Dalam pandangan nyaris semua kaum Islamis, -- Sunni atau Shiah—tidak ada yang hal jauh lebih murah atau lebih tidak bernilai dibandingkan dengan hidup manusia. Pandangan ini dapat terlihat pada meningkatnya angka eksekusi mati di Iran sejak Presiden Hassan Rouhani "yang moderat" berada di panggung kekuasaan dan dalam pembantaian ala setan oleh ISIS.
Ketika para teroris di seluruh dunia Muslim mencurahkan hidup mereka untuk membunuh, A.S dan Eropa diam-diam mengamati terorisme Islam di Sudan, Pakistan, Iran dan Suriah oleh ISIS, di Nigeria oleh Boko Haram dan khususnya di Iran yang dilancarkan oleh rejim para Mullah. Meski demikian, negara-negara P5+1 (negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB ditambah Jerman) tampaknya masih berpura-pura berpikir untuk bisa mengubah kepala senjata nuklir menjadi mata bajak.
Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei, memaklumkan "Mati bagi Amerika" 21 Maret 2015. (Sumber foto: jepretan dari video MEMRI) |
Para menteri luar negeri AS dan Iran melanjutkan perundingan damai melewati satu tenggat waktu demi satu tenggat waktu lainnya guna memberikan kepada Iran, kemampuan senjata nuklir untuk mengancam sebagian Timur Tengah, A.S dan Eropa. Padahal, Iran adalah salah satu negara di planet bumi yang paling korup, represesif dan pelaku genosida/pembunuhan massal atas manusia. Memberi kemampuan nuklir dengan demikian, merupakan penghargaan terhadap penipuan, kebohongan dan pengkhianatan terhadap satu demi satu perjanjian. Betapa dia menjadi preseden sangat brilian bagi siapa pun.
Barat tampaknya kehilangan niat untuk mengkritik Islam politik. Padahal tidak berbicara atau melancarkan aksi menentang kaum Islamis itu merupakan penyakit dan penyakit itu tidak saja diderita oleh Pemerintah AS yang kini berkuasa tetapi juga diderita oleh banyak intelektual. Di Barat, ada banyak intelektual murah hati yang juga tampaknya ingin menolak peran agama atas seluruh kehidupan manusia—khususnya Islam— yang berperan membentuk dan mempengaruhi cara orang berpikir dan bertindak.
Pandangan kaum Marxis meyakini agama hanya placebo di tengah penindasan ekonomi. Demikianlah pemikiran itu berkembang. Dengan demikian, jika ada persoalan dalam masyarakat Muslim, maka ia harus pertama-tama muncul dari kemiskinan, ketidaksetaraan dan konflik kelas sosial termasuk "imperialism Barat." Karena itu, banyak orang yang terpengaruh oleh pandangan ini cenderung percaya bahwa sesudah menjatuhkan kapitalisme dan imperialisme, kaum tertindas akan pula mengabaikan agama, yang mereka pegang teguh sekedar untuk memberikan penghiburan dan harapan atas kehidupan lebih yang baik setelah kematian. Semua yang mempertahankan sudut pandangan ini tetap diam terhadap pemerintahan represif licik seperti Hamas, Iran dan Korea Utara, bahkan ketika mereka mengklaim hendak memerangi "imperialisme" bersama-sama dengan para rejim yang membenci kaum Yahudi, Kristen dan kaum wanita. Ketika berusaha memperluas pandangan itu, mereka sendiri pun terjebak menjadi "para imperialis."
Sementara itu, banyak intelektual itu, termasuk pemimpin pemerintah tampak mengkhayalkan masa depan dunia Barat dan Muslim seolah-olah muncul saat "kapitalisme", imperialisme Amerika" dan "pendudukan kaum Zionis" terhapus. Ketika itu, mereka pun yakini, para despot mendadak menemukan bahwa mereka tidak lagi membutuhkan kekerasan atau radikalisme Islam dalam pemerintahan mereka dan bahwa era baru perdamaian penuh sinar mentari akan dimulai. Demikianlah pandangan mereka tampaknya berkembang. Dan jika mengkritik Islamisme, anda dinilai tidak toleran, "rasis" keras hati atau "orang fanatik" sehingga kata-kata anda jelas-jelas "ungkapan kebencian".
