Salah satu prestasi terbesar Abad Pencerahan di Eropa dan Amerika Serikat adalah adanya prinsip kebebasan berbicara dan kritik yang bernalar. Demokrasi ditunjang olehnya. Pengadilan dan parlemen kita dibangun di atas prinsip itu. Tanpa itu, para cerdik cendekia, wartawan dan para penganjur bakal terjerat seperti yang terjadi pada nenek moyang mereka dalam penjara kata-kata. Prinsip itu diabadikan dalam Amendemen Pertama Konstitusi AS lewat kata-kata berikut ini;
"Kongres tidak akan membuat undang-undang yang menghormati lembaga agama atau yang melarang pelaksanaannya secara bebas; atau memangkas kebebasan berbicara atau pers; atau hak mayarakat untuk secara damai berkumpul dan mengajukan petisi kepada pemerintah untuk memulihkan kesedihan mereka."
Tanpa kebebasan penuh untuk mengungkapkan diri sendiri lewat pembicaraan atau dalam bentuk cetak, tidak satu pun kita bisa mengkritik sebuah agama, ideologi, partai politik, undang-undang, teorema akademis atau apa saja yang mungkin kita rasakan bakal salah arah, kacau balau atau bahkan membahayakan. Lewat upaya itu, kita bebas untuk beribadah sesuai pilihan kita, untuk berkotbah karena kita lihat sesuai, untuk menghadap di parlemen guna menentang pemerintah, untuk menyindir orang-orang sombong, untuk mengajarkan para elit untuk rendah hati, untuk mengangkat martabat kaum tertindas atau untuk mengatakan bahwa ada omong kosong."
Karl Popper, seorang filsuf pernah menulis buku, The Open Society and Its Enemies (Masyarakat Terbuka dan Para Musuhnya). Buku itu membela demokrasi, kebebasan dan kebebasan berbicara. Dalam masyarakat terbuka ala Popper, semua orang harus mampu berpikir dan mengungkapkan diri mereka secara bebas, tanpa takut terhadap hukuman atau sensor.
Masyarakat tertutup itu totaliter dan bergantung pada klaim tentang kebenaran mutlak. Warga tidak bebas menentang pemikiran-pemikiran negara. Teokrasi termasuk berbagai negara Islam masa lampau dan masa kini mendasarkan otoritas mereka pada kitab suci serta undang-undang yang diwahyukan secara ilahi yang diterapkan secara kaku dan dianggap tidak bisa salah.
Ancaman utama kebebasan berbicara masa kini muncul dari perpaduan dari sensor yang dilakukan oleh kaum radikal Islam serta kebenaran politik (political correctness) Barat. Selama abad silam dan selebihnya, masyarakat Barat sudah membangun konsensus tentang peran sentral dan kebebasan berbicara. Kita diberi kekebasan untuk mengkritik sistem politik atau ideologi apapun yang kita pedulikan: kapitalisme, sosialisme, liberalisme, komunisme, libertarianisme, anarkisme bahkan demokrasi itu sendiri. Bukan hanya itu, dia juga memberikan kesempatan kepada kita untuk tidak memanfaatkan kebebasan supaya membenci orang secara pribadi atau mendesak orang untuk melakukan kekerasan. Karena itu, kita bebas meminta orang untuk menjelaskan dan membenarkan agama apapun, mulai dari Kristen hingga Scientology, Yudaisme hingga kultus apa pun yang kita pilih. Sejumlah penulis, seperti almarhum Christopher Hitchens, pernah disensor karena mengecam agama seperti itu.
Orang beragama sulit menghadapi kritik yang lebih keras. Banyak orang suka menentang tetapi tidak punya kuasa. Organisasi-organisasi seperti Masyarakat Sekular Nasional Inggeris (didirikan pada 1866) bisa bertumbuh kembang bahkan menasehati pemerintah.
