Tiap hari kita dengar di televisi, "Kita butuh diskusi yang jujur tentang ras di negeri ini.
Banyak warga Amerika yang sangat paham arti kata itu, bagaimanapun, mungkin sudah bosan dengan diskusi tentang ras yang tak berujung, kosong dan tidak berfungsi apa-apa ini. Bagi orang luar, masyarakat Amerikat tampaknya terobsesi dengan persoalan ras sehingga diskusi senantiasa memburuk menjadi teriakan, makian dan kecaman, tudingan, distorsi realitas kemudian menghapuskan harapan untuk mengambil tanggung jawab atas seseorang sendiri. Diskusi tampaknya senantiasa hendak berupaya mengklaim bahwa "saya lebih suci dibanding anda."
Kami para imigran, pada satu pihak, tepat pada saat mendarat di A.S. merasakan perjuangan politik untuk mendapatkan suara kami (waktu Pemilu).
Pada hari ketika memperoleh status kewarganegaraan, saya pun pergi mendaftarkan diri supaya bisa memberi suara. Sejumlah orang di ruangan itu menyuruh saya mendaftar sebagai anggota Demokrat karena anggota Demokrat melindungi hak-hak saya dari lembaga-lembaga rasis kemudian memberikan saya "hal-hal yang diperlukan" (stuff). Banyak orang yang datang bersama saya mendaftarkan diri dengan cara itu, tetapi saya justru menemukan hal mendesak yang mengkhawatirkan. Saya tumbuh besar dalam sebuah sistem sosialis dan totalier di bawah kepemimpinan Presiden Gamal Abdul Nasser di Mesir --- sebuah negara pembantu (nanny state) yang memberimu "hal-hal yang diperlukan." Yang banyak warga Amerika tidak sadari adalah bahwa hal-hal yang diperlukan yang diperoleh secara gratis itu bisa menjadi terlampau mahal.
Banyak warga Amerika tampaknya tidak banyak belajar dari sejarah; barangkali (karena risiko sendiri) sejarah bahkan tidak diajarkan. Hasilnya adalah bahwa warga yang frustrasi. Ini tentu saja bisa dipahami. Sayangnya, tampaknya mereka berharap bahwa sistem sosial yang gagal membenarkan hal-hal yang salah yang mereka rasakan ditimpakan atas mereka atau sedikitnya memungkinkan mereka untuk hidup nyaman tanpa khawatir soal perawatan kesehatan atau pendidikan.
Presiden Nasser dari Mesir, bagaimanapun, memperlihatkan bahayanya terjatuh dalam jebakan janji pemerintah yang salah. Nasser pernah katakan ingin mengubah Mesir secara mendasar. Sayangnya, dia berhasil. Sampai sekarang, Mesir hampir tidak bisa melepaskan diri dari akar revolusi Nasser tahun 1952. Kepada semua warga Mesir dia berjanji memberikan pendidikan dan perawatan kesehatan gratis. Dia menjarah properti, perusahaan (business) serta tanah-tanah pertanian yang luas sehingga bisa dibagikan kembali menjadi bagian-bagian kecil kepada siapa saja yang punya sedikit lahan. Dalam prosesnya, sebuah kelas koruptor baru yang bahkan jauh lebih korup justru lahir. Banyak orang praktis tidak dapat apa. Perhatikan saja, misalnya, Venezuela --- barang gratis (free stuff) baru dan korupsi mengubah sebuah negara kaya minyak menjadi neraka yang dirobek oleh kemiskinan.
Beberapa generasi warga Amerika dibesarkan di atas premis salah bahwa jika orang mencintai negeri ini, kebebasannya, budayanya dan cara hidupnya atau Allahnya, maka orang itu pasti "rasis." Jika mereka kulit putih dan bukan anggota Demokrat, asumsi itu berbunyi, mereka pasti "rasis." Karena mayoritas populasi Amerika berkulit putih, maka orang-orang kulit putih diandaikan menjadi wajah Amerika: "orang-orang rasis yang berpegangan pada senjata dan Alkitab mereka yang tengah melucuti bagian lain negerinya dari Utopia sosialis.
