PRESIDEN DONALD TRUMP---mengeluarkan perintah eksekutif 27 Januari 2017. Berdasarkan perintah ini, AS untuk sementara waktu, selama 90 hari, melarang para imigran dari tujuh negara mayoritas Muslim seperti Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman memasuki negerinya hingga prosedur pemeriksaan ketat dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Larangan itu menimbulkan kontroversi, memantik protes di dunia Barat dan Islam, termasuk di Turki yang kini meningkat jumlah kaum radikal Muslimnya.
Artikel ini tidak berniat mendiskusikan apakah larangan yang dikeluarkan Trump itu merupakan tindakan rasis, melawan hukum atau sepenuhnya tidak dapat dibenarkan di tengah terancamnya kepentingan-kepentingan Amerika. Larangan itu, benar atau salah, sekali kali mengungkapkan sikap munafik kaum Muslim ekstremis terhadap soal kebebasan dan terhadap apa yang rasis dan yang tidak. Ternyata, pemahaman kaum Muslim ekstremis tentang kemerdekaan itu satu arah: artinya, kemerdekaan seperti hak asasi untuk menganut agama (religious rights) itu "baik" dan harus dibela jika dimaksudkan bagi kaum Muslim---kerapkali terjadi di tempat kaum Muslimnya minoritas. Tetapi hak-hak itu bisa diabaikan begitu saja jika diarah terhadap kalangan non-Muslim---kerapkali di negara-negara mayoritas Muslim.
Menghadapi larangan itu, kaum Muslim pun meledak marah. Di mana-mana, di seluruh penjuru dunia. Jawaban yang lembut namun tajam dari Iran muncul dalam sebuah Tweet dari Menteri Luar Negerinya Javad Zarif. Menurut Zarif, larangan itu menjadi "hadiah terbesar bagi kaum ekstremis." Sementara itu, pernyataan pemerintah di Teheran mengatakan bahwa pembatasan bepergian (travel restriction) yang dikeluarkan Pemerintah AS merupakan penghinaan terhadap dunia Muslim sehingga mengancam warga AS dengan "langkah-langkah balasan." Padahal, banyak negara Muslim sudah menetapkan larangan bepergian terhadap kaum Muslim lainnya, di samping larangan atas warga Israel.
Sudan, tuan rumah sekaligus pendukung berbagai kelompk terori kaum Muslim ekstremis termasuk Al-Qaeda mengatakan larangan itu "sangat disayangkan." Di Irak, sebuah koalisi kelompok paramiliter meminta pemerintah supaya melarang warga AS memasuki negeri itu serta mengusir orang-orang AS yang kini berada di negeri itu.
Di Turki, seorang pejabat senior pemerintah mengatakan perintah itu merupakan "sebuah keputusan diskriminatif." Sikap lembut yang tidak biasanya diperlihatkan oleh pemerintah terhadap perintah larangan yang dikeluarkan Trump itu mungkin bertujuan agar presiden baru AS tidak membencinya. Jurubicara wakil perdana menteri sekaligus jurubicara pemerintah Numan Kurtulmus mengatakan:
"Menyedihkan. Saya berpendapat bahwa Islamofobia, kebencian terhadap orang asing (Xenophobia) serta perasaan-perasaan anti-imigran sangat kuat dalam keputusan ini. Sangatlah menyakitkan melihat bahwa keputusan ini dilakukan di negara seperti Amerika, di mana kelompok etnis dan agama yang berbeda mampu hidup bersama-sama."
Ketua partai yang berkuasa, Yasin Aktav, mengatakan larangan itu sebagai rasis. Dia lalu menambahkan: "Ini benar-benar melanggar hak asasi manusia, sebuah pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia." Aktay juga mengatakan bahwa dia mulai "khawatir soal masa depan A.S."
Ulama Muslim kenamaan Turki Mehmet Gormez, karena itu memuji warga Amerika yang tergesa-gesa menuju berbagai Bandara AS hendak memprotes larangan itu. "[Ini] sangat penting. Ia memberikan harapan kepada kita," katanya----agaknya berarti bahwa para pemrotes non-Muslim akan terus mendukung adanya hak asasi kaum Muslim di negara-negara non-Muslim.
Para tokoh pemerintah serta otoritas tinggi Islam Turki tampaknya tidak ingin mendengarkan rekor muram hak asasi manusia di negeri mereka sendiri, ketika persoalannya sampai pada kaum minoritas non-Muslim. Yang paling baru berkaitan dengan Asosiasi Gereja-Gereja Protestan Turki. Dalam sebuah laporannya, pihak gereja mencatat bahwa ujaran kebencian (hate speech) terhadap kaum Kristen negeri itu meningkat di media tradisional dan media sosial. Dikatakan bahwa ujaran kebencian terhadap umat Protestan terus berlangsung sepanjang tahun 2016, di samping berbagai serangan fisik terhadap individu dan gereja-gereja mereka
Bagaimanapun, simpati satu arah kaum radikal Muslim terhadap hak-hak asasi (bagi Muslim) dan afeksi satu arahnya dalam kasus diskriminasi (terhadap non-Muslim) tidak sekedar milik masyarakat Turki tetapi sudah menjadi fenomena global. Apakah yang dialami para pengunjung non-Muslim (atau kerapkali bahkan kaum Muslim yang tidak ekstrim) ketika berkunjung ke sejumlah kota dan situs Muslim di berbagai negara yang mengecam larangan Trump itu sebagai "rasis" dan "diskriminatif" sehingga "melanggar hak asasi manusia?"