Dulu, itu pun mungkin dapat dilakukan dengan Islam. Sampai kadar tertentu, hal itu masih ada. Tetapi banyak lembaga Muslim, misalnya 57 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)---sudah bekerja keras bertahun-tahun untuk menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama, sistem politik dan ideologi dunia yang tidak boleh dipertanyakan impunitasnya. Mereka sudah berjuang --- dan dalam banyak hal berhasil --- memagari sepenuhnya Islam sebagai kredo yang tidak boleh dikritik, sambil mencadangkan bagi mereka sendiri hak untuk mengecam umat Kristen, Yahudi, Hindu, kaum demokrat, liberal, wanita, gay atau siapa saja dengan bahasa yang kerapkali jorok dan kejam. Andaikata orang mengatakan sesuatu yang bagi mereka tampaknya tidak menghormati iman mereka , maka dia akan langsung dimaklumkan sebagai orang yang "fobia terhadap Islam."
Saya tidak sedang berbicara tentang kepustakaan yang penuh tulisan bernada benci yang dapat dipersamakan dengan tulisan anti-Semit yang ada di mana-mana yang dengan bebas tersedia di internet. Hal-hal yang paling halus pun sudah berbenturan dan bakal terus berbenturan dengan sikap defensif Islam. Kita tahu sejumlah hal yang lebih jelas: sebuah novel, sekumpulan kartun, sejumlah film, sejumlah pidato politik dan beberapa blog yang berdampak pada munculnya pemukukan, aksi untuk memenjarakan orang, penyiksaan, ancaman mati dan pembunuhan yang kejam. Ada banyak komentar anti-Muslim online, sama seperti banyak hal dalam arena public. Tetapi kepekaan kaum Muslim sudah semakin lembut kini. Akibatnya, pertanyaan yang wajar, berimbang dan penuh informasi tentang Nabi Muhamad, para pengikut awalnya, Al-Qur'an, berbagai doktrin, aspek-aspek sejarah Islam, perilaku sejumlah Muslim bahkan aksi biadab yang mereka lakukan, ditolak sbeagai Islamophobic, fobia terhadap Islam.
Para politisi dan media tergesa-gesa mengingkari hubungan antara aksi kekerasan kamu jihadi dan Islam. Mereka lalu tergesa-gesa melindungi kaum Mulsim dari rasa marah yang memang sudah diantisipasi bahwa hal itu bisa memprovokasi adanya aksi pembantaian manusia. Para pejabat memang tidak salah karena menolak berbagai upaya balas dendam atau kebencian yang menyasar masyarakat biasa yang tidak melibatkan kaum Muslim. Tetapi kerapkali banyak yang tampaknya terlampau cepat dilakukan guna menghindari kecaman yang beralasan atas hukum dan doktrin Islam yang memang menginspirasi serangan jihad.
Tepat setelah pembantaian yang menghebohkan di sebuah kelab malam di Orlando, 12 Juni lalu, Presiden Barack Obama berpidato. Dalam pidatonya, dia menjabarkan serangan tersebut sebagai "tindakan kebencian" dan "tindakan teror". Bukan "terorisme Islam" atau bahkan frasa yang menyesatkan "terorisme Islam." Seperti nyaris semua pemimpin dunia, dia maklumkan, dengan pernyataan yang sangat tidak tepat, bahwa "Islam merupakan agama damai." Secara politik memang bijak untuk menyangkal hubungan yang sangat jelas dari aksi kekerasan kaum jihad dalam Al-Qur'an, Tradidi (hadits), hukum shariah dan seluruh wacana sejarah Islam. Dengan demikian, Obama dan banyak pihak lainnya sebetulnya hanya menyangkal hak mereka untuk mengungkapkan apa yang benar. Sebagian hal itu dilakukan karena alasan politik, tetapi mungkin saja lebih karena takut mengganggu kaum Muslim umumnya serta kaum ulama dan pemimpin Muslim khususnya. Kita sudah sangat paham bahwa banyak kaum Muslim bakal marah terhadap gangguan paling kecil sekalipun.
