Presiden Macron tidak pernah mengatakan minta maaf kepada para korban demonstrasi yang menjadi buta atau kehilangan tangannya... akibat aksi polisi yang sangat brutal. Sebaliknya, ia meminta parlemen Prancis supaya mengesahkan sebuah undang-undang yang hampir sepenuhnya menghapus hak masyarakat untuk memprotes dan praduga tak bersalah yang memungkinkan penangkapan atas siapa saja, di mana saja. Bahkan tanpa alasan sekalipun. (Foto oleh Pool/Getty Images) |
Paris, Champs-Élysées. Tanggal 14 July 2019. Hari Raya Penjara Bastille diserang (Basttile Day). Tepat sebelum parade militer dimulai, Presiden Emmanuel Macron datang ke jalan itu, ke Champs-Élysées. Dalam mobil resmi hendak menyambut massa masyarakat. Ribuan orang berkumpul sekitar jalan itu berteriak, "Macron mundur," berikut cemooh, dan caci maki.
Pada akhir parade, beberapa puluh orang melepaskan balon kuning ke langit sambil membagi-bagikan selebaran berisikan tulisan "Pemakai jaket kuning tidak mati." Polisi pun lantas membubarkan mereka. Dengan cepat dan tegas. Beberapa saat kemudian, ratusan "Antifa" yang anarkis tiba. Mereka memasang penghalang keamanan di jalan membangun barikade. Kemudian mereka mulai membakar dan menghancurkan etalase beberapa toko. Polisi sulit menguasai situasi. Tetapi menjelang malam, setelah beberapa jam berlangsung, mereka menjaga situasi menjadi tenang.
Beberapa jam kemudian, ribuan pemuda Arab dari pinggiran kota berkumpul sekitar Arc de Triomphe. Tampaknya, mereka datang untuk "merayakan" dengan cara mereka sendiri kemenangan tim sepakbola Aljazair. Semakin banyak etalase mereka hancurkan. Semakin banyak toko dijarah. Bendera Aljazair ada di mana-mana. Slogan-slogan diteriakan dengan penuh semangat: "Hidup Aljazair", "Prancis milik kita", "Matilah Prancis". Papan-papan bertuliskan nama-nama jalan digantikan dengan tanda-tanda bertuliskan nama Abd El Kader, pemimpin agama dan militer yang berperang melawan tentara Prancis pada saat penjajahan Aljazair. Polisi membatasi diri untuk membendung kekerasan dengan harapan aksi itu tidak akan menyebar.
Menjelang tengah malam, tiga pemimpin gerakan "jaket kuning" keluar dari kantor polisi. Kepada wartawan sebuah televisi mereka mengatakan bahwa mereka ditangkap pagi itu dan dipenjara sepanjang hari. Pengacara mereka menyatakan mereka tidak melakukan kesalahan. Mereka hanya "secara preventif" ditangkap. Dia kemudian menekankan bahwa sebuah undang-undang (UU) yang disahkan pada Februari 2019 memungkinkan polisi Prancis menangkap siapa saja yang dicurigai berdemonstrasi. Tidak perlu otorisasi hakim. Dan tidak mungkin ada upaya banding.
Jumad, 19 Juli, tim sepakbola Aljazair menang lagi. Semakin banyak kaum muda Arab berkumpul dekat Arc de Triomphe "merayakannya" lagi. Kerusakannya pun bahkan jauh lebih besar dari delapan hari sebelumnya. Semakin banyak polisi hadir. Tetapi, mereka nyaris tidak bertindak sama sekali.
Tanggal 12 Juli. Dua hari sebelum Hari Raya Bastile. Beberapa ratus orang yang mengaku migran ilegal Afrika memasuki Pantheon, monumen tempat makam para pahlawan Prancis yang berperan besar dalam sejarah Prancis berada. Di sana mereka mengumumkan lahirnya "Gerakan Jaket Hitam." Mereka menuntut "regulasi" bagi semua imigran illegal di kawasan Prancis serta perumahan gratis bagi mereka masing-masing. Polisi hadir, tetapi menolak untuk campur tangan. Sebagian besar demonstran meninggalkan tempat itu secara damai. Beberapa pendemo yang memaki polisi ditangkap.
