Dalam satu perdebatan parlementer, 16 Mei 2019, Menteri Urusan Komunitas Inggris James Brokenshire (gambar) menolak defenisi resmi Islamofobia dari Kelompok Semua Partai Parlemen. Defenisi itu dilukiskan sebagai "Undang-Undang Penodaan Agama Pintu Belakang." Alasannya, defenisi itu terlalu kabut dan "berpotensi berdampak terhadap kebebasan berbicara." Dikatakannya bahwa defenisi itu tidak sesuatu dengan UU Kesamaan Derajat pada 2010 lalu. (Foto oleh Chris J. Ratchlife/Getty Images). |
Beberapa hari pasca-Pemerintah Inggris menolak defenisi resmi tentang fobia terhadap Islam (Islamofobia) yang lebih disukai olehnya, Dewan Muslim Inggris (BMC), sebuah organisasi Islam terbesar di Inggris meminta Partai Konservatif yang berkuasa untuk secara resmi menyelidiki persoalan fobia terhadap Islam (Islamofobia).
Perdebatan pannjang berporoskan pada upaya Kelompok Parlemen dari Semua Partai (APPG) soal Muslim Inggris. Kelompok itu adalah sebuah badan (formation) lintas partai. Mereka terdiri dari sekitar dua puluhan anggota parlemen dalam Parlemen Inggris yang ingin melembagakan defenisi Islamofobia secara istilah rasial dibandingkan dengan istilah-istilah keagamaan.
Nopember 2018 silam, APPG mengeluarkan laporan. Judulnya "Islamophobia Defined," (Fobia Terhadap Islam Dirumuskan). Laporan itu mengusulkan defenisi satu kalimat Islamofobia sebagai berikut;
"Islamofobia berakar dari rasisme dan merupakan satu bentuk rasisme yang menyasar ungkapan-ungkapan tentang hal-hal yang berkaitan dengan Muslim (Muslimness) atau yang dipersepsi sebagai berkaitan dengan Muslim."
Defenisi itu lahir dari konsultasi selama enam bulan. Belakangan, defenisi ini didukung oleh ratusan organisasi Muslim, Walikota London Sadiq Khan dan beberapa partai politik, Termasuk di dalamnya Partai Buruh, Partai Liberal Demokrat dan Partai Konservatif Skotlandia (Scottish Conservatives).
Para pendukung definisi itu mengaku bahwa Islam memang benar bukan ras tetapi agama. Yaitu seperangkat keyakinan dan ide-ide. Juga bahwa Muslim merupakan kumpulan kaum beriman dari berbagai ras, etnis dan kebangsaan. Banyak dari mereka mengalami prasangka, diskriminasi dan sebentuk rasisme, yang, menurut mereka, bersifat struktural. Direktur lembaga kajian anti-rasisme Runnymede Trust, Omar Khan lantas menjelaskan:
"Mendefinisikan Islamofobia sebagai rasisme anti-Muslim dengan tepat menempatkan masalah itu sebagai salah satunya ketika kelompok-kelompok orang dianggap punya atribut budaya dan ras negatif yang mengarah pada berbagai pengalaman, entah bias bawah sadar, prasangka, diskriminasi langsung atau tidak langsung, ketidaksetaraan struktural atau insiden-insiden yang memperlihatkan kebencian. "
Selama perdebatan parlemen di Pengadilan Rendah (House of Commons), 16 Mei lalu, Menteri Urusan Komunitas (Communities Secretary) James Brokenshire menolak defenisi APPG. Dia mendeskriptikan defenisi itu sebagai "Undang-Undang Penodaan Agama Belakang Layar." Alasannya, defenisi itu terlampau kabur dan "berpotensi punya konsekwensi yang berdampak terhadap kebebasan berbicara." Dikatakannya bahwa defenisi itu tidak sesuai dengan UU Persamaan Derajat (Equality Act) pada 2010. Dalam UU Persamaan Derajat, "ras" didefenisikan sebagai terdiri dari warna kulit, kebangsaan (nationality) dan asal-usul bangsa atau etnis. Bukan praktek keagamaan.
Seorang jurubicara pemerintah mengatakan bahwa defenisi APPG itu "belum secara luas diterima" dan karena itu membutuhkan "pertimbangan yang hati-hati lebih jauh."
Defenisi yang diusulkan tentu saja ditentang oleh banyak warga Inggris. Termasuk dari kalangan Muslim Inggris sendiri. Mereka memperingatkan bahwa defenisi itu akan efektif membuat Islam tidak boleh diteliti dengan cermat dan dikritik secara sahih.
