Minggu, 17 Maret 2019. Beberapa orang membakar Gereja St. Sulpice di Paris, segera setelah misa Minggu siang usai. Insiden-insiden seperti ini sudah luas terjadi di Prancis. Rata-rata dua gereja dinajiskan setiap hari. Gambar: Gereja St. Sulpice. (Foto oleh Pascal Le Segretain/Getty Images). |
Tatkala persoalan sampai pada aksi kekerasan antarkaum Muslim dan non-Muslim, berita-berita Bulan Maret didominasi oleh pembantaian di Christchurch di Selandia Baru. Di sana, pada Jumad, 15 Maret 2019, seorang lelaki Australia membunuh 51 umat Muslim di dua masjid.
Sebuah laporan statistik yang melakukan sejumlah perhitungan, bagaimanapun menemukan bahwa "umat Kristen yang hidup di negara mayoritas Muslim 143 kali lebih memungkinkan dibunuh oleh Muslim karena dia Kristen, dibanding dengan kemungkinan umat Muslim dibunuh oleh non-Muslim di sebuah negara Barat karena Muslim." Laporan itu "mengutip bahwa" sedikitnya 4,305 umat Kristen... dibunuh oleh umat Muslim karena iman mereka pada 2018." Dan bahwa "300 juta umat Kristen di negara-negara mayoritas Muslim, mengalami kekerasan" --- merujuk kepada penganiayaan umat Kristen oleh Muslim sebagai "contoh paling kenamaan atas pelanggaran hak asasi manusia dunia masa kini. Laporan juga menemukan perbedaan yang sama lainnya. Di Prancis, misalnya, "Orang Prancis persisnya 10 kali lebih memungkinkan dibunuh oleh Muslim dibandingkan dengan seorang Muslim dibunuh oleh seorang teroris non-Muslim di manapun di dunia Barat."
Pembantaian Umat Kristen
Nigeria: Seperti bulan-bulan sebelumnya, puluhan umat Kristen dibantai dan gereja-gereja dirusak oleh tangan-tangan kaum Muslim di negara Afrika Barat itu. Berikut ini, sebagian daftar kekerasannya.
Pada 4 Maret, Kaum Muslim membantai 23 warga desa Kristen. "Mengerikan" urai seorang warga local ketika mengisahkan insiden itu. "Beberapa orang dibunuh dengan tembakan senapan. Beberapa dengan hentakan parang...Orang-orang yang terlantar tersebar di mana-mana..."
Tiga hari kemudian, para teroris Muslim melancarkan razia lain di kawasan yang sama. Selama aksi itu tiga orang tewas terbunuh. Ketika mengomentari serangan itu, pastor setempat mengatakan, "Sekarang pun, mereka serang. Salah satu jemaat saya datang melapor bahwa ayahnya terbunuh. Dan jemaat lain mengaku menantu laki-lakinya juga terbunuh."
Pada 11 Maret, anggota suku Muslim membantai lebih dari 70 umat Kristen serta melukai 28 orang lainnya di kawasan lain di Negara Bagian Kaduna, Nigeria. Menurut saksimata, para teroris "membakar rumah-rumah, menembaki dan menebas apa saja yang bergerak." Sekitar 100 rumah dirusak selama serangan berlangsung. Laporan lain mencatat bahwa "para korbannya termasuk wanita dan anak-anak. Menurut para penyintas, para penyerang mereka terbagi dalam tiga kelompok. Satu kelompok menembak, yang lain membakar rumah-rumah ketika orang-orang melarikan diri dan kelompok ketiga menunggu bersembunyi di semak-semak untuk mencegat warga desa yang melarikan diri."
Pada 16 Maret, para penggembala Muslim membunuh 10 umat Kristen lainnya di bagian selatan Negara Bagian Kaduna. Insiden itu "menyebabkan orang-orang yang kehilangan nyawa selama lima pekan terakhir mencapai 140 orang dengan 160 rumah dirusak," demikian menurut sebuah berita. "Kami semuanya tidur di rumah ketika kira-kira pukul 4 pagi, kami dengar suara tembakan di mana-mana di desa saya," urai seorang umat Kristen setempat. "Semua orang berlarian keluar rumah menyelamatkan diri dari para penggembala Fulani. Tiga jam setelah penggembala itu pergi, kami yang berhasil lolos dari serangan kembali ke desa. Kami menemukan 30 rumah warga desa kami dirusak dan 10 warga desa kami dibunuh."
