Seorang migran Muslim dari Pakistan merusak dua gereja di Jerman, termasuk Gereja Santo Petrus di Chemnitz, pada 23 April 2018. (Foto oleh: Zaufatsch/Wikimedia Commons) |
Umat Muslim Membantai Umat Kristen
Pakistan: laki-laki Muslim membakar seorang wanita Kristen. Penyebabnya, karena wanita itu menolak masuk Islam serta menikahnya. Asma Yaqoob, 25 tahun, dengan tubuh nyaris 90 persen terbakar pun meninggal 5 hari kemudian. Menurut ayahnya, anak laki-lakinya dan dia sendiri tengah menunggu Asma, seorang pembantu rumah tangga di rumah majikannya, ketika dia menjawab ketokan di pintu rumahnya. Setelah beberapa saat, dia mendengar anak gadisnya berteriak kesakitan, " urainya. "Mereka pun berlarian keluar mau melihat apa yang terjadi."
Dan mereka melihat Rizwan Gujjar, 30, seorang laki-laki yang pernah menjadi sahabat keluarga itu lari"sementara Asma terjebak dalam kobaran api." Tiga bulan sebelumnya, Gujjar mulai memaksa Asma menikahinya. Asma, "tidak ingin melepaskan iman Kristennya," sehingga dengan sopan menolaknya lalu berusaha menghindari diri dari laki-laki itu, urai sebuah berita lainnya. Karena itu, pada 17 April, ketika dia menjawab ketukan di pintu, laki-laki itu pun menyiraminya dengan minyak tanah kemudian membakarnya. Menurut ibunya:
Asma memberitahu kami bahwa pada malam serangan itu terjadi Gujjar datang ke rumah Zaman (majikan Asma). Kepada Asma, dia memberitahu bahwa Asma tak punya pilihan lain lain, selain melepaskan agamanya kemudian menikahnya di pengadilan keesokan harinya. Putri saya menolak. Karena itu, dia siram dengan sebotol minyak tanah sampai habis ke badannya kemudian membakarnya...Putri saya itu umat Kristen Protestan yang setia. Berkali-kali dia menolak tekanan Gujjar sekian lama. Dia tidak suka laki-laki itu dan berkali-kali mengeluhkan perilakunya yang buruk. Ketika semua usahanya gagal meyakinkan Asma untuk tunduk kepada tuntutannya, Gujjar pun lantas berupaya membunuhnya.
"Keluarga Asma berjuang mati-matian untuk mendapatkan perawatan medis terbaik yang bisa mereka dapatkan sehingga mau bepergian ratusan mil menuju rumah sakit yang dilengkapi dengan unit kebakaran," urai seorang aktivis yang mengetahui kasus itu dalam sebuah pernyataan. "Mereka lakukan apa saja yan bisa mereka lakukan. Keluarga ini akan sangat trauma melewati pengalaman ini. Mereka shock. Sulit bagi siapapun untuk melihat hidup orang yang yang dicintai, yang masih sangat muda dan sangat berbakat padam."
Dalam sebuah insiden terpisah, para pejihad Islam membunuh sedikitnya 6 orang Kristen dan melukai beberapa orang lain dalam dua serangan. Kedua peristiwa tragis itu sama-sama terjadi di Quetta, Pakistan, dekat perbatasan dengan Afghanistan. Dalam serangan pertama, pada 13 April, sejumlah laki-laki bersenjata ber sepeda motor menembaki sebuah angkong (kendaraan roda dua yang ditarik manusia, Pent.) sehingga menewaskan satu keluarga yang terdiri dari empat warga Kristen yang kala itu baru pulang dari Perayaan Paskah sehari sebelumnya. Seorang gadis Kristen berumur 12 tahun menderita luka parah akibat terjangan peluru tetapi selamat. Sebuah catatan yang ditemukan di tempat kejadian mengatakan bahwa "inilah episode pertama pembantaian terhadap umat Kristen."
Negara Islam mengklaim bertanggung jawab. Dalam pernyataannya, kelompok itu mengatakan bahwa "sebuah unit para pejibad yang tersembunyi" telah "berhasil menyasar sejumlah pejuang Kristen...[para pejihad] menembak mereka dengan pistol sehingga empat orang dari mereka tewas dan Inshaallah." Bagaimanapun, seorang pejabat mengatakan, para militan Sunni yang beroperasi di kawasan itu mungkin bertanggung jawab atas insiden ini. "Karena keamanan ketat di berbagai gereja, kami yakin para teroris itu sebaliknya memilih menyasar umat Kristen di jalanan," tambahnya.