Daftar ancaman, serangan serta pembunuhan yang dilancarkan sebagai balas dendam atas sikap tidak sopan terhadap Islam, Nabi Muhamad, Al-Qur'an dan simbol Islam lain kini terjadi. Bahkan keluhan paling kecil sekalipun dari organisasi Muslim bisa menyebabkan penerbitan buku dilarang, munculnya sikap yang tidak ramah terhadap para pengarang, kecaman terhadap "kalangan yang dinilai fobia terhadap Islam" yang dikumandangkan para pendukung kebebasan berbicara, pembatalan kuliah umum, penangkapan dan penyiksaan laki-laki dan wanita karena "kejahatan" yang sama sekali bukan kejahatan. Ada banyak sidang pengadilan, denda, hukuman diberlakukan atas orang-orang yang menganjurkan perlunya gambaran yang akurat dan jujur tentang Islam, sumber serta sejarahnya.
Pengarang Denmark Lars Hedegaard menderita karena serangan atas kehidupan dan hidupnya sehingga terpaksa hidup di sebuah lokasi rahasia. Kurt Westergaard, kartunis Denmak diserang dengan kapak namun gagal dan kini harus tetap diawasi oleh dinas keamanan. Pada 2009, di Austria, politisi Susanne Winter dinyatakan terbukti bersalah karena "menghasut aksi anti-Muslim." Penyebabnya, karena pada suatu kesempatan Susanne mengatakan, "Dalam sistem yang ada sekarang ini, Nabi Muhamad akan dianggap sebagai pelaku pelecehan seksual terhadap anak," dan Islam "seharusnya dilemparkan pulang ke tempat dia berasal, di balik Laut Mediterania." Karena itu, dia didenda 24.000 euro ( sekitar Rp 418 juta) dan dijatuhi hukuman percobaan (suspended sentence) selama 3 bulan. Anak kalimat "pelaku pelecehan anak" itu berdasarkan fakta, yang dicatat oleh para penulis biografi Muslim bahwa Nabi Muhamad melakukan hubungan seks dengan isteri barunya Aisah, tatkala dia berusia 9 tahun.
Pada 2011, Elisabeth Sabaditsch-Wolff, mantan diplomat dan guru dari Austria diajukan ke pengadilan. Dia diadili karena dinilai "mencemarkan keyakinan agama yang diakui resmi." Dia dinyatakan terbukti melakukan dua kesalahan. Untuk itu, dia diperintahkan membayar denda atau menjalani penjara selama 60 hari. Sejumlah komentarnya mungkin terlihat ekstrim sehingga pantas dikritik. Tetapi, pengadilan juga tidak menghubungkan tuntutannya yang benar secara historis bahwa Nabi Muhamad memang berhubungan seks dengan gadis berusia 9 tahun dan terus berhubungan seks dengannya hingga dia mencapai umur 18 tahun. Bagaimanapun pengadilan memperhitungkan kritik sang mantan guru dan politisi itu sebagai fitnah. Dengan demikian, keputusan hakim menghukum dia karena mengatakan hal yang dapat ditemukan dalam berbagai kepustakaan Islam menggambarkan pengkhianatan terhadap nilai-nilai kebebasan berbicara di Barat dengan tujuan membela sesuatu yang seharusnya secara normal kita pidanakan.
Kisah-kisah tentang hadiah ditetapkan atas "kepala" Salman Rushdie oleh Ayatollah Khomeini, berbagai ancaman dan serangan terhadap seniman yang menggambar kartun Nabi Muhamad di Denmark atau serangan berdarah atas tim editorial di Charlie Hebdo, 7 Januari 2015 lalu sudah sangat terkenal. Karena sudah terbiasa dengan kebebasan berbicara, penghujatan terbuka, satire di dalam negeri terhadap orang dan lembaga-lembaga yang tidak sopan serta keyakinan terhadap legalitas dari kebebasan ini --- maka ancaman dan serangan seperti itu, benar-benar menakutkan kita. Atau seharusnya menakutkan kita.
