Travers, mahasiswa fakultas hukum tahun ketiga berusia 21 tahun, melambungkan namanya sendiri di Skotlandia, di Universitas Edinburg yang kenamaan. Terlepas dari banyaknya aktivitas, Travers menerbitkan berbagai artikelnya di Gatestone Institute yang bisa dibaca di sini, di samping juga menulis untuk saluran media lain. Juga dituliskannya persoalan seperti anti-Semitisme di Eropa, industri sensor "berita-berita bohong," Partai Buruh Inggris sebagai tempat berlindung nan aman bagi orang-orang rasis, dewan Shariah, serangan terhadap kebebasan berbicara dan masih banyak lagi. Sebagai anak muda yang lantang, dia menjadi satu dari para tokoh terbaik di universitas. Meski jelas mengaku gay dan pendukung aliran tengah (centrist), yang menjadi posisi Tony Blair dalam politik, dia kerapkali terperangkap dalam konflik dengan sesama mahasiswa dari kalangan kiri radikal, dengan para mahasiswa Muslim dan dengan siapa saja yang bingung dengan apa saja yang melemparkan tantangan terhadap kepekaan politik yang benar dan suka berpuas diri (complacent politically correct sensitivities). Dia pun tidak takut berseru kepada kaum radikal serta mengkritik mereka dengan informasi faktual sehingga banyak mahasiswa modern (serta dosen) muak mendengarkannya.
Tanggal 6 September lalu, wajah Robbie tampil pada seluruh media Inggris, dari Harian Times yang konservatif, hingga Harian berhaluan kiri, Independent, hingga berbagai tabloid dengan banyak massa pembaca seperti Express, Mirror, Daily Mail, serta Sun. Travers dituduh dengan ujaran kebencian dan tengah diselidiki oleh pihak universitas, yang bisa saja sangat mendukungnya. "Ujaran kebencian" macam apa itu? Baiklah, singkatnya, dia mengatakan para pejuang jihad ISIS sebagai "orang-orang biadab." Yaitu, orang-orang yang dengan berbagai cara membakar orang hingga tewas atau menenggelamkan orang hidup-hidup dalam sangkar-sangkar dan kerapkali dimasukan dalam zat asam, atau membunuh 250 anak dalam mesin pengaduk semen.
Kekejaman ISIS: Travers seharusnya dipuji, bukan didiskreditkan karena menuding mereka demikian. (Sumber foto: YouTube/Suntingan video) |
Anda tidak salah baca. Kini memang dianggap "rasis" dan "fobia terhadap Islam" jika menghina atau mengejek geng teror dunia paling biadab, yang, di antara berbagai kejahatan lainnya memenggal kepala para pria, wanita dan anak-anak lugu, memperkosa wanita-wanita lugu serta menjual para wanita yang sama sekali tidak berbahaya sebagai budak seks kepada para pembunuh dan pelaku fedofilia yang suka mendengkur. Orang tidak bisa habis pikir soal ini.
Berikut ini, apa yang tampaknya bakal terjadi. Travers kerap menulis di Facebook dan Twitter. Banyak mahasiswa sayap kiri mungkin marah dengan pandangan-pandangannya seputar persoalan-persoalan seperti Islam. Di sini, sebagai contoh, postingannya di laman Facebooknya, tanggal 31 Agustus 2017 lalu. Sangat saya ragukan jika orang di sini menemukan sesuatu yang menyerang:
"Saya haturkan 'toast' kepada dunia Barat. Meski tidak sesuai dengan mode iklim relativisme moral masa kini, tetapi Kerajaan Inggris, Amerika Serikat, Israel dan negara-negara lain berperan penting dalam membentuk dunia kita lebih baik. Entah itu sikapnya untuk menolak rejim-rejim otokratis, entah merayakan kebebasan kaum minoritas dan pihak-pihak yang tidak sependapat dengan opini mayoritas.
