Pada 9 Juli 2015, Komisi Eropa Melawan Rasisme dan Sikap Tidak Toleran yang masuk dalam Dewan Eropa menerbitkan laporan tahunan untuk 2014. Laporan itu mengidentifikasi adanya peningkatan dramatis sikap antisemitisme, fobia terhadap Islam, pembicaraan penuh rasa benci online serta wacana politik yang penuh rasa takut terhadap orang asing sebagai kecenderungan utama pada 2014. Laporan itu juga mengindikasi bahwa "Fobia terhadap Islam dilaporkan terjadi di banyak negara, sehingga menyulitkan upaya-upaya integrasi bagi adanya masyarakat Eropa yang inklusif. Menurut laporan tersebut, naiknya ekstremisme dan gerakan Islamis yang kejam dimanipulasi oleh para politisi populis guna menggambarkan kaum Muslim secara umum tidak mampu atau tidak bersedia berintegrasi dalam masyarakat dan karena menjadi ancaman keamanan."
Hal ini, tentu saja, mengganggu sehingga tepatlah jika Komisi berniat menganggapnya sebagai persoalan yang sedang berkembang. Tetapi tepatnya seberapa luas persoalan itu berkembang dan sejauh mana dia siap diidentifikasi?
Sejumlah kalangan mengklaim fobia terhadap Islam berakar dalam persepsi seputar meningkatnya kekerasan kaum Muslim di Benua Eropa; beberapa lagi berdasarkan perilaku rasis yang ada serta beberapa lagi berasal dari persepsi Muslim tentang korban dan hal-hal sensitive yang dituduhkan. Yang terakhir menjadi persoalan besar mengapa upaya untuk merumuskan fobia terhadap Islam tidak sesederhana seperti menjelaskan sikap anti-Semitisme, prasangka anti-imigrasi atau rasisme anti-kulit hitam.
Guna memahami hal ini jauh lebih jelas, maka perlu untuk melihat sekilas masa lalu.
Pada 1978, seorang dosen Amerika kelahiran Palestina Edward Said (1935 – 2003) menerbitkan sebuah buku. Judulnya, Orientalim (Orientalisme). Buku itu mengubah cara banyak orang berpikir tentang Timur Tengah dan Islam. Walau banyak kekurangan, buku Said jadi bestseller yang diterjemahkan ke dalam 36 bahasa. Berbagai kalangan yang pertama membacanya, --- para dosen dan mahasiswa Kajian Islam dan Timur Tengah --- hanyut oleh pandangannya yang tidak berat sebelah serta kesadaran yang semua kita hayati bahwa ia membuka mata kita terhadap karya kita sendiri dengan caranya yang sesungguhnya. Dengan menggunakan pernyataan Thomas Kuhn yang sangat terkenal, buku itu menawarkan sebuah pergeseran paradigm yang mengubah pemahaman kita tentang penelitian serta pengertian yang terkandung di dalamnya, karena kita adalah "para oritentalis" yang dengan pahit dicerca oleh Said. Beberapa kalangan memang meninggalkannya beberapa tahun kemudian, tetapi banyak juga yang masih terpesona oleh prosanya yang lembut dan pengamatannya yang tajam penuh tantangan.
Tidak lama sebelumnya, permintaan Said berkembang menjadi disiplin ilmu lain. Bagi kawasan lain, ilmu itu jauh dari Timur Tengah. Buku Orientalisme bahkan meletakan dasar baru dalam kurikulum akademis yaitu, "Kajian Pasca-Kolonial." Mata kuliah itu kini diajarkan di berbagai universitas di banyak negara, memunculkan banyak kepustakaan, punya jurnal akademis sendiri beserta sejumlah asosiasi dan lembaga. Said, seperti Franz Fanon, Gayatri Spivak, Derek Gregory dan ilmuwan lainnya tetap menjadi tokoh utama dan Orientalisme menjadi teks yang utama.
Menurut Said, masyarakat Barat, karena bukan Muslim, senantiasa memalsukan dan mendistorsi tulisan mereka tentang Islam dan Muslim. Said lantas mengklaim melihat begitu dalamnya prasangka merasuk dalam karya-karya ilmuwan dan penulis Orientalis Perancis, Rusia dan lain-lain. Bagi dia, Orientalisme (dan demikian) menjadi sarana kekuasaan kolonial, membantu misi mereka agaknya untuk menjalankan serta menaklukan masyarakat Timur. Sejak bekas kolonial meraih kemerdekaan, dia berpendapat, negara-negara bekas penjajah masih menekan bekas-bekas koloninya guna mengendalikan mereka. Israel dianggap oleh sebagian besar kaum Marxis, sosialis bahkan kaum liberal sebagai entitas yang diciptakan untuk menjajah Arab Timur Tengah dan kerapkali dikecam bahkan oleh rakyat yang dianggap terpelajar dan seharusnya tahu lebih baik dengan ungkapan-ungkapan kasar sebagai perluasan penuh fitnah dari Barat
Barangkali kalimat paling terkenal dalam buku Said adalah [K]arena pada masa Homerus, setiap warga Eropa, adalah rasis, imperialis dan nyaris benar-benar etnosentris, terkait dengan apa yang dapat dikatakannya tentang Timur (Orient)." Bernard Lewis konon pernah berujar, "Jika benar, maka satu-satunya laporan biologi laut seharusnya dikerjakan oleh ikan." Tetapi bagi Said dan pengikutnya, dunia terbagi antara Barat yang bersalah dan Timur yang menjadi korban.
Yang hilang dari karya Said adalah upaya menghadapi sejarah panjang kekaisaran Islam [1], penaklukan dan penguasaan tetap atas negara-negara non-Muslim dan rakyatnya, termasuk juga kerapkali cara-cara yang didistorsi di mana para penulis Islam berupaya menginterpretasi dan menjelaskan dunia Kristen, Yahudi, Hindu dan dunia lainnya. Said dengan demikian, meninggalkan kita kesan bahwa semua prasangka hanya terjadi pada masyarakat Barat.