Tetapi ada hal yang jauh lebih menakutkan ketika begitu banyak penulis dan politisi Barat yang benar secara politik memalingkan diri dari nilai-nilai dasar kita. Ada banyak contoh untuk itu. Tetapi yang paling mengganggu kesadaran kita adalah bagaimana PEN Internasional, sebuah lembaga yang diakui secara internasional sebagai pembela kebebasan bereaksi kepada Charlie Hebdo. PEN International diakui dikenal di seluruh dunia sebagai serikat kerja para penulis. Bersama-sama, mereka bekerja tak kenal lelah bagi kebebasan para pengarang dari aksi pemenjaraan, penyiksaan serta pembatasan lain terhadap kebebasan mereka untuk menulis secara jujur dan kontroversial. Pada 2015, PEN Pusat Amerika berencana menggelar acara Penghargaan Untuk Kebebasan Berbicara (Freedom of Expession Award) dalam sebuah pesta meriahnya tanggal 5 Mei lalu kepada Charlie Hebdo. Hadiah itu hendak diberikan kepada Gerard Biart, Pemimpin Umum Majalah Charlie Hebdo serta kepada Jean Baptiste Thorat, seorang anggota staf yang terlambat datang ke kantor tatkala para radikal Muslim membantai 12 teman mereka. Ini hal yang PEN lakukan secara sangat bagus: menjunjung tinggi hak setiap orang untuk mengungkapkan pemikiran mereka bahkan ketika serangan berlangsung sekalipun.
Bagaimanapun, tatkala rencana ini diumumkan, enam anggota PEN, yang memang nyaris sudah bisa diramalkan sebelumnya, mengecam keputusan pemberian penghargaan. Mereka menolak menghadiri pesta mewah meriah itu. Mereka adalah Peter Carey, Michael Ondaatje, Francine Prose, Teju Cole, Rachel Kushner dan Taiye Selasi. Mereka gunakan hak mereka untuk bertindak dengan standar ganda dengan mengecam Charlie Hebdo karena sikapnya yang menyerang. Kushner mengungkapkan sikap tidak sukanya kepada "budaya tidak toleran" majalah tersebut. Persoalannya, apakah itu berarti PEN seharusnya tidak mendukung Salman Rushdie karena melukai hati jutaan kaum Muslim hanya agar bisa mengungkapkan perasaannya sendiri tentang Islam?
Peter Carey menyampaikan dukungannya, tetapi bukan pembuat satire, tetapi bagi minoritas Muslim di Perancis. Dia berbicara tentang "sikap PEN yang tampak buta terhadap kesombongan kultural bangsa Perancis, yang tidak mengakui kewajiban moralnya bagi segmen penduduknya yang besar namun tidak berdaya ." Repotnya, kita tidak pernah mendengar Carey berbicara tatkala seorang pria Yahudi. Ilan Halimi disiksa hingga tewas selama beberapa pekan di Perancis atau ketika kaum Yahudi di Toulouse ditembak dan dibunuh. Dia tampaknya ingin mengatakan bahwa Pemerintah Perancis harus menutup mulut penulis atau seniman yang mengganggu sensitivitas ekstrim dari suatu persentase kecil warga negaranya.
Teju Cole pun mengatakan, menyusul aksi pembantaian itu, Charlie Hebdo mengklaim hendak menyakiti semua pihak tetapi baru-baru ini dia justru menerbitkan "provokasi rinci bagi kaum rasis dan yang fobia terhadap Islam." Tetapi Islam bukan sebuah ras. Dan majalah itu tidak pernah bersikap rasis. Jadi mengapa menuntut tanggung jawab terhadap kebebasan berbicara seperti ini yang senantiasa PEN perjuangkan mati-matian untuk diungkapkan?