Seperti diprediksi olah catatan pembunuhan itu, umat Kristen memang disasar lagi. Kurang dari dua pekan kemudian, kelompok pembunuh lain yang tak teridentifikasi menembaki umat Kristen" ketika mereka meninggalkan gereja seusai Ibadat Minggu, 15 April. Sedikitnya, dua jemaat terbunuh dan lima lainnya, termasuk dua gadis berusia 11 dan 13 tahun---terluka oleh peluru.
Ketika menangisi anaknya, Azhar yang tubuhnya terobek-robek oleh 14 peluru, ayahnya mengatakan, "Para teroris bukan sekedar membunuh Azhar. Mereka juga membunuh saya dan ibunya." Anaknya masih hidup ketika warga setempat membawanya ke rumah sakit, "tetapi tidak ada dokter ada di rumah sakit untuk bisa merawatnya."
Berbicara tentang keponakannya yang dibantai, pamannya mengatakan, "Kami miskin, dan nyaris tidak cukup menghasilkan uang supaya kebutuhan kami terpenuhi. Para teroris Islam itu telah merenggut satu-satunya harapan keluarga saudari saya untuk masa depan yang lebih baik." Iqbal, menurut pamannya, menjadi satu-satunya jenazah laki-laki tulang punggung keluarganya.
Empat bulan sebelum kedua serangan itu terjadi, para pelaku bom bunuh diri Islam menyerang Gereja Bethel Methodis Memorial di Quetta. Di sana mereka menewaskan 9 orang dan melukai puluhan lainnya. "Komunitas Kristen merasa tidak aman dan terancam," urai Pastor Simon tentang gereja yang dibom. "Kami tidak aman di tempat ibadah, sekolah atau rumah tempat tinggal. Mayoritas umat Kristen begitu tertekan, sehingga tidak mengirim anak mereka ke sekolah bahkan menghindari untuk tidak pergi dalam pertemuan seperti pada acara sosial atau agama."
Nigeria: Suku penggembala Fulani yang Muslim, telah membantai sekitar 350 umat Kristen dan membakar ratusan rumah serta memporakporandakan berbagai gereja dalam 27 serangan yang berbeda sepanjang April lalu.
Dalam satu kasus, misalnya, para penggembala Islam itu secara membabi buta menyerang Gereja St. Ignasius ketika misa sedang berlangsung serta membunuh 19 umat Kristen, termasuk dua imam, 24 April lalu di Negara Bagian Benue. Menurut berita, "para jemaat dan pastor pergi misa pagi sekitar jam 05.30. ketika para penggembala itu menyerang desa dan gereja itu secara membabi buta. Tanpa membuang waktu, mereka memberondongkan peluru atas siapa saja yang terlihat..." Motivasi para pembunuh itu pun tidak luput perhatian dari Keuskupan Dioses Katolik Markudi. Dalam pernyataannya, pihak keuskupan menyesali adanya "serangan maut dari para penggembala/jihadi itu."
Pada hari berikutnya, 25 April, di Kawasan Guma, "tujuh penduduk desa Kristen yang tercerai berai selama serangan-serangan sebelumnya yang sedang berlindung di reruntuhan gereja malah dibunuh." demikian dikatakan pihak berwenang setempat.
Pernyataan lain berkenaan dengan razia mematikan lainnya (di Desa Saghev, Jumat, 20 April 2018), mencatat:
"Sepuluh jenazah umat Kristen, sampai sebegitu jauh sudah berhasil ditemukan bersama banyak korban lain yang terluka. Para penggembala bersenjata juga membakar banyak rumah, toko dan bangunan lainnya di kawasan itu. Serangan ceroboh itu tidak ada provokasi sehingga kami mendesak lembaga-lembaga keamanan untuk menangkap para penggembala di balik pembunuhan untuk penyiksaan itu."
Media Barat kerapkali menggambarkan serangan itu karena percecokan soal tanah. Tidak ada motif keagamaan. Namun, 20 dari 27 kawasan yang diserang tidak memberlakukan undang-undang penggembalaan ternak (have no-grazing laws). Sebaliknya, para penggembala suku Felani yang Muslim mengincar tanah umat Kristen supaya bisa menggembalakan ternak mereka. Itu berarti jika tidak ada umat Kristen di tanah itupun, suku Fulani tetap tidak bisa menggembalakan ternaknya di sana.
