia Sunni Arab yang memasukkan Iran pun secara perlahan dan tidak resmi pun tengah terjadi. MBS, menyatakan Hamas itu organisasi teroris. Karena itu, dikatakannya, bahwa organisasi itu "harus dihancurkan." Dia lalu memberi tahu para wakil organisasi Yahudi di New York bahwa pemimpin Palestina perlu "menerima proposal [Amerika] atau tutup mulut."
Foto: President Donald Trump menyambut Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman di Gedung Putih, 20 Maret 2018, di Washington, D.C. (Foto oleh Kevin Dietsch-Pool/Getty Images). |
Pemimpin PA, Mahmud Abbas, dipanggil ke Riyadh dua kali--- Nopember dan Desember 2017. Tampaknya, dia "diminta" untuk tetap berdiam diri. Tidak pernah terjadi sebelumnya jarak antara organisasi Palestina dan Arab Saudi serta dunia Sunni Arab tampak begitu jauh. Satu-satunya negara Sunni Arab yang hendak mempertahankan hubungannya dengan Hamas adalah Qatar, tetapi Emir Qatar yang kini berkuasa, Sheikh Tamim ben Hamad Al Thani, sudah ditekan untuk mengubah sikapnya.
Segera setelah Presiden Trump meninggalkan Riyadh, unsur ketiga pun mengemuka. Pesawat Kepresidenan AS terbang langsung dari Riyadh menuju Israel: untuk pertama kalinya, penerbangan langsung antara Arab Saudi dan Israel terjadi. Presiden Trump pergi ke Yerusalem. Dia menjadi Presiden AS pertama yang sedang berkuasa yang mengunjungi Tembok Barat, satu-satunya puing sejarah tembok Bait Allah Raja Salomo yang masih bertahan. Selama kampanye, Trump memang pernah menyebutkan Yerusalem sebagai "ibukota abadi Bangsa Yahudi ", yang secara implisit mengakui bahwa orang Yahudi memang berakar di sana selama 3,000 tahun.
Pasca-kunjungannya ke Tembok Barat, Presiden Trump pergi ke Betlehem. Ia memberi tahu Mahmud Abbas hal yang tidak seorang pun Presiden Amerika pernah katakan: bahwa Abbas itu pembohong dan bahwa dia secara pribadi bertanggung jawab terhadap penghasutan aksi kekerasan dan terror. Hari-hari selanjutnya, Kongres AS menuntut Otoritas Palestina berhenti memberikan insentif kepada terorisme dengan memberikan uang kontan kepada teroris dan keluarga teroris Palestina yang terbunuh ketika menjalankan serangan. Para negosiator urusan Timur Tengah Presiden Trump, Jared Kushner dan Jason Greenblatt jelas-jelas mengatakan kepada para pemimpin Palestina bahwa bantuan AS kepada Otoritas Palestina bisa saja berhenti jika tuntutan AS tidak dipenuhi. Kepada PBB, Nikki Halley memberitahu bahwa US bisa berhenti mendanai UNRWA jika pemimpin Palestina menolak bernegosiasi sekaligus menerima apa yang diminta oleh AS. Semenjak didirikan tahun 1994, Otoritas Palestina tidak pernah dipaksa mengikuti tekanan Amerika yang begitu hebat.
Unsur keempat adalah keputusan Presiden Trump untuk meninggalkan perjanjian Iran. Presiden Trump seketika itu juga langsung mengumumkan bahwa dia akan menerapkan lagi, "sanksi yang paling kasar, paling keras, dan paling parah" untuk mencekik rezim para mullah. Sejak itulah, Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo menyampaikan sebuah daftar 12 "Persyaratan Dasar" kepada Iran untuk sebuah perjanjian yang baru.
