Pekan silam, Professor Gerald Steinberg, pendiri sekaligus presiden dari sebuah organisasi penelitian berbasis Yerusalem, NGO Monitor, punya "berita kejutan." Yaitu bahwa Pemerintah Denmark resmi memutuskan untuk menghentikan pendanaan bagi Sekretariat Hak Asasi Hukum Kemanusiaan Internasional (Human Rights International Humanitarian Law Secretariat). Lembaga itu adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang didirikan pada tahun 2013 lalu di Birzeit University di Ramallah. Anggaran tahunannya yang mencapai jutaan euro selama ini dibayarkan oleh Pemerintah Swedia, Belanda, Denmark dan Swiss.
Penelitian Steinberg mengungkapkan bahwa dari 24 LSM inti yang didanai sekretariat tersebut, sedikitnya ada enam LSM punya hubungan dengan organisasi Marxis – Leninis, Front Populer Pembebasan Palestina (Popular Front for the Liberation of Palestine---PFLP). Dalam daftar organisasi teroris resmi Uni Eropa, organisasi LSM tersebut --- beserta 15 LSM lainnya terlibat dalam kampanye di seluruh dunia untuk menghancurkan Israel lewat sarana-sarana ekonomis.
Keputusan Denmark, menurut Steinberg, muncul segera setelah pemungutan suara di Parlemen meminta pemerintah menghentikan dana bagi "berbagai proyek yang dijalankan oleh LSM-LSM yang terlibat dalam aksi-aksi rasis, anti-Semit atau penghasutan karena rasa benci." Keputusan Denmark itu bersamaan waktu dengan terungkapnya sebuah penelitian yang dilakukan oleh The Netherlands seputar pendanaan sekretariat. Contoh dari Denmark itu paling penting," urainya, "karena ia bagian terbesar dana yang segera dipangkas dalam suatu keputusan yang sangat pasti dan menentukan. Selain itu, warga Denmark, termasuk di antara para pendiri Sekretariat."
Professor Gerald Steinberg, pendiri sekaligus presiden organisasi penelitian berbasis Yerusalem, NGO Monitor.. (Sumber foto: Begin-Sadat Center for Strategic Studies). |
Gatestone: Apakah pemerintahan-pemerintahan negara itu tidak menyadari bagaimana dana mereka dibelanjakan? Apakah dana itu memang diperuntukan untuk itu?
Gerald Steinberg: Memang tidak mereka sadari. Dananya tidak diperuntukan untuk itu; dia dibagikan oleh Sekretariat, yang diduga diawasi oleh NIRAS, sebuah perusahan konsultan pembangunan masyarakat. Meski demikian, dana diberikan kepada semua jenis kelompok yang namanya mengandung arti hak asasi manusia dan hukum internasional yang berkaitan dengan berbagai organisasi teroris, anti-Semitisme serta kampanye untuk mencengkram menghancurkan Israel secara ekonomis.
Gatestone: Mengapa pembayar pajak Eropa, dengan persoalan bencana ekonomi mereka sendiri, sepakat untuk mendanai mekanisme seperti itu di Ramallah atau di tempat lain?
GS: Pertama-tama, sebagian besar anggota parlemen apalagi rata-rata para pembayar pajak tidak punya petunjuk seputar bagaimana uang mereka dibelanjakan. Dalam sebuah diskusi parlementar di Spanyol beberapa bulan silam beberapa pembuat hukum memberi suara menentang pendanaan yang terus berlanjut bagi LSM-LSM yang mempromosikan divestasi Israel. Mereka katakan, "Mengapa kita buang sia-sia uang kita ketika kita punya persoalan pengangguran yang sangat besar di negeri kita?"
Pendanaan LSM---di bawah spanduk "pembangunan dan "masyarakat madani"---menjadi bagian penting kebijakan luar negeri Eropa Barat selama dua atau tiga dekade. Selain itu, banyak negara memberikan uang mereka kepada jaringan NGO karena melihat negara-negara lain juga lakukan demikian. Mereka bayangkan bahwa jika pihak lain melakukannya maka hal itu seharusnya baik bagi Eropa. Lebih jauh lagi, banyak sistem pendanaan berbasis agama (faith-based), dalam arti semua yang kelompok itu harus katakan adalah hendak mengumpulkan dukungan dari banyak politisi Eropa, yaitu bahwa misinya adalah untuk mempromosikan hak asasi manusia. Kata-kata itu punya "halo effect"—nya. Dalam psikologi, istilah ini menjabarkan kecenderungan untuk menilai orang, perusahaan, kelompok, produk dan semacamnya dengan baik, berdasarkan citra moralitas atau sejumlah faktor positif lainnya. Dalam konteks LSM-LSM, berbagai kelompok yang mengklaim hendak menyebarluaskan nilai-nilai terlihat secara universal baik --- seperti nilai perdamaian, hak asasi manusia, keadilan dan hidup bersama orang lain--- otomatis terlihat dapat diandalkan dan berada di atas kritik atau investigasi pihak lain.
