Siapapun yang peduli terhadap Israel, yang mendambakan perdamaian, yang punya pemahaman bagus seputar fakta historis, etis, politik dan hukum yang melatarbelakangi hak Bangsa Yahudi atas sebuah negara, tempat mereka berasal, bakal kenal baik dengan nama Robert Fisk. Tetapi bukan dalam bentuk yang baik.
Selama beberapa dekade, Fisk menjadi salah satu dari banyak pembenci Israel yang sama sekali tidak berbelas kasihan. Ia juga salah satu pendukung yang paling tidak kritis terhadap hak warga Palestina dengan seruan dan aksi mereka yang tak berakhir yang benar-benar mau hancurkan Israel juga hendak mengusir atau membantai Bangsa Yahudi yang tengah berdiam di sana.[1]
Fisk orang cerdas. Gelar Ph.D dia raih tahun 1983 dari Trinity College, Dublin, sebuah universitas lama dan terhormat. Meski bergelar doktor ilmu politik atas topik yang berkaitan dengan Irlandia dan Inggris, dia bekerja sebagai koresponden Timur Tengah untuk Majalah Times (1976-1988) dan semenjak 1989, bekerja untuk harian berhaluan kiri, The Independent.
Bertahun-tahun, dia melaporkan berita tentang banyak perang di banyak negara. Dia pun menulis dan menulis bersama banyak buku tentang berbagai perang. Semua buku itu tentang konflik. [2]
Melihat kharakternya yang bisa melakukan semua jenis pekerjaan itu, tidaklah mengejutkan bahwa Fisk tidak senantiasa memahami fakta-fakta temuannya secara tepat. Dan untuk ini, dia kerapkali dikritik oleh banyak kalangan yang punya pengetahuan lebih mendalam seperti yang bisa kita temukan di sini atau sini: Dia pun menulis opini, kerapi dengan cara ekstrim, sehingga lebih perperan sebagai seorang aktivis ketimbang seorang wartawan. Menurut UKMediaWatch:
Di antara kata-kata lain yang bisa kita gunakan untuk menjelaskan Robert Fisk maka dapat dikatakan bahwa dia jelas-jelas orang yang mudah marah. Orang yang melihat kebijakan luar negeri Barat atas Timur Tengah sebagai "sikap pura-pura yang sinis" tanpa pernah menawarkan kepada pembacanya wawasan apapun di dalamnya tentang bagaimana sikap yang lebih mulia dan berprinsip yang bakal terbentuk. Walau dia "analis politik" Timur Tengah untuk Harian Independent, dia lebih sebagai seorang sinis professional dibandingkan sebagai seorang siswa terpelajar kawasan itu. Lebih jauh lagi, walau berpura-pura netral dalam berbagai serangannya yang pedas menyakitkan atas kemunafikan politik, kerangka kerjanya jelas memperlihatkan bahwa dia melihat sejumlah sasaran sebagai lebih pantas untuk dihina dibandingkan daripada pihak yang lainnya.
Bertahun-tahun, sasaran utamanya adalah Israel. Perang serta terorisme tidak pernah sungguh-sungguh berhenti di sana. Bagi para penampar Israel, peluang untuk melancarkan serangan yang menyakitkan tidak pernah berhenti dini. --- Coba perhatikan berbagai kecaman akhir-akhir ini terhadap langkah-langkah pertahanan Israel atas perbatasan Gaza, yang beberapa di antaranya dituliskan oleh Fisk sendiri.
Obsesi Fisk atas Israel menjadi ancaman bagi orang Yahudi di manapun di dunia ini. Ini dengan sangat bagus dijelaskan di sini oleh Community Security Trust Inggris, lembaga kenamaan negeri itu yang bertanggung jawab terhadap keamanan Yahudi:
Tatkala menulis dalam Harian Independent, Robert Fisk menyajikan sebuah contoh yang mengagumkan tentang obsesi anti-Israel yang terungkap dalam kata-kata yang berbicara tentang orang Yahudi, bukan tentang Israel. Dengan melakukan demikian, dia menggambarkan seberapa jauh pengkritik Israel yang paling kejam bakal lakukan agar bisa memusatkan penelitian mereka dengan cermat sekaligus muak atas persoalan tersebut ketimbang untuk meneliti sasaran lain. Dalam kasus ini, terorisme pejihad yang ekstrim. Melihat tautan-tautan antara agitasi anti-Israel dan tingkat serangan anti-semitis, maka kecenderungan/godaan retorika ini memunculkan risiko nyata bagi orang-orang Yahudi.
