Abbas memilih bersekutu dengan Hamas dan Jihad Islam. Itu berarti dia memfasilitasi mimpi kedua organisasi untuk menguasai Kawasan Tepi Barat. Kedua kelompok radikal itu memang berjuang keras untuk menghancurkan Israel sehingga menentang proses perdamaian apapun yang tengah dilakukan di Timur Tengah.
Pertama-tama, berbagai ancaman itu mengarah kepada upaya untuk meminta semakin banyak lagi dukungan finansial dan politik kepada Otoritas Palestina dari komunitas internasional.
Aliansi ini menyebabkan serangan teroris terhadap Israel kembali dimulai. Soalnya Hamas dan Jihad Islam menterjemahkan langkah dan retorika anti-Israel Abbas sebagai lampu hijau untuk aksi seperti ini.
Upaya Abbas mendekati Hamas dan Jihad Islam hanya mengukuhkan rasa takut yang melanda banyak warga Israel bahwa Tepi Barat bakal jatuh ke tangan kaum Islamis saat Israel menarik diri dari kawasan tersebut.
Solusi dua negara mengawali hari Hamas menendang Abbas keluar dari Jalur Gaza kemudian mengubah kawasan itu menjadi emirat Islamis. Pada akhirnya, rakyat Palestina mendapatkan dua negara (Tepi Barat dan Jalur Gaza) yang bahkan bertikai satu sama lain.
Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas dan pemimpin PLO di Tepi Barat pernah kembali mengancam akan menghentikan koordinasi keamanan dengan Israel. Kali ini sebagai tanda protes atas kemenangan Binyamin Netanyahu dan Partai Likud dalam Pemilu Israel 17 Maret lalu.
Ancaman terakhir dilancarkan selama pertemuan para pemimpin PLO yang dipimpin oleh Abbas di Ramallah untuk mendiskusikan hasil Pemilu Israel. Usai pertemuan, para pemimpin PLO memutuskan meminta komandan pasukan keamanan PLO di Tepi Barat supaya hadir menjelaskan "rencana terinci" untuk menghentikan koordinasi keamanan dengan Israel.
Menghentikan koordinasi keamanan dengan Israel berarti Abbas dan PLO membuka jalan bagi Hamas untuk memperluas pengawasannya dari Jalur Gaza hingga Tepi Barat. Dengan cara itu, rakyat Palestina bakal memiliki negara Islamis lain yang berjuang melenyapkan Israel.
Tidak mengherankan bahwa Abbas dan para pemimpin PLO lantas mengatakan: "Kami tidak suka dengan hasil Pemilu Israel. Dan itu menyebabkan mengapa kami berniat memfasilitasi Hamas untuk mengambil alih Tepi Barat."
Sampai sebegitu jauh, hanya koordinasi keamanan Otoritas Palestina dan Israel yang menggagalkan rencana Hamas melancarkan kudeta menentang rejim Abbas di Tepi Barat.
Jika bukan karena koordinasi keamanan itu, Abbas sudah digulingkan dari kekuasaan beberapa tahun silam. Seperti pada kasus tahun 2007 ketika Hamas mendesak Abbas dan pemerintahan Otoritas Palestina pimpinannya keluar dari Jalur Gaza. Seorang pejabat senior Palestina bahkan mengakui bahwa Abbas tidak bakal bertahan di puncak kekuasaan tanpa koordinasi keamanan dengan Israel.
Tetapi kini, Abbas dan PLO memutuskan menanggapi kemenangan Netanyahu. Bukan dengan sekedar memotong koordinasi keamaan, tetapi juga mengintensifkan perjuangan mereka untuk mengisolasi dan mendelegitimasi keberadaan Israel dalam komunitas internasional.
Abbas dan PLO juga memutuskan bergabung dalam "dialog mendalam" dengan Hamas dan Jihad Islam sebagai tanggapan terhadap kemenangan Netanyahu. Kedua kelompok radikal itu berjuang menghancurkan Israel dan menentang proses perdamaian apapun di Timur Tengah.
Dengan kata lain, Abbas memutuskan menggalang kekuatan bersama dengan para musuh perdamaian, sekedar karena tidak suka dengan hasil Pemilu Israel.
Keputusan Abbas mendekati Hamas dan Jihad Islam dengan demikian berarti bahwa dia melihat kedua organisasi itu sebagai para pemain sah dalam arena politik Palestina sekaligus mitra dalam Negara Palestina masa depan. Abbas yang sama pula selama beberapa tahun silam memperingatkan adanya bahaya dari upaya Hamas yang berulangkali melancarkan kudeta menentangnya di Tepi Barat.
Awalnya, Otoritas Palestina menanggapi hasil Pemilu Israel. Cara yang dilakukannya adalah dengan mengancam akan berupaya mengajukan tuntutan "kejahatan perang" atas Isreal kepada Pengadilan Kejahatan Internasional. Kini, Otoritas Palestina dan para pemimpinan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) bahkan sudah bergerak satu langkah lebih jauh dengan mengancam menghentikan ikatan kerja sama keamanan dan ekonomi dengan Israel.
Berbagai ancaman itu pertama-tama bermaksud menakut-nakuti komunitas internasional untuk memberikan lebih banyak lagi bantuan keuangan dan politik kepada Otoritas Palestina. Lebih jauh lagi, berbagai ancaman ini dirancang untuk mengerahkan dunia menentang Israel. Dengan demikian, dipaksa mengajukan tuntutan kepada Abbas supaya menarik diri sesuai batas negara sebelum 1967.
Abbas memilih bersekutu dengan Hamas dan Jihad Islam. Itu berarti dia memfasilitasi mimpi kedua organisasi untuk menguasai Kawasan Tepi Barat. Aliansi itu bisa berdampak pada kembali dimulainya serangan teroris terhadap Israel. Soalnya, Hamas dan Jihad Islam akan menterjemahkan gerakan dan retorika anti-Israel yang dilancarkan Abbas sebagai lampu hijau untuk melancarkan aksi.
Upaya Abbas mendekati Hamas dan Jihad Islam hanya mengukuhkan ketakutan banyak pihak di Israel bahwa Tepi Barat bakal jatuh ke tangan kaum Islamis saat Israel mundur dari kawasan tersebut.
Bagaimanapun, keputusan Abbas melancarkan kampanye diplomatik dan politik melawan Israel di arena internasional tidak bermaksud untuk membawa Palestina semakin dekat dengan upaya mencapai aspirasi mereka.
Abbas dan komunitas internasional – khususnya pemerintah AS—mengabaikan fakta bahwa rakyat Palestina sudah memiliki dua negara kecil, di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Solusi dua negara muncul pada hari ketika Hamas menendang keluar Abbas dari Jalur Gaza kemudian mengubah kawasan itu menjadi emirat Islam. Akhirnya, warga Palestina mendapat dua negara yang bahkan bertikai satu sama lain.
Kini, dengan menggalang kekuatan bersama Hamas dan Jihad Islam, Abbas membuka jalan untuk mengubah Tepi Barat. Mengubah Tepi Barat menjadi sebuah Negara Islam lain.