"Demokrasi kita tak pernah menghadapi ancaman yang lebih besar dari bahaya kejam dan teokratis yang dimunculkan oleh cabang-cabang Islam radikal yang jahat, otokratis, dan fasistis. Jika hendak melihat demokrasi kita terus kuat, kita harus berjuang membela kekebasan, hak asasi kita yang mahal dan berharga serta melindungi kaum minoritas sebagaimana pejihad berjuang untuk menghancurkan nilai-nilai yang adil dan toleran yang mereka anggap hina dinia ini."
Pada 13 April, dia mempostingkan sesuatu yang lebih singkat:
"Berita yang sangat bagus. Pemerintah AS dan Trump memerintahkan dilancarkaan serangan yang tepat terhadap jaringan terowongan ISIS di Afghanistan. Saya senang, kita bisa mengantarkan orang-orang biadab itu selangkah lebih dekat untuk bisa mengumpulkan 72 perawan mereka."
Sulit untuk melihat ada yang agak berbau rasis atau "fobia terhadap Islam" terkait dengan ini. Pejuang ISIS berasal dari banyak ras yang menyerang serta membunuh banyak kaum Muslim. Tetapi, itulah tepatnya yang diklaim oleh seorang mahasiswa aktivis yang tidak toleran, Esme Allman, seorang mahasiswi sejarah tahun kedua dari London. Allman yang juga pernah mengumpulkan asosiasi mahasiswa kulit hitam dan minoritas etnis Universitas Edinburg ( yang juga menyebut dirinya bukan sekedar feminis tetapi juga womanist) bukanlah pengagum sikap yang Travers ambil pada sejumlah bidang.
Sikap Allman sendiri dapat dilihat dalam pernyataan kampanyenya yang dikeluarkan pada tahun pertama kuliahnya. Ketika itu, dia mencalonkan diri menjadi Pejabat Mahasiswa Kulit Hitam dan Etnis Minoritas (BME). Ada sejumlah hal menarik dalam manifestonya: "Saya akan terus terlibat dalam berbagai diskusi yang berawal dari hal-hal akademis seputar kampanye "MengapaKurikulumku Kulit Putih" (WhyIsMyCurriculumWhite campaign) dan "saya akan terus bekerja sama dengan "KampanyeMahasiswaBukanMenuduhMereka" (StudentsNotSuspects Campaign) supaya bisa melindungi kelompok-kelompok mahasiswa ini dari pelaksanaan strategi Pencegahan." Pencegahan merupakan bagian penting utama dalam kampanye kontraterorisme Pemerintah Inggris yang lebih luas, dengan perhatian khusus terhadap radikalisasi di berbagai sekolah dan universitas. Mahasiswa kalangan kiri dan aktivis sangat marah dengan kampanye tersebut. Banyak dari mereka justru mengundang khatib-khatib radikal ke kampus sambil pada saat yang sama melarang masuk para pembicara pro-Israel dan sejenisnya.
Merujuk kepada pernyataan Robbie tentang ISIS, orang ironis bernama Allman justru mengajukan keluhan resmi kepada pihak universitas. Dia menulis bahwa "Bukan saja saya yakin perilaku ini melanggar kode perilaku mahasiswa, tetapi keputusannya untuk menyasar Kelompok Pembebasan BME di Universitas Edinburg dan bagaimana dia memilih untuk melakukannya, menempatkan para mahasiswa minoritas dalam risiko dan panik serta takut saat mengikuti kuliah di Universitas Edinburg."
"Panik dan takut" karena seorang rekan mahasiswa mengungkapkan perasaan-perasaannya yang juga dimiliki oleh mayoritas publik Inggris? Mungkin saja di luar sekelompok kecil minoritas Muslim radikal, sulit menemukan orang di Kerajaan Inggris dan negara-negara Barat lain yang punya pendapat bagus untuk ISIS. Menyebut mereka "orang-orang biadab," kelihatannya mudah bagi mereka. Dan, kebiadaban ISIS pun sudah terekam orang-orangnya sendiri lewat teks, video yang mengerikan, serta dalam gambar anak-anak yang diajarkan untuk memenggal leher tahanan dengan pisau, dalam harga yang ditetapkan bagi budak wanita di pasar-pasar mereka. Barbarisme ISIS itu terlihat lebih tepat sebagai sumber ketakutan dan panik dibandingkan dengan cemoohan Robbie Travers atas mereka dan yang menyambut gembira pembasmian yang tidak diragukan lagi pantas mereka terima.