Said terus mendapat para pengagum. Sebagian besar dari mereka berasal dari departemen bahasa Inggeris atau kajian multikultural. Tetapi, seiring berjalannya waktu, makin banyak cendekiawan mulai mempertanyakan pandangannya. Para penulis seperti Bernard Lewis, Ibn Warraq, Efraim Karsh dan Robert Irwin mulai menyingkap rangkaian kesalahan narasi Said, mulai dari kesalahan faktual hingga biasnya yang mengejutkan.[2]
Terlepas dari berbagai bias, distorsi fakta-fakta serta tipuan-tipuan yang didokumentasikan secara terbuka banyak pengikut Said, yang tidak rela atau tidak mampu melakukan pekerjaan mereka sendiri, melihatnya sebagai intelektual bagi para mahasiswa beserta guru yang menganut pandangan anti-kemapanan, anti Barat dan anti-sosialis
Bagi banyak kalangan, bukunya, Orientalism berperan dalam upaya untuk mendelegitimasi Barat sekaligus memperluas alasan seperti multikulturalisme atau anti-Zionisme. Sementara itu, bagaimanapun, tidak mengejutkan, pengaruh buku itu berkembang luas, ke dalam dunia Islam dan dunia komunitas Muslim yang lebih kecil di Barat. Kaum Muslim yang lebih terpelajar membaca dan menyarikan pesan Said dengan cara agak berbeda dari para pembaca Barat, banyak orang atau sebagian besar orang ateis dan agnostik. Bagi para pembaca Muslim, pesan Said bahwa Barat memusuhi Islam menjadi penangkal racun pertama yang kuat dari kesadaran mereka terhadap kegagalan. Kaum Muslim yang sebelumnya melihat diri sebagai terbelakang kini mulai meyakini bahwa mereka merupakan korban konspirasi Barat yang mengingkarinya sebagai buah dari peradaban mereka yang agung. Dengan demikian, bagi banyak kalangan Muslim, mengolok-olokan Barat menjadi perintah agama.
Bagi kaum Muslim relijius, pesan Said menjadi semakin penting ketika berurusan dengan stress yang ditimbulkan oleh subordinasi ekonomi, politik dan militer terhadap Barat yang bertumbuh maju beriring dengan kemunduran mereka di dunia non-Muslim dan di dalam negeri. Kekalahan angkatan bersenjata multinasional Arab yang berulang-ulang dari "kaum Yahudi Israel yang "tercela" pun menjadi dasar dan bagi jutaan kaum Muslim masih digunakan sebagai simbol perlunya mereka menegaskan diri di panggung dunia ---- sebagaimana Iran tengah coba lakukan sekarang ini.
Banyak kaum Muslim imigran, sulit sekali menyesuaikan diri dengan lingkungan baru mereka bahkan mungkin jauh lebih sulit dibanding dengan para pendatang baru di Barat, yang katakan berasal dari Afrika atau dari India. Para pemimpin agama mereka kerap memberi tahu mereka bahwa kaum Muslim lebih unggul dibanding semua orang yang tidak beragama.[3] Sejarah mereka pun mengisahkan kepada mereka penaklukan-penaklukan yang nyaris tak pernah putus tatkala berbagai gerombolan kaum Muslim pada abad-abad awal keluar dari padang gurun Arabia untuk bertempur menghancurkan dua kekaisaran agung masa itu, Kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Sasanid Iran. Kisah yang sama mengisahkan kepada kaum Muslim betapa Islam menyebar hingga ujung dunia yang sudah terkenal dan betapa selama berabad-abad peradaban Islam lebih unggul dibandingkan dengan peradaban-peradaban lainnya.
Tetapi seiring dengan kemunculan kembali Eropa dan kaum Muslim dunia pun bertahap kembali takluk kepada kekuatan-kekuatan "kafir," banyak kesadaran tentang rasa unggul mengembun hilang di udara. Semenjak akhir abad ke sembilan belas, para pembaru Muslim berulangkali menyerukan kebangkitan kembali pemikiran dan praktek Muslim. Bagi banyak penguasa sekular seperti pendiri Tukri moderen, Mustafa Kemal Atatürk (1881-1938) pembaruan (tajdid) bakal tercapai lewat proses sekularisasi. Tetapi bagi para pemikir relijius seperti Rashid Rida, itu berarti kebangkitan agama yang merupakan reaksi atas prestasi dan kekuasaan Barat sekaligus penegasan kembali superioritas Islam.
Mungkin bukan cuma kekuatan militer Eropa yang mencemaskan kaum Muslim. Mungkin juga berbagai universitas, ilmu, parlemen, undang-undang, polisi, pers, advokasi kebebasan serta kebebasan berbicara, pakaian, budaya dan semua keuntungan psikologis dan material Barat yang kami terima.[4]
Benturan budaya itu mungkin saja sangat sulit diterima oleh sejumlah kalangan Muslim. Di atas semuanya itu, bukankah Allah menjanjikan kemenangan kepada mereka, bukan saja untuk satu waktu tetapi hingga seluruh dunia ditaklukan bagi agama itu? Dan bukankah Allah memenuhi janjinya? Penaklukan demi penaklukan, kekaisaran sudah menggantikan kekaisaran dan di atas punggung berbagai kemajuan itu, sebuah peradaban agung sudah hadir, dengan semua unsurnya di segala penjuru dunia. Selama berabad-abad, kaum Muslim, yang tidak banyak mengetahui berbagai perubahan yang terjadi di Eropa seperti dituliskan oleh Lewis, menuruti kesadaran diri mereka sendiri atas supremasi politik dan relijius. Dan selama berabad-abad, mereka pun tampak dibenarkan dalam keyakinan ini.
Tetapi berbagai hal berubah dan tidak menjadi lebih baik. Pada 1798, Napolen menaklukan Mesir dengan mudah. Walau pasukannya hanya menetap sebentar di negeri itu, penaklukan menjadi cela pertama dalam baju baja Islam. Selama abad kesembilan belas dan dua puluh, Inggeris dan Perancis menduduki dan mengkolonisasi banyak kawasan Timur Tengah serta Afrika. Setelah menjadi tuan yang tidak boleh dipersoalkan atas kerajaan mereka sekian lama dan setelah memerintah tanpa kesulitan atas kaum Yahudi dan Kristen yang hidup di antara mereka sebagai warga negara kelas dua, kaum Muslim menjadi tidak puas.