Ketika berbicara dalam perdebatan majelis rendah, anggota parlemen dari Partai Konservatif Sir John Hayes mencatat:
"Laporan (APPG] itu secara mendasar mengidentifikasi Islamofobia sebagai suatu praktek dalam rasisme yang mengganggap bahwa masyarakat Muslim negeri ini, atau negeri manapun, adalah sebuah ras. Melihat bahwa Islam itu agama, maka proposisi itu dalam dirinya sendiri bisa diperdebatkan dan persoalan itu sudah dilukiskan sedemikian rupa oleh beberapa pengkritik laporan itu.
"Orang yang menganggap diri berasal dari agama itu datang dari semua tempat, dari semua jenis warna kulit dan akidah kemudian menggunakan semua jenis praktek yang berbeda. Tidak seperti umat Kristen, beberapa dari mereka menganut pandangan yang lebih fundamentalis terhadap agama mereka dibandingkan dengan yang lain. Menjelaskan mereka sebagai suatu ras, tentang dirinya sendiri merupakan suatu pandangan yang berani. Karena itu, beberapa kalangan mempersoalkan pandangan yang bisa diperdebatkan itu. Namun itulah yang laporan itu lakukan dengan mendefenisikan Islamofobia sebagai persoalan anti-rasisme...
"Aturan legislatif yang ada yang terkait dengan menghasut orang untuk membenci, melakukan diskriminasi serta menggunakan langkah-langkah lain sebagai senjata memungkinkan polisi untuk mengejar orang yang perilakunya tidak bisa diterima dan yang jauh lebih serius lagi illegal. Upaya itu bisa dilakukan, jika polisi memilih untuk melakukannya demikian. Memang, ada argumen yang sangat tepat bahwa polisi tidak cukup melakukannya. Saya tidak membuat argumen itu, tetapi yang lain mungkin. Memang benar polisi harus mengejar orang itu, harus menginterogasi, menuntut (charged) dan jika perlu, menjatuhkan hukuman atas mereka (prosecuted). Namun, argumen yang kita mulai dari selembar kertas kosong mengingkari fakta bahwa semua jenis undang-undang anti-diskriminasi dan anti-rasisme memungkinkan kita untuk melindungi mereka yang mungkin menjadi korban prasangka semacam itu. "
Ketika menulis untuk Harian The Spectator, David Green, pendiri dan eksekutif utama Civitas, sebuah lembaga kajian kebijakan publik non-partisan yang berbasis di London, memperingatkan:
"Jika defenisi ini menjadi undang-undang, maka tidak seorang pun bakal yakin kata-kata mana yang membuat mereka diseret ke pengadilan. Ketidakpastian ini tentu saja yang membedakan negara polisi (state police) dan masyarakat bebas (free society). Secara historis, istilah, 'pemerintahan berdasarkan hukum' digunakan untuk melukiskan system politik di mana setiap orang tahu ketika undang-undang bisa digunakan untuk melawan mereka karena mereka bebas bertindak seperti yang sangat diyakini oleh masing-masing. John Locke pernah mengatakan bahwa di Inggris itu ada 'undang-undang pokok (standing rule) untuk dihayati, yang umum bagi semua orang dari masyarakat itu. Artinya, ada 'kebebasan untuk mengikuti keinginan saya sendiri dalam semua hal, yang tidak ditentukan oleh undang-undang sehingga tidak tunduk kepada keinginan sewenang-wenang yang berubah-ubah, yang tidak pasti, yang tidak diketahui dari pihak lain...
"Menggunakan kata-kata dengan niat untuk membangkitkan kebencian rasial itu tidak dilindungi [berdasarkan hukum Inggris]. Juga, --- tidak diragukan lagi karena alasan ini --- defenisi APPG mengklaim bahwa mengkritik Islam merupakan sebentuk rasisme. Tetapi ras dan agama itu sangatlah berbeda.
"Di sini kita melihat ada pertentangan antara dua cara melihat masyarakat yang sangat berbeda: antara individualisme dan kolektivisme yang sangat luas. Individualisme melihat tujuan utama negara itu untuk memfasilitasi pengembangan kwalitas pribadi kita.