Keputusan Presiden Trump muncul dalam beberapa konteks ketika Rezim Iran baru saja menderita serangkaian pukulan berat. Pertama, ketika Mossad, dinas intelijen Israel menyita dokumen-dokumen sangat rahasia di Teheran yang memperlihatkan bahwa Iran belum berhenti berbohong mengenai program nuklirnya. Kedua, ketika Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyingkapkan operasi Mossad. Dan ketiga ketika Angkatan Bersenjata Israel memberikan tanggapan yang tegas terhadap berondongan roket Iran yang dilancarkan dari kawasan Suriah. Dengan demikian, Israel memperlihatkan tekadnya untuk tidak membiarkan Rusia untuk mendukung Iran ketika negeri para mullah itu memanfaatkan pangkalan militernya untuk menyerang Israel.
Netanyahu kemudian diundang oleh Presiden Russia Vladimir Putin ke Moskow, 9 Mei silam untuk merayakan kemenangan Soviet atas Jerman tahun 1945. Selama kunjungan, Putin tampaknya menjanjikan sikap netral negaranya jika Israel diserang oleh pasukan Iran di Suriah. Putin yang ingin sekali mempertahankan pangkalan bersenjata Rusia di Suriah, jelas memandang Israel sebagai kekuatan yang bermanfaat bagi stabilitas di Timur Tengah dan Iran sebaliknya sebagai kekuatan yang menyebabkan instabilitas---sehingga terlampau berisiko bagi Rusia untuk memberikan dukungan.
Selama beberapa bulan terakhir, Rezim Iran bersama Turki di bawah pimpinan Erdogan, menjadi salah satu pendukung finansial "cita-cita Palestina" sekaligus pendukung utama Hamas. Iran tampaknya meminta Hamas agar mengorganisasikan berbagai pawai dan aksi rusuh sepanjang perbatasan Israel-Gaza. Ketika kekerasan dari Gaza semakin intens, Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh dipanggil ke Kairo. Kepala Dinas Intelijen Mesir belakangan memberi tahu dia bahwa jika aksi kekerasan tidak berhenti maka militer Israel bakal melancarkan tindakan drastis dan Mesir bakal berdiam diri. Dengan demikian, jelas sulit bagi Iran untuk memancing organisasi-organisasi Palestina untuk menyebarluaskan kekerasan dalam waktu dekat.
Bakal sangat sulit bagi Iran untuk secara finansial terus mendukung "cita-cita Palestina" selama bulan-bulan mendatang. Secara finansial bakal segera tidak bisa tertanggungkan bagi Iran untuk mempertahankan keberadaannya di Suriah sekaligus menyediakan senjata-senjata canggih bagi Hizbulah. Presiden Turki Edrogan memang boleh saja berbicara keras, tetapi dia sepertinya tahu garis mana yang tidak boleh dia lewati.
Berbagai protes sudah semakin kurang intens di Iran semenjak Januari lalu tetapi perasaan tidak puas dan frustrasi masyarakat terus saja mengemuka dan bisa saja menjadi semakin parah.
Pemerintah Trump tak perlu diragukan lagi, menyadari bahwa Rezim Iran tidak bakal menerima berbagai persyaratan yang diajukan oleh Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo dan bahwa sanksi-sanksi baru yang keras mungkin saja mengarah kepada meledaknya kerusuhan penting di Iran sehingga rejim pun tumbang. Karena itu, Januari lalu, Duta Besar John Bolton yang kini menjadi Penasehat Keamanan Nasional, pernah mengatakan bahwa "kepentingan strategis Amerika Serikat" adalah supaya bisa menyaksikan rezim tersebut digulingkan.
Ketika baru-baru ini berbicara tentang situasi di Timur Tengah beserta perlunya upaya untuk mencapai perdamaian, Pompeo berbicara tentang "masyarakat Palestina" bukan tentang Otoritas Palestina. Pembicaraan senada pernah dibicarakannya juga tentang situasi di Iran, mungkin hendak menekankan perbedaan antara masyarakat dan kepemimpinan mereka. Yaitu bahwa kepemimpinan dalam kedua situasi, mungkin saja tidak lagi menjadi bagian dari solusi. Hamas, bagi AS, jelas bukanlah bagian dari solusi apapun.