Mesir: Sebulan setelah seorang tentara Kristen terbunuh oleh komandannya yang Muslim karena agamanya, tentara Kristen lain dibunuh pada 22 April. Keluarga Michael Farahat Saad, 22 tahun, diberitahu bahwa dia meninggal karena senapan yang tengah dibersihkannya secara tak sengaja menembakkan peluru dan mengenainya sehingga menewaskannya saat itu juga. Bagaimanapun, menurut sebuah berita, seorang dokter di RSU Qusiya, yang meneliti jenasah korban mengatakan, luka peluru masuk dari punggung dan keluar di depan dan menghancurkan dagu korban. Luka masuk dan keluar mengindikasikan orang lain yang menembaknya. "Michael adalah satu dari sekitar sembilan tentara Kristen yang terbunuh akhir-akhir ini oleh para perwira Muslim dan tentara karena agama mereka.
Serangan Kaum Muslim atas Gereja Kristen
Filipina: Dalam serangan yang dilukiskan polisi sebagai mencantumkan "tandatangan sebuah kelompok ekstremis," bom mengguncang sebuah gereja di negeri itu ketika Misa Minggu tengah berlangsung. Menurut berita:
"Umat yang menghadisi Misa Pembaptisan di Gereja Paroki St. Antonius...shock setelah terjadi ledakan tepat di luar gereja, Minggu, 29 April. Ledakan itu masih disusul lagi dengan peledakan bahan peledak buatan sendiri [improvised explosive device] yang dilakukan pihak berwenang hanya beberapa meter dari gereja. Suara ledakan terdengar sekitar jam 12 siang, ketika gereja penuh pepak dengan umat yang menghadiri Misa Pembaptisan. Dua orang terluka dalam insiden tersebut [sehingga membutuhkan perawatan rumah sakit].
Mesir: Masyarakat Muslim setempat menyerang Gereja Santa Perawan Maria dan Gereja Paus Kyrillos VI di Beni Meinin, 14 April lalu. Serangan terjadi beberapa jam setelah Komisi Berwenang Urusan Pembangunan (Building Authority Committee) datang ke kawasan itu hendak menginspeksi bangunan gereja tersebut serta siap-siap untuk mengesahkan statusnya sebagai gereja. Seorang pemukim lokal menjelaskan:
"Banyak pemuda Mulism desa kami dan desa tetangga berkumpul di depan bangunan gereja. Mereka mulai melemparinya dengan batu dan bata sambil berteriak 'Allahu akbar.' Juga ada teriakan, 'Kami tidak ingin ada satu gereja di desa kami.'...Jendela dan pintu gereja dihancurkan. Beberapa barang isi gereja dirusak. Mereka juga melempari rumah-rumah milik jemaat Koptik yang berdekatan dengan bangunan itu. Lima warga Koptik menderita luka-luka ringan."
Dua hari kemudian, rumah-rumah umat Kristen kawasan itu pun kembali diserang. "Beberapa warga Muslim desa mengadakan pertemuan di salah satu masjid. Mereka menghasut orang untuk menghantam kami. Usai pertemuan, mereka membakar sebuah toko kayu milik saudara saya beserta empat rumah lainnya, "urai pemukim Kristen lainnya. Polisi pun menanggapinya dengan menangkap lima warga Kristen ketika mereka berusaha memadamkan api. Polisi berkomplot dengan warga desa yang Muslim. Kami diserang, rumah kami dihancurkan, beberapa dari kami ditangkap --- di manakah hak-hak kami?...Situasi penuh ketakutan dan panik melanda umat Kristen. Dan,tidak ada perlindungan bagi kami."
Terpisah, ada tiga militan Islam ditangkap sebelum mereka berhasil membom berbagai gereja Kristen di Mesir. Menurut sebuah berita, "polisi di pos pemeriksaan menemukan sebuah tas milik salah satu terdakwa yang berisi bahan cetak yang merinci dukungan kepada Daesh [Negara Islam]. Selama penyelidikan, salah satu terduga mengaku bertanggung jawab membentuk sebuah sel dengan beberapa temannya untuk menyasar gereja-gereja selama Perayaan Paskah." Selama Perayaan Paskah sebelumnya, "sekitar 40 umat Kristen tewas dibunuh dan 100 lainnya terluka dalam dua bom bunuh diri..."
