Pembantaian terakhir di tanah Israel terjadi di Halamish, Samaria, 21 Juli 2017 lalu. Kala itu, seorang warga Palestina menikam seorang kakek Yahudi dan dua anaknya hingga tewas. Sang nenek terluka parah. Tidak terhitung sudah jumlah serangan sejenis terjadi di Israel akhir-akhir ini. Termasuk beberapa waktu yang belum lama ini lewat.
Sekali lagi, ribuan warga Arab Palestina merayakan dengan penuh kegembiraan aksi pembunuhan tersebut. Beberapa dari mereka membagi-bagikan manisan.
Sang pembunuh dipuja-puji oleh Otoritas Palestina (PA) dan Hamas. Jika tewas tertembak, dia segera menjadi syuhadah Islam. Sebuah jalan di Ramallah bakal diberi nama sesuai namanya. Fotonya segera dipasangkan di depan toko-toko di kawasan yang diduduki Otoritas Palestina dan Hamas. Keluarganya pun bakal diganjari dengan "gaji" seumur hidup.
Sang pembunuh menjelaskan dia bersedia melakukan kejahatan karena mau "membela Masjid Al-Aqsa"--- yang nyatanya tidak pernah diserang atau bahkan diancam oleh Israel. Dia pun tidak menyembunyikan kebenciannya kepada kaum Yahudi. Dalam postingan terakhirnya di Facebook dia menjelaskan kaum Yahudi sebagai kera dan babi.
Ibunya memperlihatkan kebanggaannya terhadap anak laki-lakinya dan tindakannya.
Para pembunuh mengikuti aksi rusuh kaum Muslim menyusul pemasangan alat pendeteksi logam oleh Israel di jalan-jalan masuk menuju Temple Mount sama seperti yang dipasangkan di pintu keluar masjid-masjid lain di seluruh penjuru dunia. Tindakan itu merupakan tanggapan terhadap pembunuhan dua polisi Israel oleh para teroris Muslim yang berhasil membawa masuk senjata ke tempat kejadian. Pemerintah Israel tidak menghalangi jalan masuk menuju Masjid Al-Aqsa. Hanya ingin mencegah serangan-serangan yang lebih jauh. Bahwa masjid bisa digunakan sebagai basis serangan para teroris tampaknya sudah dianggap wajar oleh para perusuh.
Semenjak itu, Pemerintah Israel memutuskan untuk membongkar pemindai logam, termasuk kamera pengawas yang ditambahkannya kemudian.
Warga Israel sendiri bereaksi negatif terhadap keputusan pemerintahannya, walau aksi kerusuhan sudah berkurang. Berbagai polling memperlihatkan bahwa 77% dari mereka benar-benar tidak setuju alat pemindai logam dibongkar. Mereka menilai Pemerintah Israel tidak boleh menyerah kepada ancaman dan intimidasi.
Direktur urusan publik Begin-Sadat Center for Strategic Studies (Pusat Kajian Strategis Begin-Sadat) di Universitas Bar-Ilan (Israel), David M. Weinberg, mengatakan bahwa "penting untuk menghapuskan sepenuhnya khayalan para pemimpin Palestina bahwa dia bisa menggertak Israel supaya mundur dari kawasan itu lewat tindakan Israel yang tegas."
Untuk sekarang ini, para pemimpin Palestina punya setiap alasan untuk yakin bahwa mereka berkhayal. Bahwa terorisme dan aksi kekerasan terbayarkan. Sulit untuk membuktikan bahwa mereka salah.
Tatkala dunia Arab dan Muslim melancarkan perang-perang konvensional untuk menghancurkan Negara Yahudi, Israel memenangkan setiap perang dan mendapatkan reputasi karena berani dan tidak terkalahkan meski jumlah tentaranya sedikit.
Pada 1964, dunia Arab dan Muslim menggunakan strategi baru. Menciptakan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Perang pun berubah menjadi perang teror. Berbagai serangan yang tidak bisa diramalkan dilancarkan melawan kaum Yahudi di Israel, Eropa, Amerika Utara dan Selatan.
PLO kemudian menampilkan diri sebagai "gerakan pembebasan nasional." Dengan demikian, sebuah bangsa ditemukan. "Bangsa Palestina." Mereka sebetulnya warga Arab biasa --- yang diandaikan hendak "dibebaskan" oleh PLO. Serangan-serangan menjadi lebih sering terjadi. Segera setelah propanda yang intens, Israel tidak lagi dilihat sebagai negara kecil yang hendak diremukkan oleh 21 negara-negara dunia Arab, tetapi sebuah negara kuat yang berjuang untuk membasmi sebuah bangsa kecil dengan melucuti semua hak-haknya. Dunia pun percaya pada pemutarbalikan sejarah ini lalu mulai menarik simpatinya dari Israel.