Tak seorang pun tahu persis apa isi rencana damai yang bakal disajikan oleh Pemerintah Trump. Tetapi tampaknya pasti bahwa ia tidak bakal mencakup "hak untuk kembali" dari apa yang disebut para pengungsi Palestina." Juga tidak akan diusulkan Yerusalem Timur sebagai "ibukota Negara Palestina." Tidaklah diragukan lagi bahwa rencana itu bakal ditolak oleh pihak Otoritas Palestina dan Hamas. Dan sikap itu sudah ada, jelas-jelas belum terlihat.
Netanyahu pernah dengan tepat mengatakan bahwa para pemimpin Palestina, siapapun mereka, tidak ingin berdamai dengan Israel, tetapi "menginginkan damai tanpa Israel" (peace with Israel). Dengan demikian, yang sebaliknya terjadi adalah perdamaian tanpa para pemimpin Palestina. Juga bisa saja terjadi, perdamaian tanpa para mullah Iran.
Harus dicatat bahwa, ketika Donald Trump mengumumkan pemindahan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem pada 7 Desember 2017, para pemimpin Mulim yang paling banyak memprotes adalah Presiden Recep Tayyip Erdogan dari Iran and Pemimpin Tertinggi Iran, Hassan Rouhani. Arab Saudi, Mesir, Bahrain, Uni Emirat Arab dan Oman pun tidak mengutus para wakil mereka ke konperensi tingkat tinggi Islam di Istambul. Ketika Kedutaan Besar AD di Yerusalem membuka pintu-pintunya, 14 Mei lalu, Arab Saudi, Mesir dan negara-negara emirat Teluk pun diam.
Pada hari yang sama, Angela Merkel dan Emanuel Macron mengulangi apa yang pernah mereka katakan pada 7 Desember 2017 silam: bahwa Kedutaan besar Jerman dan Prancis di Israel akan tetap berada di Tel Aviv. Macron malah mengecam "tindakan kejam" militer Israel di perbatasan Gaza, tetapi bukan aksi agresi Hamas ketika mendorong warganya bahkan membayar mereka menggempur perbatasan Gaza dengan Israel.
Jika kecenderungan akhir-akhir ini berlanjut, Macron dan Merkel bisa saja dua di antara para pendukung terakhir "cita-cita Palestina." Mereka mengatakan seolah-olah akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan Otoritas Palestina yang korup, rusak.
Mereka melakukan apa saja untuk menyelamatkan "perjanjian nuklir" Iran yang sudah Senin-Kamis sambil menyanjung-nyanjung rezim para mullah. Selama konperensi tingkat tinggi (KTT) Eropa di Sofia, Bulgaria, 16 Mei silam, Pemerintahan Trump dikritik keras oleh para kepala negara Eropa. Mereka berargumentasi bahwa Eropa akan "menemukan jalan "atas sanksi AS" serta "menolak" Presiden Trump. Meski demikian, berbagai perusahaan Eropa pun berduyun-duyun meninggalkan Iran. Mereka jelas yakin bahwa lebih baik memangkas kerugian mereka dan mempertahankan hubungan yang baik dengan Amerika Serikat.
Benjamin Netanyahu lalu melawat ke Eropa, 3 – 5 Juni. Ia berupaya membujuk Merkel, Macron serta Perdana Menteri Inggris, Theresa May supaya tidak mendukung perjanjian nuklir Iran. Ia gagal, seperti sudah diramalkan, tetapi sedikitnya punya peluang untuk menjelaskan bahaya Iran bagi bangsa Eropa dan perlunya untuk bertindak.
Para pemimpin Eropa tampaknya tidak ingin menyaksikan halaman buku tengah beralih di Timur Tengah. Mereka tampaknya tidak ingin menyaksikan bahwa, terlepas dari sikap tidak bermoral mereka yang mencari upah, dari perilaku mereka untuk bertahan di halaman buku yang sebelumnya, hanya mencegah mereka untuk memahami masa depan.
Dr. Guy Millière, seorang professor Universitas Paris, adalah pengarang 27 buku seputar Prancis dan Eropa.