Tampaknya tidak ada yang lebih menganggu Fisk selain upaya untuk mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina, karena apapun yang diusulkan, tak akan memuaskan tuntutan Palestina. Seperti diketahui, sejak tahun 2017 pemerintah Amerika Serikat mengupayakan rencana damai di bawah pengawasan Jared Kushner. Rincian lengkap rencana itu sendiri belum terungkap, namun kritiknya sudah ada. Tidak perlu dikatakan bahwa rencana perdamaian apa pun untuk Israel dan Palestina, yang pernah diajukan oleh siapapun, kritiknya sudah lebih dulu muncul, paling tidak, kritik tanpa henti dari orang-orang Palestina dan para pendukung mereka. Mengingat bahwa semua pemimpin Palestina menyerukan adanya Negara Palestina yang bakal mencakup sekaligus melenyapkan Negara Israel, maka tidaklah mengherankan bahwa mereka tidak bisa menerima usulan yang hanya memberi mereka, satu negara kecil (atau dua negara kecil) di wilayah itu yang dialokasikan kepada mereka oleh PBBtahun 1947.
Tidaklah mengherankan, Fisk menjadi satu dari orang pertama yang mengecam apa yang diketahui seputar rencana itu, tetapi semuanya itu karena alasan yang salah. Dia fokus pada tawaran bahwa Amerika Serikat, dengan bantuan Arab Saudi, dan barangkali pihak lain bakal menanggung aliran masuk finansial yang penting dalam ekonomi Palestina, sehingga memudahkan kehidupan jutaan orang sekaligus mampu menciptakan negara Palestina yang makmur sejahtera. Tatkala menulis pada 28 Juni lalu, Fisk dengan sombong mengklaim bahwa perjanjian itu bakal "menghancurkan seluruh martabat mereka [Palestina]." Jadi, artikelnya dimulai seperti ini;
Apakah tidak merendahkan martabat masyarakat Palestina? Pasca-Oslo, usai "solusi dua negara", usai bertahun-tahun pendudukan Israel --- atas "Kawasan A" dan "Kawasan C" yang merumuskan jenis pendudukan yang harus warga Palestina jalani --- usai kolonisasi pencurian tanah besar-besaran dari para pemilik Arabnya oleh Yahudi, usai pembunuhan massal Gaza dan keputusan Trump bahwa Yerusalem, seluruh Yerusalem harus menjadi Ibukota Israel, apakah masyarakat Palestina bakal diminta untuk bermukim supaya bisa mendapat uang kontan dan sebuah desa yang menyedihkan? Apakah meninggalkan hal yang memalukan di sana?
Dengan nada yang sama dia melanjutkan tulisannya yang nyaris sepanjang tiga halaman.
"Bagaimana bisa dia [Kushner] menjatuhkan martabat seluruh Bangsa Arab dengan mengatakan bahwa kebebasan, kedaulatan, kemerdekaan, keluhuran martabat, keadilan dan kesadaran sebagai bangsa mereka sekedar sebagai "pemikiran yang dibicarakan oleh para politisi"? Apakah sikap gila-gilaan ini tidak akan berakhir?
Gila-gilaan? Apakah gila-gilaan membantu menghentikan sebuah konflik yang berlangsung lebih dari 70 tahun, yang telah memakan nyawa yang tak terbilang jumlahnya, termasuk nyawa warga Palestina, supaya bisa memangkas kepemimpinan Palestina yang rakus dan tidak toleran dengan menawarkan kepada mereka jalan menuju kemakmuran, perdamaian dan kehidupan yang kini tidak bisa mereka bayangkan untuk diri mereka sendiri? Gilakah resolusi damai yang bisa berarti bahwa orang-orang fanatik agama dan nasional yang sekian lama memerintah kawasan Palestina mungkin saja terdorong keluar dari kantor yang tidak sah untuk diganti dengan sebuah sistem yang demokratis?