Jika berada di bawah kaum kafir saja menjengkelkan, maka lebih parah lagi jika mengikutinya. Barat bukan saja punya keunggulan militer, tetapi juga segera menjadi jelas bahwa bangsa Barat pun jauh lebih maju daripada orang kafir yang begitu luas mereka bayangkan.
Beberapa negara, Turki dan Iran, khususnya, yang tidak pernah sepenuhnya dijajah--- mulai mengirim para mahasiswa dan diplomatnya ke negara-negara Eropa, terutama ke Inggeris dan Perancis. Di Eropa, para pelancong itu diperkenalkan dengan cara-cara yang mungkin membuat Barat terlihat lebih unggul: terkait dengan parlemen, konstitusi, undang-undang buatan manusia yang berbasis bukti-bukti obyektif, berbagai universitas dan kebebasan akademisnya, kebebasan berbicara, keadilan setara di bawah hukum, demokrasi, pemilu, sekolah berkualitas tinggi, umumnya tidak banyak korupsi dalam urusan publik dan perdagangan, bertumbuhnya kebebasan kaum wanita, kebebasan agama dan penghargaan terhadap "pihak yang lain" dan seterusnya.
Bagi kalangan tradisional, berbagai berita seperti ini mungkin muncul sebagai hal menakutkan. Para despot, para pemimpin lalim melompat dari pemikiran mendasar tentang demokrasi. Para pemimpin relijius mengomeli pendidikan sekular, hak kaum wanita, kebebasan bertanya dan mengatakan apa yang orang sukai bahkan tentang agama.
Tetapi pemikir muda modern seolah dilepaskan dari belenggu masa lalu. Sejak akhir abad sembilan belas tekanan reformasi sekular mulai bermunculan. Sekian lama tampak seolah-olah berbagai peristiwa penting ada di horizon. Kelompok Turki Muda dalam Kekaisaran Ottoman dan gerakan reformis anti-ulama di Iran tampaknya hendak mengarah kepada masa-masa yang lebih baik dan kehidupan yang lebih bebas.
Pintu-pintu menuju perubahan cepat tertutup lagi pada nyaris sebagian besar dunia Islam walau terjadi Musim Semi Muslim termasuk juga ada keinginan besar untuk melakukan reformasi yang diinspirasikannya. Di Iran, dinasti Pahlavi yang tengah bergerak menjadi mensekulerkan diri namun brutal memicu lahirnya Revolusi Iran pada 1979 yang dipimpin oleh Ayatollah Khomeini. Di luar itu, tatkala kaum Islamis berupaya memadamkan perbedaan pendapat dan menerapkan undang-undang teokratis mereka, rejim totaliter dan teokratif Iran yang terbaru pun muncul.
Kalangan Muslim pun merumuskan beragam tanggapan terhadap berbagai peristiwa itu. Tanggapan yang umum, dari akhir abad kesembilan belas, adalah untuk menekankan kebenaran mendasar dan mutlak dalam perilaku seluruh urusan manusia. Selama era 1920-an, pemikiran Salafi dari Saudi Arabia mengalami hidup baru melalui Persaudaraan Muslim di Mesir. Motonya adalah: "Allah adalah tujuan kami; Al—Qur'an adalah Konstitusi kami; Nabi adalah pemimpin; jihad adalah jalan kami; mati demi Allah adalah kerinduan kami." Slogan politik itu, akhir-akhir ini terlihat di berbagai spantuk di kawasan-kawasan miskin Kairo— yaitu: Islam adalah solusi" (untuk setiap persoalan). Pendiri gerakan itu, Hasan al-Banna dikutip luas sebagai mengatakan, "Pada hakikatnya Islam akan mendominasi bukan didominiasi, akan menerapkan hukumnya atas semua bangsa serta memperluas kekuatannya di segala penjuru planet." ."[5]
Tanggapan ini mengarah langsung kepada perang suci yang akhir-akhir dikobarkan melawan Barat (termasuk terhadap Israel) oleh kaum Muslim radikal, melalui berbagai organisasi seperti al-Qaeda, Taliban, Jihad Islam, Hizbullah, Hamas dan bahkan organisasi yang jauh lebih brutal lagi, Negara Islam (Da'ish).
Tanggapan kedua, sama sekali tanpa taktik kekerasan. Yaitu berjuang mereformasi Islam dari dalam. Para reformator (seperti Muhammad 'Abduh atau Rashid Reza), adalah para penganut Salafi yang berniat bukan saja untuk memodernisasi Islam, tetapi menuju arah lain: agar kembali kepada nilai-nilai, adat-istiadat, praktek-praktek Arabia abad ke-tujuh --- maksa ketika kaum Muslim hidup bersama di bawah pimpinan Muhamad dan tiga generasi pertama pengikutnya. Tujuan mereka tegas: memurnikan kaum Muslim dari berbagai tambahan yang diterapkan agama mereka selama berabad-abad.
Ada prinsip hukum Islam kuno: inovasi (bid'a) itu merupakan bidaah yang mengarah kepada api neraka. Respon ini tampaknya berani, namun, jelas-jelas tidak mampu membendung modernisasi yang bergerak cepat. Yang dicapainya, bahkan ketika berupaya mendapatkan akses menuju teknologi terbaru, sebetulnya adalah menarik mundur kaum Muslim menjadi lebih terbelakang.
Ilmu dan teknologi kerapkali diterapkan dalam konteks kepercayaan agama ala kuno yang tidak inovatif dalam cara apapun, tatkala keduanya meninggalkan tanda yang sangat kuat atas berbagai masyarakat Muslim (paling baik dirangkum dalam program nuklir Iran). Sebelum dan selama Revlusi Islam di Iran (1978 – 79) misalnya, kaset dipergunakan agar berdampak kuat lewat kaum revolusioner. Kini, kelompok Islamis paling terbelakang pemikirannya sekalipun semuanya mempercepat harapan mereka untuk kembali ke dasar melalui internet dan penggunaan media social.
