Eropa berada dalam situasi yang benar-benar sangat merosot karena banyak alasan yang rumit. Selama tahun tahun terakhir, beberapa kajian penting seputar kondisi ini pun bermunculan, menampilkan beragam alasannya. Ada tulisan Douglas Murray bertajuk, The Strange Death of Europe: Immigration, Identity, Islam (Kematian Eropa yang Aneh: Imigrasi, Identitas, Islam) dan tulisan James Kirchik bertajuk, The End of Europe: Dictators, Demagogues, and the Coming Dark Age (Berakhirnya Eropa: Diktator, Demagog dan Datangnya Masa Gelap) termasuk juga kajian Christopher Caldwell tahun 2010 yang mencengangkan bertajuk, Reflections on the Revolution in Europe: Immigration, Islam and the West (Refleksi atas Revolusi di Eropa: Imigrasi, Islam dan Barat). Soeren Kern di lembaga kajian Gatestone Institute juga merinci dampak imigrasi yang berkelanjutan dari kawasan-kawasan Muslim ke negara-negara seperti Jerman, Swedia dan Kerajaan Inggris.
Jelaslah bahwa ada sesuatu yang serius tengah terjadi di benua tempat saya berdiam.
Ancaman tidak terbatas pada Eropa saja, tetapi berdimensi global. Michael J. Abramowitz, Presiden Freedom House, menulis dalam kata pengantar untuk laporan tahun 2018 organisasinya sebagai berikut:
Seperempat abad silam, pada pengujung Perang Dingin, tampak bahwa totalitarianism akhirnya lenyap dan demokrasi liberal memenangkan pertempuran ideologis terbesar abad kedua puluh.
Kini, justru demokrasilah yang menemukan dirinya dihajar hingga melemah. Selama 12 tahun berturut-turut menurut Freedom in the World, negara yang menderita kemunduran demokrasi lebih banyak dibandingkan dengan negara-negara yang mendapatkan keuntungan dari penerapan demokrasi. Negara-negara yang satu dekade silam nampaknya seakan adalah kisah-kisah sukses yang menjanjikan---Turki dan Hongaria, misalnya---tengah terperosok dalam kekuasaan otoriter.
Bagi Douglas Murray, imigrasi beserta berbagai persoalan yang dimunculkan menjadi topik utama. Dia tidak berkompromi dengan tanggapan-tanggapannya negatif terhadap perubahan sosial yang ditimbulkan akibat imigrasi yang kelewat batas namun dikendalikan oleh orang-orang, yang sebagian besar, tidak menghayati nilai-nilai dasar terpenting dari negara-negara yang kini mereka diami.
Tentu saja, merosotnya Eropa akhir-akhir ini sangat banyak disebabkan oleh fakta yang luas diakui bahwa kaum Muslim yang pertama datang ke Eropa, selama beberapa generasi menolak berintegrasi dalam masyarakat tempat mereka kini menjadi bagiannya. Penolakan terhadap nilai kemanusiaan Yudeo-Kristen Eropa ini bukan saja terjadi berturut-turut pada gelombang para pengungsi serta migran ekonomi yang memadati pantai-pantai Yunani, Italia dan Spanyol semenjak Perang Saudara Suriah berawal tetapi juga terjadi pada generasi-generasi masyarakat Pakistan dan Bangladesh di Kerajaan Inggris, masyarakat Afrika Utara di Prancis dan "para pekerja tamu" Turki di Jerman.
Seorang bekas ekstremis Muslim, Ed Hussain menulis dalam bukunya, The Islamist: Why I Joined Radical Islam in Britain, what I Saw Inside and why I Left (Kaum Islam Radikal: Mengapa Saya Bergabung dalam Islam Radikal di Inggris, Apa yang Saya Lihat di Dalamnya dan Mengapa Saya Tinggalkan) menulis;
Hasil dari 25 tahun multikulturalisme bukanlah adanya komunitas-komunitas multikultur. Ia justru menjadi komunitas-komunitas monokultur...Komunitas Islam tersegregasi. Banyak warga Muslim ingin hidup terpisah dari masyarakat arus utama Inggris; kebijakan resmi pemerintah membantu mereka melakukannya demikian. Saya tumbuh besar tanpa teman-teman kulit putih pun. Sekolah saya nyaris sepenuhnya Muslim. Nyaris saya tidak punya pengalaman langsung dengan "Kehidupan Inggris" atau "institusi Inggris." Jadi begitu mudah bagi para ekstremis untuk mengatakan kepadaku: "Kau lihat kan? Kau bukan bagian masyarakat Inggris. Kau tidak bakal pernah. Kau hanya bisa menjadi bagian dari sebuah masyarakat Islam.' Bagian pertama dari apa yang mereka katakan itu betul. Saya bukanlah bagian dari masyarakat Inggris: tidak ada dalam kehidupan saya yang bertumpang tindih dengan kenyataan ini.