Akhirnya, seorang laki-laki Muslim tampaknya berusia sekitar 30-an tahun berupaya menerobos masuk Gereja St. Georgius di Kairo. Menurut sebuah berita:
"... [laki-laki itu] dengan marah meneriakkan slogan Islami, "Tidak ada ilah selain Allah,' Negara (Nabi) Muhamad akan menang,' dan 'saya akan tegakkan Islam,' termasuk sorak-sorakan mengecam Agama Kristen dan Salib. Dia pegang tongkat. Dengan tongkat itu, dia mulai berusaha menghancurkan apa saja yang bisa dicapainya. Ia berhasil pecahkan sebuah lampu di atas pintu gerbang sebelum penjaga yang tergesa-gesa hendak menutup pintu gerbang menangkap basah dia."
Polisi akhirnya datang lalu membawanya pergi. Walau polisi mengatakan, tidak jelas apakah dia bertindak sendiri atau sebagai bagian dari sebuah organisasi, "Orang-orang yang lewat di tempat itu mengatakan bahwa di seberang jalan tempat kejadian, berdiri 4 pemuda lain yang terus-menerus menyoraki mendorong penyerang untuk beraksi.
Siprus: Pada "Rabu Tengah Malam [4 April], sekitar 20 migran Muslim menyerang sekelompok jemaat Kristen di luar Gereja St. Maria yang tengah menjalankan ibadat (liturgy) suci di Leukosia," demikian dikatakan sebuah berita (yang aslinya berbahasa Yunani di sini).
"Sebagian besar umat Kristen ada dalam gereja ketika 20 Muslim mendadak datang ke halaman gereja (temple) sambil berteriak-teriak, mengutuk serta memukul peserta ibadat. Menurut pernyataan yang diberikan oleh masyarakat setempat di Sigma live news, salah seorang Muslim mengangkat peralatan seperti kapak lalu berusaha menghantam para anggota jemaat. Orang-orang Muslim itu menghilang setelah polisi, yang ditelepon oleh orang-orang beriman yang merasa diteror, muncul di tempat kejadian."
Pakistan: Sekelompok perusak yang tidak teridentifikasi membakar gereja Injil Misi Yesus (Gospel of Jesus Mission) yang sedang dibangun dengan melontarkan bom ke atapnya, 15 April lalu. "Altar, mimbar pastor, puluhan buku Kristen, karpet, kipas angin duduk, kursi dan meja plastik, jam dinding, salib kayu, kain terpal, kipas angin buatan sendiri serta alat musik untuk penyembahan (worship instrument) dinajiskan kemudian dibakar sampai menjadi abu," ungkap sebuah berita. "Kami komunitas miskin," urai seorang anggota gereja. "Kami tidak punya cukup uang untuk merampungkan pembangunan [atap]. Apa saja yang kami miliki sudah dibakar. Saya tidak tahu bagaimana kami bisa memperbaiki gereja karena para pejabat bahkan tidak kunjungi kami." Menurut pastor gereja itu, Yousaf Aziz John, umat Kristen setempat "mulai membangun gereja ini sekitar tiga tahun silam dan masih [sedang] mengumpulkan sumbangan kecil-kecilan untuk itu...Bagaimanapun, kami tidak bisa mengecam siapapun karena melakukan tindakan mengerikan seperti ini, karena sudah jelas bahwa umat Kristen tidak diterima dalam masyarakat ini dan tidak diberikan hak-hak yang sama, martabat yang sama serta kebebasan beragama."
Ketika mendiskusikan insiden ini, seorang aktivis hak asasi manusia mengatakan,
"Ada sikap bermusuhan terhadap umat Kristen dalam masyarakat. Pada tahun 2014, kami terpaksa menghadapi penolakan yang sangat mengerikan ketika membangun gereja di sebuah desa dekat Lahore. Orang-orang memperlakukan kami secara kasar, mengancam kami dengan konsekwensi yang langsung. Kaum Muslim melemparkan batu ke gereja kami yang sedang dibangun. Hal-hal ini dilakukan untuk menciptakan atmosfir yang menakutkan sehingga komunitas (umat Kristen) bisa meninggalkan tempat itu."
