Tumbuh besar dalam suasana yang menerapkan hukum Sharia dan sekolah yang dikelola oleh kaum Islam radikal, kami diajarkan bahwa tingkat tertinggi yang dapat seseorang capai adalah menjadi mujahid. Mujahid adalah orang yang benar-benar Allah kasihi. Suatu ketika, saya pun memberanikan diri bertanya, apa persisnya arti istilah mujahid. Sang imam mengatakan bahwa mujahid sejati adalah orang yang tidak sekedar mati secara defensif guna melindungi nilai-nilai Allah. Mujahid sejati, adalah orang yang paling dikasihi Allah, adalah orang bertindak ofensif, termasuk lewat aksi kekerasan, ketika dia melihat nilai-nilai agama kita dilanggar di bagian manapun di dunia. Orang itulah pejuang suci sejati, urainya.
Penjelasan ini digemakan lewat ruang-ruang sekolah dan dibisikan dalam benak anak-anak. Ia pun menghantui saya sepanjang hidup saya. Kini, kala saya untuk pertama kalinya merefleksikan rasa haus saya terhadap aksi kekerasan yang dijelaskan kepada saya, realitas mengerikan pun lantas menjadi perhatian utama. Saya pun bayangkan, jika ajaran para imam radikal itu benar, maka angka mujahiddin di Barat bakal meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan di Timur.
Tatkala sejumlah kalangan berjuang mati-matian untuk mencapai dambaan ini, kami diberitahu bahwa satu indikator penting dari apakah jumlah mujahidin itu meningkat atau merosot dalam sebuah masyarakat adalah dengan melihat angka orang yang menjadi syuhadah. Semakin tinggi angkanya, semakin banyak mujahidin di sana sehingga Allah pun semakin puas. Itu pesan kuat yang disampaikan kepada kaum muda, otak-otak yang mudah dipengaruhi, yang bersemangat untuk menyenangkan (Allah) sekaligus mempelajarinya.
Tumbuh besar di Timur Tengah, dalam negara-negara mayoritas Muslim, jarang sekali saya dengar kaum Islam radikal melakukan aksi teror di kawasan itu. Tetapi selama beberapa tahun, ketika saya hidup di Barat, saya justru secara teratur mendengar kisah tentang misi bom dan bunuh diri yang dilakukan oleh kaum Islam radikal. Target mereka adalah warga Amerika dan Eropa, termasuk berbagai serangan di London, Paris, Nice, Brussels, Boston dan San Bernardino --- dan kerapkali terjadi satu setelah yang lain.
Informasi seputar berbagai serangan ini disebarluaskan oleh media, didiskusikan antarwarga negara yang prihatin, digemakan di seluruh lembaga politik dunia. Situasi ini mendorong saya untuk bertanya: Mengapa semakin banyak teroris Islam radikal di Barat, walau negara tempat ajaran-ajaran agama mereka lahir justru berada di sisi dunia yang lain?
Tidak masuk akal bahwa Barat, dengan pendidikannya yang bebas menjadi ladang pembibitan bagi otak-otak kejam ini, meskipun angka-angkanya sudah jelas.
Tetapi, mengabaikan kecenderungan ini sama sekali tidak ada gunanya ketika berupaya untuk mencegah tragedi masa datang. Penyebab ledakan ini dalam terror di Barat perlu dicabut hingga ke akar-akarnya. Setelah melakukan kajian yang penuh hati-hati, tampaknya ada beberapa penjelasan atas persoalan ini.
Pertama dari semuanya itu, negara-negara Barat itu jauh lebih toleran terhadap para pejihad dan kaum Islam radikal.
Tatkala tiba di Barat, saya terheran-heran setelah mempelajari jenis ajaran yang para imam radikal di Kerajaan Inggris dan AS kotbahkan. Mereka bebas sekali mengecam negara yang memberi mereka perlindungan, mencela sistem politik, mengkritik orang-orang yang setiap hari mereka temui di jalan-jalan.
Mereka menjelek-jelekan cara orang hidup di Barat, cara mereka berpakaian, makan, setiap aspek kehidupan sehari-hari mereka.
Kenyataannya, kaum radikal itu tidak berkotbah tentang kekerasan dan pemerintahan diktator di Timur Tengah, tempat mereka sebenarnya berasal, atau mengklaim melarikan diri darinya. Jadi, target mereka satu-satunya tampaknya masyarakat Barat.
Bagaimanapun, berbagai kelompok ini tidak diijinkan beroperasi bebas di Timur Tengah serta di negara yang berada di bawah kekuasaan kaum Islam radikal, tempat ideologi radikal sebetulnya berasal, jika mereka menyasar tanah kelahiran mereka sendiri. Di Timur Tengah, ada konsekwensi mengerikan mereka terima jika mengkotbahkan hal-hal yang bertentangan dengan sistem politik dalam negeri mereka. Mereka dibiarkan bertumbuhkembang hanya jika mereka mengajarkan sikap antagonisme, sikap yang bermusuhan terhadap Barat, Kekristenan, Yudaisme serta nilai-nilai Barat.
