Tahun ini ketika Ramadan hendak berakhir, tepatnya, pada Jumad terakhir bulan suci agama Islam, pertunjukan besar-besaran kaum Muslim yang marah disiarkan di seluruh dunia Muslim dan Barat. Hari itu disebut sebagai Hari "Al-Qud's (Hari Jerusalem)" oleh almarhum pemimpin Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini.
Al-Qur'an, kitab suci Islam mengajak umat Islam untuk berpuasa selama Ramadan sebagai bagian dari doa dan refleksi "untuk mengusir setan." Kaum Muslim ekstrimis, justru sebaliknya. Pada saat yang sama mereka mengajak rekan seagama mereka untuk mengungkapkan amarah kepada musuh nyata dan musuh khayalan mereka, khususnya kepada kaum Yahudi. Bagaimanapun juga, kebanyakan Muslim menjauhkan diri dari demonstrasi penuh amarah ini, yang merendahkan makna dan tujuan kebaktian berpuasa dan penegakkan sholat selama bulan suci ketika Al-Qur'an pertama kali diturunkan kepada Muhammad.
Memperlihatkan kemarahan di depan umum pada hari Jumat terakhir Bulan Ramadhan menjadi indikator yang jelas dari betapa mendalam dan terpecah-belahnyanya kalangan dunia Muslim itu sendiri yang disikapi dengan pasrah. Aksi kemarahan ini, kini menjadi ritual sejak Khomeini menyerukannya segera setelah Revolusi Islam meledak tahun 1979 di Iran.
Ada banyak penyebab yang memisahkan dunia Muslim, dilihat dari sangat beragamnnya etnis, bahasa, budaya, sumberdaya, tingkat melek huruf dan pembangunan ekonomi kaum Muslim. Dengan demikian, memperlihatkan kemarahan publik di depan publik semakin tampak sebagai indikator dari frustasi kolektif sebagian besar umat Muslim karena tidak mampu memahami sekaligus menghadapi tantangan (requirements) dunia modern.
Supaya bisa menjelaskan secara logis "kemarahan kaum Muslim," almarhum cendekiawan Bernard Lewis mencurahkan perhatiannya dalam persoalan ini lewat suatu rangkaian "kuliahnya pada tahun 1990." Bahan-bahan kuliah itu kemudian diterbitkan dengan tajuk "The Roots of Muslim Rage (Akar Kemarahan Umat Muslim) dalam Atlantic Monthly.
Langkah itu dilakukan oleh pemenang Hadiah Nobel Sastra, V. S. Naipaul. Setelah menyaksikan pertunjukan rutin kemarahan umat Muslim di seluruh dunia selama perjalanannya, dia pun menuangkan pemikirannya dalam bukunya bertajuk, Among the Believers: An Islamic Journey (Di Antara Orang-Orang Percaya: Sebuah Perjalanan Islami) yang seolah mengatakan bahwa dunia Muslim telah mendidih."
Kemarahan Muslim yang tersebar luas dan sering diikuti oleh aksi kekerasan ini dapat dijelaskan sebagai gejala budaya pra-modern yang terjebak dalam pusaran transisi yang masih banyak tertunda menuju modernitas.
Efeknya, kaum Muslim terperangkap dalam kebingungan soal bagaimana memperbaiki budaya mereka yang rusak, atau bagaimana membangun budaya baru– ketika mereka benar-benar ragu dengan apa yang baru, apa yang modern, dan apa yang telah dibangun oleh pihak lain yang menjadi milik dari agama dan budaya yang lain. Apabila mereka perlu membangun apa yang baru bagi mereka, maka mereka perlu berdamai dengan modernisasi dengan prinsip-prinsip tradisi dan budaya agama mereka sendiri. Inilah intisari persoalan mereka sebagai Muslim. Bukan persoalan kaum ekstrimis. Karena saat itu, kaum ekstrimis justru secara dogmatis bersikeras bahwa solusi dari setiap dan semua masalah dalam dunia Muslim adalah implementasi hukum Islam atau Shariah yang tidak perlu disesuaikan lagi.
Analogi untuk memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan transisi dari pra-modernisasi menuju modernisasi terjadi di di India, negara demokrasi terbesar di dunia dan Cina, negara dengan pertumbuhan ekonomi yang paling cepat di dunia sekaligus merupakan dua peradaban tertua. Namun keduanya masih kesulitan meretas jalan menuju ke modernitas.