Prancis kini negara yang tidak terkendali. Kerusuhan dan pelanggaran hukum terus bercokol. Ketidakaturan menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Berbagai jajak pendapat memperlihatkan bahwa sebagian besar masyarakat menolak Presiden Macron. Mereka tampaknya membenci kesombongannya dan cenderung tidak memaafkannya. Mereka tampaknya membenci penghinaannya terhadap kaum miskin. Membenci cara dia menghancurkan gerakan "rompi kuning." Juga karena dia tidak memberikan sedikit pun perhatian terhadap tuntutan-tuntutan terkecil para pemrotes. Seperti hak untuk mengadakan referendum warga negara seperti yang ada di Swiss. Macron tidak bisa lagi pergi ke mana pun di depan umum tanpa berisiko membuatnya amarah.
"Rompi kuning" tampaknya akhirnya berhenti berdemonstrasi. Menyerah. Terlalu banyak dari mereka yang cacat atau terluka. Namun, ketidakpuasan mereka masih ada. Sepertinya menunggu untuk meledak lagi.
Polisi Prancis tampaknya ganas berhadapan dengan para pengunjukrasa damai. Tetapi nyaris tidak berkutik mencegah kelompok-kelompok seperti "Antifa" untuk tidak menyebabkan aksi kekerasan. Karena itu, kini pada akhir setiap demonstrasi, "Antifa" muncul. Polisi Prancis sangat berhati-hati ketika harus berurusan dengan pemuda Arab dan migran ilegal. Mereka sudah diperintahkan demikian. Mereka sadari para pemuda Arab dan migran ilegal dapat menimbulkan kerusuhan berskala besar. Tiga bulan lalu misalnya, di Grenoble, polisi mengejar beberapa pemuda Arab pengendara sepeda motor curian yang dituduh mencuri. Ketika melarikan diri, para pemuda itu mengalami kecelakaan. Dan, lima hari kekacauan malah meledak pecah kemudian.
Presiden Macron terlihat seperti seorang pemimpin otoriter ketika berhadapan dengan warga miskin yang tidak puas. Tidak pernah dia mengatakan minta maaf kepada para korban demonstrasi yang menjadi buta atau kehilangan tangannya. Atau juga kepada yang menderita kerusakan otak yang tidak bisa disembuhkan akibat aksi polisi yang sangat brutal. Sebaliknya, ia meminta parlemen Prancis supaya mengesahkan sebuah undang-undang (UU) yang hampir sepenuhnya menghapus hak masyarakat untuk memprotes dan dugaan tidak bersalah yang memungkinkan penangkapan atas siapa saja, di mana saja. Bahkan tanpa alasan sekalipun. Dan undang-undang itu pun disahkan
Pada Bulan Juni, Parlemen Prancis pun mengesahkan sebuah undang-undang lainnya. Isinya menghukum siapa saja yang mengatakan atau menulis sesuatu yang mungkin mengandung "ujaran kebencian". Undang-undang itu sangat samar sehingga seorang sarjana hukum Amerika, Jonathan Turley pun merasa terpaksa harus bereaksi. "Perancis kini telah menjadi salah satu ancaman internasional terbesar terhadap kebebasan berbicara", tulisnya.
Namun, Macron tampaknya tidak otoriter terhadap kaum anarkis pelaku kekerasan. Tatkala berhadapan dengan pemuda Arab dan migran ilegal, dia justru secara positif terlihat lemah.
Dia sadari apa yang dikatakan Mantan Menteri Dalam Negeri, Gérard Collomb, pada Nopember 2018, ketika mengundurkan diri dari pemerintahan:
"Masyarakat Perancis semakin sering terlibat konflik satu sama lain. Dan itu sudah menjadi sangat kejam... hari ini kita hidup berdampingan, tetapi, saya khawatir pada masa datang, kita akan saling berhadapan muka."
Macron juga tahu apa yang dikatakan oleh Mantan Presiden François Hollande setelah menjalani masa jabatannya sebagai presiden: "Perancis berada di ambang perpecahan".