Menurut Harian Times, "seorang jurubicara universitas menguatkan bahwa "keluhan yang menuduh adanya perilaku yang tidak pantas (misconduct) sudah diterima melawan Travers dan keluhan itu tengah diselidiki." Tidak diragukan lagi pihak berwenang universitas pun wajib menindaklanjuti keluhan seorang mahasiswanya, apalagi seorang mahasiswa aktivis yang tampaknya bersemangat untuk memanfaatkan privilesenya sebagai anggota komunitas etnis minoritas sekaligus perempuan. Tidak diragukan lagi, pihak berwenang yang sama enggan untuk memberi tahu mahasiswi seperti ini. Mereka enggan untuk mengatakan dia begitu menggelikan karena takut kepada serangan balasan \yang mungkin terjadi sehingga dia serta mahasiwa aktivis yang suka jargon, yang benar secara politik dan marah siap mengarahkannya kepada mereka jika seorang non-Muslim membicarakan soal Islam atau Muslim sebelumnya.
Beberapa tahun terakhir ini, nyaris semua universitas memang didominasi oleh pria dan wanita muda yang marah yang tidak mampu untuk berbeda pendapat dengan orang lain, yang tampil untuk menentang argumen, atau yang tampaknya nekad berusaha mendapatkan "tempat-tempat aman" jika seorang dosen atau professor mengatakan atau menulis sesuatu yang menantang otak mereka yang tampaknya begitu terlindungi. Menjadi mahasiswa biasanya menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan. Selama ini, fantasi masa muda berhadapan dengan argumen rasional, yang terinformasi baik dan berbasis bukti. Tetapi kultus kebenaran politik, defenisi gender yang longgar (unbounded), obsesi kepada fobia terhadap Islam serta anti-Semitisme di antara gangguan-gangguan lainnya, telah merusak proses pendidikan di Amerika Serikat serta Eropa. Semakin banyak artikel tampil dalam jurnal-jurnal cerdas bermutu dan makalah-makalah, meratapi kemerosotan ini mirip anak-anak yang merugikan dirinya sendiri dan mau berkompromi dan narsis.
Sayangnya, para pembela tempat aman tidak membatasi sikap antik mereka untuk melanggar hal-hal sepele (hugging soft toys). Sebagian besar pembaca mungkin melihat keluhan tentang komentar Travers atas ISIS tidak boleh pernah dianggap serius oleh siapapun. Itulah tentunya bagaimana pers melaporkan tuduhan yang dilancarkan terhadap Travers. Tetapi keluhan Allman membuat persoalan ini menjadi kawasan yang jauh lebih banyak memberi tanda bahaya. Keluhan itu diajukan dan ditandatangani bersama oleh mahasiswa BME lain, Lindsay N'Kem. Laman Facebook N'Kem sendiri benar-benar sangat lembut, sama sekali tidak memperlihatkan bukti aktivisme politik. Dia tampaknya tidak dikenal oleh Travers dan tampaknya tidak terlibat dengannya, sehingga memperlihatkan bahwa Allman menulis surat itu sendiri namun meminta N'Kem untuk turut menandatanganinya. Sangat aneh memang, kata-kata keluhan itu merujuk kepada Allman dalam diri ketiga, sehingga membuatnya seolah-olah datang dari orang-orang lain, tidak dari dirinya sendiri. Ini persoalan serius yang bisa membahayakan karir Travers. Saya kutipkan pernyataan itu secara lengkap di sini:
"Saya ajukan keluhan tentang Robbie Travers, karena dia menyasar mahasiswa minoritas serta tempat para mahasiswa di Universitas Edinburg. Selama ini saya tidak bertemu dia secara pribadi, karena saya sedang mengikuti matrikulasi di Universitas Edinburg dan menjadi anggota kelompok pembebasan Mahasiswa Kulit Hitam dan Etnis Minoritas (BME) [pembebasan dari apa? Itu pertanyaan yang diajukan MacEoin] di universitas dan betapa saya mengidentifikasikan diri secara pribadi, sehingga saya menentang pencemaran dan penghinaan kharakter yang terlindungi serta Islamofobia yang gamblang, jelas dan persisten ini.
