Menteri Luar Negeri Mevlut Çavuşoğlu, meminta pemerintahan negara-negara Uni Eropa untuk mempertimbangkan Islamofobia sebagai suatu kejahatan. Seruan itu disampaikannya dalam acara yang diselenggarakan pada 11 April 2018 silam yang berusaha mengungkapkan "Laporan Islamofobia Eropa tahun 2017.
"Tidak ada ideologi atau terminologi bernama 'Islamisme.' Hanya ada satu Islam dan itu berarti 'damai'" ujarnya memaklumkan. Secara salah dikatakannya pula bahwa salaam berarti damai; Islam berarti tunduk patuh. Dia juga mengklaim bahwa para politisi populis "semakin banyak terlibat dalam retorika ekstremis, anti-imigran, anti-orang asing serta fobia terhadap Islam supaya bisa meraih beberapa suara lebih banyak lagi," dan bahwa "para politisi garis tengah (centrist) ...memanfaatkan retorika yang sama supaya bisa meraih kembali suara mereka yang sudah hilang."
Çavuşoğlu menuduh pengadilan Eropa menerapkan standar ganda dengan tidak memberikan banyak perhatian terhadap fobia kepada Islam seperti yang mereka lakukan terhadap ideologi anti-semitisme. Upaya itu dilakukannya agar bisa mendesak semua politisi supaya mengakui Islamofobia atau fobia terhadap Islam sebagai "kejahatan karena benci serta sebentuk rasisme."
Dengan menganalogikannya dengan Holocaust, dia pun melanjutkan: "Tidak perlu hidupkan kembali Auschwitz atau menunggu umat Muslim dibakar dalam ruangan-ruangan gas seperti orang-orang Yahudi."
Dengan mendesak para politisi untuk mengakui Islamofobia atau fobia terhadap Islam sebagai "kejahatan karena rasa benci sekaligus sebentuk rasisme" dalam konstitusi mereka, Çavuşoğlu menuduh pengadilan Eropa menerapkan standar ganda karena tidak memberikan banyak perhatian terhadap Islamofobia sebagaimana yang mereka lakukan terhadap anti-Semitisme. Dengan menggunakan Holocaust sebagai analogi, dia pun melanjutkan: "Tidak ada gunanya menghidupkan kembali Auschwitz atau menunggu sampai umat Muslim henak dibakar di rumah-rumah gas seperti orang-orang Yahudi."
Pandangan Çavuşoğlu bukanlah sesuatu yang baru, tetapi pemutarbalikan kasar dan sangat nyata terhadap sejarah masa lalu dan masa kini. Tampaknya pemutarbalikan ini terbentuk dari prinsip bahwa Islam lebih unggul daripada agama lain, termasuk juga dari surah 9:33 Al-Qur'an yang mengatakan:
"Adalah Dia yang mengirimkan UtusanNya dengan bimbingan serta agama yang benar yang hendak diperlihatkannya kepada semua agama...(Terjemahan dari Sahih).
Pandangan Çavuşoğlu's juga menggemakan pandangan Pemerintahan Turki pimpinan Presiden Recep Tayyip Erdoğan.
Kaum non-Muslim, seperti tengah kita saksikan, dianiaya di seluruh penjuru dunia Islam. Sementara, kaum Muslim di Eropa justru pada pihak lain menikmati hak dan kebebasan beragama yang sama. Sayangnya, banyak imam radikal memanfaatkan kebebasan yang diberikan kepada mereka oleh negara-negara demokrasi Eropa untuk mengkotbahkan kebencian terhadap kaum Yahudi serta jihad yang kejam, untuk merekrut para pejuang dan untuk membangun pengadilan-pengadilan berbasiskan hukum Sharia (Hukum Islam) di lingkungan-lingkungan mereka.
Terinspirasi oleh ajaran serta suasana yang dibangun oleh para imam itu, sejumlah kaum Muslim terlibat dalam berbagai kejahatan mengerikan terhadap kaum non-Muslim yang dimotivasi oleh agama. Seorang penyintas Holocaust berusia 85 tahun, misalnya, baru-baru ini diperkosa, disiksa kemudian dibunuh di apartemennya di Paris oleh seorang Muslim ekstremis.
Dalam pembicaraannya menentang Islamofobia, Çavuşoğlu tidak menyebutkan kejahatan- kejahatan yang kaum Islam radikal lakukan di Eropa. Padahal, penyelewengan-penyelewengan berakar dalam perdebatan seputar cara bagaimana menangani seruan untuk melakukan kejahatan dalam Islam tanpa membahayakan kebebasan sipil umat Muslim yang taat hukum. Dengan mengusulkan upaya menghalangi semua kritik terhadap Islam dengan alasan karena itu "ekstrim, anti-imigran, anti-orang asing dan bernada Islamofobia," Çavuşoğlu justru mengungkapkan bahwa dia bakal menyambut gembira larangan terhadap kebebasan berbicara guna melindungi ideologi agama.