Taktik ketiga yang dilakukan adalah mengecam Barat atas setiap nasib malang yang menimpa dunia Islam. Ini berlaku bukan saja pada intervensi militer seperti atas Irak atau Afghanistan tetapi juga berkaitan dengan kegagalan ekonomi; jatuhnya harga minyak; imoralitas kaum muda, perpindahan umat Muslim menjadi Kristen, ateisme, atau apa saja yang bukan Islam; hak asasi kaum wanita; berdiri langgengnya Israel, anak-anak muda mempertanyakan orangtua mereka dan kebebasan bicara lainnya; gagalnya kaum imigran Muslim ke Eropa untuk berkembang pesat dan apapun yang bisa dibayangkan orang.
Kebenaran psikologis di balik semua ini bisa dilihat dengan terang benderang: Ini semacam proyeksi Freudian: yaitu memanfaatkan kwalitas orang yang tidak disukainya kemudian memproyeksikannya kepada pihak lain. Pembelaan diri untuk melawan penghinaan terhadap pendapat kita yang baik tentang diri kita sendiri bisa menjadi salah satu dari banyak bentuk penyangkalan diri, sehingga orang yang bermasalah menolak bahwa dia memang bermasalah dan sebaliknya dengan bahagia mengecam apapun yang salah dalam hidupnya kepada pihak lain.
Bagi banyak kalangan Muslim--- seperti juga kita semua--- respon seperti ini sangat berperan dalam upaya melogiskan apa yang tampaknya sebagai dunia yang penuh permusuhan. Jika kaum Muslim berpikir Islam gagal, maka janji Allah tentang kemenangan akhir di segala penjuru dunia sudah dibiarkan tidak terpenuhi (atau parahnya, bahwa ia pertama-tama menjadi celah) sehingga persoalan psikologis pun bisa hancur berantakan.
Bagi kaum Muslim konservatif, bencana terbesar yang terjadi adalah jika, sebagai akibat Westernisasi, jutaan orang dalam dunia Islam melepaskan agama. Berbagai masyarakat terikat oleh keyakinan bersama akan terpecah-belah. Jadi lebih baik mengecam pihak luar. Bahkan jauh lebih baik lagi menemukan bahwa pihak luar yang bertanggung jawab atas semua kesengsaraan yang kita alami selama ini adalah kaum Yahudi dan Kristen yang Kitab sucinya memerintahkan kaum Muslim untuk memandang rendah kelompok-kelompok yang menentang agama sejati.
Dari berbagai lika-liku persoalan itu, muncul apa yang sejumlah kalangan sebut sebagai "Fobia terhadap Islam" (Islamophobia). Jelas tidak cukup untuk mengutip masyarakat Barat sebagai pelaku kemunduran Islam. Mereka harus, menurut pandangan ini punya motif, dan motif Barat agaknya tidak ditemukan dalam sikap benci yang aktif terhadap Islam. Itulah kebencian, klaim tampaknya terus terjadi, lahir dari sikap iri hati yang sudah ada pada masa Nabi, ketika kaum Yahudi, mereka tuduh, "berkonspirasi" melawannya. Sikap benci agaknya terjadi lagi pada masa Perang Salib ketika Gereja Kristen berusaha mencabut Islam dari puncak pemerintahannya sekitar Levan dan daerah sekitarnya; dan juga selama masa penjajahan dan pasca-penjajahan, bukan saja di luar tetapi juga di dalam negeri, di dalam batas kawasan Islam sendiri seperti di Maroko, Aljazair, Libya, Mesir, India, Mali dan tempat lain di Afrka dan di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Asia Tengah.
Walau istilah "Islamofobia" mungkin mungkin bisa dilacak jauh lagi ke belakang hingga pada 1916 di Perancis dan tampaknya diperkenalkan ke Inggeris oleh Edward Said sendiri pada 1985 sehingga berkembang pesat penggunaannya di Inggeris Raya dan Amerika Serikat. Kini, istilah ini diterapkan secara kabur dan dengan cara-cara cengeng yang kerap dicampauradukan dengan klam sebagai korban sama seperti pada rasisme.
Bagaimanapun, luasnya jumlah apa yang disebut sebagai "fobia terhadap Islam" sama sekali tidak seperti itu. Kritik wajar bukanlah fobia. Berbagai tanggapan terhadap terorisme Islam merupakan reaksi yang masuk akal, sama seperti kita bereaksi terhadap semua bentuk terorisme. Jika anda membaca kisah-kisah kaum Muslim atau pro-Muslim tentang fobia terhadap Islam, maka mereka menemukan kesalahan tentang apa saja yang secara tersirat mengungkapkan pandangan yang negatif terhadap hal-hal yang Islami, entah teks, sejarah atau praktek-praktek adat-istiadatnya. Anehnya, orang-orang yang sama yang mengeluhkan Islamofobia tampaknya tidak mengeluhkan soal sikap anti-Semitisme atau sikap benci kaum Muslim terhadap kaum homoseksual atau pelangggaran hak asasi manusia lainnya.
Dalam kesadaran ini, banyak lalu orang membangun konsep tentang kejahatan karena rasa benci yang hanya muncul secara sporadis; di dalam kelompok kecil seperti Liga Pertahanan Inggeris Kerajaan Inggeris yang sudah memudar atau dalam ungkapan-ungkapan yang bertebaran dalam halaman-halaman komentar media massa oleh orang-orang, yang beberapa dari mereka tampak sangat terpelajar atau sopan. Dewan Relasi Hubungan Islam–Amerika (CAIR) misalnya, punya website bernama, Islamophobia.org tetapi serangan-serangannya sepertinya tidak ada di mana-mana atau tidaklah penuh ekbencian seperti diklaim oleh kaum Muslim. Kerapkali malah terlihat seperti reaksi terhadap semacam "rasa takut terhadap orang kafir."
Ironisnya, mungkin saja lebih banyak fobia terhadap Islam terjadi antarkaum Muslim satu sama lain, dibanding dengan dari masyarakat Barat terhadap kaum Muslim, jika dilihat dari banyaknya laporan tentang kaum Muslim yang membunuh kaum Muslim lain dan kaum Kristen. Mungkin saja terjadi jauh lebih banyak fobia terhadap "kaum kafir " oleh kaum Muslim terhadap kaum non-Muslim dibandingkan dengan oleh non-Muslim terhadap kaum Muslim.