Bagaimanapun, persoalan perdamaian dan kemakmuran, jelas tidak banyak berarti bagi Fisk dan manusia sejenisnya. Di sana, bagi dia, ada hal yang lebih dalam di sini. Yaitu, pada dasarnya, ada keyakinan yang sekian lama dibentuk, yang dengan kuat Fisk dukung di sini, bahwa warga Palestina merupakan korban. Dan tidak hanya itu, mereka adalah korban terpenting di seluruh dunia --- dipaksa dijadikan korban oleh imperialisme Barat. Imperialisme ini, menurut dia, menyebabkan bekas tanah "Palestina" [yang kenyataannya di bawah mandat Inggris: semua orang yang lahir di sana sejak tahun 1920-1948 ---orang Yahudi, Kristen dan Arab meminta Palestina tempelkan pada paspornya] agaknya sebuah koloni, yang didirikan oleh Bangsa Yahudi pascaPerang Dunia Kedua. Pandangan ini, benar-benar mengabaikan lebih dari 3.000 tahun sejarah dan arkeolologi. Pandangannya, tentu saja, sekarang menjadi dogma yang mendasari apa pun yang, karena beberapa alasan yang tidak bisa dipahami, menjadi isu kampanye utama bagi para calon revolusioner berhaluan kiri di seluruh dunia, di atas segala-galanya di Eropa dan Amerika Utara. Dari perspektif yang melenceng ini, menawar sebuah negara kepada masyarakat Palestina (atau dua negara) yang membuat hidup mereka lebih baik dibanding dengan apapun yang mereka atau nenek moyang mereka pernah ketahui, berarti menjatuhkan martabat mereka.
Tidak ada ruang untuk benar-benar menjelaskan apa artinya di sini, tetapi beberapa fakta serta pandangan perlu dikemukakan. Dalam sejarah, tidak pernah ada orang yang menjatuhkan martabat rakyat Palestina lebih daripada yang dilakukan oleh para pemimpinnya sendiri serta banyak anteknya. Atau, tidak ada yang menjatuhkan martabat warga Palestina selain ribuan pria, wanita dan kaum muda Palestina yang keluar rumah melakukan aksi bom bunuh diri serta banyak serangan lainnya terhadap warga Yahudi Israel yang tidak berdosa. Israel menghabiskan lebih dari 70 tahun berjuang demi kelangsungan hidup mereka dari perang serta serangan teroris Palestina serta beberapa negara Arab. Tragisnya, selama beberapa dekade, berbagai serangan ini menjadi sumber kebanggaan warga Palestina yang mengatakan mereka membuang waktu begitu panjang berusaha hancurkan sebuah negara yang sekian lama didambakan dan dibentuk, hanya beberapa tahun semenjak Holocaust Yahudi, bahkan jika itu berarti ada pembantaian enam juta orang lain atau lebih sekalipun.
Bom bunuh diri serta serangan lain penyebab tewasnya warga Palestina memperlihatkan sebuah masyarakat yang menghargai status syuhadah yang merusak lebih daripada kehidupan anak-anak serta orang-orang muda yang mungkin bisa melanjutkan heroisme sejarah untuk mendirikan sebuah bangsa, seperti yang dilakukan oleh para penyintas Holocaust ketika menjinakkan tanah Israel guna menciptakan kekuatan besar seperti sekarang. Apakah ada kehormatan yang bisa diperoleh dari mencuci otak anak-anak muda yang meledakkan diri sendiri berkeping-keping di berbagai kafe atau memenggal leher bayi-bayi? Dan mengapakah para "syuhadah" sukarela ini dihormati bagai bintang rok, pejuang sepakbola, atau contoh-contoh untuk diteladani oleh anak-anak, menjadi contoh atas apa yang dimaksudkan dengan menjadi Arab atau Muslim?