"Masyarakat kolektivis bertujuan agar penguasa menetapkan bagaimana individu harus berperilaku... Jadi orang-orang yang berkuasa memberikan aturan perilaku yang terperinci (detailed code) sehingga mengancam menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak patuh. Jadi, mereka tidak menerima kritik sebagai alat untuk saling belajar apalagi untuk meminta kekuasaan untuk bertanggung jawab.
"Kita melihat ide-ide otoriter ini sepanjang sejarah Eropa. Padahal, kita pikir kita sudah melewati semuanya.... Definisi APPG dengan demikian, menjadi sebuah upaya untuk menciptakan kembali atmosfer masa lalu ....
"Banyak dukungan terhadap kebebasan berbicara sehingga tidak mungkin resmi berakhir dengan satu tindakan dari pihak parlemen. Tetapi ia bisa juga dipotong kecil-kecil. Mengakui secara resmi defenisi APPG tentang Islamofobia bakal menjadi langkah raksasa menuju negara polisi yang sewenang-wenang."
Para pejabat senior polisi Inggris sudah memperingatkan. Bahwa defenisi Islamofobia yang diusulkan bisa menyebabkan para pejabat polisi kebingungan sehingga justru menghambat perjuangan melawan terorisme Islam. Dalam suratnya kepada Perdana Menteri Theresa May, yang bocor kepada Harian The Times, Martin Hewitt, Ketua Dewan Pimpinan Polisi Nasional (National Police Chiefs' Council---NPCC) menulis bahwa defenisi APPG berisiko memperbesar ketegangan dengan komunitas Muslim sehingga membahayakan kekuatan dan taktik kebijakan kontraterorisme.
"Kami khawatir definisi yang terlalu luas seperti yang sekarang dirancang, bisa menyebabkan petugas yang menegakkannya bingung sehingga dapat digunakan untuk menantang keabsahan kebebasan berbicara berdasarkan tindakan historis dan teologis negara-negara Islam.
"Ada risiko defenisi itu juga dapat merusak kekuatan kontraterorisme, yang berusaha menangani ekstremisme atau mencegah terorisme."
Anggota parlemen Muslim pertama Inggris, Khalid Mahmood, mengatakan definisi APPG bisa menyebabkan segresi/pemisahan komunitas Muslim semakin meningkat.
"Saya mendukung kesetaraan bagi semua. Tetapi saya menentang defenisi ini. Kita sebagai Muslim harus bangga dengan siapa kita dan berusaha membuang mentalitas korban."
Pada Bulan Desember 2017, Yayasan Barnabas Fund menerbitkan sebuah pernyataan yang merekomendasikan penggunaan kata "Muslimofobia" (fobia kepada kaum Muslim) ketika mengecam adanya ketakutan dan kebencian terhadap kaum Muslim. Dikatakannya bahwa kata "Islamofobia" (Islamophobia) harus digunakan hanya untuk mengartikan ketakutan dan kebencian terhadap ideologi agama Islam. Pernyataan itu juga menggarisbawahi bahwa itulah yang menjadi penyebab dari banyaknya kebingungan bahwa "Islamofobia" umumnya digunakan untuk memasukkan ketakutan dan kebencian kaum Muslim juga.
Pada 15 Mei 2019 lalu, lebih dari 40 akademisi, penulis, dan pejabat publik Inggris menandatangani surat terbuka kepada Menteri Dalam Negeri Sajid Javid. Surat itu meminta pemerintah, partai politik, dewan lokal dan organisasi lain untuk menolak definisi APPG tentang Islamofobia:
"Yang bertanda tangan di bawah ini dengan tegas, tanpa tedeng aling-aling dan tegas mengutuk tindakan kekerasan terhadap kaum Muslim sehingga mengakui adanya kebutuhan yang mendesak untuk berurusan dengan kebencian anti-Muslim. Namun, kami sangat prihatin dengan penggunaan definisi Islamofobia oleh APPG yang tidak kritis dan terburu-buru.
"Defenisi yang kabur dan luas ini digunakan tanpa penelitian yang memadai atau pertimbangan yang wajar atas dampak-dampak negatifnya terhadap kebebasan berpendapat dan akademis serta kebebasan jurnalistik. Defenisi juga bakal merusak kohesi sosial, memperbesar sikap fanatik terhadap kaum Muslim yang didesain hendak dicegahnya
"Kami prihatin bahwa tuduhan atas Islamofobia bakal ada, dan memang sudah ada, dan digunakan untuk secara efektif membuat iman Islam bahkan para ekstremisnya sama sekali tidak bisa dikritik dan bahwa formalisasi defenisi ini bakal berdampak dengan digunakan secara efektif sebagai sesuatu yang berkaitan dengan undang-undang penodaan agama di balik layar.