Secara umum, kaum Muslim adalah orang-orang "dunia ketiga" yang pemahaman dan praktik Islamnya tetap dalam budya pra-modern. Berkaitan dengan persoalan kepercayaan, kaum Muslim menganggap Al-Quran merupakan wahyu ilahi dengan maknanya yang benar-benar abadi. Jika keyakinan ini merupakan kebenaran doktriner kaum Muslim, maka membaca Al-Quran pada zaman modern tidak bisa disamakan dengan masa lalu, misalnya abad 10. Meskipun demikian, akibat pandangan pra-modern mereka, bagi banyak kaum Muslim, paradoks ini sebagian besar tidak dapat dimengerti. Kenyataan ini benar-benar sangat menghambat upaya untuk mempercepat transisi mereka menuju modernisasi. Bangsa India dan bangsa Cina harus mengatasi halangan serupa yang terikat dengan pandangan dunia berbasis agama pra-modern mereka masing-masing ketika berjuang memodernisasi diri.
Oleh karena itu, kaum Muslim perlu membuka pikiran mereka untuk membaca Al-Quran secara baru yang konsisten dengan tantangan dunia modern, sains, dan demokrasi. Mereka perlu memikirkan kembali hubungan antara Tuhan dengan manusia: merangkul modernisasi tidak berarti meninggalkan Tuhan.
Pada masa hidup kita, umat Islam terpaksa harus menghadapi pertanyaan teologis mendasar yang dulu pernah dihadapi umat Kristen. Terlepas dari berbagai cacat-celahnya, Kristen lahir dari sejarah panjang yang penuh konflik untuk berdamai dengan modernisasi, yang diperlihatkan oleh masyarakat terbuka dan demokrasi liberalnya yang berbasiskan kekuasaan berdasarkan hukum dan kebebasan individu. Untuk berevolusi secara teologis menuju ke-Kristen-an masa kini, ia mengalami transisi penuh gejolak. Mulai dari Inkuisisi ala Eropa lengkap dengan perburuhan para penyihir yang diikuti dengan pembakaran para bid'ah yang terikat pada tiang-tiang pasak, hingga masa Renaissance, perang Reformasi dan Kontra-Reformasi, Abad Pencerahan, revolusi filosofis dan ilmiah, perang revolusioner dinasti dan negara yang baru muncul, pembunuhan raja dan perang saudara, guillotine/ pemenggalan kepala ala Revolusi Perancis, Kecamuk Teror, penaklukan kolonial, perang dunia, Revolusi Rusia, genosida, fasisme gulag atau pembuangan para penentang ke tambang-tambang dingin yang mengerikan di Siberia serta Holocaust.
Jika semua transisi Eropa di atas lebih atau kurang terlupakan, maka kita perlu untuk sekedar mengamati kekerasan mengerikan di dunia Muslim masa kini kemudian mengenali betapa miripnya dia dengan apa yang terjadi di dunia Kristen pada masa antara Christopher Columbus berlayar untuk penemuannya dan ketika pasukan Sekutu membebaskan Eropa dari Nazi Jerman.
Persoalan politik memang kerap merupakan persoalan yang pada hakikatnya bersifat teologis. Demikian sebaliknya. Karena itu, budaya yang berbeda-beda harus mencarikan jawaban atas apa arti Tuhan bagi mereka atau bagaimana orang-orang dari tradisi agama yang berbeda memahami Tuhan. Pada sebagian besar masyarakat, relevansi Allah itu menjadi persoalan mendasar yang berkaitan dengan makna "masyarakat yang baik" dalam hal moral dan etika.
Dalam Islam, tidak seperti dalam Kristen, teologi sebagai sarana agama merupakan disiplin ilmu yang tidak banyak membantu menjelaskan persoalan (impoverished). Dalam Islam, kepastian tentang realitas Allah sebagai Pencipta yang berkuasa, Tuhan alam semesta serta Tuan Hari Perhitungan tidak pernah dipersoalkan. Realitas Allah itu sederhana sekaligus luar biasa; Dia tunggal, unik dan tidak ada yang seperti Dia.
Islam, sebagai keturunan monoteisme Abrahamis, juga ngotot dengan soal Allah yang Esa, Absolut dan Transenden. Dalam Islam dan Yudaisme, tidak ada banyak yang bisa diperdebatkan seputar hakikat Allah, seperti yang ada dalam Agama Kristen. Dalam Islam, sejak masa awal agama itu, para cendekiawan religius Muslim menyibukan diri dengan hal-hal rinci yang menjelaskan hukum-hukum yang berasal dari wahyu Allah atas Nabi Muhamad sebagai nabi terakhir. Dengan kata lain, untuk menjabarkan rincian seputar cara hidup, yang berasal dari norma-norma etis yang ditetapkan dalam Al-Qur'an.