Fobia terhadap Islam yang sebenarnya hanya ada pada sedikit masyarakat Barat. Ia terlihat dalam protes-protes rasis terhadap Liga Pertahanan Inggeris; dalam aksi Terry Jones yang memberikan judul bukunya Islam is of the Devil (Islam itu sama dengan Setan) termasuk ancamannya untuk membakar Al-Qr'an dan dalam berbagai komentar website-website anti-Islam.
Untuk itu, sejumlah orang yang membenci membuat diri mereka sangat jelas terlihat. Meskipun demikian, mereka merepresentasikan sejumlah kecil public. Sebagian besar dari mereka bahkan tidak tahu bahwa mereka punya sifat itu. Sebagian hanya berupaya kritis terhadap apa yang mereka lihat setiap hari seputar Islam: aksi-aksi kekerasan di seluruh penjuru dunia, berbagai ancaman terhadap kebebasan dan demokrasi, kotbah-kotbah penuh kebencian di masjid-masjid dan pusat-pusat Islam--- semuanya itu sebenarnya sebagai persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh agama Islam.
Sebagian lainnya lagi terganggu oleh dampak negatif imigrasi kaum Muslim di berbagai masyarakat Barat. Di Amerika, perusakan menara kembar dan serangan atas Pentagon pada 11 September 2001 diperhitungkan membawa ke permukaan perasaan takut yang semakin besar seputar kerugian yang bisa ditimbulkan oleh radikalisme Muslim.
Tuduhan Islamofobia menjadi reaksi spontan kepada apapun, bahkan terhadap kritik atas Islam yang dipersepsi salah sekalipun. Selama berabad-abad, kaum Muslim menjaga adat-istiadat serta agama mereka dari kritik sehingga mengarah kepada persoalan serius; yaitu, kurangnya arena aman bagi dunia Muslim dan di dalam komunitas Muslim di Barat, tempat kaum Muslim mungkin menganalisis dan memperdebatkan persoalan agama tanpa takut terhadap pembalasan dendam yang mengerikan karena keluar batas, seperti pernyataan bahwa intellektualitas dan logika itu tidak Islami; larangan terhadap kebebasan berbicara, penggunaan pembunuhan sebagai langkah membungkam siapa saja yang melangkah terlampau jauh keluar batas, para pemrotes atau orang-orang murtad misalnya. Tidak ada masyarakat sehat yang dapat bertahan hidup dengan pembatasan-pembatasan seperti itu.
Barat memberikan kebebasan pada warga negaranya untuk menantang ide-ide yang diterima, berbicara terbuka dalam debat termasuk untuk mengkritik tanpa rasa takut ditolak. Tuduhan fobia terhadap Islam ditelikungi oleh berbagai organisasi Muslim di Eropa dan Amerika Utara, seperti Dewan Muslim Inggeris (MCB) atau Dewan Urusan Hubungan Islam Amerika (CAIR). Beberapa k persoalan yang menjadi keprihatinan mereka memang murni. Serangan fisik terhadap kaum Muslim hanya karena mereka Muslim benar-benar tidak bisa diterima di masyarakat manapun yang berbudaya.
Pada pihak lain, kerapkali tampak seolah-olah mempertanyakan apapun tentang Islam atau kaum Muslim yang remeh sekalipun, dibesar-besarkan dan dibantah dengan tuduhan fobia terhadap Islam. Kadangkala, pertanyaan-pertanyaan seperti itu diterjemahkan sebagai kritik yang mengarah kepada upaya untuk menindas perdebatan bebas dan pertukaran pemikiran. Kemudian tampak seolah-olah Islam tidak diperlakukan sama seperti agama lain dan menjadi agama yang tidak toleran terhadap semua yang lain dan terlampau protektif dan assertif terhadap hak dan privilesenya sendiri.
Fobia terhadap Islam pun kadangkala dibesar-besarkan dengan penghinaan agama. Nyaris pernyataan atau tindakan apapun yang dianggap tidak menghargai Islam, jika diucapkan atau dilakukan oleh non-Muslim, bisa diperhitungkan oleh sejumlah kalangan sebagai bentuk kebencian terhadap Islam itu sendiri dan karena itu dianggap pantas dihukum atau seperti yang akhir-akhir ini kita saksikan, pantas dibunuh atau dicoba untuk dibunuh. Pada Februari lalu, seorang sekular Amerika keturunan Bangladesh Avijit Roy diserang hingga tewas di Dhaka. Serangan pun terjadi pada Washiqur Rahman pada bulan Maret, Anantaa Bijoy Das pada Bulan Mei dan Niloy Neel pada 6 Agustus. Ada juga kasus para editor dari sebuah majalah, Charlie Hebdo di Perancis dan orang-orang yang mengorganisasikan Pameran Lukisan Muhammad di Garland, Texas. Berbagai insiden itu lepas sama sekali dari pembunuhan tanpa alasan atas orang-orang Yahudi di luar sebuah sekolah agama di Toulose, Perancis dan dalam sebuah tokoh halal (kosher) di Perancis.
Di Barat, penghinaan agama tak lagi dipandang sebagai kejahatan yang pantas dikecam, apalagi mendapat hukuman berat, walau umat Kristen dan Yahudi menganggapnya sebagai dosa maut. Kebebasan berbicara menjadi begitu penting bagi berfungsinya sebuah masyarakat terbuka dan sehat. Akibatnya, sikap yang sama sekali tidak menghargai yang diperlihatkan seperti dalam kasus foto kontroversial karya Andres Serrano berjudul "Piss Christ" (Kencing Kristus), tidak mendapat perlawanan hukum, walau sering diprotes. Foto itu malah mungkin dipamerkan di tempat umum.