Lebih jauh lagi, uang itu tidak dilacak; disalurkan melalui sebuah mekanisme yang besar dan kuat yang berperan sebagai distributor untuk apa yang kita anggap sebagai cita-cita yang pantas. Ambil contoh Christian Aid atau Oxfam. Pemerintah-pemerintah Eropa yakin akan misi mulia "memerangi kemiskinan" sehingga memberi mereka anggaran yang besar dan membiarkan mereka memutuskan bagaimana mengalokasikannya. Dalam sebagian besar kasus, para menteri pemerintah dan direktur jenderal kementerian-kementerian yang bertanggung jawab itu tidak punya waktu, sumberdaya atau kecenderungan untuk mengikutinya, khususnya ketika mereka menerima dan mempercayai bahwa "organisasi yang termotivasi secara positif" penerima uang bakal menggunakannya untuk tujuan-tujuan yang baik.
Faktor kunci lainnya adalah banyak laporan tahunan yang diajukan oleh jaringan pendanaan LSM itu sangat pendek dan tidak jelas. Laporan-laporan itu mengatakan sesuatu seperti: "Kami bantu LSM-LSM di 45 negara berikut ini supaya bisa mencapai peluang yang berkeadilan (opportunies and fairness)." Contoh sempurnanya adalah Badan Kerja Sama Pembangunan Internasional Swedia ((SIDA). Badan ini punya anggaran yang besar sekali dan menandatangani pemberian dana untuk semua bentuk kelompok radikal seperti LSM yang dipolitisasi bernama, Breaking the Silence. SIDA mengeluarkan laporan tahunan yang tidak jelas rincian-rinciannya. Padahal, Desk Palestina organisasi itu tahu persis ke mana uang itu dikirim, tetapi mengemasnya sedemikian rupa sehingga aktivitasnya tidak terungkap. Itulah persisnya di mana NGO Monitor masuk--- yaitu untuk mengungkapkan apa yang seharusnya pertama-tama transparan.
Gatestone: Apakah kurangnya transparansi benar-benar menjadi masalah atau adakah budaya politik dan agendanya jauh lebih kuat dibandingkan dengan kenyataan-kenyataannya?
GS: Tidak sepenuhnya diselesaikan dan diputuskan seperti ini. Pada satu pihak, anda bisa lihat kasus Denmark, yang berlangsung relatif mulus. Pada Mei 2017, Menteri Luar Negeri Denmark Anders Samuelsen datang dan melihat sendiri kemudian memberikan perhatian terhadap bukti yang diperlihatkan kepadanya seputar pendanaan sejumlah kelompok radikal. Di Swiss pun, ada tekanan terhadap pemerintah untuk melakukan due diligence atau uji tuntas atas pendanaan LSM. Bukti yang menentang LSM itu begitu banyak sehingga banyak anggota koalisi pemerintah pun bahkan bergabung menentang perdana menteri untuk menuntut adanya perubahan kebijakan.
Pada pihak lain, anda punya kasus seperti Jerman dan Uni Eropa, di mana para pejabatnya yang terlibat dalam pendanaan LSM justru menghindari diri untuk berurusan dengan persoalan bukti-bukti ini. Tanggapan pertama mereka kepada siapa pun yang memberi informasi kepada mereka seputar kaitan teror dan sikap anti-semitisme LSM adalah untuk menyerang sehingga mengatakan, "Ah, itu fiksi sayap kanan." Pada saat bersamaan, sikap untuk menutup rapat-rapat soal semua aspek pendanaan LSM di negara-negara itu berlanjut, bahkan ketika mencegah para anggota parlemen untuk mengamati prosesnya.