Menurut Islam tradisional, manusia adalah wali Allah di dunia. Sebagai wakil Allah, manusia berperan memenuhi perintah Allah yang ditetapkan dalam wahyu yang diterima Nabi Muhamad. Allah itu berdaulat; Ia sudah berfirman; dan Muslim yang taat adalah orang yang mematuhi perintah-perintahNya, mengikuti tradisi nabi dan setia kepada komunitas serta adat-istiadat yang dikumpulkan dalam Shariah --- hukum sah yang dipersiapkan oleh para ahli fikih selama tiga abad pertama sejarah Muslim (abad ke 8, 9 dan 10 Masehi).
Islam tradisional, secara umum, disibukan dengan persoalan-persoalan lahiriah agama --- seperti soal menjalankan ritual serta adat-istiadat ---serta persyaratan iman minimum yang mengikat orang dalam komunitas mereka. Pemahaman dan interpretasinya atas Al-Qur'an pun bersifat harafiah. Dia dibentuk oleh dorongan sejarah yang mengubahnya bertahun-tahun segera menjelang kematian nabi sehingga menjadi sebuah agama yang berorientasi menaklukan dunia. Dorongan ini pula yang membawa bangsa-bangsa Arab dari kawasan-kawasan padang gurun nan jauh dan pinggiran peradaban untuk mendirikan sebuah kekaisaran kemudian membasmi angkatan bersenjata Bizantium dan Persia.
Ketika direnungkan, masuknya Bangsa Arab dengan segala kemenangannya yang tidak pernah terjadi sebelumnya sebagai kaum Muslim perdana dalam sejarah, juga menjadi bagian rawan dari persoalan apakah Islam datang untuk dipahami dan dijalankan. Kepastian tentang Tuhan yang mengisi ruang imaginasi pra-modern umat Muslim dalam ukuran besar memang membentuk budaya politik Islam. Meskipun demikian, dia juga membuat mereka tidak dipersiapkan untuk berurusan dengan suatu dunia baru yang muncul sekitar abad ke-16. Di samping itu, bersamaan dengan berkurangnya kemenangan-kemenangan mereka dalam kenangan penganut dan sejarahnya, berbagai kekalahan yang mereka alami di tangan kaum non-Muslim mereka justru menjadi persoalan yang mengganggu dalam kaitannya dengan hakikat keyakinan-keyakinan agama mereka.
Memang ada sedikit minat untuk berteologi selama dua abad awal Islam. Minat itu disadarkan, sebagian, sebagai akibat dari berbagai penaklukan yang membawa kaum Yahudi, Kristen, pengikut Zoroaster di Persia serta Hindu di India masuk dalam dunia Islam. Ini menyebabkan, bangsa Arab yang berasal dari gurun-gurun bisa bersentuhan dengan kebudayaan-kebudayaan tinggi, yang justru memunculkan persoalan yang sulit dan menantang bagi iman mereka yang sederhana kepada Allah Abraham. Al-Qur'an itu lebih sebagai buku Yahudi yang berisi kisah-kisah bangsa Yahudi yang mengingatkan kaum Muslim dan yang memerintahkan bangsa Arab yang kafir untuk menyembah kepada Allah yang Esa. Bangsa Yahudi, adalah bangsa yang paling dekat dengan Bangsa Arab dan di antara suku-suku Arab inilah Muhamad lahir dan dibesarkan.
Memang ada penyelidikan serta perselisihan (dispute) seputar pewahyuan dan akal budi yang terjadi di Bagdad, ibukota Arab dari para penguasa Abasiyah menjadi Kalifah Islam selama masa-masa awal Abad Pertengahan. Tulisan sejumlah filsuf kuno Yunani seperti Plato dan Aristoteles tersedia berkat penaklukan Aleksandria yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Rasa ingin tahu pun muncul. Apakah Allah dapat dipahami di luar konteks pewahyuan dan jika bisa demikian, akankah Allah para filsuf itu sama dengan Allah yang diwahyukan?