"Ini sudah berlangsung bertahun-tahun seperti terbukti dari laman Facebooknya. Sasarannya yang langsung dan tidak wajar terhadap mantan pemrakarsa pertemuan BME tahun ini yang tidak lagi menjabat Esme Allman itu, tidak bertanggung jawab dan berbahaya. Minggu, 15 Mei 2017 lalu, Travers menerbitkan kutipan Allman yang tidak memperhatikan konteks percakapan khusus yang dikeluarkan oleh mahasiswa minoritas di tempat yang aman [persoalannya, jika percakapan itu di depan umum bagaimana dia bisa jadi "khusus?" pertanyaan dari MacEoin], dia tidak berlangganan atau anggota kelompok minoritas itu tanpa persetujuan dia (baca: Allman). Dalam upaya penuh niat untuk "menghancurkan karirnya {baca: Allman), Travers mengungkapkan nama lengkap Allman, posisinya di universitas dan (secara tersamar) universitas tempat kuliahnya dan kota dia berdiam kepada 17.000 lebih pengikutnya, yang beberapa dari mereka memperlihatkan pada masa lalu atau dalam komentar status mereka, sikap agresif serta informasi sensitif yang didiskusikan berkaitan dengan seksualitas dan identitas Allman.
"Sejak itu, Travers mengatakan berniat meneruskan perilakunya yang tidak pantas dan tidak bertanggung jawab itu dengan memberitahukan bahwa ini "fase 1" kemudian membuat lagi banyak "sengatan" terencana.
"Dalam tahun ajaran sekolah 2016/2017 saja, Robbie Travers konsisten mencemooh, menghina dan membangkitkan kebencian terhadap kelompok keagamaan dan terhadap karakter yang terlindungi dalam banyak kesempatan."
"Saya tidak cuma yakin perilaku ini melanggar kode perilaku mahasiswa, tetapi keputusannya menyasar kelompok pembebasan BME di Universitas Edinburg dan bagaimana dia memilih untuk melakukannya, menempatkan para mahasiswa minoritas berisiko menghadapi bahaya dan panik serta takut ketika mengikuti kuliah di Universitas Edinburg.
"Sikap acuh-tak acuhnya yang mengabaikan kelompok (identity) lain di depan umum yang terus berlanjut membuat saya khawatir dengan keselamatan dan privasi saya termasuk keamanan para mahasiswa lain di Universitas Edinburg, bila dilihat dari keinginannya melepaskan berbagai pernyataan dari konteksnya yang sebenarnya kemudian menyajikannya kepada khalayak daring yang luas serta menanggapinya secara liar (uninhibited) dan dalam sejumlah contoh agresif dari orang-orang asing terhadap berbagai pernyataannya.
"Orang ini tidak dicegah selama mereka berada di universitas ini ketika melancarkan serangan gencar terhadap identitas kaum minoritas serta kelompok keagamaan dan terhadap BME serta mahasiswa minoritas lain di kampus. Ada banyak sekali bukti yang berkaitan dengan kesediaan dan kemampuannya untuk menghasut kebencian terhadap para mahasiswa yang termasuk dalam berbagai identitas di Universitas Edinburg. Ketika berupaya menipu soal anti-Semitisme, rasisme dan radikalisasi di antara para mahasiswa BME sekaligus untuk mengarahkan mahasiswa supaya mengikutinya secara daring, Robbie Travers menempatkan mahasiswa minoritas serta wakil dari berbagai kelompok pembebasan serta tempat aman yang mereka ciptakan dan jaga di Universitas Edinburg itu berisiko dirugikan, fisik atau sebaliknya.
Gambaran yang dicorengkan tentang Travers serta karyanya tidak sesuai, sedikitnya dengan karyanya yang saya dan orang-orang lain pernah baca. Gambaran itu benar-benar dipolitisasi, suatu aksi pencemaran nama baik terhadap seseorang yang penuh dengan omong kosong tanpa bukti yang jelas supaya benar-benar menghancurkan orang yang pandangan-pandangannya tidak disetujui Allman. Tidak diragukan lagi bahwa dia beserta orang- orang lain dari kelompoknya gelisah oleh kebebasan berpendapat yang menantang sekaligus memperlihatkan mereka sebagai orang munafik yang tidak toleran sehingga memperlihatkan siapa mereka.
