Lebih dari 55 juta rakyat Turki memberikan suara 7 Juni lalu. Pemberian suara itu tidak saja memperlihatkan keinginan mereka melucuti Presiden Recep Tayip Erdogan dan kekuasaannya yang jauh lebih parah daripada Putin, yang sekian lama dia kampanyekan, tapi juga mengatakan "Tidak" yang demokratis kepada ambisi kebijakan luar negeri kaum Islamisnya.
Erdogan, dalam tahun-tahun mendatang mungkin bakal sangat terganggu dengan upayanya sendiri untuk membangun kembali pemerintahan totaliter agar punya tenaga untuk mengejar ambisi apa saja guna membangun lingkungan bertetangga ala Persaudaraan Islam/Hamas yang tampaknya bakal dipintanya. Yaitu sebuah pemerintah neo-Ottoman/Turki di Timur Tengah.
Dalam kampanye untuk Pemilu parlemen 7 Juni, Erdogan meminta rakyat Turki memberinya kursi yang cukup untuk menulis kembali (baca: mengamandemen, pen.) konstitusi sedemikian rupa sehingga dia bisa secara resmi menjadi orang kuat presiden eksekutif Turki. Rakyat Turki memberinya 71 kursi. Jumlah itu, lebih kurang daripada yang diperlukan untuk mengamandemen konstitusi dan 108 kursi lebih kurang dari yang diperlukan untuk bisa langsung mengamendemen UUD Turki. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang didirikan Erdogan sekaligus membuatnya nyaman memerintah Turki sejak 2002, untuk pertama kalinya menjadi partai minoritas dalam parlemen. AKP dipaksa untuk bernegosiasi dnegan partai-parti oposisi supaya bisa mengamankan suara yang meyakinkan di partlemen.
Dalam waktu luar biasa seperti ini, AKP, Erdogan dan Perdana Menteri yang terganggu, Ahmet Davutoglu tidak punya waktu atau energi untuk menuliskan kembali sejarah Timur Tengah yang mendukung kebangkitan kembali Kekaisaran Turki.
Hasil Pemilu Turki 2015 seharusnya memberi sumbangan yang tidak kecil bagi konsumsi alkohol di Turki. Secara pribadi, Pemilu itu memberikan sejumlah sumbangan yang lebih sedikit bagi konsumsi champagne di beberapa ibukota negara Muslim termasuk Damaskus, Teheran dan Kairo.
Erdogan, Davutoglu dan kawan-kawannya yang melemah menjadi kabar buruk bagi para pejihad yang sedang memerangi rejim Presiden Suriah Bashar al-Assad. Juga berita buruk bagi Persaudaraan Muslim di Mesir dan keluarga ideologis mereka di berbagai negara tetangga. Secara luas dapat dikatakan, ia menjadi berita buruk bagi Islam politik dan para pengikutnya. Sekaligus berita buruk bagi Hamas.
Dengan kata lain, daripada menghabiskan waktu, energi dan sumberdaya untuk membangun kembali Timur Tengah bersama kaum Islamis "pasca-modenis" [yaitu kaum Islamis jinak, bukan yang "jahat'] Erdogan, Davutoglu & dkk. serta barisan neo-Ottoman--- kini akan berupaya memerangi perang politik domestik yang eksistensial. Birokrasi, khususnya militer dan kementerian luar negeri, mungkin kurang suka mainkan peran patuh yes-men dalam pembuatan kebijakan.
Semua yang baik bagi Turki, adalah para sahabat Barat dan para tetangganya yang antagonis.
Memang sudah ada sejumlah tanda-tanda adanya keretakan pemikiran kebijakan politik dalam AKP. Sebuah buku baru mengisahkan masalah itu. Judulnya: Twelve Years With Abdullah Gul (Dua belas Tahun Bersama Abdullah Gul), yang dituliskan oleh Ahmet Sever, penasehat utama bagian pers untuk presiden pendahulu Erdogan.
Buku itu hendak dicetak setelah "diteliti" mantan presiden Gul, kawan seperjuangan Erdogan, yang diharapkan kembali terjun dalam dunia politik Turki.
Gul juga sesama pendiri AKP bersama Erdogan. Pada 2007, dia terpilih sebagai presiden setelah perdana menteri saat itu Erdogan mencalonkannya. Dibanding Erdogan yang penuh semangat menggebu-gebu, Gul, dalam retorikanya, adalah seorang Islamis yang moderat.
Dalam sebuah wawancara dengan Harian Hurriyet, Sever, "orang yang bekerja bersama Gul selama 12 tahun," mengatakan:
"Gul tidak menyetujui kebijakan politik luar negeri Turki secara umum dan kebijakan atas Suriah dan Mesir secara khusus. Dia yakin Perdana Menteri [saat itu] Erdogan dan Menteri Luar Negeri Turki [saat itu] Davutoglu bergerak terlampau jauh dengan bertindak lebih sebagai Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Suriah dan Mesir dibanding Turki. Dia yakin kebijakan itu bertentangan dengan kebijakan nasional Turki. Dia [Gul] mengatakanhal itu secara pribadi kepada Davutoglu juga."
Di antara berbagai hal lainnya, Pemilu terbaru Turki berarti impian Erdogan, Davutoglu dan kawan-kawannya tentang Timur Tengah baru, yang dibangun di atas warga ummah [komunitas Muslim] Pan-Islamis yang patuh terhadap supremasi Kekaisaran Turki, untuk beberapa waktu yang tidak diketahui, memang sudah berakhir.
Ini peluang sehingga Nyonya Erdogan dan Davutoglu yang terlampau terganggu dengan upaya mempertahankan kelangsungan politik punya sedikit waktu dan energi untuk menyesuaikan diri dengan ambisi kebijakan luar negeri yang dirancang untuk menguntungkan Islam politik.
Burak Bekdil, berbasis di Ankara, adalah kolomnis Turki untuk Harian Hürriyet dan Mitra pada Middle East Forum (Forum Timur Tengah).