Pada 14 Maret, para jihadi Boko Haram menyerang desa mayoritas Kristen lainnya. Meski sebagian besar orang berhasil melarikan diri bersembunyi di semak-semak, para jihadi berhasil membunuh satu orang, menyandera dua gadis serta membakar sebuah gereja dan enam rumah. Seorang pemimpin gereja mengaku pastor setempat memanggil dia segera setelah penjarahan itu. "Saya bisa mendengar suara putus asa dalam nada suaranya, ketika baru keluar dari semak-semak. Suaranya benar-benar tidak bersemangat ketika mengatakan hanya Tuhan...Kami sudah tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukan! Tidak ada keamanan ada di sini." Pemimpin gereja itu lebih jauh "menyesali bahwa serangan-serangan ini jarang dilaporkan oleh media-media lokal lagi. Akibatnya, orang-orang mereka terus saja menderita dalam diam. Sangat sedikit bantuan mereka terima dari pihak lain."
Pada 23 Maret, tepat setelah "pemukulan, pemerkosaan serta pembunuhan seorang gadis Kristen berusia 19 tahun," sekelompok Muslim menyerang dua desa mayoritas Kristen. Mereka membakar tuntas 28 rumah umat Kristen berikut dua gereja. Joy Danlami bersama seorang saudarinya beserta saudaranya, yang berusia 16 dan 14 tahun, disergap ketika berjalan pulang ke rumah dari sebuah pesta komunitas Kristen. Kedua saudara itu berhasil lolos meski menderita luka sabetan pedang dan tembakan senapan. Menurut ayah mereka, "para penggembala bersenjata mengejar mereka dengan senjata yang berbahaya. Hidung dan wajah Joy dihajar dengan kayu. Dia kemudian secara seksual diserang oleh para penggembala itu sebelum dibunuh. Dia ditembak."
Setelah menemukan jenazah seorang pastor Katolik yang disandera dan dibantai, dan yang disandera dua pekan sebelumnya, dua pemimpin gereja juga disandera, 25 Maret lalu. Salah seorang dari mereka, Pastor Emmanuel Haruna dari Gereja Evangelis Winning All ditodong dengan senjata di luar gerejanya. Sebelumnya, pada 2016 lalu, dia berbicara keras menentang razia suku-suku Muslim atas komunitas Kristen: "Para penggembala Fulani membawa ternak mereka ke ladang-ladang anggota jemaat kami, merusak tanaman mereka. Pihak keamanan tidak mampu mengambil langkah untuk menghentikan mereka." Berita itu menambahkan bahwa, "Pusat Perdamaian dan Perlucutan Senjata PBB memperkirakan bahwa dari 500 juta senjata ilegal yang membanjiri Afrika Barat pasca-krisis Libya pada 2011, sebanyak 350 juta senjata (70%) berakhir di Nigeria. Dan ini memberikan kekuatan tambahan kepada para penggembala mayoritas Muslim dalam kampanye mereka melawan para petani Kristen."
Minggu, 10 Maret, "pelaku bom bunuh diri Boko Haram berusaha memasuki gereja Katolik ketika misa tengah berlangsung," urai sebuah laporan:
"Kedua pelaku bom bunuh diri itu wanita. Keduanya berusaha masuk gereja melalui klinik, sebelum dihentikan orang. Kemudian meledakkan bom, cukup dekat di luar gereja. Meski dua bom meledak, hanya satu orang selain pelaku yang dilaporkan terluka...Sangat mungkin bahwa kedua pelaku bom bunuh diri adalah tawanan Boko Haram yang dipaksa melakukan serangan. Boko Haram terkenal karena menyandera wanita dan anak-anak kemudian memaksa mereka melakukan aksi sebagai pelaku bom bunuh diri demi serangan-serangan mereka. Pada 2017 lalu, antara Januari dan Agustus, UNICEF melaporkan sedikitnya 83 anak dimanfaatkan oleh kelompok sebagai pelaku bom bunuh diri."
