(Foto oleh iStock) |
Para wartawan Palestina hidup dan bekerja di bawah kekuasaan Otoritas Palestina (PA) di Tepi Barat dan Hamas dan Jalur Gaza terus-menerus menghadapi tantangan yang luar biasa besarnya sehingga nyaris mustahil bagi mereka untuk beroperoasi bebas dari tekanan dan intimidasi.
Nyaris tidak ada seminggu pun lewat tanpa ada laporan seputar wartawan Palestina yang mengeluhkan perundungan oleh PA atau Hamas. Perundungan ini mengambil banyak bentuk seperti dipanggil untuk diinterogasi, ditahan serta perlakuan kejam lewat kata-kata.
Korban terakhir kampanye intimidasi ini adalah Mohammed Abu Jhaisheh, seorang wartawan Palestina dari Hebron di Tepi Barat. Ia menerima perintah untuk melaporkan supaya diinterogasi dari pasukan keamanan PA kota itu. Abu Jhaisheh mengelola sebuah pertunjukan radio di stasiun radio swasta di Hebron. Suatu ketika, dia pernah mengumumkan menolak melaporkan diri untuk diinterogasi ---suatu gebrakan yang dipuji oleh beberapa koleganya sebagai "berani."
Forum Wartawan Palestina (FPJ), sebuah kelompok yang membela hak-hak para wartawan Palestina, sangat keras mengecam keputusan memanggil Abu Jhaisheh untuk diinterogasi. Lembaga itu meminta Otoritas Palestina menghentikan pelanggaran terhadap media. Forum juga meminta pasukan keamanan PA untuk menjalankan peran mereka "membela dan melindungi" kebebasan publik dalam masyarakat Palestina serta memuji Abu Jhaisheh karena memutuskan tidak melaporkan diri untuk diinterogasi. Ia juga memperingatkan bahwa penindasan kebebasan berdampak kepada "fenomena negatif" di antara masyarakat Palestina.
Seperti banyak masyarakat Palestina, Abu Jhaisheh sudah tidak asing dengan ruang interogasi pasukan keamanan PA beserta pusat-pusat tahanannya. Pada Bulan Juli tahun ini, dia ditahan selama empat hari karena dicuriga "menghina" pasukan keamanan PA dengan menolak melaporkan diri untuk diinterogasi. Dia pun didenda $700 (sekitar Rp10,5 juta) karena merobek-robek surat perintah yang dia terima dari pasukan keamanan PA dank arena menerbitkannya di media sosial.
Kasus Abu Jhaisheh bukan hal baru atau unik. Kenyataannnya, pengalamannya menjadi bagian dari suatu kampanye sistematis yang dilancarkan baik oleh Otoritas Palestina maupun Hamas untuk membungkam kritik mereka sekaligus menghalangi wartawan Palestina mengkritik para pemimpin mereka ---sebuah kampanye yang sekian lama diabaikan oleh media arus utama Barat, yang para wakilnya di negeri itu memilih berpura-pura bahwa badan keamanan PA dan Hamas bagaimanapun tidak bersalah dari kesalahan apapun.
Keadaan menyedihkan dari jurnalisme Palestina terungkap dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Pusat Pembangunan dan Kebebasan Media Palestina (MADA).
Survei tersebut diselenggarakan antara 15 Desember 2017 dan 15 Januari 2016 dan mencakup sekitar 300 wartawan Palestina. Mereka diminta mengisi sebuah kwesioner tentang lingkunga kerja mereka, kekerasan serta pelanggaran terhadap para wartawan serta tingkat independensi media Palestina di bawah kekuasaan PA dan Hamas.
Survei itu memperlihatkan bahwa; "sebanyak 76% wartawan yang disurvei meyakini bahwa undang-undang media Palestina tidak mempromosikan kebebasan pers dan sebanyak 73% yang mengatakan bahwa undang-undang itu tidak menjamin perlindungan bagi wartawan. Sebesar 85% meyakini bahwa UU Kejahatan Siber Palestina yang kontroversial yang diadopsi PA, Juli 2017 lalu tidak mempromosikan kebebasan pers. Sebanyak 89% mengatakan memang ada prosedur hukum yang benar-benar melarang wartawan untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan urusan publik. Ada 91% yang mengatakan bahwa wartawan Palestina tunduk mengalah kepada berbagai pelanggaran yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Sebesar 83% mengatakan bahwa tidak adanya transparansi dan sarana-sarana yang wajar dan jujur untuk menuntut pihak berwenang publik yang melanggar kebebasan media."
Selain itu, "sebesar 90% wartawan yang disurvei mengaku melakukan sensor sendiri, khususnya ketika mendiskusikan isu-isu politik. Soalnya mereka takut diinterogasi oleh badan-badan keamanan Palestina. Ada 89% wartawan mengaku melakukan sensor diri sendiri karena takut tekanan masyarakat sekaligus pemeriksaan di depan publik. Ada 83% yang meyakini bahwa media Palestina tidak independen; 97% mengakui media dipengaruhi oleh bias politik partisan, sementara 87% meyakini bahwa media dipengaruhi oleh kepentingan sektor swasta. Ada 92% mengatakan ada kesalahan manajemen organisasi media yang secara negatif mempengaruhi tingkat profesionalisme para wartawan."
"Hasil survei itu memperlihatkan, media [Palestina] menderita menyusul kurangnya kemandirian serta kurangnya perlindungan yang memadai bagi wartawan," simpul MADA dalam laporannya tentang survei. "Gagalnya penuntutan terhadap para pelanggar kebebasan media bukan saja melanggar hak asasi manusia sekaligus mencegah tercapainya keadilan tetapi juga secara tidak langsung mengesahkan terus berlangsungnya pelanggaran tersebut."
Bagaimanapun, kegagalan meminta pertanggungjawaban dari para pelanggar kebebasan media di Tepi Barat dan Jalur Gaza (misalnya Otoritas Palestina dan Hamas) bukanlah satu-satunya faktor di balik berbagai pelanggaran yang sudah sekian lama berlangsung. Kegagalan komunitas internasional, khususnya organisasi-organisasi hak asasi manusia serta wartawan Barat untuk memberikan perhatian terhadap penderitaan wartawan Palestina juga memberikan tiket masuk bebas kepada PA dan Hamas tiket untuk terus melakukan perundungan dan intimidasi terhadap wartawan.
Survei, termasuk juga langkah-langkah keamanan yang sekarang diterapkan atas para wartawan Palestina memperlihatkan bahwa masyarakat Palestina masih menghadapi jalan panjang menuju terbentuknya demokrasi, akuntabilitas dan transparansi.
Hanya ada satu bentuk "media bebas" yang ditoleransi oleh para pemimpin Palestina: yaitu media yang mengecam Israel sepanjang waktu, yang pada saat bersamaan memalingkan mata buta terhadap korupsi dan kesalahan manajemen di bawah rejim Otoritas Palestina dan Hamas.
Para wartawan Palestina tidak mampu menghadapi ancaman serta tekanan yang dilancarkan oleh para pemimpin merka di Tepi Barat dan Jalur Gaza, jika tidak ada dukungan yang lebih lengkap dan terbuka. Mengapa berbagai organisasi yang mengaku memperjuangkan hak asasi manusia serta komunitas internasional yang menjelaskan diri sebagai berkomitmen melindungi kebebasan dan hak asasi Bangsa Palestina senantiasa bungkam?
*Khaled Abu Toameh, adalah wartawan Israel keturunan Arab dan Muslim, pemenang berbagai penghargaan jurnalistik. Ia kini berdiam di Yerusalem, Israel.