Perlu diingat bahwa selama berabad-abad Turki memperlakukan kaum non-Muslim secara tidak bersahabat. Dengan demikian, keluhan soal perilaku Eropa terhadap kaum Muslim menjadi puncak sikap hipokrit sang menteri luar negeri, yang benar-benar bertentangan dengan Islamofobia. Guna menyegarkan kembali pemikiran Çavuşoğlu, kita sajikan ringkasan jejak rekam Turki secara berturut-turut.
Kaum non-Muslim Turki telah berhadapan dengan berbagai penganiayaan kejam serta upaya pemusnahan. Misalnya, lewat genosida atau pembunuhan massal atas umat Kristen pada tahun 1914-1923; lewat pemaksaan wajib militer atas "kelompok dua puluh (twenty classes) yang mencakup orang-orang tua serta yang sakit mental. Juga lewat Pajak Kekayaan (Wealth Tax). Pajak itu dimaksudkan untuk memiskinkan kaum non-Muslim dan pada saat yang bersamaan memindahkan kekayaan mereka kepada kaum Muslim.
Kini, hanya ada 0,2 persen umat Kristen atau masyarakat Yahudi dari seluruh populasi Turki yang nyaris mencapai 80 juta jiwa. Berikut ini kisah ringkas ringkas padat dari bagaimana usaha Pemerintah untuk membersihkan warga negara non-Muslim dari negeri itu:
Masyarakat Yunani: Terdapat kurang dari 2.000 orang Yunani tersisa di Istambul. Padahal, sampai sebelum Kekaisaran Utsmaniah menyerangnya pada abad ke-15, kota itu adalah kota Yunani yang bernama Konstantinopel. Terlepas dari jumlah masyarakatnya yang sedikit, komunitas tersebut masih mengalami pelanggaran hak asasi. Di antara berbagai pelanggaran itu adalah penutupan paksa atas Oeminari Orthodoks Halki pada tahun 1971, satu-satunya sekolah tempat pendidikan para pemimpin Kristen Ortodoks. Semenjak masa itu, Patriark Ekumenis Konstantinopel, pusat spiritual Kristen Orthodoks yang berbasis di Turki tidak mampu lagi mendidik para rohaniwan serta para penerus potensial mereka untuk jabatan patriark.
Penting dicatat bahwa berbagai kota di Asia Kecil atau Anatolia, tidak lagi didiami oleh masyarakat Yunani. Padahal, kota-kota itu mereka dirikan selama abad 9 dan 8 sebelum masehi. Mereka dibunuh, dideportasi atau dipaksa melarikan diri dari penyiksaan yang kejam, termasuk pembantaian massal anti-Yunani yang dilancarkan September 1955 di Istambul serta pengusiran masyarakat Yunani dari seluruh Turki pada tahun 1964.
Warga Armenia: Genosida atau pembantaian massal atas warga Armenia di Turki meledak pecah pada tahun 1915. Meski demikian, pada masa-masa pasca-genosida, penganiayaan atas mereka tidak kunjung berakhir. Selama pembantaian massal, ada 1,5 juta warga Armenia binasa. Sejak itulah, warga Armenia yang tersisa menyaksikan harta milik dan asset mereka lainnya terus dijarah. Selain itu, berbagai serangan kata dan fisik terhadap mereka masih saja berlangsung. Bahkan terhadap sekolah-sekolah serta satu-satunya suratkabar Armenia di negeri itu. Aksi itu dilakukan bukan saja oleh masyarakat umum Turki tetapi juga oleh media.
Masyarakat Yahudi: Sejak 1923, tatkala Republik Turki didirikan, masyarakat Yahudi mulai dihadapkan pada diskriminasi serta tekanan politik yang sistematis. Adanya undang-undang yang melarang masyarakat Yahudi serta warga negara non-Muslim lainnya menduduki jabatan-jabatan tertentu pada era 1920-an berhasil menghalangi kebebasan masyarakat Yahudi untuk bergerak. Selain itu, pembantaian massal anti-Yahudi di kawasan timur Thrace serta terus berlanjutnya ujaran kebencian terhadap Yahudi dalam media Turki serta lingkaran politik tertentu termasuk di antara berbagai bentuk penganiayaan serta diskriminasi yang melawan masyarakat Yahudi Turki.