Di Eropa, secara umum, gambaran penderitaan Palestina dan seluruh simpati terhadap kaum Muslim yang menjadi korban begitu kuat sehingga sangat sulit untuk memangkas tuntas mitos serta slogan yang menyelimutinya. Ini benar-benar merata, bahkan dalam Partai Konservatif Inggris sekalipun. Gambaran itu begitu mendalam berakar dalam budaya bahwa kritik apapun termasuk tentang berbagai LSM yang berkaitan dengan teroris, langsung diberikan label, "fobia terhadap Islam." Bahkan kapan pun anda meneliti ke mana uang dikirim, maka anda berhadapan dengan sikap untuk bertindak benar secara politik. Ini sebabnya mengapa sangat krusial untuk menciptakan supaya persoalan ini bisa dilihat (visibility) sekaligus supaya bisa membangkitkan keprihatinan.
Gatestone: Mengapa anda memberikan perhatian pertama-tama atas Eropa, dan sedikit sekali menekankan soal Amerika Utara?
GS: Dalam kasus Amerika Serikat --- Kanada sedikit kurang, tetapi jauh lebih banyak di Eropa --- transparansi dalam soal pemberian dana pemerintah menjadi kebijakan dan praktek yang sangat penting. Kongres (AS) sangat berhati-hati dalam hal memastikan bahwa anggaran kerangka kerja pendanaan LSM benar-benar diteliti sebelum disahkan. Walau sejumlah proposal organisasi yang problematik sudah diteliti tuntas, masih ada saja sedikitnya keterbukaan dan perdebatan yang sungguh-sungguh seputar seluruh mekanisme pendanaan; diskusi dengan demikian menjadi rutin. Di Eropa, pada pihak lain, untuk pertama kalinya perdebatan parlemen seputar pendanaan bahkan dilakukan setelah NGO Monitor menerbitkan laporannya.
Gatestone: Pada persoalan apakah anda kaitan perbedaan ini?
GS: Budaya Amerika ditandai oleh adanya transparansi serta ketelitian. Di Amerika juga, sikap naïf terhadap NGO pun agak kurang dibandingkan dengan di Eropa. Pasca-Perang Dunia II dan masa Komunis, konsep "masyarakat madani" ----yang belakangan disebut sebagai "LSM" oleh PBB --- menjadi barang suci di Eropa. Masyarakat madani diandaikan bakal menjadi penawar terhadap demokrasi yang manipulatif, seperti yang terjadi di Republik Weimar. Tetapi mereka lupa mengajukan pertanyaan apa yang terjadi ketika masyarakat madani itu sendiri menjadi kekuataan yang manipulatif (manipulative force). Jawabannya adalah, karena tidak ada check and balances yang diterapkan atasnya.
Gatestone: Anda merujuk kepada sikap "naïf" masyarakat Eropa, tetapi adakah faktor-faktor lain di sana? Pernahkah anda temukan misalnya, agenda anti-Barat --- atau bahkan agenda pro-teroris dari LSM itu?
GS: Memang ada berbagai aneka pandangan. Ada sekelompok kecil elit --- beberapa dari mereka anggota media, akademisi, eselon politisi Eropa---menjadi pendukung utama kaum radikal atau revolusioner atau siapa saja yang tidak peduli apakah orang atau organisasi tertentu itu terlibat dalam terorisme. Kaum minoritas elit ini berniat hendak "menlancarkan revolusi pasca-kolonial."
Kemudian, ada sebuah kelompok lebih besar yang berada di tengah-tengahnya. Beberapa anggota kelompok itu mendukung sekaligus bersimpati terhadap cita-cita dan orang-orang yang diduga menjadi para korbannya, tetapi mereka sendiri bukan aktivis. Mereka tidak dalan posisi langsung atau tidak langsung mendukung pemberian dana bagi kelompok-kelompok teroris, tetapi bertoleransi secara pasif. Mereka membenarkan sikap diam dengan mengatakan, "Kami dukung hak asasi manusia. Kami pikir apa yang sedang Israel lakukan dengan pemukiman penduduk serta pendudukan merupakan sesuatu yang mengerikan. Kami benci Donald Trump, yang mendukung Israel. Kami khawatirkan soal kaum migran Muslim." Tentu, kita khawatir soal hak asasi manusia juga, sehingga inilah mengapa kami mulai melakukan penelitian sebagai pertimbangan pertama kami.