Di Suriah, misalnya, para politisi termasuk almarhum Presiden Hafez Al Assad pernah memberi perlindungan bagi kaum fundamentalis pendiri Persaudaraan Muslim Suriah. Persaudaraan Muslim cabang Suriah berniat hendak memancing kebencian terhadap Israel serta Amerika Serikat. Tetapi karena para pejihad itu tidak berhenti hingga mereka menguasai negara tersebut sekaligus menerapkan versi hukum Islam radikal mereka sendiri, Persaudaraan Muslim menambahkan agenda lain pada agendanya: Agenda untuk berbalik menentang rejim Suriah. Menghadapi kasus itu, penguasa langsung mengambil tindakan. Langsung membasmi seluruh organisasi beserta para anggotanya dari Suriah, walau Suriah adalah tanah kelahiran mereka dan mereka pun menjalankan agama konstitusi dan tanah itu.
Di Iran, tatkala partai Islam radikal pimpinan Ayatollah Khomeini naik ke puncak kekuasaan, dia tidak merangkul semua kaum Islam radikal dan kelompok pejihad lainnya. Ia hanya mendukung dan mempromosikan kelompok-kelompok pejihad yang setuju memusatkan perhatian untuk mempromosikan dua isu penting: anti-Amerikanisme serta anti-Semitisme. Kelompok Islam radikal lain, yang berubah menentang rejim itu sendiri langsung diberantas dari masyarakat walau mereka menjalankan Islam radikal versi Khomeini.
Para penguasa Islam radikal kawasan itu, tempat Islamisme sebenarnya lahir, sangat menyadari bahaya dari membiarkan sejumlah kelompok pejihad berkotbah menentang masyarakat serta sistem mereka sendiri. Mereka sadari betapa berpengaruhnya ideologi kaum Islam radikal dalam mengubah, mencuci otak masyarakat, serta merekrut para mujahidin, melakukan aksi kekerasan, merebut kekuasan serta mengendalikan lembaga politik.
Pada pihak lain, banyak masyarakat Barat terlampau toleran terhadap berbagai kelompok fundamentalis ini. Ada keyakinan bahwa anda harus memberikan hak yang sama kepada mereka untuk menikmati kebebasan berbicara, pers serta berkelompok sepergi orang-orang lain. Hak-hak itu, dalam dirinya sendiri, memang penting. Tetapi persoalannya menjadi, di manakah anda menarik garisnya? Ketika seorang imam radikal di AS atau Eropa memancing sikap anti-Semit dan anti-Amerika serta kebencian anti-Barat di depan publik, haruskah mereka dibiarkan untuk terus melanjutkannya? Ketika banyak pusat Muslim radikal di Barat mendakwakan jihad dan terorisme, haruskah anda membiarkan mereka menikmati kebebasan berbicara dan berkumpul? Kotbah menjadi faktor penting di balik semakin meningkatnya terorisme yang kita hadapi akhir-akhir ini berkembang di seluruh Barat. Pidato kebencian penuh hasutan dengan aksi kejam inilah yang merenggut nyawa banyak orang lugu. Jika kita biarkan mereka terus saja melanjutkannya, kecenderungan keji mereka hanya bakal bergerak liar secara eksponensial.
Barat perlu memahami bahwa kaum Islam radikal tidak melihat hak-hak ini sebagai sesuatu yang pantas dihargai; merekanya sebagai sesuatu yang perlu untuk dieksploitasi.
Hak-hak dasar itu dipergunakan untuk memanipulasi serta meradikalisasi warga sekaligus orang-orang asing supaya berbalik melawan pemerintah yang menerima mereka serta masyarakat lugu yang berbagi tanah tempat mereka berpijak. Otak mereka dicuci dan kemudian didorong, jika tidak diperintah untuk pergi keluar dan mengubah segala-galanya di sekitar mereka.
Persoalan kedua yang dihadapi Barat dalah bahwa banyak orang tidak memperhitungkan secara serius kemampuan berbagai kelompok ekstrimis termasuk kotbah-kotbah mereka. Bertumbuh besar di bawah kekuasaan Islam, anda bisa saksikan betapa rumit, bertenaga serta pada saat yang sama sederhananya kata-kata mereka. Salah satu dari berbagai strategi berbagai kelompok itu adalah dengan membuka jalan memasuki berbagai komunitas tempat orang-orang muda menghadapi persoalan --- kesulitan keuangan, kerasnya kehidupan keluarga, mungkin saja persoalan-persoalan psikologis. Secara dangkal, para imam itu memeluk mereka sebagai ayah, seolah-olah memeluk anaknya sendiri. Kemudian, mereka menciptakan penjelasan-penjelasan tentang mengapa orang-orang muda itu berhadapan dengan persoalan-persoalan seperti itu, Mereka pun mengajarkan anak-anak muda itu bahwa persoalan terletak dalam masyarakat mereka, pemerintahan mereka, masyarakat mereka sendiri, bahkan keluarga mereka sendiri.