Bagaimanapun, bagi sejumlah kalangan Muslim, apa saja yang tampaknya memalukan menurut pandangan agama menjadi persoalan yang sangat peka. Pada 25 Nopember 2007 misalnya, segerombolan masyarakat Sudan yang marah menuntut agar seorang guru Bahasa Inggeris, Gillian Gibbons, yang mengajar di sebuah sekolah Inggeris di Khartoum dibunuh. Alasannya, karena anak-anak dalam kelasnya memutuskan untuk memberi nama Muhammad pada boneka teddy-bear mereka yang terkenal itu. Dia dilaporkan melakukan penghinaan dan dituntut berdasarkan KUHP Sudan dengan tuduhan "penghinaan terhadap agama." Pada 30 Nopember, kira-kira 10.000 pemrotes membanjiri jalanan Kota Khartoum. Beberapa dari mereka melambaikan pedang dan golok, menuntut Gibbons dieksekusi mati setelah para imam mengecamnya dalam sholat Jumad. Selama pawai, lantunan kata-kata, "Memalukan, Inggeris memalukan," "Tidak ada toleransi---eksekusi mati" dan "Bunuh dia, bunuh dengan regu tembak" bergema. Dalam kasus mengerikan itu, kaum Muslim di seluruh dunia, termasuk Dewan Muslim Inggeris juga ikut protes. Gibbons akhirnya diberi pengampunan oleh presiden dan boleh kembali ke Inggeris. Jika dia bukan guru Inggeris, nasib mujur yang sama mungkin tidak bakal dialami orang lain. Tidak satupun orang yang menuntut kematiannya diajukan ke hadapan pengadilan karena pelanggaran hak asasi manusia apapun.
Ada sejumlah kasus lebih serius. Misalnya. mencakup Novel Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan); kontroversi kartun Denmark, pembunuhan seorang pembuat film Belanda, Theo van Gogh pada 2004; kontroversi soal sketsa karya kartunis Swedia Lars Vilks pada 2007, upaya pembunuhan kartunis Kurt Westergaard atau Lars Vilks dan kasus pengadilan baru-baru ini melawan anggota Parlemen Belanda, Geert Wilders. Tetapi sebetulnya ada puluhan kasus terjadi. Banyak dari mereka berakhir di penjara, dicambuk dan pada sejumlah kasus, dibunuh. Hampir tidak ada bedanya jika "penghujat" itu non-Muslim atau Muslim, wartawan atau akademisi. Apa saja yang terlihat tidak menghormati Islam, Nabi, Al-Qur'an atau adat-istiadat atau keyakinan kaum Muslim melanggar prinsip yang sekian lama berurat akar bahwa kaum Yahudi dan Kristen yang hidup di bawah pemerintah Muslim harus selalu bertindak dalam semangat rendah hati terhadap kaum Muslim dan Islam. Permohonan untuk mengajukan tuduhan penghinaan agama melawan kaum non-Muslim yang tinggal di luar kekuasaan Islam, di negata-negara yang tidak dikuasai Islam, agaknya berada di luar lingkup hukum Islam yang sebenarnya. Namun, bagaimanapun, kini tampak ada kawasan-kawasan yang terbuka terhadap tuntutan-tuntutan fobia terhadap Islam.
Sekali lagi tahun ini, Organisasi Kerja Sama Islam mengadakan konperensi. Dalam konperensi itu mereka menyerukan adanya aturan penghinaan agama yang berlaku secara global --- aturan itu berkali-kali dicoba diajukan organisasi itu selama beberapa decade dengan bantuan Menteri Luar Negeri AS, Hilary Clinton. Tujuannya bukan untuk melindungi agama lain (yang memang terus dihina oleh kaum Muslim), tetapi untuk melawan kritik apapun terhadap Islam.
Yang lebih mengganggu lagi adalah, sejumlah Negara Eropa dibujuk oleh para pemrotes Muslim untuk mengajukan warga mereka sendiri ke pengadilan karena tuntutan menghina Islam dalam buku, film atau pidato mereka. Di Austria. Elisabeth Sabaditsch-Wolff harus menghadapi tuntutan karena pernyataannya tentang Islam; Geert Wilders dan Gregorius Nekschot diajukan ke pengadilan di Belanda. Wilders bahkan kini dituntut oleh Austria; pada 2002 Michel Houellebecq dituntut di Paris karena mengatakan Islam bodoh; in 2010, Komisi Anti-Diskriminasi Negara Bagian Queensland mengecam Michael Smith karena mengkritik soal pemakaian burka lalu memaksa dia \melakukan "mediasi" dengan Omar Hassan, pemimpin Muslim yang mengeluhkannya. Baru-baru ini, Lars Hedegaard, Ketua Masyarakat Pers Bebas Denmark diajukan ke pengadilan atas tuduhan yang sama. Mark Steyn dan Ezra Levant di Kanada ditegur karena pernyataan-pernyataan mereka tentang Islam.
Fobia terhadap Islam kini menjadi kejahatan yang ditetapkan oleh banyak pengadilan dan sama banyaknya seperti di negeri-negeri Muslim. Ketika kecenderungan itu meningkat di berbagai negara demokrasi, Islam tampaknya, menjadi satu-satunya agama yang mungkin tidak boleh dikritik. Padahal, sudah selama tiga abad, kritik agama menjadi landasan kebebasan berbicara dan transparansi yang menjadi unsur mendasar dalam demokrasi dan kaidah pemikiran melalui pemikiran yang terbuka, proses deduktif.
Banyak tuduhan penghinaan mungkin tampak sepele bagi para pengamat Barat. Kasus-kasus seperti boneka teddy bear, kartun atau artikel tentang peran wanita dalam Islam misalnya yang mengarah kepada hukuman 20 tahun bagi seorang wartawati Afghanistan Parwiz Kambakhsh (aslinya hukuman mati untuk sang wartawati). Atau juga kasus seorang seorang guru Kristen yang karena tidak hati-hati menyentuh sebuah tas yang mungkin menyimpan sebuah Al-Qur'an. Kasus terakhir benar-benar menjadi kisah mengerikan. Karena hal yang benar-benar sepele, yaitu menyentuh tas yang menyimpan Al-Quran, aksi kekerasan meledak, menyebabkan seorang wanita Kristen muda, Christianah Oluwatoyin Oluwasesin tewas mengerikan di sebuah sekolah negeri tempat dia mengajar di Gombe, Nigeria.