Republik Demokratik Kongo: "Kaum militan Islam," tulis sebuah berita, "menyerang desa mayoritas Kristen di Provinsi Kivu Utara." Enam jemaat Kristen, termasuk tiga wanita dan seorang anak berusia 9 tahun, dibantai. Warga desa lainnya, "diperkirakan 470 keluarga mengungsi dari rumah mereka setelah insiden itu." Para teroris adalah bagian dari Pasukan Persekutuan Demokrat (Allied Democatic Forces), "sebuah kelompok yang dirancang hendak menggulingkan pemerintah Uganda pada era 90-an dan menggantinya dengan rezim Islam. Kelompok itu terkenal karena bergaul dengan kelompok-kelompok teroris lain seperti al-Shabaab dan al-Qaeda. Mereka bertanggung jawab atas ribuan kematian ... "
Serangan atas Gereja
Ethiopia: dalam suatu amukan yang berlangsung selama lima jam, sekelompok besar massa Muslim sambil meneriakkan "Allahu Akbar" menyerang sepuluh gereja, "merusak satu gereja serta membakar perlengkapan yang ada dalam semua bangunan gereja," tulis sebuah berita. Serangan ini agaknya terpicu oleh rumor yang salah. Bahwa sebuah masjid setempat diserang. Dan itu terjadi di sebuah kota mayoritas Muslim dengan nyaris semua umat Kristennya sudah pindah dari desa-desa sekitar karena alasan pekerjaan, sehingga menjadi penyebab utama ketegangan. Beberapa umat Kristen terluka sehingga membutuhkan perawatan rumah sakit. Salah satu dari gereja yang dinajiskan sejak itu masih dirusak lagi. Jemaat Kristennya diancam dan dilecehkan. Walau hanya satu gereja dirusak selama aksi amukan, "Sembilan bangunan gereja lainnya tidak dibakar hanya karena berisiko terhadap bangunan milik umat Muslim di sekitarnya," tulis berita itu lagi. Sebaliknya, "Isi semua gereja dikeluarkan dari dalam gereja kemudian dibakar di jalanan...Sejumlah besar barang dirusak, termasuk Alkitab, buku nyanyian, alat musik, bangku serta kursi-kursi."
Berita itu secara tidak tepat mengatakan serangan itu "belum pernah terjadi sebelumnya." Padahal, tahun lalu, misalnya, 19 gereja pernah dibakar. Ada 15 pastor Kristen dibunuh dan empat orang dikuburkan hidup-hidup ketika kaum Muslim melakukan aksi rusuh di kawasan timur, tempat sebagian besar dari 33% populasi Muslim Ethiopia berpusat. Demikian pula, pada 2011. Kala itu, setelah menuduh seorang jemaat Kristen menajiskan Al-Qur'an, "kaum ekstremis Muslim membakar sampai kasarnya 50 gereja serta puluhan rumah umat Kristen."
Sudan: Sebuah berita dari Humanitarian Aid Relief Trust (HART), sebuah LSM yang berbasis di Inggris menemukan bahwa 72 gereja dibakar atau dihancurkan di kawasan Pegunungan Nuba, pada 2018 lalu. Ketika menjelaskan perkembangan ini, sebuah berita terpisah melaporkan bahwa,
"Pegunungan Nuba menjadi tempat tinggal Gerakan Pembebasan Bangsa Sudan di Utara (Sudan People's Liberation Movement North) sebuah kelompok yang berjuang melawan penindasan Pemerintahan Nasional Sudan. Seiring dengan ini, Pemerintah Sudan melakukan pembantaian massal (genosida) atas masyarakat yang berdiam di Pegunungan Nuba selama bertahun-tahun.
"Tanpa pandang bulu mereka membom kawasan itu, berusaha membersihkannya dari pasukan pemberontak. Bagaimanapun, mereka kerapkali hanya membunuh serta memenggal penduduk sipil setempat yang tidak punya hubungan sama sekali dengan perjuangan itu. Mereka juga merusak rumah serta gereja selama melakukan penyerangan. Masyarakat yang berdiam di Pegunungan Nuba pertama-tama adalah penganut agama tradisional atau umat Kristen. Ini juga berdampak terhadap serangan, ketika Bashir, presiden negeri itu, meyakini bahwa negara itu hanya untuk umat Muslim semenjak Sudan Selatan memperoleh kemerdekaannya."
Sudan memang dianggap sebagai negara keenam yang paling mengerikan di dunia tempat orang menjadi Kriten.
Jerman: Empat gereja berbeda dirusak dan dibakar selama Bulan Maret. "Di negeri ini," sebuah berita menjelaskan, "ada perang yang diam-diam sedang merambat menentang apa saja yang menyimbolkan ke-Kristen-an...Salib dirusak, altar dihancurkan, Alkitab dibakar, bejana permandian dijungkirbalikkan dan pintu gereja dituliskan dengan ungkapan-ungkapan Islamiah seperti 'Allahu Akbar.'" Di kawasan Alpen dan Bavaria saja, 200 gereja diserang dan banyak salib dirusak. "Polisi akhir-akhir ini berkali-kali menangani aksi penajisan gereja. Para pelakunya kerapkali adalah para perusuh muda berlatarbelakang migrasi."
Prancis: Minggu, 17 Maret, perusuh membakar Gereja St. Sulpice, Paris segera setelah misa tengah hari usai. Insiden seperti itu telah menjadi lazim di Prancis. Rata-rata, dua gereja dinajiskan setiap hari. Sebelumnya, pada Bulan Februari, para perusak merusak barang-barang gereja kemudian dengan menggunakan kotoran manusia menggambar salib di Gereja Notre-Dame des Enfants di Nimes kemudan menajiskan dan menghancurkan salib dan patung-patung di Katedral Saint-Alain di Lavaur. Pada pada 2018 saja, 1,063 serangan atas gereja atau simbol Kristen (seperti salib, ikon dan patung) yang terdaftar di Prancis.