Generasi-generasi Amerika juga dibesarkan dengan pandangan yang berlebihan tentang "privilese kaum kulit putih" --- sampai pada tingkat bahwa pada titik ini, mungkin saja agak berbohong seolah-oleh meraih sukses dan menjadi kaya di Amerika itu karena nasib baik dari undian atas warna kulit, tidak seperti pernah Hakim Clarena Thomas katakan, berkat kerja keras. Di sini, bagaimanapun, pendidikan "bebas" mungkin saja salah. Ya, semua orang mampu mendapatkannya, tetapi itu mengerikan. Dengan demikian, kenyataannya, tidak ada orang yang benar-benar meraih banyak pendidikan ---sedikitnya pendidikan yang memberikan peluang yang sama untuk bersaing dengan seseorang yang mendapatkan pendidikan swasta. Yang terbaik yang bisa orang katakan adalah bahwa itu lebih baik daripada tidak ada pendidikan sama sekali, yang memang masih dunia dapatkan sekarang ini. Di dasarnya, jika anda dilahirkan di rumah yang tidak mengharagai pendidikan, maka anda mungkin saja tetap kalah.
Kata "rasis" digunakan di Barat sama dengan kata "kafir" dalam masyarakat-masyarakat Islam. Kata-kata ini menjadi sarana bermanfaat untuk mempermalukan yang memaksa orang supaya patuh. Mereka tidak digunakan untuk mendiskusikan persoalan; tetapi digunakan untuk membubarkan diskusi, membungkam oposisi dan kerapkali untuk mengancam kehidupan bahkan hidup dari orang-orang yang berbeda pendapat. Kata-kata ini dimaksudkan untuk membuat orang yang tidak sepakat sebagai jahat atau pariah.
Seperti budaya berbasis rasa malu Timur Tengah, banyak masyarakat Amerika sekarang agaknya berupaya menghindari reaksi tidak baik berkaitan dengan rasa malu, justru terjebak dalam jebakan "berpikir sebagai kelompok"(group think). Jika Allah melarang, maka anda akan terlihat sebagai seorang Republik, konservatif. Atau jika anda lebih menyukai kapitalisme atau sosialisme atau tidak termasuk dalam sebuah kelompok korban maka rasa malu diarahkan kepada anda. Generasi-generasi Amerika yang mudah terpengaruh secara naïf menerima umpan ini. Mereka takut memberikan pendapat, agar tidak disebut "rasis."
Dunia Muslim berhasil memanfaatkan tirani rasa malu ini selama berabad-abad guna memaksakan orang untuk patuh. Kini, jika anda bertanya kepada seorang pria di jalan Arab, sangat mungkin anda akan mendapatkan jawaban rekayasa (prefabricated answer)---jawaban yang mungkin saja opini mayoritas yang tidak dipikirkan secara matang. Teknik ini kerapkali digunakan dalam budaya Islam---di samping terror tentu saja---untuk menghancurkan orang "kafir" non-Muslim supaya musnah. Kini, di tempat kelahiran Yudaisme dan Kekristenan, hampir tidak ada yang bisa hidup secara damai.
Bukan rahasia lagi bahwa banyak warga Demokrat berencana "mengubah Amerika secara mendasar" dengan menjadikan warga kulit putih sebagai minoritas lalu menggantikan mereka dengan para imigran --- legal maupun illegal. Pada tahun 2015, Wakil Presiden Joe Biden pernah mengatakan bahwa "kaum kulit putih" menjadi minoritas di Amerika adalah sebuah "hal yang bagus."
"Aliran imigrasi tanpa henti. Nonstop, tak ada henti-hentinya. Orang-orang seperti saya yang berkulit putih, keturunan Eropa, untuk pertama kalinya pada tahun 2017 akan menjadi minoritas absolut di Amerika Serikat. Minoritas absolut. Kurang dari 50% masyarakat di Amerika mulai saat itu dan yang akan datang bakal warga kulit putih "stok" Eropa. Tidaklah jelek. Itu sumber kekuatan kita."
Pemimpin minoritas Nancy Pelosi baru-baru ini bergabung. Ia mengatakan bahwa rencana imigrasi Presiden Trump 'membuat Amerika Putih lagi."