Ketika memperdebatkan rancangan undang-undang anti-ekstremisme di parlemen, Juli 2015 lalu, Perdana Menteri Inggris masa itu David Cameron, mengakui:
"Karena semua keberhasilan kita sebagai sebuah demokrasi yang terdiri dari banyak ras, banyak agama, kita terpaksa harus menghadapi suatu kebenaran yang tragis. Yaitu bahwa ada orang-orang yang lahir dan dibesarkan di negeri ini yang tidak benar-benar mengidentifikasikan diri dengan Inggris --- dan yang sedikit sekali atau tidak tidak punya kelekatan dengan masyarakat di sini. Memang, ada bahaya dalam sejumlah komunitas kita yang ada hadapi seumur hidup dan sedikit sekali yang bisa dilakukan dengan orang-orang dari agama-agama dan latar belakang yang lain."
Tidak terhitung banyaknya polling pendapat umum dan investigasi yang memperlihatkan bahwa penolakan untuk berintegrasi sama sekali bukanlah isapan jempol dari "dugaan adanya aliran politik sayap kanan yang "fobia terhadap Islam." Sebuah polling pendapat umum tahun 2006 yang dilakukan oleh ICM Research untuk Harian Sunday Telegraph, misalnya menyajikan temuan-temuan yang mengkhawatirkan: ada 40 persen Muslim Inggris peserta polling mengatakan mendukung diperkenalkannya hukum shariah di bagian-bagian Inggris dan hanya 41 persen yang menentangnya, sisanya 20 persen tidak memberi pendapat yang jelas. Sadiq Khan, anggota parlemen dari Partai Buruh yang juga melibatkan diri dengan pasukan tugas resminya yang didirikan pasca-serangan Juli 2005 mengatakan temuan-temuan ini "mengkhawatirkan". Semenjak itulah, temuan-temuan yang sama memperlihatkan bahwa generasi kaum Muslim lebih muda jauh lebih konservatif bahkan radikal dibanding orangtua atau kakek-nenek mereka:
Ketika berkomentar tentang sebuah polling penting tentang pendapat kaum Muslim, Trevor Philips, yang menjadi penganjur multikulturalisme Inggris kenamaan mengatakan bahwa, dengan penuh hormat terhadap komunitas Muslim, dia sudah membuat belokan 180 derajat:
"sekian lama, saya juga berpikir kaum Muslim Eropa bakal seperti gelombang migran terdahulu yang pelahan meninggalkan cara nenek moyang mereka, tidak banyak lagi mengenakan barang-barang agama dan budaya mereka lalu bertahap meleburkan diri masuk dalam bentangan alam identitas Inggris yang beranekaragam. Seharusnya saya tahu baik soal itu."
Tinjauan penting lainnya tahun 2016 seputar kesetaraan sosial untuk Pemerintah Inggris yang dilakukan oleh Dame Louise Casey, menemukan bahwa kaum Muslim-lah yang paling kurang berintegrasi dalam sebuah komunitas. Ketika merangkum karyanya untuk Masyarakat Sekular Nasional, Benjamin Jones menulis:
"Terlepas dari dekade-dekade yang gagal, pantas dicatat bahwa persoalan pengintegrasian kaum minoritas Muslim sangat jarang terjadi di seluruh dunia dan ini bukan persoalan unik bagi Kerajaan Inggris. Ini membawa kita kepada hal akhir yang tidak mampu kita katakan lagi--- sangat terkenal bagi sebagian besar mayarakat Inggris tetapi tidak disebutkan di kalangan pejabat dan politisisi yaitu bahwa Islam adalah sebuah kasus khusus."