Jauh di bawah spektrum adalah orang-orang yang tidak bisa menerima terorisme dalam bentuk apapun. Inilah orang-orang yang menganggap pemberian dana kepada kelompok-kelompok yang berkaitan dengan teroris itu melewat garis merah, sehingga tidak bakal mendukungnya. Kategori terakhir inilah yang tampaknya bakal bertumbuh
Gatestone: NGO Monitor baru-baru ini mengungkapkan bahwa PBB masih alokasikan lebih dari 1 miliar dolar AS (sekitar Rp 13,45 Triliun) untuk tahun 2018-2022 guna "mendukung langkah Palestina menuju kemerdekaan." Apakah peran yang dimainkan BB dalam dunia LSM ini?
GS: Lobi LSM di PBB berperan penting karena ia merupakan bisnis miliaran dolar dalam satu tahun. Itu industri. Dia butuh disebut tepat seperti itu. Ford Foundation menyediakan dana untuk menciptakan hubungan antara LSM dan PBB. Kemampuan LSM untuk mempengaruhi kebijakan sekaligus membagankan pembangunan yang kritis, khususnya, tetapi tidak secara eksklusif di Timur Tengah lahir dari keberadaan mereka yang diakui di PBB sebagai "pakar." Sebagai contoh, dalam Dewan Hak-Hak Asasi Manusia ( Human Rights Council) LSM bisa melakukan apa saja kecuali memberikan suara. Mereka terlibat dalam pertemuan-pertemuan. Mereka juga menyebarluaskan dokumen-dokumen. Dari dekat mereka bekerja sama dengan orang-orang yang menulis laporan. Ini sebabnya mengapa anda dengar frasa atau kalimat yang sama yang digunakan dalam berbagai dokumen dan pidato. Pemerintah bahkan Otoritas Palestina kerapkali mengandalkan berbagai LSM untuk melakukan pekerjaan ke sana kemari. Posisi LSM menegaskan kembali narasi Palestina tentang korban (victimization) beserta mitos-mitos lain yang begitu acak di PBB. Ada banyak LSM menghapus dimensi teror konflik Sri Lanka, termasuk krisis Rohingya di Myanmar serta mengabaikan nuansa serta rumitnya kebijakan migran Australia. Ada berbagai meme standar atas setiap isu yang tetap diulang-diulang. Hak pemerintah untuk melindungi kedaulatan mereka serta untuk menetapkan kepentingan mereka secara mandiri bahkan tidak pernah diakui apalagi diperhitungkan oleh industri LSM.
Gatestone: Ketika mengutip "soal tidak efisien serta kelebihan pengeluaran," Dubes AS untuk PBB, Nikki Haley mengumumkan pemangkasan besar-besaran atas anggaran pengelolaan Amerika untuk lembaga dunia tersebut. Apakah industri LSM, seperti yang anda sebutkan itu, merupakan bagian penting dari pengeluaran yang berlebihan ini?
GS: Persoalan ini bisa dirunut ke belakang, mengapa saya menghabiskan waktu 15 tahun mengikuti jejak langkah uang LSM. Sebagai mahasiswa pasca-sarjana fisika, sepertiga masa karir pribadi saya curahkan untuk isu pengembangbiakan nuklir --- Irak, Iran, Libya, Amerika Serikat, Uni Soviet --- sebagai pendekatan kekerasan (hard power).
Tahap kedua karir saya, setelah Perang Dingin, dicurahkan untuk resolusi atau penyelesaian konflik melalui diplomasi.
Kemudian muncul Konperensi Dunia PBB menentang Rasisme, Diskriminasi Rasial, Xenofobia, dan Sikap Tidak Toleran yang Terkait (United Nations World Conference against Racism, Racial Discrimination, Xenophobia and Related Intolerance) yang diselenggarakan di Durban, Afrika Selatan, 2001. Konferensi itu dikenal sebagai Durban I. Konperensi yang menampilkan Forum LSM itu didanai oleh Ford Foundation, Uni Eropa dan Pemerintah Kanada serta berhasil mengumpulkan 5.000 peserta yang menuduh Israel sebagai apartheid, menolak adanya Holocaust serta menyerukan dilakukan serangan ekonomi melawan Israel. Teks pernyataan akhirnya justru sudah digodok dalam sebuah pertemuan sebelum konperensi di Teheran yang juga diselenggarakan berkat bantuan PBB. Dengan demikian, semua peserta konperensi tahu persis dalam persoalan apa mereka terlibat.