Masyarakat Assiria: Menurut Kelompok Internasional Hak-Hak Asasi Minoritas (Minority Rights Group International), masyarakat Assiria di Turki;
"menderita akibat pengusiran dan pemindahan massal secara paksa. Rumah dan desa-desa mereka dibakar dan dijarah (termasuk rumah-rumah para pastor). Mereka dipaksa memeluk Islam lewat pemerkosaan dan pernikahan paksa serta pembunuhan. Berbagai tekanan ini dan bentuk-bentuk penganiayaan dan diskriminasi akal busuk lainnya telah berhasil membinasakan sebagian besar komunitas."
Sekarang ini, hanya ada sekitar 20.000 warga Assiria yang tertinggal di negeri itu. Mereka pun masih berjuang untuk omendirikan sebuah sekolah dasar di Istambul, karena pemerintah menolak memberi dukungan finansial kepada mereka. Sementara itu, pemerintah dan sejumlah Muslim Kurdi setempat di kawasan tenggara Turki terus menerus menjarah tanah dan properti mereka secara illegal.
Kaum Protestan: Pemerintah Turki tidak mengakui komunitas Protestan sebagai "suatu entitas sah." Karena itu menurut sebuah laporan pelanggaran hak asasi manusia yang dikeluarkan tahun 2017 dari Asosiasi Gereja-Gereja Protestan Turki, umat Protestan sama sekali belum mempunyai hak untuk bebas mendirikan dan mengurus tempat-tempat ibadat. Meskipun tidak terbatas pada kejahatan karena benci dan ujaran kebencian, persoalan lain yang dihadapi oleh umat Protestan mencakup berbagai serangan verbal dan fisik serta diskrimasi di tempat kerja.
Masyarakat Yazidi: Pemerintah Turki tidak mengakui Yazidisme sebagai agama. Karena itu, kotak "agama" dalam lembaran kartu identitas mereka dibiarkan kosong atau ditandai dengan tanda "X." Akibat penyiksaan dan tekanan yang terus-menerus dari pemerintah dan masyarakat, banyak orang Yazidi Turki lari ke Eropa. Tanah yang mereka miliki secara pribadi dilaporkan dijarah. Barang-barang milik mereka terancam. Beberapa desa mereka yang ditinggalkan tidak terhuni. Sebagian besar bekas-bekas desa Yazidi di Turki benar-benar di-Islamisasi. Populasi Yazidi di negeri itu kini diperkirakan sekitar 350 orang --- tidak termasuk para pencari suaka dari Iran dan Suriah baru-baru ini. Baru-baru ini, dilaporkan:
"Orang Yazidi, yang baru-baru ini menjadi sasaran pembunuhan massal, perkosaan dan perbudakan seks ISIS, kini menghadapi paksaan untuk masuk Islam di bawah ancaman mati dari pasukan-pasukan yang didukung oleh Turki yang merebut Afrin, sebuah enklaf Kurdi, 18 Maret silam."
Masyarakat Alevi: Pemerintah Turki tidak mengakui Alevisme, sebuah agama minoritas lainnya. Kaum Alevis mengalami berbagai pembantaian massal dan pembunuhan berencana yang terus menerus, termasuk Pembantaian Massal Dersim (Tunceli) tahun 1937-1938, Pembunuhan massal Corum, Pembantaian Massal Sivas tahun 1993 dan Pembantaian Gazi tahun 1995. Sekarang ini, masyarakat Alevi yang berada di Turki kerapkali masih berhadapan dengan berbagai ancaman serta penangkapan yang sewenang-wenang.
Wajah banyak korban yang dibunuh dalam Pembantaian Massal Sivas yang dilakukan terhadap masyarakat Alevis pada tahun 1993 diperlihatkan dalam poster ini. Poster itu dibuat dalam suatu perayaan untuk mengenangkan para korban malang itu pada tahun 2012 di Jerman. (Sumber foto: Bernd Shwabe, Wikimedia Commons) |
Sejak abad ke-11, suku-suku Turki yang aslinya berasal dari Asia Tengah dan belakangan beralih memeluk Islam mulai menduduki berbagai kota di Asia Kecil serta dataran tinggi Armenia. Sejak masa itu, mereka tampaknya mulai menjalankan sebuah tradisi. Yaitu, seperti dikatakan di atas, tradisi untuk tidak ramah kepada kaum non-Muslim. Dengan demikian, Barat perlu diperingatkan bahwa tradisi ini masih hidup dan berkembang subur dalam Turki modern.
Kritik Çavuşoğlu atas Eropa, bisa saja merupakan upaya untuk menutupi masa lalu negerinya yang kotor keji sekaligus masa kininya yang jahat mengerikan. Dengan demikian, ia harus menjadi peringatan atas bahaya yang dihadapkannya kepada negara-negara demokrasi liberal di seluruh dunia.
Uzay Bulut adalah wartawan dari Turki serta mitra kelompok berita dan kebijakan publik Haym Salomon Center. Kini, dia berdiam di Washington, DC.