Dalam suatu kunjungan ke Masjid Al Aqsa di Yerusalem 2016 lalu, para penjaga situs yang beragama Islam tidak mengijinkan pengarang artikel ini masuk, meski paspor Turki penulis perlihatkan. Mereka mengatakan, "kau tidak terlihat sebagai orang yang benar-benar Muslim." Dan kaum Muslim kini mengeluhkan adanya "diskriminasi?" Secara insidentil, Masjid Al-Aqsa itu memang sedikitnya secara teoritis , terbuka untuk kunjungan kaum non-Muslim, kecuali pada hari Jumad.
Coba lihat di Arab Saudi. Deportasi dan larangan seumur hidup menjadi hukuman minimal bagi non-Muslim yang memasuki kota-kota suci, Mekah dan Medinah. Pada 2013 lalu, Menteri Kehakiman Arab Saudi Mohamad al Eissi ngotot mengatakan bahwa "kesucian tempat suci umat Muslim tidak membolehkan tempat ibadah (agama) lain dibangun di sana."
Larangan adanya rumah ibadah agama lain di Arab Saudi bersumber pada sebuah tradisi Salafi yang melarang adanya dua agama di Semenanjung Arabia. Di Kerajaan Arab Saudi, hukum mempersyaratkan seluruh warga negaranya harus Muslim. Pemerintah tidak memberikan perlindungan hukum bagi kebebasan beragama. Selain itu, menjalankan agama bukan Muslim di depan umum dilarang.
Di Iran, pemerintah terus berusaha memenjarakan, mengganggu, mengintimidasi dan melakukan diskriminasi terhadap para wanita non-Muslim pengunjung situs-situs Muslim berdasarkan keyakinan beragama mereka. Padahal, para wanita non-Muslim pengunjung itu mengenakan penutup kepala ala Islam. Sebuah laporan dari Departemen Luar Negeri AS pada 2014 lalu mencatatkan bahwa kaum non-Muslim menghadapi "diskriminasi kemasyarakatan serius dengan dukungan resmi." Saat laporan tersebut diumumkan, Menteri Luar Negeri AS kala itu, John Kerry mengatakan: "menyedihkan. Halaman-halaman laporan yang diluncurkan hari ini penuh dengan kisah-kisah kaum minoritas yang ditolak haknya di negara-negara seperti Burma, Iran, Pakistan, Rusia, Arab Saudi dan banyak negara lainnya."
Di Iran, perkawinan antara wanita Muslim dan pria non-Muslim tidak diakui kecuali suami membuktikan bahwa dia sudah berpindah agama menganut Islam. Pemerintahan para mullah tidak menjamin hak warga negara untuk mengubah atau menolak iman agama mereka. Murtad, khususnya perpindahan agama dari Islam dapat dihukum mati. Pada tahun 2013, sebanyak 79 orang dari kalangan minoritas wdijatuhi hukuman penjara seluruhnya selama 3.620 bulan di penjara, 200 bulan hukuman percobaan, 75 cambukan serta 41 miliar real denda (kira-kira $1,3 juta atau sekitar Rp 17 miliar) .
Itulah keadaan kehidupan beragama dan hak asasi manusia kaum non-Muslim serta sangat kurangnya pluralisme agama di banyak negara Muslim. Persoalannya, mengapa negara-negara Muslim kini mendadak menjadi pejuang hak asasi manusia ketika berhadapan dengan larangan bepergian ke Amerika Serikat? Mengapa, Turki misalnya, tidak pernah mengkritik sangat kurangnya kebebasan di dunia Muslim namun mengatakan larangan yang dikeluarkan Pemerintah AS itu sebagai "rasis?"
Mengapa Pemerintah Iran berpikir bahwa larangan Trump merupakan "hadiah bagi kaum ekstremis [Muslim]?" Ketika mengklaim bahwa larangan bepergian itu mungkin saja mendorong ekstremisme, maka mengapa Iran tidak berpikir bahwa siksaan yang dilakukannya terhadap minoritas agama di negerinya merupakan sebuah "hadiah" bagi kaum non-Muslim?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mungkin tetap tidak terjawab di dunia Muslim. Yang pasti, kaum Muslim bakal terus mencintai "orang-orang kafir" yang mendukung hak asasi manusia mereka di negara-negara non-Muslim, namun pada pihak lain mereka terus melakukan intimidasi terhadap "orang-orang kafir" yang sama di negara mereka sendiri.
Burak Bekdil adalah salah satu wartawan kenamaan Turki. Dia baru saja dipecat dari suratkabar kenamaan Turki setelah 29 tahun bekerja di sana, karena menulis apa yang terjadi di Turki untuk Gatestone Institute. Dia adalah Mitra pada Middle East Forum.