"Jelas perlakuan yang kejam, praktik yang berbahaya, atau kegiatan kelompok dan individu yang mempromosikan ide-ide yang bertentangan dengan nilai-nilai Inggris jauh lebih memungkinkan untuk tidak dilaporkan karena orang takut disebut Islamofobik. Ini hanya akan meningkat jika definisi APPG secara resmi diadopsi dalam hukum.
"Kami prihatin bahwa definisi tersebut akan digunakan untuk membungkam kritik dan investigasi yang sah. Sementara para pengarang APPG memastikan bahwa defenisi itu tidak ingin melanggar kebebasan berbicara, seluruh isi laporan, definisi itu sendiri, berikut tanda-tanda awal terkait dengan bagaimana hal itu akan digunakan, menunjukkan bahwa memang akan demikian. Kebebasan sipil tidak boleh diperlakukan sebagai pemikiran yang belakangan yang muncul dalam upaya untuk mengatasi prasangka anti-Muslim.
"Campur aduknya persoalan ras dan agama dalam konsep "rasisme kultural" yang membingungkan malah memperluas definisi sampai melewati kebencian anti-Muslim sehingga memasukkan juga kritik yang 'tidak sah' atas agama Islam. Konsep yang berkaitan dengan Kaum Muslim (Muslimness) efektif dapat ditransfer ke praktik dan kepercayaan Muslim sehingga memungkinkan laporan itu mengklaim bahwa kritik terhadap Islam digunakan untuk menyakiti hati umat Islam.
"Tidak ada agama yang harus diberi perlindungan khusus dari kritik. Seperti kebencian anti-Sikh, anti-Kristen dan anti-Hindu, kami yakin istilah kebencian anti-Muslim itu jauh lebih tepat dan mungkin kurang melanggar persoalan kebebasan berbicara. Pengembangbiakan 'fobia' tidak diinginkan, seperti pernah dikatakan oleh berbagai organisasi Sikh dan Kristen yang mengakui pentingnya diskusi yang bebas tentang keyakinan mereka.
Pada 28 Mei 2019 lalu, Dewan Muslim Inggris, yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslim, menyampaikan keluhan kepada Komisi Kesetaraan dan Hak Asasi Manusia (Equality and Human Rights Commission--EHRC) seputar Islamofobia dalam lingkungan Partai Konservatif. Keluhan itu mengatakan:
"Kami mengambil langkah ini setelah memperhatikan sejumlah kasus yang tidak pernah terjadi sebelumnya sehingga memperlihatkan ada budaya dalam lingkungan Partai Konservatif tempat Islamofobia bukan saja tersebar luas, tetapi juga melembaga. Kami kini meminta EHRC untuk meneliti semua bukti sehingga mau menyelidiki masalah ini segera. "
Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Muslim Inggris (MCB), Miqdaad Versi, mengakui bahwa keluhan kelompok tersebut terhadap EHRC ditujukan untuk menekan pemerintah supaya menerima definisi Islamofobia yang lebih disukainya:
"Pemerintah yang dipimpin oleh Partai Konservatif saat ini juga telah memutuskan untuk menolak definisi Islamofobia seperti yang sudah diterima oleh MCB dan pemangku kepentingan kunci Muslim, yang membawa kita pada pertanyaan, pesan apa yang ingin disampaikan Partai Konservatif kepada komunitas Muslim?
"Seiring dengan adanya perlombaan untuk menduduki jabatan kepemimpinan dalam lingkungan Partai Konservatif, akankah ada kandidat yang memprioritaskan diri untuk mengurusi skala kecil Islamofobia yang telah menghancurkan Partai Konservatif?"
Seruan untuk melakukan penyelidikan atas Islamofobia muncul pada hari yang sama ketika EHRC mengumumkan dilakukannya penyelidikan formal atas antisemitisme dalam tubuh Partai Buruh. Penyelidikan itu akan menentukan apakah partai itu "telah mendiskriminasi secara melawan hukum, melecehkan atau menjadikan orang sebagai korban yang tidak sah karena mereka Yahudi."
MCB mengaku bahwa waktu pengaduannya - yang diajukan pada hari yang sama dengan pemeriksaan antisemitisme – merupakan suatu kebetulan.
Soeren Kern adalah Fellow Senior pada Lembaga Kajian Gatestone Institute yang berbasis di New York.