Aljazair: Selama Bulan Maret, rakyat Aljazair memprotes masa jabatan kelima Presiden Abdelaziz Bouteflika. Kelompok teroris Al-Qaeda pun mengeksploitasi aksi kerusuhan itu. Caranya dengan menerbitkan isi baru seruannya. Isinya menyerukan adanya pemerintahan Syariah di negara Afrika Utara. Juga menyebutkan mereka yang memprotes Bouteflika sebagai "anak-anak Islam," sambil memperlihatkan Bouteflika sebagai orang yang "setia kepada orang Yahudi dan Orang Kristen. " Menurut berita itu, "Kelompok-kelompok teroris punya sejarah panjang berupaya mengambil keuntungan dari kerusuhan politik dan memanfaatkannya untuk membesar-besarkan serta meningkatkan sentimen Islam garis keras. Orang Kristen sering digunakan dalam propaganda mereka sebagai bagian dari upaya mereka." Namun nyatanya, "Umat Kristen Aljazair menghadapi penganiayaan berat di tangan pemerintah."
Pada 3 Maret, sebenarnya, Parlemen Prancis "secara resmi membuka penyelidikan atas penganiayaan umat Kristen di Aljazair," menurut sebuah berita terpisah:
"Penyelidikan secara khusus menunjuk kepada penutupan gereja di Aljazair dan proses hukum terhadap para pemimpin Kristen, termasuk mereka yang mengimpor buku-buku Kristen. Aljazair menggunakan komisi keselamatan gedung supaya bisa menutup gereja-gereja tanpa batas waktu. Pihak berwenang juga membuat hambatan-hambatan besar untuk membuka gereja baru, sehingga mustahil dan membiarkan umat Kristen untuk beribadah dalam gedung-gedung yang dimaksudkan untuk keperluan lain. Aljazair menindak gereja-gereja sejak 2017, sehingga semakin memaksa umat Kristen keluar dari ruang publik. Pihak berwenang tidak hanya menutup gereja, tetapi juga menyasar para pemimpin Kristen. Konstitusi Aljazair memang memberikan kebebasan beragama tetapi mendeklarasikan Islam agama negara. Menghina atau menyinggung Islam dianggap tindak pidana. Selain dipenjara, umat Kristen yang dihukum bisa menghadapi denda yang besar jika dihukum karena penistaan agama. "
Kazakhstan: Polisi merazia dua gereja yang tidak terdaftar selama dua hari berturut-turut. Beberapa jemaat gereja pun didenda. Orang diharuskan membayar uang kasarnya sama dengan gaji dua bulan. Ketika mendiskusikan perkembangan ini, sebuah berita terpisah mengatakan;
"Sejak 2011, pemerintah memperkenalkan undang-undang agama yang baru. Sejak itu, umat Kristen mulai menghadapi semakin banyak larangan untuk mengadakan pertemuan serta 'aktivitas misioner.' Untuk mendaftarkan diri, gereja-gereja dipersyaratkan untuk memberi nama dan alamat dari sedikitnya 50 jemaatnya. Ijin dengan demikian tidak mungkin diberikan kepada jemaat yang lebih kecil. Resminya, Khazakhstan itu negara sekular. Sekitar 70% populasinya Muslim. Umat Kristen membentuk sekitar 26%. Banyak umat Kristen berasal dari latar belakang Rusia. Beberapa etnis Khazaks memang beralih meninggalkan Islam menjadi Kristen. Umat Kristen Protestan serta khususnya orang-orang yang berlatarbelakang Muslim dipandang dengan sangat penuh curiga."
Serangan atas Orang Murtad, Penista Agama dan Pengkotbah
Belanda: Ketika jelas bahwa "pengungsi Kristen di negeri itu diancam dan secara teratur diganggu, khususnya ketika mereka dulunya Muslim," sebuah berita 14 Maret lalu mengungkapkan kembali pengalaman tiga pengungsi Kristen seperti itu:
"Segera setelah beralih menjadi Kristen" pada 1999, setelah tiba di Belanda Faradoun Fouad dari Irak "menerima ancaman-ancaman pertama. Orang yang saya anggap sahabat, menjadi musuh ...Bahkan Muslim yang tidak terlampau konservatif pun mengatakan kepada istri saya bahwa mereka akan membunuh saya...Saya masih menerima ancaman-ancaman itu setiap hari."