Konsep Islamiah yang dianut oleh semua gerakan teroris Muslim, termasuk Hamas melandasi upaya untuk mengutamakan pengorbanan (diri) bahkan jiwa anak-anak sendiri sekalipun. Yaitu bahwa "kami lebih mencintai maut daripada anda mencintai hidup." Dalam sebuah kotbah Jumad-nya di Chicago baru-baru ini, Dr. Ashraf Musairat mengecam ketaatan terhadap norma-norma non-Islami. Dikatakannya, bahwa memalukan untuk melakukannya demikian. Karena itu, dia pun ngotot mengatakan bahwa:
"Semua ini terjadi karena jarak kita dari agama Allah. Karena kita lebih mencintai dunia ini daripada kita mencintai Allah dan Islam. Karena kita mencintai anak-anak kita lebih daripada cinta untuk berkorban bagi kepentingan Allah. Dan karena kita mencintai pasangan kita lebih dari cinta kita untuk berkorban demi kepentingan Allah dan Islam."
Apakah ini semacam upaya menjatuhkan martabat yang Robert Fisk katakan tengah diterapkan atas masyarakat Palestina?
Robert Fisk barangkali bisa jelaskan kehormatan apa yang bisa ditambahkan pada Palestina, tatkala sesudah diberikan salah satu tawaran damai paling tulus dalam sejarah dan setelah mendapatkan semua yang dijanjikan bagi kehormatan tertinggi di hadapan dunia, Yaser Arafat justru meninggalkan begitu saja negosiasi Camp David tahun 2000 lalu segera melancarkan Intifadah Kedua yang merenggut begitu banyak jiwa dari kedua belah pihak? Presiden AS masa itu, Bill Clinton belakangan mengatakan: "Penolakan Arafat terhadap usul saya setelah Ehud menerimanya merupakan suatu kesalahan proporsi sejarah." Israel pernah membuat perundingan damai yang sangat berhasil dengan Mesir dan Yordania. Akankah Fisk mengatakan bahwa Mesir atau Yordania dijatuhkan martabatnya oleh pendekatan ini? Justru sebaliknya, tentu saja. Presiden Anwar Sadat dan Raja Hussein memperoleh status sebagai pembuat damai. Anwar Sadat memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian bersama timpalan Israelnya, Menachem Begin. Raja Hussein dikagumi karena kesediaan jangka panjangnya untuk bertemu dengan para pejabat Israeli pada apa yang menjadi jalan perdamaian yang panjang namun bermartabat.
Foto: Presiden Mesir Anwar Sadar (kiri) bersama PM Israel Me Menachem Begin (kanan) menyambut gembira tepuk tangan dan sorakan selama Sesi Bersama Kongres ketika Presiden A.S Jimmy Carter mengumumkan hasil Perjanjian Camp David, 18 September 1978. (Sumber foro: Warren K. Leffler/Library of Congress) |
Bertahun-tahun, Israel menawarkan damai serta bantuan bersama yang tulus. Israel juga berulangkali menawarkan diri untuk menyerahkan kawasan demi janji-janji damai kosong. Seperti menyerahkan kembali Sinai kepada Mesir tahun 1979 atau sepenuhnya (dan benar-benar menyakitkan) menarik diri mundur dari Gaza pada tahun 2005. Kesepakatan pun pernah dicapai. Tawaran pun pernah dibuat pada tahun 1949, 1979, 1994, 1998, 2000, dan tahun 2000 lagi (kembali soal Dataran Tinggi Golan), tahun 2008, 2009, 2010 dan sampai sekarang ini. [3]
Tetapi masyarakat Palestina---termasuk para pemimpin Otoritas Palestina dari Faksi Fatah yang sekarang berkuasa di Tepi Barat serta rejim fundamentalis Hamas yang degil dan keras kepala di Gaza --- tidak pernah membiarkan diri mereka terinspirasi oleh contoh-contoh dari Mesir dan Yordania, bahkan untuk mengkontemplasikan perdamaian atau kerja sama untuk mengantar Bangsa Palestina menuju kehidupan yang lebih baik. Februari nanti, Israel menjadi negara keempat di dunia yang mendaratkan pesawat ruang angkasa di bulan. Sementara itu, masyarakat Gaza masih ngotot mengirimkan layang-layang bernyala – beberapa dilekatkan dengan swastika--- melewati perbatasan, yang menyebabkan kerusakan serius atas tanah pertanian serta cagar alam Israel. Apakah ini memberikan kehormatan kepada Hamas atau kepada pelakunya? Tidak bisa diragukan lagi, dalam mata mereka sendiri ya. Tetapi bukan kepada dunia lain yang bukan milik Fisk? Swastika bukan lencana kehormatan. Bagi sebagian besar orang, dia sangat bertentangan. Menghancurkan lingkungan tidak memberikan sumbangan paling kecil (sekalipun) untuk menjadikan Gaza tempat yang lebih baik untuk membesarkan anak-anak.