Ada penyelidikan serta perdebatan seputar pewahyuan dan akal budi di Baghdad, Ibukota Arab dari para penguasa Abasiyah sebagai Kalifah Islam selama masa Abad Pertengahan awal. Foto: Sebuah lukisan dari manuskrip Dinasti Abasiyah, yang dikerjakan pada tahun 1237. (Sumber gambar: Académie de Reims/Wikimedia Commons) |
Awalnya, para Kalifah mendorong diadakannya diskusi-diskusi spekulatif itu karena, tampaknya diskusi-diskusi itu tidak mengancam supremasi Islam secara religious maupun politis. Berkat dorongan ini, para pemikir Muslim pun tampil mengatakan bahwa secara logis, pewahyuan itu tidak bertentangan dengan akal budi (reason). Bahwa ciptaan Allah itu didukung oleh hukum yang sudah Allah tetapkan untuk mereka dan hukum-hukum itu bisa dipahami oleh alat-alat rasional (rational faculties) manusia. Para pemikir Muslim itu dikenal dengan nama Mu'tazilites, atau-orang rasionalis. Awalnya, mereka mendapatkan dukungan para penguasa Abasiyah tetapi kaum tradisionalis efektif menolak spekulasi ilmiah mereka. Kelompok terakhir ini, mengkotbahkan doktrin kerakyatan yang menarik bagi kesadaran manusia tentang kesucian umumnya.
Perselisihan memang tidak pernah jauh dari persoalan seputar pemahaman siapa tentang Allah yang paling dekat dengan apa yang diwahyukan dalam Al-Qur'an. Kaum rasionalis cenderung untuk membaca dan menafsirkan teks tidak secara harafiah, dengan lebih memperhatikan arti-arti tersembunyi dari istilah-istilah yang diungkapkan secara alegoris. Dan untuk menjelaskan atribut dan penjelasan tentang Allah sebagai sesuatu yang universal serta inklusif. Para penentang mereka, yaitu kaum tradisionalis ngotot mempertahankan hal-hal yang bersifat partikular, seputar contoh-contoh nyata dan khas yang secara historis, seputar pembacaan harafiah atas teks sehingga jauh lebih ngotot seputar kekuasaan absolute Allah dibandingkan dengan persoalan universalitas dari keadilan dan belaskasihan Allah sendiri.
Pertentangan sengit terjadi seputar persoalan predestinasi melawan kehendak bebas. Apakah Allah menetapkan semua hal, termasuk perilaku manusia sepanjang masa? Atau adakah manusia itu mahluk bebas yang pilihannya atas baik dan butuk menjadi tanggung jawab perilakunya? Skisma atau perpecahan ini semakin diperparah oleh perdebatan seputar apakah Al-Qur'an itu relatif sesuai dengan perjalanan waktu dan harus dipahami sesuai dengan masa itu--- dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang preskriptis yang dibaca secara kontekstual. Atau apakah ia itu abadi sama usianya dengan Allah. Para penentang kaum Mutazilah mendapatkan dukungan di antara masyarakat umum. Populisme mereka akhirnya justru mengubah para penguasa untuk melawan para filsuf serta teolog awal Islam. Ada inkwisi masa itu. Dan kaum rasionalis karena itu dikecam sebagai heretik. Mereka pun dilarang untuk menyebarluaskan pemikiran-pemikiran mereka yang diduga subversif. Karena itu, pendekatan spekulatif, filosofi dan teologi dalam Islam mulai dilarang dan akibatnya, budaya Islam pun segera tiba di jalan buntu.
Ada kesamaannya di sini dengan nominalisme dalam pemikiran Kristen yang muncul beberapa abad kemudian. Teolog Kristen paling kenamaan yang dipertautkan dengan doktrin ini adalah William dari Ockham (1285-1347) pada awal abad ke- 14th. Ockham berjuang untuk membantas kaum skolastik Kristen dan usaha mereka untuk mendamaikan rasionalisme Aristoteles dengan wahyu. Karya-karya para pakar yang mengikuti St. Thomas Aquinas, mengganggunya. Para pengikut St. Thomas Aquinas adalah orang-orang yang percaya kepada Thomisme yang ingin menjadi mediator antara Allah dan manusia.
Seperti dilakukan oleh para penentang kaum Mutazilah, Ockham dan pengikutnya pun memperdebatkanny. Mereka menentang universalisme yang justru mengganggu kekuasaan unik dan mutlak Allah untuk menciptakan, kapanpun diinginkanNya. Bukanlah bagi manusia, mereka perdebatkan, untuk memahami Allah yang tidak terikat oleh hukum, pertimbangan, penawaran atau permohonan ciptaanNya. Ketika berjuang menempatkan Allah itu jauh melebihi semua kemungkinan, ketika membangun jarak antara Allah dan manusia sebagai sesuatu yang mutlak karena kemahakuasaan Allah, Ockham dan kaum nominalis tampaknya justru mau mengubahNya menjadi kekuatan yang mudah berubah-ubah, sesuatu yang ditakuti sekaligus dipatuhi, kekuasaan yang kemauannya harus dipatuhi tanpa mempertanyakannya.