Setelah beralih masuk Kristen, "ancaman pun dimulai," urai Esther Mulder, yang keluarga Muslimnya melarikan diri meninggalkan Somalia. "Sebagian besar ancaman berasal dari warga Somalia yang lain. Mereka menulis kepada saya dalam Bahasa Somalia sehingga tidak ada orang yang memahami apa yang mereka katakan. Suatu ketika kami postingkan [di Facebook] sebuah gambar sebuah konperensi Somalia. Di sana, semua orang berdiri di depan salib. Orang tidak suka itu. Dan kami pun menerima beberapa ancaman. Sungguh saya sesali soal itu." Ketika Mulder mengunjungi keluarganya, "ayah saya meninggalkan rumah. Hal terakhir yang pernah dikatakannya kepada saya adalah bahwa saya bukan lagi putrinya."
"Pada 2015 saya menjadi Kristen," urai Jassim dari Maroko. "Mama ajarkan saya untuk menghormati semua orang. Juga untuk bersikap ramah. Ajaran itu sangat bertentangan dengan apa yang Islam ajarkan kepada saya. Saya harus membenci dan mengutuk umat Yahudi dan Kristen. Nabi Muhamad menjadi role-model, tokoh panutan utama saya. Tetapi hidupnya menyedihkan. Dia membunuh orang Yahudi dan menikahi seorang gadis berusia enam tahun. Bagaimana bisa dia menjadi role-model, tokoh panutan saya?" Seiring dengan banyaknya ancaman yang diterimanya, "Saya pergi melapor kepada polisi dengan 8 halaman kertas penuh ancaman...Polisi menasehati saya untuk menghapus foto-foto saya dari website saya...Aneh kan? Saya tidak salah. Mengapa saya perlu menyembunyikannya. Saya hidup di negara yang bebas."
Afghanistan: Seorang mantan tentara anak-anak ISIS, Jahan, 24 beralih menjadi Kristen. Terlepas dari "berbagai ancaman mati yang diterimanya," dikatakannya, ia diajari untuk membunuh orang beragama Kristen karena mereka "kafir dan tidak baik." Namun, ia akhirnya mulai "membaca Alkitab untuk dirinya sendiri." Dan ini, menurut pengakuannya merupakan sebuah pengalaman yang dilukiskannya sebagai "membuka mata." Dia menemukan bahwa "apa yang diajarkan kepadanya tentang orang Kristen dan Kekristenan itu salah." Dia akhirnya beralih agama--- dan terpaksa melarikan diri dari keluarganya yang mengancam hendak membunuhnya ketika mereka dengar tentang agama barunya." Menurut berita itu, "Esktrim penganiayaan di Afghanistan atas bagi komunitas Kristen kecil negara itu. Kebanyakan umat Kristen Afghan beralih dari Islam sehingga menghadapi ancaman yang sangat nyata dan sangat mematikan karena pertobatan mereka. Dalam beberapa kasus, orang yang beralih menjadi Kristen diserang oleh keluarga mereka sendiri yang merasa malu bahwa salah satu dari mereka menjadi Kristen." Afghanistan dianggap sebagai negara kedua penganiaya umat Kristen yang paling mengerikan di dunia.
Kenya: Umat muslim memukul pendeta Kristen sebuah gereja bawah tanah dengan tongkat kayu, 6 Maret lalu. Selain terluka, dia menderita patah tulang paha. Menurut berita, "Pastor Abdul (nama keluarganya dirahasiakan karena alasan keamanan), adalah seorang ayah tiga anak. Usianya 30 tahun. Dia sudah selesai memimpin ibadat bersama pada jam 9 malam di pinggiran Kota Garissa dan sedang dalam perjalanan pulang menuju rumahnya ketika beberapa oknum Muslim etnis Somalia menyerangnya. "Ketika mendekatinya, salah seseorang Muslim itu berkata, "Kami sudah ikuti gerakan kau. Juga rencana jahat kau untuk mengubah orang Muslim menjadi Kristen." "Segera," lanjut Pastor Abdul, "beberapa penyerang mulai memukul saya dengan tongkat kayu. Saya tidak sadarkan diri. Ketika terbangun, saya lihat saya dikelilingi oleh tetangga. Saya diselamatkan oleh tetangga yang melihat saya berlumuran darah." Mereka lalu membawanya ke rumah sakit: "Selain sakit paha, sekarang seluruh badan saya terasa sakit, terutama pinggang, punggung, dan kaki kiri dekat pergelangan kaki. Saya hampir tidak bisa tahan sakitnya. Keluarga saya sangat ketakutan. Umat Kristen menempatkan kami ke tempat lain. Doa kami sekarang adalah supaya bisa mendapatkan tempat yang aman bagi keluarga saya. Hidup saya dan keluarga saya, "seorang istri dan tiga anak, berusia 8, 5, dan 3,"sedang dipertaruhkan."