Warga Palestina serta pendukung mereka di Barat kerapkali berdemonstrasi ke jalan-jalan sambil berteriak, "Dari Sungai hingga ke Laut, Paleetina akan bebas." Sungai itu adalah Sungai Yordan. Lautnya, Laut Mediterania. Kawasan yang ada di antara kedua kawasan itu terdiri dari Gaza, Tepi Barat (sungai Yordan) serta seluruh kawasan Negara Israel. Semenjak Palestina mengaku bahwa, meski tidak berprasangka kepada kaum Yahudi, mereka tidak akan bertoleransi kepada orang Yahudi yang kini berdiam di berbagai pemukiman Tepi Barat (daerah Yudea dan Samaria). Juga bahwa mereka tak bakal pernah bisa sepakat untuk hidup bersama Israel sebagai sebuah negara Yahudi. Lalu, haruskah kita tanyakan, apakah mungkin membayangkan adanya sebuah negara yang sepenuhnya Palestina.
Pada inti dilemma ini, ada pelanggaran yang tidak bisa dijembatani antara bagaimana Palestina serta pendukungnya juga Israel serta pendukungnya pada pihak lain melihat Israel serta kawasan sekitarnya, termasuk Kerajaan Hasemit, Yordania. Bagi Palestina, semua negara Muslim serta pendukung Muslim mereka di seluruh dunia, penolakan terhadap kompromi itu bertumpu pada asumsi dasar Hukum Shariah Islam ---suatu prinsip bahwa daerah manapun yang pernah diperintah sebagai Negara Islam, tidak boleh pernah dibiarkan lepas dari tangan umat Muslim. Ini karena kawasan itu dianggap sebagai waqaf, sebuah istilah yang diterapkan pada property atau kepingan lahan yang selama-lamanya diperuntukan bagi lembaga keagamaan. Prinsip di balik ini ditetapkan dengan jelas dalam Artikel 11 Perjanjian Hamas tahun 1988 yang berbunyi:
Gerakan Perlawanan Islam meyakini bahwa tanah Palestina merupakan tanah wakaf Islam yang disucikan bagi generasi Muslim masa datang sampai Hari Pengadilan Terakhir. Tanah itu, atau bagian apapun tanah itu, tidak boleh digunakan sia-sia; ia, atau apapun bagiannya, tidak boleh diberikan kepada pihak lain. Tidak satu pun negara Arab atau semua negara Arab, tidak satu pun raja atau presiden, atau semua raja dan presiden, tidak satu pun organisasi atau semua organisasi, entah Palestina atau Arab berhak melakukannya demikian. Palestina adalah tanah Waqaf Islami yang disucikan bagi generasi Muslim sampai Hari Pengadilan Terakhir. Dengan melakukan ini, siapa bisa mengklaim berhak mererpresentasikan generasi Muslim sampai Hari Pengadilan Terakhir?
Inilah aturan yang mengatur tanah Palestina dalam (Hukum) Shariah Islam. Prinsip yang sama berlaku atas tanah manapun yang kaum Muslim berhasil taklukan dengan paksa, karena selama masa penaklukan (Islamiah), umat Muslim mensucikan tanah-tanah itu demi generasi-generasi Muslim sampai Hari Pengadilan Terakhir.
Arti ini bagi Hamas diungkapkan dengan sangat baik oleh Dr. Samantha May dari Universitas Aberden dalam artikel ini. Ia...
"memperlihatkan bahwa pemahaman Hamas tentang wakaf sebagai tanah abadi Allah sekaligus pembenaran atas adanya kawasan demi sebuah Palestina merdeka menantang asumsi Barat tentang kawasan nasional sekaligus monopolinya atas aksi kekerasan yang dianggap sah."