Selain terus menggunakan terorisme dan propaganda, PLO juga mulai melancarkan serangan diplomatik---dengan dukungan dunia Arab, Uni Soviet serta negara-negara Barat, khususnya Prancis. PLO pun mendapatkan status sebagai pengamat di PBB pada 1972. Sebuah delegasi diplomatik PLO dibuka di Paris pada 1975. PLO, dengan demikian, menjadi organisasi teroris pertama yang mendapatkan kursi di PBB sekaligus wakil diplomatik di negara Barat.
September 1970, PLO pernah berusaha menggulingkan Raja Yordania. Karena gagal, dia pun mengundurkan diri ke Libanon, dan membawa negeri itu terjebak dalam perang saudara. Kamp pengungsi yang dibangunnya di kawasan Libanon digunakannya untuk melancarkan serangan melawan Israel. Israel pun terseret untuk ikut campur tangan di sana Maret 1978. Pada Juni 1982, PLO pun nyaris dibasminya tetapi berkat bantuan Presiden Prancis François Mitterrand PLO berhasil mengundurkan diri menuju Tunisia. Pembantaian Sabra dan Shatila di Libanon oleh milisi Kristen, secara salah diperlihatkan seolah-olah kesalahan Israel. PLO dan warga Palestina digambarkan sebagai korban kekejaman Israel. Sebaliknya, pembantaian yang Palestina lakukan seperti serangan yang terjadi pada sebuah jalanan tepi pantai pada Maret 1978, benar-benar terlupakan.
PLO terus menghasut kebencian terhadap kaum Yahudi di antara warga Arab Palestina. Akibatnya adalah terjadinya "Intifada pertama" (1987-1991). Secara militer Israel menang, tetapi kalah dalam perang public relations, hubungan masyarakat. Para teroris Palestina juga memanfaatkan anak-anak sebagai tameng manusiawi sehingga angkatan bersenjata Israel digambarkan sebagai terdiri dari para pembunuh yang kejam.
Konsesi pun dituntut dari Israel. Israel akhirnya terpaksa tunduk kepada harapan atas perdamaian yang salah. Ia sepakat untuk ikut dalam Konperensi Madrid pada 1991 kemudian pada tahun 1993, masuk dalam Perjanjian Oslo. Dalam berbagai konperensi dan perjanjian itu, Israel mengakui PLO sekaligus menerima terbentuknya Otoritas Palestina, sebuah kwasi-negara yang diperintah oleh PLO, yang berjanji menolak terorisme.
Nyaris langsung setelah berbagai perundingan tersebut Otoritas Palestina melancarkan serangan-serangan teroris yang tak terhitung jumlahnya. Serangan hanya berkurang kala Israel mulai membangun pagar keamanan pada tahun 2002. Terorisme, propaganda khususnya kebohongan memungkinkan PLO mendapatkan kwasi negara teroris yang diterima Israel. Meski serangan-serangan tidak pernah berhenti, Israel dipaksa untuk mengupayakan proses perdamaian seolah-olah tidak ada terorisme di sana.
Hingga sekarang, tanpa belas kasihan Otoritas Palestina melancarkan kampanye-kampanye penyebarluasan aksi pembunuhan serta terorisme terhadap warga Israel. Yang paling akhir, dimulai September 2015 lalu. Kala itu, Presiden PA Mahmoud Abbas secara salah mengklaim bahwa "kaki-kaki hina dina" kaum Yahudi menajiskan Temple Mount. Ditambahkannya bahwa dia menyambut gembira "setiap tetesan darah yang tercurah di Yerusalem." Padahal, para turis dari semua agama mengunjungi kompleks Temple Mount---walau tidak mengunjungi masjid--- berdasarkan kesepakatan dengan pihak Otoritas Palestina (PA).
Setiap hari, PA memanfaatkan sekolah dan media yang dikuasainya untuk menghasut lahirnya rasa benci untuk melakukan pembantaian massal terhadap Yahudi (genocidal Jew-hate).