Ketika menjelaskan betapa "serangan-serangan terhadap tempat ibadat cenderung tidak diperiksa di Pakistan, " berita itu menyimpulkan:
Pada Bulan September 2013, Gereja Para Santo Semuanya (All Saint Church) dibom di Peshawar, menewaskan ratusan jemaat. Maret 2015, dua gereja dibom di Lahore menewaskan kasarnya dua puluhan umat Kristen. Pada tahun 2016, dua gereja lainnya dibakar di Kasur dan Lahore. Oktober 2017, sejumlah orang militan melemparkan granat ke Gereja Iman Injili (Gospel Faith Church) di Quetta. Desember 2017, gereja lain lagi diserang di Quetta, menewaskan 9 jemaat. Tahun 2018, terjadi beberapa serangan atas harta milik umat Kristen. Karena itu, di tempat-tempat ibadat, mereka membicarakan berbagai macam persoalan situasi kebebasan beragama di Pakistan. Secara keseluruhan, komunitas Kristen ketakutan dan khawatir dengan apa yang akan terjadi pada masa datang.
Jerman: Seorang migran Muslim Pakistan pelaku tindakan vandalis atau yang merusak dua gereja dirawat di sebuah rumah sakit. Menurut berita,
"Untuk kedua kalinya dalam kurun waktu beberapa hari, sebuah gereja di Chemnitz dihancurkan dengan aksi perusakan. Beberapa jendela kaca lukis dihancurkan di Gereja Santo Petrus di Theaterplatz, pada Minggu petang [23 April]. Orang yang bertanggung terhadap tindakan itu berhasil menerobos masuk ke dalam Gereja Santo Markus di Sonnenberg selama akhir pekan kemudian mengamuk di sana. Akibatnya, untuk sementara dia pun ditangkap di gereja itu. Terduga adalah pencari suaka berusia 24 tahun dari Pakistan. Kerusakan bangunan gereja diperhitungkan bernilai sekitar 3.000 euro (sekitar Rp 52,5 juta), menurut pihak kepolisian. "Walaupun serangan atas gereja di negara-negara Muslim itu hal yang biasa,' polisi negara mengesampingkan adanya motif politik politik atau agama dari tindakan-tindakannya itu" lalu mengatakan bahwa laki-laki itu sudah "dirumahkan di sebuah klinik tertentu."
Nigeria: Sebuah laporan April lalu mengatakan bahwa "para penggembala Muslim Fulani telah merusak 500 bangunan gereja semenjak tahun 2011 dengan berbagai serangan. Tindakan brutal itu menyebabkan 170 orang terlantar terbengkelai.
Serangan Kaum Muslim atas Kebebasan dan Martabat Umat Kristen
Mauritania: Pada 27 April, pemerintah negeri itu menjadikan hukuman mati sebagai "perintah" (mandatory) bagi siapapun yang menghhina Agama Islam, urai sebuah berita dan karena itu "semakin meningkatkan kecemasan di antara umat Kristen di negara Afrika." Menurut Suara Para Syuhadah (Voice of Martyrs),
"Undang-undang baru ini rupanya menjadi lebih keras ---sehingga waktu tiga hari [aslinya diberikan kepada pelaku penghinaan agama] untuk bertobat malah dihilangkan. Siapapun bakal dihukum. Bahkan jika bertobat, anda masih bakal dihukum. Dan dalam kasus pernyataan-pernyataan yang menghina agama atau tindakan-tindakan yang melanggar kesucian atau susila, menurut hukum itu, hukuman mati kini jadi perintah."
Ketika mendiskusikan penganiayaan yang dihadapi umat Kristen, Komisi Kebebasan Beragama Aliansi Evanggelis Dunia memperingatkan bahwa "injil yang menyelamatkan benar-benar sangat ditindas," di Mauritania.
Maroko: Petugas keamanan negeri itu menahan seorang pria Kristen selama 24 jam karena ada Alkitab (gospel literature) serta buku keagamaan lain dalam atas punggungnya. Pihak berwenang menghentikan seorang pria Maroko berusia 35 tahun, ketika dia meninggalkan rumahnya di Rabat, Rabu pagi, 18 April silam. Dia kemudian dibebaskan tanpa tuntutan setelah ditahan selama 24 jam. Persoalan mungkin berbeda jika dia punya lebih banyak lagi buku (sejenis) atau dipersepsi sebagai tengah mengabarkan Injil kepada kaum Muslim. Menurut sebuah berita,
Pasal 22 KUHP Maroko menyerukan hukuman penjara 6 bulan hingga 3 tahun serta denda 200-500 dirham Maroko (sekitar Rp 300.000–Rp 735.000) karena membujuk 'dengan tujuan hendak mengguncangkan iman seorang Muslim.' Bujukan bisa termasuk memberi pendidikan, perawatan kesehatan, panti asuhan serta bantuan lain yang umat Kristen anggap sebagai perintah Alkitab. Pelecehan terjadi ketika umat Kristen Maroko mulai meminta pemerintah untuk menghormati hak-hak agama mereka.