Bagi saya, ini sebuah penyadaran diri karena dua perhitungan: bahwa kekuasaan yang lembut (soft power) itu kerapkali jauh lebih berbahaya dari kekerasan nyata (hard power). Dan bahwa uang adalah amunisi yang kuat. Saya sadari bahwa LSM-LSM yang mengaku peduli terhadap hak asasi manusia bukanlah organisasi-organisasi yang dibangun oleh orang-orang baik yang bekerja tanpa lelah demi kehidupan masyarakat yang lebih baik keluar dari garasi orangtua mereka atau dari apartemen yang sewanya mereka bayar sendiri. Sebaliknya, mereka menerima ratusan juta dolar untuk khusus memilih Israel untuk dikecam dan didelegitimasi. Para peserta konperensi melambai-lambaikan selebaran tentang Hitler. Buku-buku anti-Semit, seperti Protocols of the Elders of Zion (Protokol Para Penatua Zion) pun dijual di tempat konperensi. Aksi itu justru dilakukan ketika orang-orang Palestina meledakan bus-bus serta membantai masyarakat Israel yang lugu di kafe-kafe dan di mana saja mereka temui. Bagaimanapun, industri LSM menyebarluaskan narasi Durban yang salah seolah-olah Israel melakukan pembersihan etnis terhadap warga Palestina dan merekayasa adanya "Pembataian Jenin." LSM-LSM seperti Human Rights Watch dan Amnesty International tidak menggambarkan bom bunuh diri jika mereka benar-benar menyebutkannya---sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Justru sebaliknya mereka katakan aksi itu sebagai ungkapan frustrasi Bangsa Palestina. Dan, semakin banyak perhatian LSM itu terima karena mempromosi narasi dan agenda, semakin banyak uang mereka dapatkan. Upaya untuk menangani isu-isu hak asasi manusia nyata, seperti perlakuan Masyarakat Pribumi di Kanada, Masyarakat Dalit di India atau Roma di Eropa diabaikan oleh orang-orang yang mengklaim diri pejuang hak asasi manusia itu, karena memusatkan perhatian pada berita media yang panas seperti Israel dan Palestina memang bisa mendatangkan uang.
Gatestone: Sudah enam belas tahun Konperensi Durban lewat. Penutupannya diadakan tepat tiga hari sebelum serangan 11 Spetember 2001 (penyerangan atas Menara Kembar Organisasi Perdagangan Dunia, pen.) di New York dan Washington. Semenjak itu, terorisme global, termasuk di Eropa meningkat dan berbagai LSM yang mendukung cita-cita radikal bertumbuh subur menjamur. Apakah situasi ini membaik?
GS: Jumlah dana yang masuk dalam industri LSM radikal pelahan merosot, seperti tergambar dari contoh Pemerintah Denmark. Di sebagian besar negara Eropa Barat, isu itu akhirnya diperdebatkan. Akibatnya, uangnya, sedikitnya, tidak diperbanyak lagi jumlahnya. Kini meski sebelumnya dibayangi oleh rahasia, proses ini diungkapkan kepada masyarakat, sehingga anda bisa mendengar semua bentuk LSM yang tidak pernah anda dengar sebelumnya. Dan, kapan pun mereka diungkapkan atau dana mereka dipangkas, mereka menjerit bahwa itu akibat ulah komplotan sayap kanan
Rights Forum, di Belanda, misalnya, sebuah jaringan elit anti-Amerika, anti-Barat, anti-Israel yang didirikan oleh Mantan Perdana Menteri Belanda, Andreas van Agt---baru-baru ini menginvestasikan banyak sekali sumberdaya untuk melancarkan serangan melawan NGO Monitor. Dan kita pun sudah melihat serangan membenturkan tembok yang sama yang berasal dari tempat-tempat radikal lain yang mencoba mendelegitimasi atau menganggap riset seputar LSM radikal tdk berdasar. Ini berarti kita tengah menghadapi sebuah dampak yang penting.
Tentu, masih perlu waktu lima sampai 10 tahun bagi negara-negara pemberi dana lainnya untuk sadar. Soalnya, kita sedang berbicara tentang dana lebih dari satu miliar dolar (sekitar Rp 13,4 triliun) setahun yang masuk dalam industri LSM, tanpa pengawasan melekat atau uji tuntas yang wajar. Ini berarti kelompok radikal masih terus mendapat dana. Ini proses yang pelahan dan menyakitkan, tetapi perlu ---sebuah proses yang bergerak menuju arah yang benar.***
Ruthie Blumadalah pengarang buku "To Hell in a Handbasket: Carter, Obama, and the 'Arab Spring.'"