Ada satu cara untuk melihat bangkitnya kecenderungan otoritarianisme kaum radikal Islam di sebuah negara. Yaitu dengan melihat semakin banyaknya jumlah masjid, sekolah agama dan penjara --- berpasangan dengan sangat merosotnya kualitas pendidikan. Dan Turki pun tidak terkecuali.
Yang paling akhir, Pemerintah Turki mengatakan pihaknya bakal membangun 174 penjara baru, meningkatkan kapasitas penjara hingga 100 ribu narapidana. Jadi, inilah jawaban Turki terhadap keluhan bahwa enam narapidana harus berbagi ruangan sempit yang dibangun untuk tiga narapidana. Para narapidana mengaku mereka harus tidur bergantian di tempat tidur seadanya.
Sebelumnya, Pemerintah Turki membebaskan nyaris 40,000 narapidana. Upaya itu dilakukan agar memberi tempat bagi puluhan ribu tersangka baru, termasuk para wartawan, pengusaha dan akademisi yang ditahan menyusul kudeta yang gagal 15 Juli lalu.
Jenis bangunan yang sedang ngetrend di Turki adalah masjid. Direktorat Urusan Agama Turki (Diyanet) yang didanai oleh negara dengan bangga mengumumkan bahwa nyaris 9.000 masjid baru dibangun di seluruh negeri antara 2005 hingga 2015. Jumlah masjid di Turki diperkirakan sekitar 90.000 atau satu masjid per 866 warga. Iran, dengan jumlah penduduk yang sama dengan Turki [nyaris 78 juta warga] berbangga hanya punya 48.000 masjid. Dengan kata lain, Turki punya masjid dua kali lebih banyak dari Republik Islam Iran, untuk kasarnya jumlah penduduk yang sama. Mesir, yang punya nyaris 90 juta penduduk --- lebih besar dari Turki, punya 67.000 masjid.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan tidak melulu membangun masjid dan penjara untuk semakin meng-Islamisasi negeri itu. Dia juga dengan penuh semangat membangun sekolah-sekolah agama [tempat dia menamatkan belajarnya]. Dia membanggakan bahwa pada masa sebagai perdana menteri dan presiden (sejak Nopemper 2002), jumlah siswa yang mendaftarkan diri di sekolah agama, yang resminya disebut "sekolah para imam" telah melonjak dari 60 ribu menjadi lebih dari 1,2 juta --- ada peningkatan 20 kali lipat. Dalam kajiannya, "The Islamization of Turkey: Erdogan's Education Reforms" (Islamisasi Turki: Reformasi Pendidikan Erdogan), Svante E. Cornell menulis bahwa:
"Upaya Islamisasi masyarakat Turki yang meningkat tidak diperhatikan banyak orang. Selama bertahun-tahun, Islamisasi adalah anjing yang tidak menyalak: terlepas dari ramalan mengerikan dari para sekularis, Partai AKP [yang berkuasa] tidak memperkenalkan upaya yang menyolok untuk meng-Islamisasi Turki. Tetapi sejak 2011, pendekatan ini berubah. Tempat yang langsung memperlihatkanya adalah sektor pendidik. Presiden Recep Tayyip Erdoğan sudah membentuk kembali bidang ini guna menanamkan banyak sekali isi pendidikan yang lebih Islami, sesuai dengan tujuan yang dikatakannya untuk meningkatkan jumlah "generasi orang saleh." Akhirnya, sistem pendidikan Islam yang teliti akan terikat untuk berdampak bagi identitas peradaban Turki dan pada pilihan-pilihan yang dibuatnya seputar di mana dia secara politik masuk."
Pada 2012, Pemerintah Erdogan memperkenalkan 12 tahun pendidikan wajib yang banyak diperdebatkan, yang membuka jalan bagi adanya pendidikan menengah agama. Pada 2014, diperkenalkannya pula sebuah skema pendidikan yang dengan paksa mendaftarkan sekitar 40 ribu siswa di berbagai sekolah imam. Di sejumlah distrik, sekolah-sekolah imam mendadak menjadi satu-satunya pilihan bagi para orangtua siswa yang tidak mampu membayar pendidikan swasta. Juga pada 2014, pemerintah memberikan ijin bagi para gadis berusia 10 tahun untuk mengenakan jilbab di kelas.
Jadi, di manakah pendidikan kaum radikal Islam Turki yang semakin meningkat ini berdiri menyusul adanya semua usaha ini? Menurut sebuah laporan yang dikeluarkan bulan ini oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), Turki adalah salah negara dengan pengeluaran terendah bagi seorang pelajar, Pengeluaran masyarakat untuk pendidikan dasar dan sekunder Turki serta pengeluarannya per mahasiswa universitas semuanya berada di bawah rata-rata OECD. Studi OECD juga menemukan bahwa 43% wanita Turki berusaia antara 15 dan 25 tahun tidak bekerja atau mendapatkan pendidikan. Padahal, rata-tata OECD untuk kelompok itu adalah 17%.
Tetapi ini bukan sekedar temuan kwantitatif. Temuan kwalitas juga mengarah kepada merosotnya pendidikan yang mengkhawatirkan di Turki. Pada 2016, lebih dari 2 juta tamatan sekolah menengah Turki menjalankan tes tahunan nasional untuk mendaftarkan diri masuk lembaga pendidikan pasca-sekolah menengah. Menurut hasil tes di seluruh penjuru negara, nilai siswa rata-rata 4,6 dari 40 pertanyaan dalam Pelajaran Matematika; 7,8 dalam Ilmu Pengetahuan Alam dan 10,7 untuk ilmu sosial. Ironisnya, hasil tes memperlihatkan bahwa para siswa Turki bahkan tidak punya ketrampilan yang memadai dalam bahasa mereka sendiri. Rata-rata nilai dalma Bahasa Turki adalah 19,1 dari 40 soal.
Inilah hasil Islamisasi sistematis dari masyarakat secara keseluruhan dan atas pendidikan secara khusus selama 14 tahun silam yang tidak terelakan. Dan 14 tahun selanjutnya tak diragukan lagi bakal jauh lebih suram.
Burak Bekdil, berbasis di Ankara, adalah kolomnis untuk Harian Hürriyet dan mitra Middle East Forum (Forum Timur Tengah).