Macron tahu bahwa perpecahan Prancis sudah terjadi. Sebagian besar warga Arab dan Afrika berdiam di zona larangan bepergian (no-go zone). Terpisah dari populasi lain. Di sana, mereka makin sedikit menerima kehadiran warga non-Arab dan non-Afrika. Mereka pun tidak tegas mengatakan diri warga Prancis, kecuali ketika mengatakan bahwa Prancis bakal menjadi milik mereka. Berbagai berita memperlihatkan bahwa sebagian besar sangat menolak peradaban Prancis dan Barat. Semakin banyak saja orang yang tampaknya menempatkan agama lebih tinggi dari kewarganegaraan mereka. Banyak yang sudah diradikalisasi dan siap bertempur.
Macron tampaknya tidak ingin berjuang. Dia sebaliknya memilih menyenangkan hati mereka. Dengan sepenuh hati dia berjuang mewujukan rencananya melembagakan Islam di Prancis. Tiga bulan lalu, Asosiasi Muslim untuk Islam Prancis (AMIF) dibentuk. Satu cabang akan menangani persoalan ekspansi budaya Islam dan bertanggung jawab atas "perang melawan rasisme anti-Muslim". Cabang lain akan bertanggung jawab atas program-program pelatihan para imam dan pembangunan masjid. Musim gugur ini, sebuah "Dewan Imam Prancis" akan dibentuk. Pemimpin utama AMIF adalah (atau sampai baru-baru ini) para anggota Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini ditetapkan sebagai organisasi teroris di Mesir, Bahrain, Suriah, Rusia, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, tetapi bukan di Perancis.
Macron tahu data demografis. Data menunjukkan bahwa populasi Muslim Prancis tumbuh signifikan pada tahun-tahun mendatang. (Ekonom Charles Gave menulis baru-baru ini bahwa pada tahun 2057, Prancis bakal mempunyai mayoritas Muslim). Macron bisa melihat bahwa bakal segera mustahil bagi siapa pun untuk terpilih sebagai presiden tanpa mengandalkan suara kaum Muslim sehingga ia bertindak sesuai.
Macron rupanya melihat bahwa ketidakpuasan yang melahirkan gerakan "rompi kuning" masih ada. Dia tampaknya berpikir bahwa represi akan cukup untuk mencegah pemberontakan lebih lanjut. Karena itu, dia tidak melakukan apa pun untuk memperbaiki penyebab ketidakpuasan.
Gerakan "rompi kuning" lahir dari pemberontakan terhadap pajak bahan bakar (BBM) yang sangat tinggi berikut tindakan keras pemerintah terhadap mobil dan pengendaranya. Langkah-langkah ini termasuk pengurangan batas kecepatan jadi 50 mil per jam (mph) di sebagian besar jalan tol. Semakin banyak kamera pendeteksi kecepatan kendaraan. Tilang kendaraan meningkat. Juga pengawasan kendaraan bermotor tahunan yang kompleks dan mahal. Pajak bahan bakar Prancis baru-baru ini naik lagi dan sekarang tertinggi di Eropa (70% dari harga yang dibayarkan di pompa SPBU). Langkah-langkah lain soal penggunaan mobil dan pengendara yang masih berlaku sangat menyakitkan orang miskin. Mereka sudah dikejar-kejar dari kota pinggiran oleh pendatang baru yang tidak toleran dan sekarang harus hidup - dan mengemudi - bahkan lebih jauh dari tempat mereka bekerja.
Macron belum membuat keputusan untuk memulihkan situasi ekonomi yang mengerikan di Prancis. Ketika dia terpilih, pajak, bea-cukai dan biaya sosial merepresentasikan hampir 50% GDP. Pengeluaran Pemerintah mencapai 57% GDP (angka tertinggi di antara negara-negara maju). Rasio nutang-piutang nasional terhadap GDP nyaris 100%.
Pajak, bea-cukai, biaya sosial dan pengeluaran pemerintah masih tetap berada pada tingkat yang sama kini. Sama seperti saat Macron naik ke puncak kekuasaan. Rasio utang terhadap GDP sebesar 100% dan meningkat. Ekonomi Prancis tidak menciptakan pekerjaan. Kemiskinan tetap sangat tinggi: 14% populasi memperoleh penghasilan kurang dari 855 euro (sekitar Rp 13.5 juta) per bulan.