Berbagai polling yang disebarkan di negara-negara di segala penjuru Eropa memperlihatkan hasil yang sama atau yang lebih parah.
Semua itu adalah sebagian dari gambaran yang lebih rumit sekaligus menganggu. Ketika kaum Muslim menemukan diri sulit melepaskan diri dari prasangka, doktrin dan berbagai kebencian nyata (terhadap orang Yahudi, misalnya) yang mereka impor dari negara-negara asal mereka---atau berkembang sebagai laki-laki atau wanita muda ketika hidup di negara-negara Eropa tempat mereka dilahirkan dan bertumbuh kembang--- maka sejumlah besar kaum non-Muslim, termasuk politisi, pemimpin gereja, pegawai negeri sipil (PNS), polisi dan wanita serta banyak orang yang berniat baik berjuang keras supaya bisa mengakomodasi mereka dengan segala tuntutan yang mereka buat terhadap negara-negara penerima mereka.
Perlu satu buku untuk merangkum semua episode ketika pemerintah Barat, khususnya di Eropa, meninggalkan nilai-nilai sejarahnya sendiri supaya bisa melindungi Islam serta kaum Muslim radikal dari kritik serta omelan. Kita tidak berbicara tentang intervensi wajar dari kepolisian, pengadilan serta lembaga sosial yang berniat mengamankan kaum Muslim umumnya dari berbagai serangan fisik, makian pahit dan menghina serta serangan-serangan terhadap masjid ---sama banyaknya seperti yang kita harapkan mereka pun melindungi kaum Yahudi, minoritas etnis atau wanita yang rawan dari ekspresi fisik dan sikap fanatik verbal yang sama. Pemberian dukungan bagi para korban prasangka seperti ini harus disambut gembira sebagai ekspresi dasar nilai demokrasi liberal pasca-Masa Pencerahan. Pembuatan legislasi serta tindakan menentang diskriminasi saat itu juga, barangkali, contoh terbaik dalam cara Pemerintah Jerman Pasca-Perang Dunia II menghukum anti-Semitisme serta penolakan terhadap Holocaust.
Ironisnya, anti-Semitisme masa itu kini di Jerman justru datang semakin banyak dari kalangan Muslim.
- Jens Spahn, anggota dewan Partai Uni Demokrat Kristen (CDU) pimpinan Kanselir Merkel, dan orang yang mungkin saja menjadi calon pengganti Merkel, menegaskan bahwa imigrasi dari berbagai negara Muslim menjadi alasan dari berbagai demonstrasi akhir-akhir ini [seputar para imigran] di Jerman.
- Stephan Harbarth, Wakil Ketua Faksi CDI/CSU di Bundestag---Parlemen Jerman---mengaatakan, "Kita harus benar-benar melawan anti-Semitisme yang dilakukan oleh para migran berlatar belakang Arab serta dari negara-negara Afrika."
- Menteri dalam negeri dari Partai CDU Negara Bagian Hessen, Peter Beuth mengatakan bahwa, "Kita harus menghindari imigrasi sikap anti-semitisme." Dia mengatakan hal ini setelah ada kajian yang dimaksudkan demi kepentingan dinas keamanan negara menyimpulkan bahwa antisemitisme di kalangan Muslim, "secara kwantitatif dan kwalitatif sedikitnya sangat relevan dengan antisemitisme tradisional dari kaum yang berhaluan kanan yang ekstrim."
Terlepas dari tanggapan moral ini, negara-negara Eropa termasuk Jerman telah memperlihatkan kelemahan mereka yang sebenarnya ketika berhadapan wajah dengan wajah dengan ideologi Islam radikal, para dai pengkotbah kebencian serta nilai dasar Muslim berkaitan dengan persoalan kaum wanita, non-Muslim, kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender serta kepatuhan terhadap hukum Barat.
Sebelum meninjau sejumlah alasan, motivasi serta hasil dari kelemahan yang sangat mendalam ini, berikut ini ada banyak contoh seputar rasa takut yang sangat luar biasa ini dari Kerajaan Inggris saja.