Nominalisme sebagai doktrin teologis akhirnya terkalahkan ketika ke-Kristen-an bergerak maju dengan mengandalkan rasionalisme. Dalam dunia Muslim, hal sebaliknya yang justru terjadi. Kekalahan rasionalisme menguburkan apa yang mungkin dijelaskan sebagai nominalisme versi Muslim. Ia sesuai dengan kebutuhan para penguasa sehingga menopang kecenderungan mereka untuk berkuasa dengan kekuasaan yang sewenang-wenang. Kira-kira pada waktu yang bersamaan, para ahli fiqih (jurists) memaklumkan bahwa tidak ada lagi yang perlu ditambahkan atau dihapuskan pada corpus, batang tubuh keputusan-keputusan legal karena mereka bersumberkan pada Al-Qur'an dan tradisi nabi. Akibatnya, pintu dari apa yang dikenal dalam Islam tradisional sebagai ijtihad, ditutup. Ijtihad sendiri berarti upaya yang dicurahkan untuk menafsirkan teks-teks suci. Dengan demikian, kaum Muslim dituntut untuk mematuhi batang tubuh hukum yang secara formal dikumpulkan menjadi Shariah.
Bagi banyak kaum Muslim, baik kaum mayoritas tradisi Sunni maupun kaum tradisi minoritas Shiah, pemahaman tentang Allah dalam Islam yang resmi disahkan terasa kering dan tidak memuaskan. Kaum Muslim kelompok ini lantas diam-diam beralih kepada mistisisme yang dikenal sebagai Kaum Sufi. Bagaimanapun, kaum Sufi, tidak secara terbuka menentang doktrin resmi. Di depan publik, mereka tetap patuh pada ritual-ritual populer dan tradisional Islam yang ditetapkan.
Kaum Sufi berusaha mencari arti terdalam ayat-ayat Al-Qur'an. Dalam pandangan mereka, dunia luar Islam menyembunyikan dimensi terdalam perjalanan spiritual manusia untuk mencari persatuan dirinya dengan Allah. Bagi mereka, Allah merupakan sumber sekaligus pemenuhan cinta. Dan kadang-kadang, pencarian mereka---terdorong oleh kerinduan untuk mengalami, di sini dan sekarang ini kehadiran Allah dalam kehidupan mereka ---justru dikecam oleh orthodoxy atau kekolotan sebagai heresi atau bidaah.
Sufisme merupakan upaya untuk memanusiakan Allah. Ada satu ayat dalam Al-Qur'an (50:16) mengatakan bahwa Allah itu lebih dekat pada manusia dibandingkan dengan urat-urat lehernya sendiri. Dan, kaum Sufi adalah kaum yang mengukuhkan bahwa terlepas dari Allah, semua yang ada itu tidak nyata.
Dunia Muslim akhir-akhir ini tampaknya terjebak dalam parameter-parameter dunia pra-modern, berbasiskan pandangan kaum kwasi-nominalisnya tentang Allah. Pemahaman Sufi tentang Allah sebagai cinta yang universal tampaknya tidak sepenuhnya bisa memenuhi kebutuhan mendesak dunia Muslim untuk memahami bagaimana menyelaraskan diri (negotiate) dengan modernisasi tanpa meninggalkan Allah Al-Qur'an.
Ada rasa marah terhadap pergolakan internal dalam dunia Muslim. Kemarahan ini tidak bisa dipahami oleh kaum non-Muslim. Bagaimanapun, kemarahan itu akhirnya menguras habis tenaga kaum Muslim, ketika ada segmen populasi Muslim yang cukup besar bisa mendamaikan akal budi dengan wahyu sehingga menemukan bahwa Allah tidak pernah menakdirkan agama apapun, termasuk Islam, menjadi beban yang mencegah manusia merajut hubungan denganNya secara harmonis sesuai hakikat manusia.
Seiring dengan transisi dari masa pra-modern menuju masa modern yang bergerak maju bersama dengan perubahan dan persoalannya, dunia Muslim pun berkembang maju. Dia berkembang sampai pada titik sehingga akhirnya muncul sebuah teologi, seperti yang terjadi pada kalangan Kristen . Sebuah teologi yang sesuai dengan kebutuhan umat Muslim yang berdamai dengan modernisasi.
Salim Mansur adalah Mitra Senior Kenamaan pada Lembaga Kajian Gatestone Institute. Ia mengajar di Departemen Ilmu Politik Universitas Western di London (Kanada) dan pengarang berbagai buku seperti, "The Qur'an Problem and Islamism"; "Islam's Predicament: Perspectives of a Dissident Muslim"; serta "Delectable Lie: A Liberal Repudiation of Multiculturalism."