Macron tidak memperhatikan meningkatnya bencana budaya merobek negeri itu. Sistem pendidikan hancur. Semakin besar persentase siswa tamatan sekolah menengah atas yang tidak tahu bagaimana menulis sebuah kalimat tanpa salah sehingga apa saja yang mereka tuliskan tidak bisa dipahami. Agama Kristen sedang mendekati kepunahannya. Banyak kalangan non-Muslim Prancis tidak lagi menganggap diri Kristen. Kebakaran yang membinasakan Katedral Notre Dame de Paris secara resmi dianggap "kecelakaan," tetapi ia satu-satunya dari banyak bangunan relijius Kristen negeri itu yang baru-baru ini dihancurkan. Setiap pekan gereja dirusak – dan banyak masyarakat public pun tidak peduli. Hanya dalam paruh pertama tahun 2019, 22 gereja dibakar sudah tuntas.
Yang menjadi perhatian utama Macron dan pemerintah Prancis tampaknya bukan risiko kerusuhan, ketidakpuasan publik, hilangnya agama Kristen, situasi ekonomi yang menghancurkan, atau Islamisasi dan konsekuensinya. Sebaliknya, perhatian utamanya adalah perubahan iklim. Meski jumlah emisi karbon dioksida Perancis sangatlah kecil (kurang dari 1% dari total global), upaya untuk memerangi "perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia" menjadi prioritas mutlak Macron.
Perhatian itu mendorong para anggota parlemen Prancis pendukung Macron mengundang seorang gadis Swedia, Greta Thunberg namanya ke Majelis Nasional Prancis baru-baru ini. Usianya baru 16 tahun. Dia dianggap guru "perjuangan untuk iklim" di Eropa. Ketika menyampaikan, dia mengatakan bahwa "kerusakan planet yang tidak bisa dipulihkan lagi " akan segera dimulai. Ditambahkannya bahwa para pemimpin politik "tidak cukup dewasa" sehingga membutuhkan pelajaran dari anak-anak. Para anggota parlemen pendukung Macron menyambutnya hangat. Dia karena itu menerima Hadiah Kebebasan, yang baru saja dibuat, yang akan diberikan setiap tahun kepada orang-orang "yang memperjuangkan nilai-nilai mereka yang mendarat di Normandia pada 1944 untuk membebaskan Eropa". Mungkin masuk akal untuk berasumsi bahwa tidak satu pun dari mereka yang mendarat di Normandia pada tahun 1944 berpikir untuk berjuang menyelamatkan iklim. Namun, rincian kecil soal seperti itu tampak di luar jangkauan Macron dan anggota parlemen yang mendukungnya.
Macron dan pemerintah Prancis juga tampaknya tidak peduli bahwa orang Yahudi yang terus melarikan diri dari Prancis. Mereka terusir menyusul bangkitnya sikap anti-Semitisme. Karena itu dapatkan dimengerti bahwa mereka khawatir dengan keputusan pengadilan yang dipenuhi dengan semangat tunduk kepada Islam yang kejam.
Kasus Kobili Traore misalnya membuktikannya. Dia pembunuh Sarah Halimi pada tahun 2017 misalnya dinyatakan tidak bersalah. Padahal, ketika beraksi, dia meneriakkan sebuah surat dari Al-Qur'an. Juga berteriak-teriak mengatakan bahwa orang Yahudi adalah Setan. Rupanya dia merokok ganja sebelum beraksi. Karena itu para hakim memutuskan bahwa dia tidak bertanggung jawab atas tindakannya. Traore karena itu akan segera dibebaskan dari penjara. Persoalannya, apa yang terjadi jika dia merokok ganja lagi?
Beberapa minggu pasca-pembunuhan Halimi, tiga anggota keluarga Yahudi diserang, disiksa dan disandera di rumah mereka. Pelakunya adalah sekelompok lima pria yang mengatakan bahwa "Orang Yahudi itu punya uang" dan "Orang Yahudi harus membayar". Belakangan mereka pun ditangkap; semuanya Muslim. Hakim yang mendakwa mereka pun lantas mengumumkan bahwa tindakan para pelaku itu "bukanlah anti-Semit".