Di Pakistan, Nopember lalu, sepasang suami isteri muda muda Kristen, Shama Bibi dan Sajjad Masih dibakar hidup-hidup di tungku pembakaran batubata karena dituduh menodai Al-Quran. Tahun ini, blogger Saudi, Raif Badawi dijatuhi hukuman 1.000 cambukan dan 10 tahun penjara karena menghina Islam. Asia Bibi, seorang wanita Kristen Pakitasn ditangkap pada 2009 atas tuduhan palsu menghina agama Islam masih ditahan di penjara. Kondisinya menyedihkan karena dia dipukul oleh para sipir penjara dan dituduh melindungi anaknya yang dibawah umum menjalani hukuman mati.
Bagaimanapun, bagi banyak kaum Muslim, semua ini bukan peristiwa remeh. Dalam sebuah kasus di Malaysia pada 2009, sebuah putusan dibuat agar kaum non-Muslim tidak boleh menggunakan kata "Allah" untuk merujuk kepada Allah (God). Keputusan itu ditegakan lewat keputusan Mahkamah Agung negeri itu pada 2015. Argumentasi menentang penggunaan kata Allah pun tidak main-main. Penasehat agama pemerintah Abdullah Muhammad Zin, mengatakan bahwa ketika umat Kristen misalnya, beriman kepada Trinitas, bahwa Yesus Putera Allah; bahwa Allah mati di atas salib dan seterusnya, maka ia merupakan penghinaan besar kepada Allah Muslim yang esa, yang tidak terlihat dan sejati. Ada sejumlah argumentasi bahwa larangan itu agak menggelikan. Kaum Kristen Arab juga biasa gunakan kata "Allah" seperti dalam kata "insha'allah" [Jika Allah ridhoi; semoga]. Banyak kaum Muslim memanfaatkan argumentasi itu kala itu. Bagaimanapun, jelas, keputusan itu tidak main-main seperti yang masyarakat Barat melihatnya, tetapi merupakan indikasi adanya obsesi Islam untuk menerapkan kekuasaannya atas kaum tidak beragama, bahkan dalam hal yang dianggap sepele bagi masyarakat Barat sekalipun.
seperti tidak sembrono dalam cara pasti tampaknya Barat, tetapi indikasi mencolok dari obsesi Islam dengan mengerahkan kekuasaan atas non-Muslim bahkan dalam apa yang tampak Barat menjadi kecil hal.
Dalam kasus seperti ini, keretakan yang sebenarnya dapat dilihat antara Barat dan Islam. Situasi ini benar-benar dikaburkan oleh kebenaran politik kaum multikulturalis Barat dan kaum Muslim yang memanfaatkan taktik mereka untuk mengatakan bahwa semua budaya itu sama dan bahwa kritik apapun dari kalangan non-Muslim terhadap Islam merupakan fobia terhadap Islam.
Hal-hal yang mengaburkan ini memang melenceng. Salah satu hal terpenting bagi masyarakat Barat adalah kebebasan. Karena kami menekankan kebebasan manusia --- yang hanya bisa dijamin dalam masyarakat yang bebas dan terbuka--- dan dimana penerapan hak-hak asasi manusia sepenuhnya tergantung pada terpeliharanya kebebasan. Dengan demikian, ada kebebasan berbicara; kebebasan melontarkan kritik, kebebasan pers; hak-hak agama (di atas segala-galanya, hak untuk memurtadkan diri, beralih agama atau tidak memilih satu agamapun); pemisahan urusan agama dari negara; kebebasan politik dan kebebasan dari penerapan hukum yang sewenang-wenang. Kebebasan ini penting, namun tidak satu pun Negara Muslim yang bisa mengklaim akan menjalankan atau melindungi mereka, khususnya kebebasan agama.
Bagi kaum Muslim, kebebasan suara hati dan tindakan bahkan dalam batasan hukum sekalipun itu haram (anathema). Secara harafiah, seorang Muslim adalah orang yang takluk, sama seperti "Islam" secara harafiah berarti "takluk." Entah hal ini berarti takluk kepada Allah, kepada negara Islam atau kepada para ulama yang merumuskan apa arti dan apa yang tidak, hasilnya adalah orang takluk, baik secara sukarela ataupun dipaksa kepada hukum sharia, sebuah lembaga aturan yang menyusun semua hal yang harus diimani kaum Muslim dan bagaimana dia seharusnya bertindak. Kebebasan tidak memasuki ranah ini. Seseorang tidak bebas berdoa atau tidak berdoa saat dia melihatnya sesuai. Hukum mengatakan dia harus sholat lima kali sehari dan dia harus dihukum jika tidak melakukannya. Penegakan hukum menjadi sangat terang benderang ketika seorang ulama Somalia memfatwakan bahwa siapapun tidak sholat lima kali sehari harus dipenggal kepalanya. Ini memang bukan sesuatu yang khas, tetapi memperlihatkan betapa mudahnya persoalan sederhana yang berkaitan dengan kelalaian bisa berubah menjadi serangan kejahatan penting.
Di sinilah, penegakan Hukum Sharia bersinggungan dengan (take offence) persoalan penghinaan agama dan rasa takut kepada fobia terhadap Islam muncul. Bagi seorang Muslim, mengucapkan sesuatu yang menghina atau melakukan sesuatu yang melanggar keluhuran agama langsung mengarah kepada kejahatan atau dalam banyak jurisdiksi, mengarah kepada murtad. Dan hukuman terhadap murtad, untuk sebagai besar, adalah mati.
Tampaknya, hal ini bersumber dalam dikotomi Islam sendiri. [6] Dalam Al-Qur'an, dunia digambarkan dalam istilah hitam dan putih yang kaku. Ada Kaum Yang Berada di Sebelah Kanan (Tuhan) dan ada Kaum yang Berada di Sebelah Kiri (Tuhan). Yang pertama adalah kaum Muslim. Mereka adalah Umat Surgawi. Yang lain, kaum non-Muslim, Orang-orang yang masuk dalam neraka kejam. Ada kaum yang beragama dan tidaka beragama; tidak ada daerah abu-abu di antara keduanya. Ada Islam dan ada semua yang tidak Islam. Semua hal diukur berdasarkan penalaran ini.
Dalam formulasi Islam klasik, seluruh dunia dibagi antara Dar al-Islam (Dunia Taklukan) dan Dar al-Harb (Dunia Perang). Jadi, kedua dunia kembar itu berada bersama dalam suatu perang yang potensial atau perang yang sesungguhnya, tidak sekedar secara ideologis tetapi juga secara militer.
