(Sumber gambar: iStock) |
Minggu sore, 26 Mei 2019. Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Dalam Negeri Italia, Matteo Salvini mengomentari hasil Pemilu Eropa. "Eropa baru sudah lahir." Partai pimpinannya, Partai Liga, memang baru saja menang dengan 34,3 persen suara pemilih. Partai-partai lain di Eropa yang didefenisikan sebagai partai "populist" pun menang. Di Hongaria, aliansi Partai Fidesz-KDNP (Aliansi Kewarganegaraan Hongaria dan Partai Rakyat Demokrasi Kristen) meraih 52,3% suara. Di Polandia, PiS (Partai Hukum dan Keadilan) memenangkan 45,4% suara.
Partai Rakyat Austria (ÖVP) pimpinan Sebastian Kurz memenangkan 34,6% suara sementara Partai Kemerdekaan Austria (FPÖ), sekutunya dianugerahi 17,2% suara, meski ada skandal yang menyebabkan Heinz-Christian Strache, Ketua FPO, mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Kanselir Austria. (Pemerintahan Kurtz jatuh pada 27 Mei lalu). Di Kerajaan Inggris, kemenangan Partai Brexit – dengan 31,6% suara---menjadi prestasi mengagumkan. Ia dengan demikian, mensinyalkan bahwa jutaan masyarakat Inggris tetap rela meninggalkan Uni Eropa. Di sana, posisi partai "populis" mendapatkan pijakan kuat. Mereka mencanangkan perlunya membela kedaulatan nasional serta peradaban Eropa, sehingga menolak migrasi yang tidak terkendali serta berbagai petuah (diktats) dari para teknokrat Brussels.
Bagaimanapun, di banyak negara Eropa, hasil Pemilu dari partai-partai "populis" beragam. Di Prancis, Partai Parade Nasional pimpinan Marine Le Pen yang pertama selesai, tetapi dengan 23,3% suara. Hanya 0,9% lebih banyak dari Partai Republik Bergerak (The Republic on the Move) bentukan Emmanuel Macron, tiga tahun silam. Sangat tidak populernya Presiden Prancis tampaknya tidak membuatnya menghabiskan banyak biaya. Di Swedia, Partai Demokrat Swedia hanya meraih 15,4% atau dua persen lebih kurang daripada yang berhasil diraihnya pada Pemilu Swedia 2018 lalu. Partai Alternatif Bagi Jerman (AfD) meraih 11%. Di Belgia, Partai Vlams Belang memperoleh 11,2% suara. Di Spanyol, Partai Vox, dengan 6,2% suara harus berurusan dengan hasil Pemilu yang jauh lebih mengecewakannya lagi. Di Belanda, Partai Forum untuk Demokrasi mendapatkan 10,9% dan Partai Kemerdekaan pimpinan Geert Wilders merosot suaranya sampai 3,5%, sehingga tidak lagi mendapatkan kursi di parlemen.
"Gelombang Kaum Populis" yang kerapkali disebut selama pekan-pekan terakhir, tidak membebani Eropa. Partai-partai "populis" hanya bakal punya sedikit lebih dari 20 persen kursi dalam Parlemen Eropa. Jumlah itu memang cukup untuk didengarkan, tetapi jelas tidak cukup untuk memperbesar pengaruh.
Partai-partai yang memerintah Eropa selama beberapa dekade tidak memperoleh hasil yang memuaskan, tetapi dengan pengecualian yang jarang terjadi. Mereka tidak runtuh. Malah terus mendominasi Uni Eropa. Kekalahan Partai Konservatif Inggris yang menghancurkan (8,9%, dan perolehan suara terendah dalam sejarah partai itu) tampaknya karena Theresa May tidak mampu membereskan persoalan Brexit. Di Prancis, sangat merosotnya Partai The Republicans (8,5%) dan Partai Sosialis (6,2%) bisa dijelaskan oleh sebagian besar pemimpin mereka (Partai The Republicans dan Partai Sosialis) yang sudah bergabung dengan Partai Republic on the Move pimpinan Macron, dua tahun silam. Di Jeman, aliansi Partai CDU-CSU hanya meraih 28,9% suara, tetapi bagaimanapun, jumlah itu sudah cukup untuk menang. Partai sosialis SPD mendapatkan nilai yang mengagumkan, 15,8% suara.
Di beberapa negara Eropa Barat, partai sosialis menang. Ini mengindikasikan bahwa sosialisme tidak kehilangan pijakannya. Partai Sosialis Spanyol menang mutlak. Termasuk juga Partai Sosialis Portugis (33,4%). Di Belanda, Partai Buruh (18,9%) menang pertama. Di Italia, kaum sosialis meraih 22%; di Denmark, 21,5%, dan di Swedia, 23,6%.