Pada 25 Juli 2019 ketika tim sepakbola Israel Maccabi Haifa bermain di Stadun Strasbourg, pemerintah Prancis lmembatasi jumlah pendukung Israel di stadion menjadi 600. Tidak lebih. Padahal, ada seribu orang telah membeli tiket pesawat untuk datang ke Prancis untuk menonton pertandingan. Pemerintah Prancis juga bmelarang bendera Israel dikibarkan selama pertandingan atau di manapun di kota. Meskipun demikian, atas nama "kebebasan berbicara", Departemen Dalam Negeri Prancis mengizinkan ada demonstrasi anti-Israel di depan stadion. Dan bendera dan spanduk Palestina bertuliskan "Kematian bagi Israel" pun tampil di sana. Sehari sebelum pertandingan, di sebuah restoran dekat stadion, beberapa warga Israel diserang dengan kejam. "Demonstrasi terhadap Israel disetujui atas nama kebebasan berekspresi. Tetapi pihak berwenang melarang pendukung Maccabi Haifa untuk mengibarkan bendera Israel, itu tidak dapat diterima," urai Aliza Ben Nun, Duta Besar Israel untuk Prancis.
Keesokan harinya, pasca-pertandingan, sebuah pesawat penuh warga Yahudi Perancis yang meninggalkan Prancis mendarat di Israel. Bakal semakin banyak warga Yahudi Prancis akan segera pergi. Kepergian mereka ke Israel itu penuh dengan pengorbanan. Beberapa agen real estat Prancis memanfaatkan keinginan banyak keluarga Yahudi untuk pergi, sehingga membeli dan menjual properti milik warga Yahudi dengan harga yang jauh lebih rendah dari nilai pasar mereka.
Macron bakal tetap sebagai presiden hingga Mei 2022. Beberapa pemimpin partai, moderat kiri (center-left) seperti Partai Sosialis dan partai berhaluan moderat kanan (Partai Republikan) bergabung dalam Partai The Republic on the Move (Partai Republik sedang Bergerak) partai bentukannya dua tahun silam. Setelah itu, Partai Sosialis dan Partai Republikan runtuh kalah Pemilu. Penantang utama Macron pada 2022 agaknya bakal sama seperti pada Pemilu 2017. Yaitu Marine Le Pen, pemimpin partai Parade Nasional yang populis.
Macron tidak popular dan sangat luas dibenci. Meski demikian, dia mungkin saja menggunakan slogan yang sama seperti pada Pemilu 2017 lalu. Bahwa dialah benteng terakhir harapan terhadap "kekacauan" dan "fasisme." Dia punya peluang kuat untuk terpilih lagi. Siapapun yang membaca program politik dari Partai Parade Nasional bisa melihat bahwa Le Pen bukanlah seorang fasist. Juga siapapun yang memperhatikan situasi di Prancis mungkin bertanya-tanya jika Prancis belum juga mulai pelahan tenggelam dalam kekacauan.
Situasi menyedihkan yang melanda Prancis sama sekali tidak berbeda dari situasi di banyak negara Eropa lainnya. Beberapa pekan silam, seorang cardinal Afrika, Robert Sarah menerbitkan sebuah buku. Le soir approche et déjà le jour baisse / "The evening comes, and already the light darkens" (Senja Tiba dan Sinar pun Semakin Gelap). "Pada dasar kejatuhan Barat," tulisnya, "ada krisis budaya dan identitas. Barat tak lagi tahu apa itu karena ia tidak tahu dan tidak ingin tahu apa yang membuat krisis itu, apa yang membentuknya dan apakah dia pada masa lalu serta apakah dia kini. (...) Sesak napas akibat pasukan udara ke dalam paru-paru yang dialaminya itu secara wajar membawanya menuju kepada kemerosotan yang membuka jalan menuju peradaban baru yang biadab."
Itulah persisnya apa yang sedang terjadi di Prancis. Dan di Eropa.
Dr. Guy Millière, adalah seorang professor pada University of Paris, adalah pengarang 27 buku tentang Prancis dan Eropa.