Pemimpin Kaum Minoritas di Senat (AS) Chuck Schumer pun mengutip persoalan "warna kulit" dalam pemungutan suara melawan pencalonan hakim federal yang berkulit putih. Dia membenarkan pemungutan suara sebagai, "Punya pandangan dan pengalaman yang beragam atas hakim federal (federal bench) itu perlu supaya keadilan bisa diterapkan sederajat."
Pandangan tersebut, bagaimanapun, yang berupaya membenarkan pandangan yang dipersepsi salah, secara fundamental rasis.
Ironisnya, para pemimpin kaum kulit putih di kalangan politik dan media yang telah menjadi pusat menganjurkan penghapusan "budaya kulit putih Amerika". Agaknya upaya itu bertujuan supaya bisa mengumpulkan suara mayoritas yang mau memilih Demokrat dan ekonomi sosialis selama-lamanya. Serangan terhadap mayoritas kulit putih di Amerika itu terang-terangan dan rasis. Memalukan bahwa banyak warga Amerika tidak mampu atau menolak melihat apa yang dilihat oleh banyak imigran: Bahwa di bawah mayoritas kulit putih inilah, jutaan orang tertindas dari seluruh dunia, dari semua warna kulit dan keyakinan, diselamatkan dari tirani, Hukum Shariah, perbudakan, diskriminasi, Islamisme serta negara-negara mengerikan yang dilanda korupsi, dirobek perang dan kelaparan. Justru sebaliknya, banyak yang tampak ingin membawa banyak hal mengerikan itu di sini.
Bagaimana bisa para politisi berpikir bahwa menganjurkan supaya memindahkan masyarakat kulit putih di Amerika lalu menjadikan mereka sebagai minoritas merupakan hal yang baik? Logika ini kejam untuk warga agung dari sebuah bangsa agung yang melakukan begitu banyak hal yang baik di dunia. Bukan Afrika, Cina, Amerika Selatan, Eropa atau Rusia yang berbicara demi kaum tertindas dan membawa mereka supaya hidup merdeka. Adalah Amerika dengan nilai-nilai Yudeo-Kristen-nya yang melakukan ini. Mereka terdiri dari kaum kulit putih, hitam, Indian, Asia dan segala-gala yang ada di antara mereka.
Apakah mengherankan bahwa banyak warga Amerika kini merasa tertipu, teralienasi dan bahwa negara, budaya dan cara hidup mereka dirobek-robek lepas sesuai dengan alur ras, gender dan ekonomi oleh para politisi, media dan akademisi yang semuanya tampak bersikeras dengan perubahan budaya, demografi, hukum dan Konstitusi Amerika?
Para tokoh yang berorientasi global (globalists) yang ambisius sekalipun tertarik hanya untuk mengubah Barat, tidak berupaya mempromosikan perubahan-perubahan dunia lainnya, terlepas dari betapa jelasnya penindasan itu terjadi. Bagi mereka musuh nomor satu rencana mereka bagi Amerika agaknya warga Amerika yang berpikir mandiri, yang menghargai prestasi, Konstitusi serta kebebasannya ---semua hal yang diperjuangkan, yang dimenangkan dengan begitu susah payah dan dibangun selama beberapa decade.
Para globalis lebih suka "nilai-nilai international" dibanding nilai-nilai Amerika. Tampaknya mereka yakin bahwa hanya jika Amerika putih tidak menghalangi jalan mereka, maka rencana progresif untuk mengubah Amerika secara fundamental bisa lebih cepat tercapai. Imigran, khususnya dari negara-negara dunia ketiga, bagi mereka tampaknya menjadi solusi untuk menyuntikan "darah baru" ke dalam negeri. Argumentasinya, bagaimanapun, bukan soal imigran --- karena tidak seorang pun yang menghalangi untuk bisa mendapatkan lebih banyak orang yang datang ke Amerika. Pertanyaannya berkaitan dengan dua keputusan. Pertama: Siapakah yang lebih disukai---orang-orang trampil atau yang tidak trampil atau campuran dari keduanya. Kedua: Bagaimana orang-orang itu bisa sampai di sini---secara legal--- dengan menunggu selama bertahun-tahun atau secara secara illegal.