Bantahan masuk akal dan penuh nuansa terhadap tuduhan ini datang dari Salman Rushdie sendiri, mantan Presiden PEN:
"Jika sebagai organisasi yang memperjuangkan kebebasan berbicara, PEN tidak bisa membela dan melindungi orang yang dibunuh karena menggambar, maka jelaslah organisasi tidak pantas menyandang nama itu. Apakah yang bisa saya katakan kepada Peter dan Michael serta yang lain adalah, saya harap tidak ada orang yang mengikui jejak mereka."
Keenam penulis itu kemudian berkembang besar sepertinya menjadi 135 orang. Pada 30 April, Carey dan pengarang lainnya diikuti oleh 139 anggota menandatangi petisi protes. Para pengarang itu, beberapa dari mereka penulis kenamaan, beberapa lagi tidak jelas, mengangkat pena mengecam prinsip kebebasan berbicara dalam sebuah organisasi yang didedikasikan untuk kebebasan berbicara---banyak dari mereka hidup di tanah yang melindungi kebebasan berbicara dalam Amandemen Pertamanya, persis demi keuntungan mereka, para penulis itu sendiri.
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) berhasil memenangkan Resolusi Dewan HAM PBB (No. 16/18, 2010). Resolusi membuat "penistaan agama" (baca: penghujatan di hadapan para pengikutnya) sebagai suatu kejahatan. Tetapi OKI sangat pemaham bahwa hanya kaum Muslim yang cenderung memanfaatkan hukum Barat untuk mengingkari kebebasan berbicara tentang iman atau agama mereka sendiri. Lima tahun kemudian, pada Desember 2015. Kongres US pun memperkenalkan House Resolution 569 (Resolusi Kongres 569). Resolusi itu dimaksudkan untuk menanggulangi ujaran kebencian dan kejahatan lain. Sampai sebegitu jauh, sejauh resolusi itu menangani persoalan yang benar-benar menjadi keprihatinan kita semua, maka tampaknya memang tidak bisa ditolak, Tetapi resolusi itu pun aneh. Ia khusus membahas perlindungan kaum Muslim sebanyak tiga kali. Ia tidak menyinggung komunitas iman lainnya.
Pembelaan teragung atas demokrasi, kebebasan, keterbukaan terhadap perdebatan politik dan relijius serta dambaan kita untuk hidup dalam masyarakat terbuka seperti yang diangankan Karl Popper tanpa hambatan --- misalnya kebebasan berbicara--- kini berada dalam ancaman serius. Barat memang berhasil meloloskan diri dari totalitarianism Third Reich serta Uni Soviet tanpa menghilangkan kebebasan kita. Tetapi kini, musuh baru sudah bangkit. Jangkauannya pun mengglobal dan kerapkali lebih militan wujudnya dan berakar dalam 1,6 miliar masyarakatnya dan duduk dalam berbagai badan PBB dan lembaga internasional lain serta bagian demi bagian menakut-nakuti kita untuk takluk kepada prasangkanya yang represif. Sejak fatwa atas Salman Rushdie, tidak ada lagi cara untuk memperhitungkan berapa banyak buku yang terpaksa disimpan di raknya, berapa banyak acara dokumentasi televisi tidak bisa diudarakan, berapa banyak skenario film dicampakan di tempat sampah, berapa banyak konperensi dibatalkan atau dirobek-robek atau berapa banyak pembunuh yang siap siap menanti serta melarang penerbitan buku, puisi atau lagu atau olahraga yang bakal melewati ketatnya hukum dan doktrin Islam.
Denis MacEoin PhD adalah pakar Masalah Islam. Dia baru saja menulis sebuah kajian atas hal-hal memprihatinkan tentang Islam di dunia Barat.