Otoritas Palestina adalah organisasi pelaku aksi genosida anti-Yahudi, yang selama ini sepenuhnya didanai jutaan dolar setiap tahun dari Barat. Meskipun demikian, tidak banyak membantunya menghadirkan diri untuk lebih "moderat" dibanding Hamas. Mengatakan PA lebih moderat, sama dengan mengatakan bahwa Al-Qaeda jauh lebih moderat dibandingkan dengan ISIS. Meski demikian, inipun bukanlah alasan yang memadai untuk mendanai Al-Qaeda.
Karena, tatkala para pemimpin PA berbicara di dunia Barat, nada suara mereka memang moderat. Tetapi bagaimanapun, tatkala berbicara kepada warga Arab Palestina, mereka berbicara seperti para pemimpin Hamas.
Satu-satunya perdamaian yang mereka dambakan adalah "pembebasan" seluruh Palestina, "mulai dari sungai hingga laut." Dengan kata kain, kehancuran seluruh Israel yang kemudian digantikan oleh mereka sendiri, seperti dengan jelas diperkuat oleh peta yang ada.
Para pembunuh warga Yahudi, yang pada gilirannya tewas terbunuh oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF), dianggap oleh Otoritas Palestina sebagai orang mati sahid, pejuang jihad yang mati demi Allah: "para syuhadah."
Sejak masa-masa Mufti Agung Yerusalem, Amin al-Husseini, sebelum Negara Israel didirikan pada tahun 1948, bangsa Palestina melancarkan aksi penipuan. Mereka menipu bahwa bangsa Yahudi berjuang untuk menghancurkan Masjid Al-Aqsa di Temple Mount sebagai dalih untuk menggerakan kebencian kaum Muslim terhadap Yahudi serta pemberontakan dan karena itu berulang kali melancarkan fitnah.
Pembongkaran metal detector, alat pemindai logam dari jalan-jalan masuk Temple Mount berarti bahwa serangan-serangan lebih banyak bakal terjadi. Ia dipersepsi sebagai kemenangan oleh para pemimpin PA serta Islam.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengaku memahami berbagai pihak yang mengkritik keputusan pemerintah. Ditambahkannya bahwa dia harus memperhitungkan bentuk-bentuk perintah keamanan yang lebih luas. Pernyataannya mungkin saja benar. Para pemimpin Otoritas Palestina bagaimanapun, mungkin saja benar-benar berharap bisa menghasut seluruh kawasan untuk kemudian melancarkan perang kawasan.
Bagaimanapun, banyak warga Israel melihat langkah tersebut sebagai terorisme yang memaksa pemerintah untuk mengundurkan diri lagi. Mereka tahu PA adalah musuh yang menginginkan mereka mati. Mereka dengar apa yang banyak pelaku kerusuhan di Yerusalem teriakan, "Kaum Yahudi, ingat Kaybar, pasukan Nabi Muhamad kembali"---sebuah seruan yang merujuk pada aksi pembantaian komunitas Yahudi di Arab oleh Nabi Islam Muhamad pada tahun 628. Mereka melihat bahwa konflik itu pada dasarnya bernuansa agama sekaligus politik. Menurut Islam, semua milik Allah---khususnya tempat-tempat yang pernah berada di bawah kekuasaan Islam, sebagaimana tanah Israel selama Kekaisaran Ottoman berkuasa, dan karena itu harus direbut kembali dan dipertahankan selama-lamanya bagi Allah.
Dari sudut pandang Islam, kaum Muslim tidak boleh pernah sungguh-sungguh menerima keberadaan Israel di atas tanah yang pernah ditaklukan oleh Islam. Karena itu, dalam benak mereka, wajib menjadi Islam selama-lamanya. Pemikiran bahwa bangsa Yahudi menguasai tanah yang pernah dikuasai oleh Islam, benar-benar ditolak.
Masyarakat Israel semakin sulit menerima bahwa kaum Yahudi tidak punya hak untuk berdoa di Temple Mount, meskipun mereka sudah bertahun-tahun silam menerima bahwa kaum Muslim boleh mengadakan sholat di Temple Mount. Karena itu, mereka melihat keputusan Israel untuk melepaskan Temple Mount dan manajemennya ke tangan Lembaga Wakaf Muslim, tatkala Yerusalem disatukan, Juni 1967 sebagai suatu kesalahan tragis yang mengakhiri upaya untuk membangun sebuah enklaf Islam di kawasan Israel. Masuk akal jika warga Israel merasa lelah karena diserang dan seperti Daniel Pipes tekankan beberapa bulan silam, sudah siap menerima kemenangan mutlak Israel dan sebaliknya kekalahan mutlak Palestina.