Segera sesudah berhasil mengisi otak mudah dengan pesan mereka, mereka pun memperlihatkan solusi terakhir: Menjadi mujahid sejati, pejuang suci sejati. Anak-anak muda diberi tahu bahwa mereka akan sangat memuaskan hati Allah serta bakal segera dipertemukan dalam kehidupan selanjutnya dengan segala hal yang tidak mereka miliki di dunia. Mereka memberikan gambaran kemewahan dari eksistensi yang lebih baik di hadapan otak-otak muda ini hingga itulah satu-satunya tujuan yang mereka perjuangkan. Itulah di mana melakukan aksi-aksi bom bunuh diri serta aksi-aksi teroris lain melawan warga negara negeri mereka sendiri terjadi. Seluruh proses untuk menjadi seseorang itu menjadi mujahid tiak menghabiskan waktu sepanjang seperti orang mungkin pikirkan. Prosesnya tidak sulit karena mereka secara tepat mengetahui tipe kaum muda rawan yang menjadi sasaran.
Akhirnya, masyarakat Barat tidak tahu apa sebenarnya Islam dan jihad radikal yang sebenarnya. Ada sikap yang dominan ini. Yaitu bahwa jika anda cukup berbaik hati kepada kaum Islam radikal ini dan jika anda memperlakukan mereka dengan ramah lembut, mereka akan perbaiki diri sehingga menjadi warga negara yang berharga. Searah dengan pernyataan ini, ada ide cacat lainnya, yatu jika kelompok-kelompok Muslim yang mengklaim diri tidak terlalu kejam dan "moderat" diberikan kekuasaan lebih banyak, maka kelompok-kelompok yang sangat radikal bakal lenyap. Teori-teori ini benar-benar sederhana dan jelek. Ia memperlihatkan ketidaktahuan sejumlah kalangan di Barat tentang nuansa dan kompleksnya Islamisme. Karena bagaimanapun, mayoritas orang yang meyakini iman ini sangat mungkin tidak hidup di bawah negara yang dipimpin oleh kaum radikal Islam atau dalam masyarakat mayoritas Muslim.
Selain itu, banyak kalangan di Barat berpikir bahwa jika perbatasan negara-negara dibuka dan orang diberi kewarganegaraan, perlindungan serta pendidikan maka mereka akan mengapresiasi nilai-nilai Barat kemudian menjalannya. Argumentasi itu terbukti benar-benar tidak akurat. Para pemimpin tertinggi Islam radikal memulai gerakan jihad justru setelah mereka tiba di Barat. Sayyid Qutb, misalnya. Ia inspirator Al-Qaeda dan Negara Islam serta kelompok-kelompok teroris yang sejenis. Ia pernah diberi beasiswa gratis untuk belajar serta peluang untuk bekerja di Barat. Qutb mengikuti kuliah di Sekolah Tinggi Keguruan Wilson (Wilson Teachers College) di Washington, D.C, Jurusan Pendidikan pada Perguruan Tinggi Negeri Colorado di Greeley serta Universitas Stanford. Dia pun diberikan kesempatan untuk bepergian ke seluruh AS dan Eropa. Hal pertama yang dia lakukan setelah kembali ke tanah kelahirannya, Mesir adalah menerbitkan sebuah buku penuh hasutan, The America that I Have Seen (Amerika yang Pernah Saya Lihat). Dalam buku itu dia mengecam setiap aspek Amerika, termasuk para wanitanya, kehidupannya, budayanya, seni, gaya hidup, agama serta kebebasan yang begitu berharga dan begitu terbuka kepadanya.
![]() Sayyid Qutb, seorang anggota Persaudaraan Muslim Mesir era 1950-an dan 60-an yang menjadi inspirasi bagi Al-Qaeda serta ISIS menuliskan sebuah buku penuh hasutan, The America that I Have Seen (Amerika yang Pernah Saya Lihat) setelah dia datang ke AS. Dia belajar di Perguruan Tinggi Negeri Colorado untuk Bidang Pendidikan di Greeley, di antara berbagai sekolah Amerika (Sumber foto Greeley: Bbean32/Wikimedia Commons). |
Jumlah pejihad makin bertambah dan jumlah orang-orang lugu polos yang direnggut nyawanya pun semakin melonjak akibat aksi teroris selama sikap toleran dan banyak persepsi salah dibiarkan berlanjut di Barat. Kita hanya perlu menggali sejarah dunia Barat dan Negara Islam masa kini yang belum terlalu lama untuk melihatnya, sehingga jika aksi perlawanan terhadap berkembangnya rasa benci dan kekerasan tidak segera diambil, maka terlampau terlambatlah kita untuk menyesali apapun yang terjadi.
Dr. Majid Rafizadeh adalah Presiden dari International American Council on the Middle East. Ia ilmuwan politik dan konsultan bisnis kelahiran Iran yang kini menjadi warga Amerika yang mendapatkan pendidikan dari Universitas Harvard, AS. Ia juga pengarang buku "Peaceful Reformation in Iran's Islam". Dia bisa dihubungi lewat Dr.Rafizadeh@Post.Harvard.Edu.