Cara pandang ini, akhir-akhir ini marak---lagi-lagi sama dengan cara pandang yang digunakan di Timur Tengah untuk membela tujuan-tujuan Islam---adalah dengan mengecam apa saja yang salah dalam sistem di dunia luar, khususnya Barat. Membenci diri sendiri, dalam budaya Barat, kini ditingkatkan sampai sebagai ekspresi penghormatan terhadap diri sendiri. Pandangan ini bukannya tidak diperhatikan oleh para musuh Barat. Jadi, bukannya mencari solusi yang bisa dilaksanakan supaya Amerika bisa lebih baik, banyak warga Amerika tampak ingin menjatuhkan apa saja ---bagian-bagian atau hal-hal yang baik sekalipun. Para musuh Amerika senang sekali mengamatinya, khususnya ketika masyarakat Amerika sepakat dengan mereka untuk mengecam Barat khususnya kaum kulit putih. Itulah perkawinan dari kebencian Barat sendiri terhadap diri sendiri dengan kebencian Islam terhadap pihak lain: mereka sama-sama membenci hal yang sama.
Saya ingat, sebagai imigran baru, saya mendengar pernyataan seorang professor kulit putih kenamaan dari Berkeley yang mengatakan, "Laki-laki kulit putih itu paling menindas di dunia." Saya lalu katakan kepadanya, "Saya dibesarkan dalam Hukum Shariah dan otoritas Islam yang kejam selama tiga puluh tahun. Saya lihat budaya laki-laki kulit putih Barat jauh lebih lembut (gentlemanly) terhadap wanita dibanding budaya lain manapun di dunia." Karena itu, saya tanya jika dia tahu bahwa perbudakan bertumbuh subur di bawah kekuasaan Muslim sebelum Amerika menemukannya dan bahwa perbudakan masih berlangsung sekarang ini.
Banyak kalangan di Amerika yang turut bergabung dalam berbagai kebohongan tentang "penindasan" berbicara seolah-olah mengamuk menentang negara sendiri. Bagi warga Amerika yang tidak puas ini---juga bagi kaum Muslim yang mencintai Hukum Sharia---penolakan apapun terhadap tujuan mereka dilihat sebagai "rasisme" sekaligus pengkhianatan yang tidak boleh pernah dimaafkan. Bagi mereka, seperti juga kaum ekstremis Muslim, orang-orang yang tidak sepakat dengan mereka pantas dipermalukan, dijadikan contoh bagi penduduk lain, direndahkan statusnya menjadi minoritas, kemudian jika terus "membuat masalah" akhirnya diberangus.
Sebagai imigran di Amerika Serikat, saya tidak bisa melupakan betapa tidak nyamannya melihat budaya pop Amerika menganggap sesuatu yang "cool" kalem ketika menindas kecenderungan masyarakat untuk mencintai dan ingin menjaga negaranya dan budaya serta cara hidup seseorang. Itu sama saja dengan mencintai dan menghargai Amerika beserta sejarah, kesalahan dan semuanya, sebagai dosa rasial yang tidak bisa dimaafkan. Yang gagal dilihat oleh para pengkritik adalah bahwa Amerika adalah satu dari segelintir negara yang rela mengaku bersalah dan kerapkali berupaya untuk memperbaikinya.
Bagaimanapun, ketika sampai kepada persoalan imigran non-kulit putih, banyak warga Amerika tidak konsisten. Para imigran kerapkali didorong untuk melakukan persisnya bertentangan dengan yang banyak kalangan di Amerika desakan supaya dilakukan oleh kaum kulit putih Amerika: yaitu untuk membanggakan budaya asli mereka, terus menjalankan dan melestarikan adat istiadat serta cara hidup lama mereka. Sangatlah tidak nyaman ketika warga Amerika membuat saya malu karena bersikap kritis terhadap budaya lama saya ---hidup di bawah Hukum Shariah --- karena ingin berubah, menyesuaikan diri dengan Amerika, berasimilasi. Sikap bias banyak warga Amerika terhadap nilai-nilai Amerika membutakan mata mereka untuk melihat alasan kami para imigran berjuang melewati neraka supaya bisa sampai ke negeri ini. Banyak warga Amerika percaya bahwa orang-orang yang mengkritik budaya yang mereka tinggalkan dengan penuh ancaman bahaya harus "Islamophobic", fobia terhadap Islam. Tampaknya mereka tidak paham mengapa kami tidak pernah ingin melihat lagi apa yang begitu banyak hal yang kami alami sehingga mau melarikan diri dari sana.