Tidak ada ruang di sini untuk lebih daripada sekedar beberapa komentar sederhana seputar satu atau dua tuduhan. Rujukan terhadap "Islamofobia yang terang-terangan" jelas mau mengatakan bahwa Travers menggunakan jenis bahasa yang sama dengan yang dipergunakan oleh kaum rasis ekstrim kanan anti-muslim. Allman barangkali tidak pernah baca tulisan-tulisan seperti itu. Jika demikian, dia beruntung. Saya membaca banyak soal itu dan berjuang untuk memberantasnya dan bisa saya yakinkan para pembaca bahwa tidak ada tulisan yang pernah Travers hasilkan menyerempet soal itu. Jenis kritik yang dia lakukan terhadap ISIS serta kaum radikal Islam lain yang meyakini apa yang disebutnya sebagai "pandangan yang membuat orang kembali mundur" (regressive views) persis seperti yang dikatakan oleh muslim Inggeris moderat, saleh dan terintegrasi baik dalam masyarakat seperti Sara Khan, Majid Nawaz, Haras Rafiq, dan masih banyak lagi lainnya, yang bisa saja karena tidak ada goresan imaginasi dapat disebut sebagai, "fobia terhadap Islam."
Sedangkan berkaitan dengan "menghasut kebencian terhadap kelompok agama," serangan yang bertubi-tubinya terhadap identitas kaum minoritas serta kelompok agama," "serangan terhadap BME dan mahasiswa minoritas lain di kampus" atau "kesediaan dan kemampuannya untuk menghasut kebencian terhadap mahasiwa yang masuk dalam berbagai identitas di Universitas Edinburg," maka itulah persoalan-ersoalan yang perlu dipertanyakan karena tidak ada kaum Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Baha'i atau kelompok agama lain yang mengeluh tentang Travers. Bisakah "kelompok" Allman benar-benar berarti segelintir kaum Muslim radikal yang bereaksi kepada tuduhan "fobia terhadap Islam" di setiap kesempatan?
Akhirnya, dia menuduh Travers "menipu soal anti-Semitisme, rasisme dan radikalisasi antara mahasiswa BME." Padahal, anti-Semitisme, menurut beberapa polling, memang senantiasa ada di kalangan komunitas Muslim, bahkan di Kerajaaan Inggris sekalipun. Juga menurut sumber pemerintah serta dinas keamanan, di kalangan sejumlah besar kaum Muslim, radikalisasi memang terjadi. "Rasisme" tampaknya sungguh tidak relevan. Jika Travers mengidentifikasi adanya sikap anti-Semitisme serta tanda-tanda radikalisasi di kampus, maka dia dapat, tidak sekedar berhak, tetapi juga wajib untuk mengungkapkannya ke hadapan publik.
Seperti Travers tuliskan kepada seorang sahabatnya, "Perhatikan, saya tidak menghasut adanya aksi kejam atau rasa benci tetapi hanya mengejek ISIS. Apakah pendapat ini jahat?
Di atas semuanya itu, harus diperhatikan bahwa Allman tidak memberikan satu benang bukti pun atas tuduhan-tuduhannya. Namun, tanpa bukti, tidak berupaya untuk menghancurkan kehidupan seorang muda yang nilai-nilainya menggemakan nilai dari sebagian besar orang di negeri tempat Allman berdiam. Bukan Robbie Travers yang pantas didisiplinkan oleh pihak berwenang universitas; justru Allman, karena dia berjuang untuk menghancurkan reputasi Travers dengan tuduhan dan tidak bisa memperkuatnya dengan bukti. Jika saya diminta bertindak sebagai hakim, akan saya rekomendasikan dia tetap dikeluarkan dari lembaga pendidikan karena dia jelas-jelas tidak cocok. Fitnah dan pembunuhan kharakter tidak punya tempat di universitas manapun.