Dari perspektif ini, Barat modern akan menghadirkan tantangan-tantangan yang tidak diinginkan terhadap dunia Islam.
Kini, Barat tidak bisa ditaklukan, walau banyak ekstremis seperti para pejuang yang berjuang bersama ISIS percaya bahwa penaklukan pasti bakal terjadi pada akhirnya. Kemenangan seperti itu bakal membentuk keagungan dari agama atas bukan agama, seperti terjadi pada masa lampau ketika kaum Muslim memerintah hampir seluruh dunia yang dikenal --- tapi dengan biaya kemanusiaan yang sangat luar biasa.
Parahnya lagi, kaum Muslim yang berdiam di Barat dipandang oleh kaum Muslim konservatif berisiko murtad, digoda, mungkin oleh tipu daya fisik maupun intelektual dari kalangan non-Islam. Di balik wajah murtad, kaum Islamis mengklaim, terletak tengkorak godaan Setan yang penuh senyuman terhadap perangkat pesta pora yang tidak hati-hati. Kebebasan seseorang untuk berpindah agama, yang merupakan unsur inti Pernyataan Universal Hak Asasi Manusia mengisi batin kaum Muslim tradisionalis dengan rasa ngeri, meramalkan kemungkinan bahwa masyarakat Islam mungkin berakhir tidak lebih dari propinsi lain dalam kekaisaran non-Islam.
Tidak adanya Islam tidak perlu mengancam sebagian besar agama: sebuah masyarakat sekular yang sehat misalnya --- yang dari sana Israel menjadi salah satu contoh terbaik --- bertoleransi mendukung orang-orang yang sangat relijius, meringankan beban pajak atas gereja, sinagoga, wihara, melindungi tempat-tempat suci, mendukung sekolah-sekolah agama dan seterusnya.
Tetapi Islam, sepenuhnya tidak bisa berada di luar kancah politik dan hukum karena dia bukan sekedar agama, tetapi sebuah sistem pemerintahan dan hukum. Bagi kaum Islamis, agama mereka harus memerintah, mengontrol dan membuat perundang-undangan. Jika kaum Muslim melepaskan berbagai tanggung jawab itu, mereka mungkin juga dianggap murtad
Fobia terhadap Islam pasti ada, sama seperti sikap anti-Semitisme dan anti-Kristen ada--- dan itu harus ditentang. Namun, fobia tidak luas tersebar atau jauh menyusup sebagaimana kerapkali diberitakan.
Dalam sebuah artikel yang baru diterbitkan oleh seorang mahasiswa peneliti Universitas Sydney Hussain Nadim, krisis identitas ini sangat mendasar:
Ide bahwa "persoalan tidak ada dalam Islam atau bahkan dengan sejumlah kaum Muslim, tetapi dengan lingkungan Muslim akhir-akhir ini "tidak beralasan, karena umat Sikh dan berbagai komunitas migran lain sama saja jika tidak lebih rendah kondisi sosial ekonomi dan politiknya dibandingkan dengan kaum Muslim di seluruh dunia. Namun, tetap saja tidak ada radikalisasi dan teroris yang lazim dalam komunitas mereka.
Para pemimpin komunitas Muslim cenderung tetap menolak persoalan ini terkait dengan agama sehingga mendorong krisis identitas yang mengarah kepada munculnya radikalisasi di kalangan kaum muda Muslim. Mengapa begitu sulit menerima kenyataan, bahwa memang ada persoalan dengan Islam, seperti pernah dikatakan oleh Presiden Mesir, Abdel Fattah al-Sisi, sedikitnya berkaitan dengan cara yang banyak kalangan gunakan untuk menyakiti pihak lain?
Arti sebenarnya adalah bahwa tidak banyak masyarakat Barat yang aktif memusuhi sehingga kaum Muslim perlu menegaskan identitas diri mereka di hadapan dunia yang terdiri dari orang-orang kurang beriman beriring jalan dengan penolakan yang sepadan sehingga perlu pernyataan-pernyataan yang penuh paksaan.
Denis MacEoin mengajar Kajian Islam pada Universitas Newcastle dan menulis banyak buku, artikel dan entri ensiklopedia seputar topic Islam.
[1] Lihat Efraim Karsh, Islamic Imperialism, London, 2009
[2] Lihat, sebagai contoh, Bernard Lewis, 'The Question of Orientalism', The New York Review of Books, 24 Juni 1982, ada melalui: Ibn Warraq, Defending the West: A Critique of Edward Said's 'Orientalism', USA, 2007] Robert Irwin, For Lust of Knowing: The Orientalists and their Enemies, London, 2007] Efraim Karsh, 'Did Edward Said Really Speak Truth to Power?', Middle East Quarterly, Winter 2008, hal. 13-21. Lihat juga Daniel Martin Varisco, Reading Orientalism: Said and the Unsaid, Washington, 2008; Alexander Lyon Macfie (ed.) Orientalism: A Reader, Edinburgh, 2000
[3] Lihat, sebagai contoh, pernyataan Fautmeh Ardati dari Hizbut Tahrir, ketika berbicara tentang 'keunggulan nilai Islam atas nilai-nilai Barat'. Dikutip dalam Savage Infidel, 20 September 2010. Lihat juga Shaykh Salih al-Munajjid, Superiority of Islam over Infidelity.
[4] Untuk studi perbandingan seputar situasi ini, lihat Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response, London, 2002. Juga penting mengkaji tulisan-tulisan dari tiga tokoh kebangkitan Islam Mesir, Rashid Rida (1865-1935), Hasan al-Banna' (1906-1949), pendiri Persaudaraan Muslim dan Sayyid Qutb (1906-1966), ideolog Persaudaraan Muslim kenamaan. Jangan abaikan berbagai teori Islamis Indo-Pakistan, Abu A'la Mawdudi (1903-1979).
[5] Mengutip Lawrence Wright, "The Looming Tower: Al-Qaeda and the Road to 9/11," Vintage Books (New York), 2007, hal 29.
[6] Kharakter Islam awalnya diungkapkan secara sangat rinci dalam sebuah penelitian yang penuh otoritas ilmiah oleh M. M. Bravmann, The Spiritual Background of Early Islam.