Tampaknya menyakitkan bagi banyak intelektual Barat untuk memahami dan menerima bahwa ada ideologi agama mengijinkan adanya praktek penghambaan para gadis, memukul para istri yang "tidak patuh" atau memenggal kepala orang kafir. Mereka lantas muncul dengan berbagai penjelasan yang sudah diduga atas tindakan-tindakan ini, termasuk yang terkait dengan soal kemiskinan, "imperialisme Amerika" atau pun soal sakit mental.
Bagaimanapun, kemiskinan atau imperialisme tidak menyebabkan orang membakar orang lain hidup-hidup, menyandera para gadis sekolah kemudian menjual mereka di pasar budak, sambil mengatakan bahwa Allah memerintahan adanya praktek tersebut. Kemiskinan, kemarahan atau alienasi tidak menyebabkan orang memenggal atau menyalibkan kaum non-Muslim, mengutip ayat-ayat kitab suci mereka yang relevan sebagai pembenaran kemudian membangga-banggakan peristiwa sadis itu serta memfilmkan apa yang mereka lakukan.
Para pemimpin dan intelektual ini tampaknya keliru mengasosiasikan Islam politik dengan "menjadi tertindas." Bagaimanapun, Islam politik bukanlah ideologi kaum tertindas. Ia malah ideologi yang menindas. Ia menimbulkan penderitaan mendalam yang juga ditentang oleh para intelektual itu.
Presiden Muslim Mesir, Abdel Fattah al-Sisi tampaknya sudah mulai sadar menyadari bahwa pandangan dunia yang memaafkan berdasarkan teologi Islam atas banyak kejahatan yang dilakukan di dunia Muslim hanya menyebabkan jauh lebih banyak lagi aksi penyanderaan, pemenggalan kepala dan kematian.
Sementara itu, kaum liberal "pencinta damai" di Barat memperlihatkan dukungan dan simpati kepada Hamas. Termasuk menghapuskannya dari daftar teroris Eropa. Namun, pada saat yang sama, para pemimpin Hamas sibuk mengungkapkan dukungan dan simpati mereka terhadap Osama Bin Laden dan Kelompok Taliban:
Pada 2005, Dr. Mahmoud Zahar, sesama pendiri Hamas dan anggota kepemimpinan Hamas mengatakan, "Kelompok Taliban itu 1000 kali lebih terhormat dibanding dengan pendudukan Amerika dan para kaki tangannya… Kami bukan tiruan Taliban… Adili kami apa adanya. Siapapun harus berhenti mengecam Taliban untuk hal-hal yang nyata-nyata memberi ciri pada masyarakat Barat yang berjuang untuk mengubah komunitas internasional menjadi rawah korupsi dan kehancuran serta berniat menyebarluaskan kebencian dan penyakit atas nama kebebasan yang mutlak…"
Pada 2011, Ismail Haniyeh, pimpinan pemerintahan Hamas di Jalur Gaza pernah berujar: "Kami anggap ini (pembunuhan Osama Bin Laden) sebagai berlanjutnya kebijakan Amerika yang berbasiskan penindasan dan penumpasan darah kaum Muslim dan Arab…Kami mengecam pembantaian (assassination) dan pembunuhan atas seorang pejuang perang suci Arab. Kami meminta Allah mengampuninya bersama kaum yang beriman sejati dan para syuhadah."
Mengapa sekarang Hamas "menjadi kelompok teroris yang "lebih diterima" dibanding ISIS? Karena ia mentargetkan kaum Yahudi? Bagaimana bisa para pihak di Barat yang bersimpati kepada Hamas begitu yakin bahwa kelompok pejihad Islam yang sama-sama ekstrim itu tidak bakal menjadikan mereka, kaum kafir menjadi target di masa depan, padahal Hamas katakan akan mereka lakukan?
Jika berbagai kelompok pejihad Islam ini tidak mampu menjalankan misi mereka sekarang juga, maka itu terjadi bukan karena tidak mereka inginkan. Tetapi karena mereka benar-benar tidak punya cukup kekuatan untuk itu–sedikitnya sekarang ini.
Uzay Bulut, seorang wartawan yang lahir dan tumbuh besar sebagai Muslim dan berdiam di Ankara, Turki.