Oktober lalu, dilaporkan bahwa Penasehat Ratu Max Hill, yang bertindak sebagai peninjau independen legislasi seputar terorisme Pemerintah Inggris, berdalih bahwa para pejuang Inggris untuk Negara Islam (ISIS), yang sudah kembali ke negara itu atau yang berencana untuk kembali ke Kerajaan Inggris, tidak boleh diajukan ke pengadilan, tetapi diintegrasikan kembali dalam masyarakat. Pertimbangannya, karena mereka sudah bertindak "naïf." Sikap terlampau murah hati dan toleran ini meluas hingga para dai pengkotbah kebencian yang memberikan kotbah serta kuliah yang mendesak kaum Muslim supaya mengambil tindakan langsung pada masa lalu telah mengarah kepada berbagai serangan nyata dari para teroris.
Sebelumnya, Perdana Menteri David Cameron dan menteri dalam negeri masa itu, Theresa May pernah "mengusulkan adanya langkah-langkah termasuk perintah pelarangan, perintah untuk menghentikan gangguan ekstrem serta perintah penutupan yang memungkinkan tempat-tempat yang digunakan oleh para ekstremis ditutup sehingga memudahkan upaya untuk membatasi berbagai aktivitas pribadi serta organisasi."
Mei 2015, (Theresa) May mengusulkan strategi kontra-ekstremisme yang mengatakan, hukum bakal ditegakkan guna "melarang organisasi kaum ekstremis yang mempromosikan kebencian sehingga menarik orang menjadi ekstrim" serta "membatasi berbagai kegiatan yang merugikan dari orang-orang ekstremis paling berbahaya." Nyonya May juga bersumpah hendak menggunakan hukum yang akan "membatasi akses terhadap tempat-tempat yang berulangkali digunakan untuk mendukung ekstremisme." Meskipun demikian, Max Hill, sang penasehat ratu, orang yang bertanggung jawab terhadap legislasi seputar teroris di Inggris tidak menginginkan satu pun dari langkah-langkah itu dimanfaatkan. Dan, langkah-langkah kontra-terorisme May, diusulkan lagi sejak dia menjadi Perdana Menteri Inggris, namun tetap saja belum disahkan sebagai undang-undang.
Pada bulan yang sama (Oktober 2017), ketika Hill menjalankan rehabilitasi pejihad serta para dai pengkotbah kebencian, dilaporkan bahwa Kantor Urusan Dalam Negeri Inggris (yang sebelumnya dikelola oleh Theresa May, dan kini dikelola oleh anggota dewan Amber Rudd), tengah "mencari strategi baru untuk mengintegrasikan para ekstremis yang bahkan bisa melihat (nama) mereka terdorong masuk dalam daftar tunggu paling atas dari perumahan dewan kota (council house) jika diperlukan."
Para ekstremis yang tidak cocok hidup hidup di mana pun di dunia ini bisa dimasukan dalam perumahan sosial oleh dewan setempat dan dapat meminta biaya sewa mereka dibayarkan jika diperlukan, menurut berbagai laporan.
Mereka juga bisa diberi prioritas dalam daftar tunggu serta dibantu diperkenalkan dalam dunia pendidikan dan pelatihan atau menemukan pekerjaan dengan lembaga publik atau lembaga amal.
Proposal ini mencakup para pejihad yang baru pulang dari Negara Islam (ISIS) di Suriah yang secara menyeluruh mencakup sekitar 20.000 orang yang sudah diketahui oleh dinas keamanan negara. Sekitar 850 orang Inggris telah berangkat ke Suriah untuk berperang atau mendukung para pejuang dan 350 dari mereka sudah kembali ke negara, dan hanya segelintir kecil yang sampai sebegitu jauh diadili.
Pendekatan ini, yaitu memberikan pelayanan social, berbasis pada keyakinan---yang kerapkali ditentang--- bahwa kaum ekstremis Muslim (baik Muslim sejak lahir maupun para mualafnya) itu sudah menderita kerugian dan kekurangan (deprivation). Juga sangat berbasiskan pada asumsi naïf bahwa mengganjari mereka dengan berbagai tunjangan---yang untuk mendapatkannya warga negara yang benar-benar kekurangan umumnya perlu berbaris antri---akan mengubah mereka menjadi patriot yang tahu berterimakasih, siap berjuang demi lagu kebangsaan nasional dan berpegangan tangan dengan umat Kristen dan Yahudi.