Bagaimanapun, persoalan ini lepas sama sekali dari apakah kita melacak penataan internasional modern atas negara, perbatasan, perjanjian dan pembagian wilayah mulai dari Perjanjian Westphalia tahun 648 yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun atau berakhirnya Perang Dunia I pada tahun 1918, atau berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945 serta pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun yang sama. Karena bagaimanapun, faktanya, urusan internasional sekarang dianggap dilakukan dan dinegosiasikan bukan berdasarkan satu hukum agama, tetapi berdasarkan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam ratusan dokumen, legislasi besar dan hukum internasional.
Israel dibentuk berdasarkan hukum internasional. Pertama-tama sebagai kawasan mandat melalui Liga Bangsa-Bangsa, kemudian PBB pada tahun 1947. Demikian juga dengan Suriah modern. Demikian juga dengan Libanon, Yordania, Irak, Pakistan, Bangladesh serta banyak negara Muslim dan Arab lain termasuk negara-negara di Jazirah Balkan dan di manapun di dunia ini. Merobek-robek menghancurkan jalinan hukum dan perjanjian, konvensi intermasional serta resolusi yang menjahitkannya menjadi satu, maka bisa menyebabkan satu dari negara-negara ini runtuh akibat konflik lintas nasional. Warga Arab Palestina pernah diberi tawaran pada tahun 1947, bersama dengan Israel. Jika berharap untuk memiliki sebuah negara atau negara-negara kini, maka mereka hanya bisa melakukannya dengan dasar itu. Penerapan kembali hukum wakaf Islami tidak bakal memulihkan kembali Spanyol, Portugal, Sisila, India, Yunani dan semua negara-negara lain dari kekaisaran kekalifahan yang ditinggalkan supaya bisa dikuasai Muslim. Sia-sia juga memikirkan apapun yang lebih sebagai sebuah khayalan.
Masyarakat Palestina mencoba segala-galanya, kecuali untuk apa yang mungkin sepenuhnya membuat mereka bebas makmur: membuat perdamaian yang sejati dengan Israel. Mereka terjebak untuk berjanji setia pada sistem hukum internasional yang sudah ketinggalan jaman yang tidak dipercaya, tidak sudi mengubah fantasi mereka menjadi kenyataan. AKarena itu, Bassam Tawil pun mengatakan:
Dengan ngotot menuntut "hak-hak nasional" bagi semua warga Palestina, termasuk "hak untuk kembali" dan dengan menolak untuk mengakui Israel sebagai ibu pertiwi Bangsa Yahudi, masyarakat Palestina, nyatanya mensinyalkan bahwa tujuan mereka yang sebenarnya adalah untuk melihat Israel dihilangkan dari Timur Tengah. Bagaimana kita tahu bahwa mereka ingin menghancurkan Israel? Soalnya, Abbas mengatakan dia melihat Israel sebagai "proyek kaum nasionalis yang tidak ada hubungannya dengan Yudaisme."
Fisk membahas banyak hal tentang "hak untuk kembali" ini. "Hak untuk Kembali. Lupakan saja," urainya dalam artikelnya. Tetapi itu masih merupakan satu khayalan lainnya. Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa baru saja menetapkan bahwa tidak ada hak seperti itu (dalam arti hukum tentang hak asasi manusia). Terlihat bahwa banyaknya mayoritas masyarakat yang sekarang mengidentifikasikan diri sebagai "pengungsi" Palestina, tidak pernah menginjakkan kaki dalam kawasan yang sudah menjadi Israel.
Laporan AS baru-baru ini mengungkapkan, tampaknya ada hanya sekitar 20,000 pengungsi Palestina di seluruh dunia.
Lebih jauh lagi, itulah persisnya sikap ngotot yang dipertahankan. Ngotot mempertahankan bahwa pengungsi Palestina sejak 1948 dan generasi keturunan mereka membentuk kategori pengungsi khusus dengan organisasi pengungsi mereka sendiri (UNRWA) yang mengekalkan status pengungsi sekaligus untuk menyalahkan "pengungsi" ini yang hidup dalam kondisi kamp pengungsi yang menyedihkan. Jika ada orang yang menghancurkan martabat bangsa ini, maka itu bukan Israel ( karena tidak ada kamp seperti itu di Israel dan bahwa warga Arab menjadi warganegara penuh serta bebas negeri itu). Yang menghina mereka adalah negara-negara penampung pengungsi seperti Libanon, Suriah, Yordania, Gaza, Tepi Barat. Di kawasan-kawasan itu, para penguasanya menetapkan pembatasan yang mengecam "para pengungsi ini" supaya terus bergantung pada bantuan internasional dan tidak mampu membangun hidup mereka yang nyata dengan perjuangan sendiri.