Daniel Pipes mengusulkan langkah-langkah untuk mengalihkan konflik dengan cara konstruktif tanpa menyebabkan persoalan besar yang mengganggu. Yang diperlukan adalah agar Otoritas Palestina membayar semua kerugian yang ditimbulkan oleh para teroris, termasuk harga yang sangat tinggi untuk korban jiwa yang melayang, memakamkan jenazah para teroris tanpa mengembalikan mereka kepada pihak keluarga; tegas membatasi akses menuju kawasan Tepi Barat yang dikuasai PA, melarang para pemimpin PA memasuki Bandara Israel setiap kali ada kekerasan anti-Israel, jika mereka membuat pernyataan-pernyataan penuh hasutan dan meminta mereka menggunakan Bandara Yordania mulai sekarang ini dan seterusnya.
Para pemimpin Israel juga bisa berbicara lebih jelas. Mengapa tidak memberitahu para pemimpin Eropa bahwa Otoritas Palestina masih merupakan organisasi teroris pelaku genosida? Mengapa tidak bertanya kepada mereka mengapa setuju memberikan dana ke Timur Tengah apa yang mereka klaim akan mereka tolak mati-matian di Eropa? Mengapa mereka ingin kaum Yahudi Israel mati?
Mengapa tidak berterus terang bahwa menawarkan negara kepada Otoritas Palestina identik dengan memberikan penghargaan kepada terorisme dan pembunuhan --- dan ini jauh dari apa yang bisa diterima oleh Israel beberapa dekade setelah Holocaust? Apakah mereka berharap dengan memberi negara kepada PA, Eropa bakal lebih terhindar dari terorisme Islam?
Tidak perlu melaporkan semua ini kepada utusan khusus Pemerintahan Trump. Pemerintah Amerika sudah tahu. Presiden Donald J. Trump sudah mengatakan kepada Mahmoud Abbas yang apa yang tidak berani dikatakan oleh pemimpin Barat lainnya. Dia sadari bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dari Otoritas Palestina dan bahwa misi Jason Greenblatt memang ditakdirkan untuk gagal.
Bagaimanapun, katakanlah semua ini kepada para pemimpin Eropa. Ini penting.
Presiden Donald Trump memberitahu Mahmoud Abbas hal yang tidak berani dikatakan oleh pemimpin Barat lainnya. Dia sadar bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dari Otoritas Palestina dan bahwa misi Greenblatt ditakdirkan untuk gagal. Foto: Trump dan Abbas memberikan pernyataan bersama, 3 Mei 2017 di Washington, DC. (Sumber foto: Olivier Douliery-Pool/Getty Images) |
Katakan bahwa Mahmoud Abbas menggunakan prinsip darah ganti darah (blood libel) dalam pidato yang disampaikannya di Parlemen Eropa dan mendapatkan standing ovation---pada tahun 2016 yang memperlihatkan keinginan terdalam Eropa sama seperti keinginan terdalam Abbas sendiri.
Katakan bahwa Presiden Prancis, Emmanuel Macron bisa dengan hangat memeluk Mahmoud Abbas dan berterimakasih kepadanya karena bekerja "tanpa melakukan kekerasan" ketika hal yang persis berlawanan terlihat jelas di depan mata, itu sama-sama menarik.
Tatkala menyambut gembira Netanyahu di Paris untuk menghadiri perayaan tahunan terhadap deportasi Vel d'HIv, beberapa hari kemudian setelah bertemu Mahmoud Abbas, Macron, Presiden Prancis yang baru mengecam perilaku Prancis terhadap warga Yahudi selama pendudukan Jerman. Dia juga memanfaatkan kesempatan untuk menekankan "kebutuhan yang mendesak" untuk menciptakan sebuah "Negara Palestina" dengan Yerusalem sebagai ibukotanya. Dengan sopan, Netanyahu menjawab bahwa Otoritas Palestina tidak mengakui Israel sebagai sebuah negara Yahudi.
Seperti banyak orang yang anti-Semit, para pemimpin Prancis serta banyak kalangan di Eropa, senantiasa terlihat siap memperingati warga Yahudi yang tewas, namun tetap berkontribusi terhadap pembunuhan warga Yahudi yang masih hidup.
Dr. Guy Millière, seorang professor pada Universitas Paris Paris. Dia pengarang 27 buku seputar Prancis dan Eropa.