Aljazair: Pihak berwenang Kota Tizi-Ouzou menutup Rumah Bayi (Early Childhood Home) sebuah panti penitipan anak bagi ana-anak Kristen yang didirikan 14 tahun silam oleh Gereja Protestan Injil Sepenuh (Full Gospel Protestant Church). Pada 17 April, Pastor Salah Chalah dipanggil ke sektor kepolisian setempat. Di sana, dia dituduh secara melawan hukum mengelola panti penitipan bayi yang berlokasi di kompleks gereja itu. Dia pun diperintahkan menutupnya. Saat itu, ada sekitar 20 Balita, berumur antara 1 dan 5 tahun, yang didaftarkan di panti penitipan. Mereka diawasi 4 guru yang semuanya Kristen. "Sejak didirikan 14 tahun silam, panti perawatan itu tidak pernah diancam oleh pihak berwenang, walau kompleks gereja sudah diinspeksi secara teratur oleh badan intelijen. Chalah mengaku. "Panti itu hanya ada supaya bisa mengajarkan nilai-nilai Kristen kepada anak-anak kami pada masa kanak-kanak meeka, karena di panti perawatan sekitarnya, pengajaran nilai-nilai Al-Qur'an dan Islam membentuk bagian integral dari kurikulum resmi negara itu."
Gaza: Dalam sebuah wawancara, Romo Mario da Silva, seorang imam Katolik mengaku bahwa populasi umat Kristen setempat telah merosot menjadi 1.000 penduduk --- lima kali lebih kecil daripada enam tahun sebelumnya. Sebagian hal itu terjadi karena, "kini ada ketakutan terhadap berita bahwa Negara Islam (ISIS) sudah sampai ke kawasan itu, datang dari Semenanjung Sinai di Mesir...Memang sudah ada ancaman. Juga ada ketakutan terhadap berbagai kelompok Salafi yang datang dari selatan." Dia pun menjelaskan bagaimana, "setiap tahun umat Kristen mendapat ijin untuk meninggalkan tempat itu untuk mengunjungi tempat-tempat suci pada Hari Raya Paskah serta Natal." Pada saat itulah, banyak dari mereka tidak pernah kembali ke Gaza.
Irak: "Sebuah bahan eksplosif yang diyakini ditanam oleh para militan Negara Islam (ISIS) meledak pecah ketika empat anak tengah bermain di luar kompleks kesehatan di kota mayoritas umat Kristen, Bartella, di kawasan timur Mosul, " urai sebuah sumber lokal. "Ledakan itu menyebabkan empat anak terluka." Berita itu menambahkan bahwa "Bartella sebagian besar didiami oleh umat Kristen, dikosongkan dari penduduknya ketika kelompok ISIS menjarah kota itu, Agustus 2014 silam. Setelah berhasil menguasai kota, ISIS memerintahkan umat Kristen membayar pajak, masuk Islam atau mati dibunuh dengan pedang, sehingga mendorong para pemukimnya meninggalkan kota." Lembaga Documentarian Gwendolen Cates yang menghabiskan waktu satu tahun di negara Arab juga mengaku, "Umat Kristen Irak, bersama kaum minoritas lainnya, terus hidup dalam ketakutan serta menghadapi potensi pembasmian etnis...Kaum minoritas pun semakin terpinggirkan (ghettoized) karena tanah mereka dijarah."
Pakistan: Seorang laki-laki Muslim memperkosa seorang gadis Kristen berusia 13 tahun, 11 April lalu di Lahore. Menurut sebuah berita singkat, "Tiga laki-laki muda Muslim berjaga-jaga, sementara laki-laki lain yang hanya diidentifikasi sebagai Shehryar memperkosa sang gadis."