Sangatlah tidak mungkin bagi Jared Kushner atau Presiden Trump untuk meraih apa yang begitu banyak negarawan gagal lakukan. Para pemimpin Palestina bakal ngotot sampai mati. Tidak ada yang bisa memuaskan syahwat Palestina untuk menghancurkan Israel atau membuatnya menjadi korban hina dina, meskipun Pangeran Mahkota Arab Saudi sudah mendesak Mahmoud Abbas untuk terlibat dalam upata damai sesuai usulan AS dan Israel.
Akhirnya, aktivis- aktivis yang disebut pro-Palestina seperti Robert Fisk atau para penulis harian seperti The Independent, The Guardian, atau New York Times yang mati-matian membujuk dunia untuk mendukung sikap keras kepala Palestina untuk menolak tawaran untuk meningkatkan hidup mereka sekaligus hukum internasional. Pandangan itu sendiri diperjuangkan dengan keyakinan bahwa Barat pantas dikecam atas persisnya segala yang salah. Juga pandangan bahwa masyarakat bukan Barat tidak boleh diminta bertanggungjawab atas tindakan mereka atau tepatnya atas soal apapun.
Dr. Denis MacEoin pernah belajar, memberi kuliah serta menulis banyak tentang Timur Tengah selama sekitar empat puluh enam tahun. Dia adalah mantra Seniar Kenamaan pada Gatestone Institute.
[1] Untuk mendapatkan arsip yang banyak seputar propaganda media, agama dan politik Palestina yang anti-Israel, lihat Palestinian Media Watch di sini.
[2] Misalnya: Pity the Nation: Lebanon at War on the civil war; Syria: Descent into the Abyss; The Age of the Warrior; The Arab Spring Then and Now: From Hope to Despair; Robert Fisk on Afghanistan: Osama Bin Laden; Robert Fisk on Israel: the Obama Years; Robert Fisk on Algeria; Robert Fisk on Egypt; The world of Robert Fisk: Volume 1: 1989-1998 from Beirut to Bosnia, Volume 2: 1999-2008 from Kosovo to Baghdad; The Great War for Civilisation: The Conquest of the Middle East; Islamic Extremism: Middle East in Crisis. Dia pun menuliskan artikel seputar Soviet dan perang internasional di Afghanistan, perang Iran-Irak, konflik berkelanjutan Palestina–Israel, Perang Teluk, Perang Kosovo, Perang di Bosnia serta Invasi Irak, tahun 2003. Kawasan-kawasan ini menggunakan bahasa-bahasa yang sangat berbeda---Bahasa Pashto dan Dari/Parsi di Afghanistan, Bahasa Arab dalam berbagai bentuk dialeknya yang berbeda di Aljazair, Libanon dan Irak, Albania, Bahasa Serbia di Kosovo, Bahasa Hebrew di Israel, Bahasa Persia (Farsi) di Iran. Dia mungkin saja pernah mempelajari sejumlah bahasa Arab Libanon selama bertahun-tahun kerjanya di Beirut, tetapi keterbatasan bahasa tentu membatasi keahlian yang mungkin dia miliki di satu kawasan manapun. Terlepas dari ini, dia tidak saja pernah mempublikasikan buku-buku tentang lebih dari satu kawasan: tentang Libanon; Suriah; Irlandia; Irlandia Utara; Musmim Semi Arab di Tunisia, Mesir, Libya, Bahrain, Yaman dan Suriah; Afghanistan; Aljazair dan Aljazair lagi; Mesir; Timur Tengah sebagai keseluruhan; dan semua tempat di mana dia pernah membuat liputan.
[3] Untuk mengetahuai rincian lengkap seputar tawaran ini, lihat Denis MacEoin, Dear Gary, Why You're Wrong about Israel: A Letter to an Anti-Israel Activist, London, 2012, hal. 38-45.