Pakistan: Seorang laki-laki Kristen sakit mental ditangkap dengan tuduhan penodaan agama. Stephen Masih ditangkap setelah Muhamad Rafiq dan Muhamad Iran melaporkan kepada Muhamad Mudassar, seorang Hafiz (penghafal Al-Qur'an) bahwa ada umat Kristen "menghina Nabi Muhamad, S.A.W," urai sebuah berita. Stephen, 38 tahun, tidak menikah. Dia tinggal bersama ibu dan saudarinya. Pada masa kanak-kanaknya, dia pernah menderita demam tifus. Kemiskinan membuat keluarganya tidak banyak memberikan perhatian medis. Suatu ketika, keluarganya perhatikan ada perubahan perilakunya. Mereka lalu membawanya kepada seorang dokter "yang mengatakan bahwa dia cacat mental."
Pada 10 Maret lalu, Stephen bertengkar sengit dengan ibu dan saudarinya. Para wanita tetangga Muslimnya pun segera terlibat. Tidak lama kemudian, "beberapa pria Muslim....menarik Stephen keluar dari rumahnya dan mulai menghajarnya secara brutal. Pelahan laki-laki Muslim lain bergabung." Polisi akhirnya tiba di tempat kejadian lalu menangkap Masih berdasarkan kesaksian ulama setelah.
Pasca-kejadian, saudarinya Alia "pergi ke pos polisi. Dikatakannya bahwa saudaranya itu hanya berteriak-teriak dan berbicara kasar kepada para wanita setempat. Sama sekali tidak mengatakan hal-hal yang menghina Nabi Muhamad. S.A.W. Tapi polisi tidak percaya." Jika diadili, Stephen bisa menghadapi hukuman mati. Menurut Bagian 295-C KUHP Pakistan, "Siapa saja, dengan kata-katanya, entah mengucapkan atau menulis atau dengan gambaran yang jelas, atau dengan tuduhan, sindiran, atau sindiran apa pun, langsung atau tidak langsung, mencemarkan Nama Suci Nabi Muhammad (S.A.W.) akan dihukum dengan hukuman mati. Atau dipenjara seumur hidup. Dan dia juga harus bertanggung jawab untuk membayar denda."
Pelecehan Umum dan Perkosaan atas Umat Kristen
Pakistan: Seorang laki-laki Muslim menculik, menyiksa dan memaksa seorang ibu Kristen yang sudah menikah beranak tiga untuk masuk Islam serta menikahnya. Ketika suaminya yang sebenarnya Naveed Iqbal, melaporkan persoalan itu kepada polisi, maka satu-satunya tindakan yang mereka ambil adalah, "mengingatkan terduga Muhamad Khalid Satti bahwa dia [Naveed, suami Kristen] melaporkannya karena menculik istrinya Saima," tulis sebuah berita. Kemudian, [P]ada 5 Maret lalu, polisi memberitahu saya, urai Naveed, bahwa Saima sudah ditemukan...tetapi dia sudah menganut Islam dan menikahi Satti. Juga bahwa "seorang ulama Muslim lokal sudah mengesahkan" perkawinan mereka. Polisi setempat lebih jauh lagi menasehatinya "untuk melupakan istrinya dan berhenti memperjuangkan kasus ini" walaupun mereka sudah menikah dan membesarkan anak-anak selama 15 tahun. "Satti itu penjahat keras kepala. Ini bukan pertama kalinya dia menyasar umat Kristen," urai lelaki Katolik 40 tahun itu menjelaskan. "Sekitar 300-400 keluarga Kristen berdiam di kawasan itu. Nyaris semua orang diganggu atau disiksa Satti beserta anteknya selama bertahun-tahun. Hanya setelah Naveed mengancam hendak membakar diri di depan para perwira polisi senior, polisi lalu menangkap Muhamad. Namun, sebelum memberi kesaksian, "tertuduh dan Petugas Informasi sama-sama mengancam Saima untuk mengatakan bahwa dia sudah pindah agama dan menikahi Satti karena kemauan sendiri. Jika tidak, keluarganya akan menderita akibat yang mengerikan. Karena takut nyawa kami terancam, Saima akui apa yang dipaksakan kepadanya untuk dikatakan sehingga uang jaminan diberikan kepada Satti." Belakangan, Saima memberitahu suaminya bagaimana dia diculik, diperkosa, disiksa dan dipaksa tandatangani akte nikah."Dia juga memperlihatkan kepada saya bekas-bekas siksaan di tubuhnya, dan bagaimana dia dipaksa mengalah kepada tuntutan penyiksanya." Naveed pun memutuskan melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk memperoleh keadilan, termasuk mengunggah video yang banyak disaksikan orang tentang istrinya yang sambil menangis menjelaskan penderitaannya lalu mengajukan banding kepada Perdana Menteri Imran Khan untuk mendapatkan keadilan. "Video itu adalah upaya yang penuh putus asa supaya bisa mendapatkan perhatian pejabat senior pemerintah, karena polisi secara terbuka berpihak pada terdakwa." Upayanya berhasil. Muhammad pun ditangkap lagi. Meski sudah bersatu kembali dengan suami beserta tiga anak yang berusia 4, 8 dan 13, Naveed mengatakan istrinya menderita stres pasca-trauma: "Dia bukan orang yang sama sekarang. Tetapi saya yakin Tuhan akan memulihkan semangatnya seiring dengan berjalannya waktu."