Menurut ibu korban, "Sekarang mereka paksa kami untuk berdamai dengan member uang, tetapi kami putuskan untuk tidak berkompromi demi putri kami. Para pemuda Muslim itu sudah hancurkan kehidupan putri saya, dan kami tidak akan berhenti sampai kami mendapatkan keadilan."
Kerajaan Inggris: Seorang biarawati Katolik yang diusir keluar dari Irak oleh Negara Islam ditolak untuk mendapatkan visa dari negara yang memberikan status pengungsi kepada puluhan ribu laki-laki Muslim. Empat tahun sebelumnya, ISIS menyerbu dan menduduki Biara Suster Ban Madleen di Qaraqosh. Aksi brutal itu memaksanya melarikan diri demi keselamatan dirinya. Dia lalu tinggal bersama ribuan orang Irak terlantar lainnya yang kebanyakan orang Kristen, di Erbil, di mana dia mendirikan taman kanak-kanak untuk anak-anak. Ketika ada kesempatan untuk mengunjungi saudarinya yang sakit di Inggris, dia pun mau berkunjung ke sana, namun para pejabat negara itu justru menolaknya. Menurut berita,
Surat dari Bagian Visa dan Imigrasi Inggris, sebuah divisi Kantor Kementerian Dalam Negeri (Home Office), memberikan alasan penolakan visa Suster Ban. Yaitu bahwa dia tidak memberikan bukti pendapatannya sebagai kepala sekolah TK, dan bahwa dia belum memberikan konfirmasi bahwa para Suster Dominikan dari St Catherine dari Siena akan mendanai kunjungannya. Karena alasan ini, surat itu mengatakan petugas pemberi izin (clearance office) tidak yakin (satisfied) bahwa ia benar-benar meminta ijin masuk untuk tujuan yang diizinkan. Alih-alih mengizinkan Suster Ban memberi bukti yang diperlukan, surat, yang salinannya telah dilihat oleh Harian Herald Katolik, mengakhirinya dengan mengatakan: "Sehubungan dengan keputusan ini, maka tidak ada hak untuk banding atau hak untuk mendapat peninjauan administratif." Surat itu mengakui pentingnya kunjungan keluarga, dan menerima bahwa Suster Ban sebelumnya pernah berkunjung ke Inggris dan mematuhi persyaratan visanya, tetapi memperlihatkan bahwa ia diberikan visa itu 7 tahun yang lalu pada tahun 2011 lalu. Kemudian ada komentar khusus soal dia tidak pernah melakukan perjalanan ke Inggris akhir-akhir ini..
"Apa mereka tidak tahu apa yang terjadi antara tahun 2014 sampai sekarang?" tanya Rm. Kiely yang tahu kasus yang menimpa sang suster penuh keheranan suatu ketika. Lebih lanjut dia pun menegaskan bahwa penolakan visa bagi para agamawan biasa terjadi di Inggris. Suster lain yang bergelar doctor dalam bidang Teologi Biblis dari Universitas Oxford sudah dua kali ditolak masuk. Seorang suster lainnya ditolak masuk karena tidak punya rekening bank. Seorang imam Katolik ditolak visanya karena tidak menikah. Tiga uskup agung dari Irak dan Suriah ditolak masuk meski diundang oleh Gereja Ortodoks Syria di negara itu untuk pemberkatan resmi (consecration) Katedral Syria pertama di Inggris, yang dihadiri oleh Pangeran Charles.
***
Raymond Ibrahim, pengarang buku baru bertajuk, Sword and Scimitar, Fourteen Centuries of War between Islam and the West (Pedang dan Badik, Empat Belas Abad Perang antara Islam dan Barat), adalah Mitra Senior Kenamaanpada Gatestone Institute dan Middle East Forum.
Tentang Seri Ini
Memang tidak semua, atau bahkan tidak bisa dikatakan sebagian besar, kaum Muslim terlibat namun penganiayaan terhadap umat Kristen terus meningkat. Seri "Kaum Muslim Menganiaya Umat Kristen" dikembangkan untuk mengumpukan berbagai contoh aksi penganiayaan yang mengemuka setiap bulan walaupun tentu saja tidak semua.
Seri ini mendokumentasikan berita-berita yang tidak berhasil dilaporkan oleh media-media arus utama. Ia pun memperlihatkan bahwa penganiayaan tidaklah dilakukan secara acak tetapi sistematis dan terjadi dalam semua bahasa, etnis dan lokasi.