Partai Rakyat Eropa (EPP) yang berhaluan moderat kanan (center-right) dan Partai Sosialis Eropa (PES) bagaimanapun, kehilangan pijakan. Aliansi mereka hanya bisa meraih 43% kursi. Untuk pertama kalinya sejak 1973, tatkala Pemilu Parlemen Eropa pertama kali diselenggarakan, mereka tidak bisa membentuk mayoritas, walau tetap dominan. Bagaimanapun, mereka butuh sekutu. Dan agaknya, sekutu itu bakal mereka temukan dalam lingkungan ALDE (Aliansi Kaum Liberal dan Demokrat untuk Eropa), sebuah kelompok yang terdiri dari partai-partai moderat kiri (enter-left parties) yang masih lebih mendukung agar kedaulatan diabaikan termasuk mendukung suatu Uni Eropa yang semakin tersentral dan terkendali.
Aliansi EPP-PES juga agaknya menemukan para sekutu mereka dalam lingkup para pemenang Pemilu yang sebenarnya. Dalam hal ini partai-partai hijau. Partai Hijau Jerman (20,5% suara) menduduki posisi kedua. Di Prancis EELV (Ekologi Eropa, Kaum Hijau), dengan 13,5% suara menduduki posisi ketiga. Kaum Hijau juga memperlihatkan kekuatan mereka di Belanda (10,9%), Swedia (11,4%), Denmark (13,2%), Austria (14,1%) serta Belgia (15,2%). Karena aliansi EPP-PES bakal mengandalkan partai-partai itu supaya bisa melawan sekaligus mengisolasi partai-partai populis, kaum Hijau mungkin saja masih meraih lebih banyak pengaruh--- tentu saja sekalian dengan konsekwensi-konsekwensinya.
Bagi siapa saja yang membaca program-program kaum Hijau, jelas bahwa mereka pada dasarnya adalah kaum kiri bertopeng hijau lingkungan. Mereka mendukung imigrasi tanpa batas beserta multikulturalisme. Tampaknya mereka buta terhadap bahaya yang lahir dari Islamisasi Eropa sehingga tegas memusuhi upaya untuk membela peradaban Barat. Sampai pada soal perusahaan bebas dan pasar bebas. Kerapkali mereka lebih suka tidak ada pertumbuhan (zero growth). Banyak dari mereka mendukung visi perubahan iklim berbasis wahyu (apocalyptic) kemudian mengatakan bahwa kelangsungan umat manusia bakal segera dipertaruhkan jika Eropa tidak mengambil langkah-langkah drastis untuk "menyelamatkan planet." Mereka semuanya mendukung keputusan otoriter yang ditetapkan dari Brussels terhadap seluruh Eropa.
Besarnya pengaruh Partai Hijau terhadap Parlemen Eropa tentu berdampak; ia mempercepat kemundurannya sendiri. Itu terjadi karena ia pun semakin terdorong untuk menyerahkan lebih banyak kekuasaan kepada para anggota Komisi Eropa yang tidak dipilih publik sehingga secara bertahap menghapus energi nuklir dan minyak fosil. Apalagi, kebijakan yang masih lebih banyak mendukung imigrasi ke negeri itu sudah dipersiapkan.
Perdana Menteri Hongaria Viktor Orbán terus menekankan bahaya imigrasi massal Islam ke Eropa. Dia pun karena itu menetapkan Hongaria sebagai "benteng terakhir melawan Islamisasi Eropa." Matteo Salvini, wakil Perdana Menteri Italia pun menimpalinya. Katanya, "Eropa terancam oleh Islamisasi" dan bisa saja menjadi sebuah "kekhalifahan Islam". Namun, sebagian besar pemimpin "populis" lainnya tidak memperhitungkan risiko itu sehingga memilih untuk tidak membahas masalah itu. Marine Le Pen di Prancis memang berbicara tentang "Islamisme ekstremis", tetapi segera menambahkan bahwa sebagian besar Muslim Eropa sudah berintegrasi dengan masyarakat setemat. Di Inggris, pemimpin Partai Brexit Nigel Farage tidak mengatakan sepatah kata pun tentang masalah ini. Tommy Robinson, yang menjadikan bahaya Islam sebagai tema utama kampanyenya, terus-menerus dirundungi dan nyaris mendapatkan tidak sampai 2% suara. Di Belanda, pemimpin partai Forum untuk Demokrasi, Thierry Baudet, mempertahankan posisi yang sama dengan Wilders, tetapi menghindari pembicaraan tentang Islam. Dan, partai pimpinan Wilders pada dasarnya kalah.