Kita kini, dengan demikian menggunakan standar ganda: satu untuk kaum Muslim dan satunya lagi untuk populasi kita lainnya. Pada 16 Januari 2018, di Inggris, Daniel Grundy, dipenjara selama enam bulan atas tuduhan memiliki dua isteri. Bagaimanapun, para pria Muslim yang menjalankan perkawinan poligami justru diberikan penghargaan oleh negara:
Para suami yang hidup dalam sebuah "harem" dengan banyak istri dibebaskan untuk mengklaim tunjangan negara bagi semua anak pasangan mereka.
Seorang pria Muslim dengan empat isteri---yang memang diperbolehkan berdasarkan hukum Islam---bisa mendapatkan £10,000 atau sekitar Rp 191 juta setahun dalam bentuk dukungan pendapatan saja.
Dia juga berhak mendapatkan tunjangan perumahan dan pajak dewan kota (council tax) yang jauh lebih banyak lagi, sehingga menggambarkan fakta bahwa rumah tangganya memang membutuhkan rumah atau property yang lebih besar.
Para menteri sudah memutuskan bahwa walau perkawinan dengan lebih dari satu istri itu merupakan kejahatan di Inggris namun perkawinan poligami dapat diakui resmi oleh negara --- asal perkawinan itu terjadi di luar negeri, di negara-negara tempat tempat itu sah menurut hukum.
Para pria Muslim Inggris sebetulnya bahkan tidak harus pergi keluar negeri untuk mendapatkan istri. Sedikitnya ada satu situs kencan Muslim yang dikelola dari Inggris menawarkan hubungan dengan kaum wanita Muslim yang berhasrat memasuki perkawinan poligami. Situs itu belum ditutup. Pemerintah Inggris dengan demikian memperlihatkan dirinya tidak mampu menegakkan hukumnya sendiri ketika tiba pada warga negara Muslimnya atau para imigran pendatang baru.
Dalam semangat yang sama adalah sikap resmi terhadap praktek umum sunat peremuan yang umum terjadi di kalangan Muslim yang dianggap melawan hukum di Kerajaan Inggris sejak tahun 1985. Politico melaporkan tahun silam sebagai berikut:
"Para staf medis yang bekerja di Dinas Kesehatan Nasional Inggris mencatat nyaris mendekati 5.500 kasus sunat perempuan (FGM) pada tahun 2016, tetapi tidak seorang pun berhasil dituntut di pengadilan sejak praktek itu dilarang selama lebih dari 30 tahun silam."
Sementara itu, praktek itu terus meningkat. Polisi serta pihak Dinas Penuntutan Mahkota pun terlalu takut terhadap perilaku rasis yang terlihat atau "Islamofobia" untuk menerapkan hukum.
Pandangan Max Hill bahwa para pejuang yang meninggalkan negara itu bertindak naïf dalam dirinya sendiri merupakan konsep salah yang mengejutkan bagi pria yang dididik di Royal Grammar School Newcastle yang kenamaan serta Universitas Oxford. Tak seorang pun yang berangkat ke Suriah bakal dengan penuh kegembiraan tidak menyadari video yang disiarkan oleh media arus utama serta media social, yang memperlihatkan pemenggalan kepala para sandera, eksekusi terhadap para homoseksual, pencambukan wanita, pemancangan kepala manusia di atas pagar, pemanfaatan anak-anak untuk menembak para korban atau memenggal leher mereka dan semua perbuatan berlebihan lainnya yang dilakukan oleh para kelompok teroris.
Bukannya menghadapi para musuh kita, di luar dan dalam negeri, kita kini begitu takut disebut "Islamofobia" sehingga kita bahkan mengorbakan kekuatan dan aspirasi budaya, politik dan agama kita sendiri? Bagian selanjutnya dari artikel ini bakal meninjau persisnya bagaimana pengkhianatan penting inti berlangsung dan seberapa besar pengkhianatan ini bakal terjadi.
Dr. Denis MacEoin mengajar Bahasa Arab dan Kajian Islam serta menulis buku-buku serta banyak artikel seputar Islam, termasuk sebuah buku besar berjudul Obstacles to Integration yang belum diterbitkan. Dia adalah Distinguished Senior Fellow pada Gatestone Institute yang berbasis di New York.