Dalam sebuah insiden terpisah, tiga laki-laki Muslim menculik sorang gadis Kristen berusia 13 tahun dan memaksanya masuk Islam dan menikahi salah satu dari para penyanderanya. Ketika keluarga gadis yang kebingungan akhirnya menemukan keberadaan sang gadis, keluarga Muslim-nya yang baru ngotot mengatakan sang gadis secara sukarela menjadi Muslim. Mereka juga membuatkan akte nikah palsu yang mengatakan bahwa dia sudah berusia 18 tahun, usia yang memang sah untuk menikah.
Ketika mendiskusikan kekerasan yang teratur diderita umat Kristen dan minoritas lain di Pakistan, sebuah laporan independen yang terbit 28 Maret lalu mengatakan:
"Di seluruh Pakistan, wanita dan para gadis komunitas agama minoritas jadi sasaran kaum ekstremis untuk diculik kemudian dipaksa pindah agama. Menurut Gerakan untuk Solidaritas dan Perdamaian Pakistan, diperkirakan 1,000 gadis dan wanita, berusia antara 12 dan 25 tahun menjadi korban karena praktek kejam mereka setiap tahun. Komunitas Hindu dan Kristen Pakistan paling terkena...Dipaksa masuk Islam tetap salah satu satu kekerasan paling kejam yang diderita komunitas minoritas Pakistan. Para pelaku kekejaman ini kerap memanfaatkan perkosaan dan paksaan menikah sebagai sarana untuk menutupi kejahatan mereka. Persoalan lebih parah lagi karena mayoritas korban mengaku bahwa polisi Pakistan kerap tidak membantu dan biasanya memihak penculiknya karena kesamaan identitas agama mereka."
Mesir: Minggu, 17 Maret 2019. Sebuah pengadilan di Minya mengejutkan komunitas umat Kristen Koptik. Lembaga itu merasa diri tidak pantas mengadili kasus yang sedang ditanganinya. Para hakimnya mengundurkan diri dari dua kasus yang sedang terjadi terkait dengan upaya menjadikan umat Kristen sebagai korban sekaligus korban pembunuhan. Akibat langkah yang tidak diharapkan ini, kedua kasus---yang sudah disidangkan selama 3,5 tahun --- harus disidangkan ulang. Proses ini agaknya bakal menghabiskan beberapa tahun lagi.
Kasus pertama terkait dengan Soa'd Thabet. Seorang nenek Kristen Koptik berusia 70 tahun. Pada 20 Mei 2016 lalu, sekelompok massa terdiri dari kira-kra 300 laki-laki Muslim mendatangi rumahnya, menelanjanginya bulat-bulat, menghajarnya, meludahinya kemudian mengaraknya di jalan-jalan diikuti dengan sorak-sorakan, siulan serta teriakan kemenangan "Allahu Akbar." Mereka marah karena putra sang nenek diduga terlibat hubungan dengan seorang wanita Muslim.
Kasus kedua bisa dilacak sampai pada Juli 2013. Ketika Jenderal Abdel Fattah Sisi menggulingkan Presiden Muhamad Morsi dari Persaudaraan Muslim (MB) yang berkuasa, menyusul berbagai demonstrasi popular yang massif menentangnya. Kala itu, para simpatisan Persaudaraan Muslim di seluruh Mesir melakukan kerusuhan. Sebagian besar menyasar umat Kristen Koptik berikut rumah mereka, khususnya gereja-gereja. Hampir seratus gereja dibakar atau dirusak. Selama kerusuhan, para perusuh secara acak membunuh seorang laki-laki tua Koptik, Iskandar namanya. Dengan sorakan dan jeritan Allahu Akbar yang menggelegar, jenazahnya yang tidak berdaya diseret di jalan-jalan (video grafisnya bisa dilihat di sini). Belakangan, jenasahnya dibuang ke tempat sampah. Tiga hari lamanya anak-anaknya dilarang mencari untuk memakamkannya. Untunglah, ada satu orang tidak dikenal akhirnya memakamkan Iskandar dalam sebuah makam tak bertanda. Para pembunuhnya yang tidak berbelaskasih belakangan menemukan makamnya. Mereka lalu, menggali jenazah yang terkoyak-koyak itu, menopangnya dan membuatnya sebagai sasaran latihan.