Masalah demografis Eropa yang parah hampir tidak disebutkan selama kampanye. Gagasan bahwa perubahan populasi dapat terjadi seolah-olah hanya dianggap fantasi "kaum kanan" saja. Namun, faktanya sulit diabaikan. Tingkat kesuburan (wanita) di hampir semua negara Eropa jauh di bawah tingkat penggantian (generasi) yaitu sebesar 2,1 anak per wanita. Angka kesubutan untuk Italia adalah 1,45. Di Jerman 1,48; di Spanyol 1.5; di Hongaria 1.4, dan di Polandia 1.38. Satu-satunya negara di Eropa kontinental dengan angka kesubutannya lebih tinggi adalah Prancis (1,97). Tetapi Prancis juga punya populasi Muslim terbesar di Eropa. Semua data yang tersedia memperlihatkan bahwa tingkat kelahiran jauh lebih tinggi dalam kalangan keluarga Muslim. Populasi sebagian besar negara Eropa merosot. Italia tengah kehilangan 250.000 penduduknya per tahun, setara dengan hampir sebanyak populasi Kota Venesia. Jerman memutuskan menyambut jutaan imigran guna menghentikan penurunan populasinya. Sekarang ini, 12% warga negara Jerman itu kelahiran luar negeri. Masifnya aliran masuk ratusan ribu imigran Muslim pada tahun 2015 menjadi bencana sosial. Integrasi tidak terjadi. Sebagian besar pendatang baru masih menganggur sehingga mengandalkan kehidupan mereka pada tunjangan kesejahteraan untuk bertahan hidup. Selain itu, kasus serangan seksual meningkat.
Berbagai serangan bernuansa anti-Semit pun meningkat. Situasinya berkembang begitu mengerikan (toxic) sehingga Felix Klein, Komisioner bagi Kehidupan Yahudi di Jerman dan Perjuangan Melawan Anti-Semitisme, baru-baru ini mendesak warga Yahudi supaya tidak mengenakan penutup kepala khusus khas Yahudi di tempat umum. Kanselir Merkel bahkan pernah mengeluh, "Sampai sekarang ini, tidak satu pun sinagoga, tidak satu pun pusat penitipan anak untuk anak-anak Yahudi, tidak satu pun sekolah anak-anak Yahudi yang tidak butuh untuk dijaga oleh polisi Jerman." Walaupun sampai sebegitu jauh penyelidikan memperlihatkan bahwa sebagian besar serangan anti-Semit berasal dari para imigran Muslim, dia lebih suka berbicara tentang "sesuatu yang menakutkan pada masa lalu."
Situasi di Prancis pun tidak banyak berbeda. Sammy Ghozlan, Direktur Biro Kewaspadaan Nasional Melawan Anti-Semitisme (National Bureau of Vigilance Against Anti-Semitism ---BNVCA), menduga bahwa semua serangan anti-Semit di negeri itu punya satu ciri yang sama. "Pelaku kejahatannya itu Muslim." Pemerintah Prancis mengklaim pihaknya memerangi anti-Semitisme, tetapi hanya menunjuk kepada "anti-Semistme kaum kanan dan kaum kiri." Tidak pernah Prancis berbicara tentang anti-Semitisme Kaum Muslim.
Ketika berkomentar tentang hasil Pemilu Eropa, wartawan Éric Zemmour, pernah mengatakan di televise bahwa Eropa mungkin saja sedang menuju kemerosotan yang tidak mampu dipulihkan. Ia pun mencatat bahwa: gerakan "kaum populis" tidak bakal berperan serius dalam Parlemen Eropa. Bahwa Kaum Hijau mendapatkan pijakan yang kuat. Bahkan Islamisasi tidak bakal berhenti dan bahwa anti-Semitisme mungkin saja terus meningkat. Pengarang Renaud Camus juga mencatat dalam buku hariannya bahwa masyarakat Eropa tampaknya bakal memilih euthanasia, mati secara menyenangkan.
Dalam alinea pertama bukunya The Strange Death of Europe (Kematian Eropa yang Aneh) , Douglas Murray mengatakan: "Sampai berakhirnya masa hidup dari sebagian besar orang yang sekarang ini hidup, Eropa tidak bakal sebagai Eropa lagi."
Beberapa pengamat politik memang memberikan komentar yang penuh antusias seputar hasil gerakan kaum "populis.' Meski demikian, tanda-tandanya tampaknya memperlihatkan bahwa Pemilu Eropa tidak menghentikan tong Eropa yang sedang merosot tenggelam. Jika tidak ada perubahan, maka dalam beberapa dekade ke depan, Eropa benar-benar tidak lagi sebagai Eropa.
Dr. Guy Millière, seorang professor pada University of Paris dan pengarang 27 buku tentang Prancis dan Eropa