Kenyataannya, lebih sulit untuk memilih tidak berasimilasi dibandingkan dengan sekedar ikut-ikutan lalu berasimilasi. Itu sebabnya mengapa orang-orang progresif, dalam pemikiran saya, bersikap represif dan salah karena mendorong para imigran dan kaum minoritas untuk menetap persis seperti di negara lama mereka. Bagaimanapun, tetap hidup dalam sub-kultur yang baru saja orang tinggalkan itu bertentangan dengan hakikat manusia.
Kapitalisme Amerika mungkin tidak sempurna, tetapi dia telah mengangkat lebih banyak orang keluar dari kemiskinan dibandingkan dengan sistem ekonomi apapun dalam sejarah, meskipun dipandang "rasis" oleh kaum progresif. Banyak masyarakat Amerika tampaknya sedang berupaya memaksakan pemikiran itu dalam benak masyarakat Amerika. Mereka kelihatannya berpikir bahwa karena presiden sekarang ini kulit putih dan seorang Republik yang mencintai Amereka, maka dia haruslah orang rasis sehingga mereka berhak menjatuhkannya dengan cara apapun.
Perpecahan Amerika yang tajam tidak pernah jelas. Bagi masyarakat Amerika yang menyukai pemerintahan yang sekarang ini, ia merepresentasikan sikap mandiri pemerintah sehingga menyelamatkan Amereka dari sebuah negara pembantu (nanny state) yang berisiko semakin otoriter dan yang ingin menghancurkan kedaulatan Amerika. Bagi masyarakat Amerika yang tidak menyukai pemerintahan yang sekarang, upaya itu menggagalkan rencana mereka untuk mengubah Amerika secara fundamental dengan membawa masuk para pemilih baru untuk menggantikan orang-orang dari budaya lama Amerika.
Dan inilah berita buruknya ---dari orang yang lahir dan dibesarkan di Mesir. Ada orang-orang yang berpikir bahwa menggantikan masyarakat Amerika atau Eropa dengan warga negara dunia ketiga itu merupakan pemikiran yang baik. Pemikiran itu benar-benar sembrono, merusak dan bakal berakhir dengan membakar semua yang bermain dengan api itu. Cukup tanyakan pemimpin dunia ketiga manapun betapa mudahnya mereka mengelola masyarakat mereka.
Sebagai satu dari jutaan imigran yang tahu berterimakasih, kita tengah menyaksikan Amerika di televisi dan film-film kita yang hendak membuka wawasan pemikiran kita tentang realitas hidup yang penuh penindasan di negara-negara dunia ketiga. Kita menyukai film-film Amerika tentang John Wayne, Clint Eastwood dan James Dean, yang nama-namanya hingga kini masih digunakan dalam budaya populer Mesir sebagai simbol orang "cool," kalem. Kita menyaksikan kebebasan Amerika sebagai mimpi: supaya bisa membalas senyum pria yang membukakan pintu bagimu tanpa dituduh sebagai wanita murahan karena tersenyum. Supaya bisa mengenakan pakaian yang anda inginkan, keluar rumah tatkala anda inginkan, bekerja atau memperoleh pendidikan atau serta berjuang untuk berharap pada satu hari bisa hidup dalam sebuah sistem yang menghormati monogami dan kesamaan derajat bagi wanita dan kaum minoritas. Ya, itulah budaya Amerika di mana kaum kulit putih menjadi mayoritas. Dan, tak ada masalah dengannya, dia membuat impian-impian kita menjadi nyata. Terlepas dari berbagai kekurangannya, tidak ada satu negara lain di dunia ini yang menawarkan peluang kepada warganya untuk menjadi apapun yang mereka sukai. Kita mungkin saja tidak pernah bisa lagi mendapatkan apa yang sudah kita dapatkan.
(Sumber foto: Lisa Norwood/Flickr) |
Nonie Darwish, lahir dan dibesarkan di Mesir, adalah pengarang buku: "Wholly Different; Why I Chose Biblical Values Over Islamic Values"(Benar-benar Berbeda: Mengapa Saya Pilih Nilai Injil bukan Nilai-nilai Islam).