Dalam kasus wanita Kristen dan pria Kristen yang dibantai itu, nama berikut wajah para penyerang dan pembunuhnya sangat dikenali. Tatkala berkomentar tentang pengakuan hakim yang merasa tidak pantas, Adel Guindy dari Solidaritas Koptik pun mengatakan kepada Gatestone, "Sistem pengadilan Mesir, termasuk pilar-pilar negara lainnya (kerapkali dirujuk sebagai 'negara yang dalam') sudah dikuasai penuh dengan ideologi Islam kaum fundamentalis. Karena itu, jelas bias terhadap umat Koptik. Kepemimpinan politik negeri itu pun tidak mengambil langkah perbaikan kongkrit. Dan parahnya lagi, membiarkan ideologi itu membentuk dan mendominasi masyaakat, lewat pendidikan dan media."
Kerajaan Inggris: Dalam dua kasus yang tidak terkait, Kerajaan Inggris menolak suaka umat Kristen yang teraniaya dengan secara ngawur mengutip Injil dan Islam. Kedua umat Kristen itu, seorang pria dan wanita, adalah mantan Muslim. Secara terpisah, keduanya mencari suaka dari Republik Islam Iran, negara terparah kesembilan penganiaya umat Kristen. Khususnya atas para mantan Muslim. Sama seperti dalam kedua kasus ini.
Dalam surat penolakan dari Kantor Dalam Negeri Inggris (UK's Home Office), laki-laki Iran itu diberitahu bahwa bagian-bagian Alkitab itu "tidak konsisten" dengan klaimnya yang membuatnya beralih menjadi Kristen, setelah dia menemukan bahwa itu agama "penuh damai." Surat itu mengutip beberapa kutipan Alkitab termasuk dari Keluaran, Imamat dan Injil Mateus sebagai bukti bahwa Alkitab itu kejam. Dikatakan bahwa Kitab Wahyu itu "penuh dengan gambaran balas dendam, kerusakan, kematian dan kekerasan." Surat penolakan itu menyimpulkan: "Contoh-contoh ini tidak konsisten dengan klaim anda bahwa anda beralih menjadi Kristen setelah menemukan bahwa itu agama 'penuh damai', yang berbeda dari Islam yang berisi kekerasan, kemarahan dan balas dendam."
Dalam kasus kedua, pencari suaka perempuan Iran secara sarkastik diberitahu dalam surat penolakannya. Katanya, "anda tegaskan dalam Catatan Wawancara Pengajuan Suaka (AIR) Anda bahwa Yesus itu penyelamatmu. Tetapi, kemudian anda katakan bahwa Dia tidak dapat menyelamatkan anda dari Rezim Iran. Oleh karena itu dianggap bahwa anda tidak yakin dengan iman anda dan keyakinan anda pada Yesus itu setengah hati. " Ketika membahas pengalamannya, wanita itu mengatakan: "Ketika berada di Iran saya masuk Kristen. Situasi pun berubah. Pemerintah [sic] mengejar-ngejar saya. Dan, saya harus melarikan diri dari Iran....Di negara saya jika orang pindah menjadi Kristen, maka hukuman mereka adalah mati atau hukuman mati." Mengenai proses permohonan suaka, dikatakannya bahwa setiap kali dia menanggapi pewawancaranya dari Kantor Kementerian Dalam Negeri Inggris, "dia (baca: si pewawancara) tertawa kecil. Atau mungkin hanya mengejek ketika dia berbicara dengan saya .... Dia bertanya kepada saya mengapa Yesus tidak membantu anda dari rezim Iran atau otoritas Iran. "
Dua kasus yang baru-baru ini diekspos tampaknya merupakan gejala sikap bias dari Kantor Departemen Dalam Negeri Inggris (Home Office) terhadap orang Kristen (lebih lengkap soal itu didokumentasikan di sini).
***
Raymond Ibrahim, pengarang buku baru, Sword and Scimitar, Fourteen Centuries of War between Islam and the West (Pedang dan Badik, Empatbelas Abad Perang Antara Islam dan Barat). Ia adalah Distinguished Senior Fellow di Gatestone Institute dan di the Middle East Forum.
Tentang Seri Ini
Memang tidak semua, atau bahkan tidak bisa dikatakan sebagian besar, kaum Muslim terlibat namun penganiayaan terhadap umat Kristen terus meningkat. Seri "Kaum Muslim Menganiaya Umat Kristen" dikembangkan untuk mengumpukan berbagai contoh aksi penganiayaan yang mengemuka setiap bulan walaupun tentu saja tidak semua.